Anda di halaman 1dari 9

ORANG YANG BERDIAM DI NEGERI ATAS

BUDAYA NUSANTARA
DOSEN PENGAMPUH

: RAHMAN SYAIFUL R, M.Ikom

PENYUSUN

: RENDRA SEPTIAN VERDIANSYAH

UNIVERSITAS ISLAM MOJOPAHIT


TAHUN AJARAN 2015-2016

KATA PENGANTAR
LATAR BELAKANG
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA

SEJARAH
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina
selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok
penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan
kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan
wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku
Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya
memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir
abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap
pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan,
terutama di antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk
dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan
bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan
dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang
mengklaim wilayah tersebut.Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status
regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena
penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah
dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja,
dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang
Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya,
banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk
mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang

dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.
Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia
untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu
dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja
berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus
diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan
sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan
animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan
ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di
negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku
Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual
pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut
animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda
datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun
1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja
dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja
sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional
dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor
pariwisata yang terus meningkat.

Adat Istiadat Suku Toraja


Suku Toraja selama ini dikenal sebagai salah satu suku yang sangat taat dalam
menjalankan ritual adatnya, yang terbagi dalam dua golongan besar. Maing-masing adalah tradisi
untuk menghadapi kedukaan atau sering disebut Rambu Solok dan tradisi untuk menyambut
kegembiraan yang dinamakan dengan Rambu Tuka. Masing-masing tradisi ini masih mempunyai
tujuh tahapan upacara. Dalam masyarakat Suku Toraja, sampai saat ini masih banyak yang
memegang

kepercayaan

peninggalan

para

leluhurnya. Maka tidak mengherankan bila kedua


tradisi tersebut masih sering diadakan sampai saat
ini. Upacara Tambu Tuka, selalu berhubungan
dengan meninggalnya seseorang. Maka upacara ini
dimulai dengan mempersiapkan penguburan bagi
orang yang meninggal. Dalam upacara ini sering
dilaksanakan dengan mengadakan adu ayam, kerbau
serta menyembelih binatang babi yang jumlahnya cukup besar. Kuburan yang digunakan untuk
menguburkan jenasah terbilang istimewa. Karena jenasah tersebut diletakan pada tempat yang
khusus, yaitu di sebuah gunung yang berbatu dan diberi lubang dan bentuknya seperti gua kecil.
Jadi jenasah tersebut tidak dikubur sebagaimana umumnya, namun diletakan di dalam lubang
gua tersebut. Sementara itu untuk upacara tradisi Rambu Tuka yang merupakan pesta
kebahagiaan, biasanya diadakan untuk menyambut kelahiran seorang bayi, pesta pernikahan dan
lain-lain.
Mata Pencaharian Para perajin parang tersebar di berbagai wilayah Toraja. Namun kalau
Anda ingin melihat proses pembuatannya, maka datanglah pada hari pasaran (6 hari sekali) yang
digelar di Rantepao. Hari pasaran ini merupakan pasar terluas di Toraja, dengan keistimewaan
perdagangan kerbau dan babi yang sangat besar.
Tanah lapang luas yang menampung kerbau dengan para penjualnya bersisian dengan
kios-kios para perajin parang. Sistem pembuatan parang tradisional yang cukup cepat
pengerjaannya bisa disaksikan di sini. Anda juga bisa menemukan perajin parade di Desa La
Bo, Kelurahan Sangga Lange (terusan arah Kete Kesu), yang selain bertani, mereka juga
membuat parang dan dengan senang hati mereka akan memperlihatkan cara pembuatannya.
Tentu saja, sebagai rasa terima kasih, selayaknya Anda memberikan penghargaan berupa tips
(min. Rp. 10.000,-) atas peragaan yang mereka sajikan, atau beli parangnya dengan harga sekitar

Rp. 65.000,-. Namun harus diakui, parang dan pedang yang dijual di pasar permanen Rantepao
lebih halus buatannya, tentu dengan harga yang lebih variatif, sesuai dengan model, ukuran dan
motif yang ada.
Budaya adalah salah satu harta berharga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Perlu
pemeliharaan dan kepedulian agar warisan budaya tidak semakin tergerus oleh budaya asing.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya. Seperti halnya kain
tenun Toraja. Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan tetap
mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga, diharapkan tenun
Toraja takkan hilang ditelan jaman. Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber
mata pencaharian yang berbasis budaya, maka aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan
budaya itu sendiri.
Upacara pemakaman Tempat penguburan Toraja yang diukir. Dalam masyarakat Toraja,
upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama
aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya
dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung
selama

beberapa

hari.

Sebuah

tempat

prosesi pemakaman yang disebut rante


biasanya disiapkan pada sebuah padang
rumput yang luas, selain sebagai tempat
pelayat yang hadir, juga sebagai tempat
lumbung padi, dan berbagai perangkat
pemakaman

lainnya

yang dibuat oleh

keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku
untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar
keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi
merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa
penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah

tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman
selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan
golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang
sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk
melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang
diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu
panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan
dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum. Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat
disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya
kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu
pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua
dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali
tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan
dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani
perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan
menyanyikan lagu sepanjang malam untuk
menghormati almarhum (ritual terseebut
disebut

Ma'badong).

Ritual

tersebut

dianggap sebagai komponen terpenting


dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing
ditampilkan
almarhum

untuk
semasa

memuji
hidupnya.

keberanian
Beberapa

orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau,
dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari
lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan
dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.

Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan
bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'. Seperti di masyarakat agraris lainnya,
suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk
merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja
sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang
dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk
mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya
bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama
mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci. Alat musik tradisional Toraja
adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak
tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria
yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat
musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen
dan ketika upacara pembukaan rumah.

DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai