Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan tradisional adalah salah satu aset nasional yang sangat


besar artinya dan perlu dilestarikan karena mempunyai nilai budaya yang
tinggi.Disamping itu, dapat menjadi masukan dan memberi wawasan yang lebih
luas kepada masyarakat.
Salah satu diantara kebudayaan tradisional yang ada di Indonesia
adalahKebudayaan tradisional adat Toraja. Kebudayaan tradisional adat Toraja ini
meliputi segala aspek yang berhubungan dengan masyarakat, ukiran kayu, rumah
adat,upacara pemakaman, musik/tarian, agama, bahasa, dan ekonomi.
Toraja merupakan salah satu wilayah kabupaten yang terdapat di wilayah
administrasi Provinsi Sulawesi Selatan, secara geografis letak suku Toraja : 1190-
1200 BT dan 20-30 LSTerletak di sekitar pegunungan Latimojong dan
Quarles.Berada di antara 150 - 2000 meter dari permukaan air laut,Sungai yang
mengalirinya yaitu Sungai Saddang, Karama, Rongkong, Massuppu dan
Mamasa(Ditjen Kebudayaan, 1985/1986:76 dalam Ranga Wijaya 2014).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran umum kebudayaan tana toraja dilihat dari segi
geografi, demografi, dan sosial ekonomi ?
2. Bagaimana gambaran kebudayaan tana toraja dan toraja utara di sembilan
lokasi studi lapang geografi budaya?
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui gambaran umum kebudayaan tana toraja
dilihat dari segi geografi, demografi, dan sosial ekonomi!
2. Agar mahasiswa mengetahui gambaran kebudayaan tana toraja dan toraja
utara di sembilan lokasi studi lapang geografi budaya!
1.3 Manfaat
Manfaat dilaksanakannya studi lapang ini dan di peradakannya laporan ini
ialah untuk menambah waawasan penulis ataupun pembaca.

Geografi Budaya Page 1


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geografis, Topografis dan Administratif

Tana Toraja sering disebut singkatan-nya Tator, adalah sebutan oleh orang-
orang Toraja sendiri untuk wilayahnya. Saat ini Tator secara administrasi masuk
dalam Kabupaten Toraja,terdiri dari 9 kecamatan dan 32 desa. Luas wilayah 3178
Km2, sebagian besar (40%) terdiri dari pegunungan dan dataran tinggi (25%).
Wilayah Tator terletak sekitar 350 Km di utara kota Makassar, antara 2°40'-3°25'
lintang selatandan 119°30'-120°25' bujur timur. Di tengah-tengah wilayah
berbukit-bukit tersebut mengalir dari utara-selatan Sungai Sa'dang yang
berpengaruh secara sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Toraja Istilah Toraja
Sa'dang dipakai untuk menyebut wilayah dan kelompok etnis dikawasan Sungai
Sa'dang. Sebutan tersebut untuk membedakan dengan kelompok dan tempat
dengan sebutan Toraja-Mamasa, berada disebelah baratnya beberapa puluh
kilometer, dipisahkan oleh lembah dan gunung. Menurut legenda suku Toraja-
Mamasa berasal dari suku Toraja-Sa'dang yang merantau ke arah barat,tidak
kembali dan membentuk masyarakat Toraja di tempatnya yang baru. Di Tana
Toraja terdapat dua pusat berupa kota kembar, yang satu Makale berfungsi sebagai
pusat administrasi di selatan, lainnya Rantepao.

Batas - batas Kabupaten Tana Toraja adalah :

 Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa

 Sebelah Timur : Kabupaten Luwu

 Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang

 Sebelah Barat : Kabupaten Polmas

2.2 Identitas Etnis


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
SulawesiSelatan, Indonesia. populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan

Geografi Budaya Page 2


500.000 diantaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja
utara, dan Kabupaten mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal
sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini
sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang
yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini
Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat
tongkonan danukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa
sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama
beberapa hari.

Sebelum abad ke 20, suku Toraja tinggal di desa - desa otonom. Mereka masih
menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-
an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah
semakinterbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja
menjadilambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh
pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak
tahun 1990-an mengalami transformasi budaya dari masyarakat berkepercayaan
tradisional dan agraris menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan
mengandalkansektor pariwisata yang terus meningkat.

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri


merekasebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke 20. Sebelum penjajahan
Belandadan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi
dikenali berdasarkan desa mereka dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang
sama. Meskipun ritual - ritual menciptakan hubungan diantara desa - desa ada
banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di
kawasandataran tinggi Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti
orang, dan Rijai, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk
dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya “Toraja”
lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku

Geografi Budaya Page 3


Bugis dan suku Makassar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa’dan Toraja danidentitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama,
yaitu suku Bugis ( kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku
Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku
Toraja (petani di dataran tinggi).

2.3 Ciri Khas Suku Toraja


Salah satu ciri khas suku Toraja adalah tempat pemakamannya. Rante, yaitu
tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah
menhir/megalit, yang dalam bahasa Toraja disebut Simbuang batu. 102 bilah batu
menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah
ukuran sedang, dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat
yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada
saat pembuatan/pengambilan batu.

2.4 Kesenian dan Kebudayaan


1. Adat Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan
a) Melamar
Dalam melamar ada beberapa tahapan yang harus dijalankan,
antara lain dengan cara pendekatan oleh pihak pria kepada pihak
wanita, seperti menanyakan apa sang gadis masih belum ada ikatan
dengan pria lain dan sebagainya. Bilamana sang gadis masih belum
ada ikatan, pihak keluarga pria mengirim beberapa utusan yang terdiri
dari keluarga terdekat sang pria. Tugas mereka adalah untuk melamar
sang gadis secara resmi yang disebut massuro. Bila lamaran diterima
oleh pihak wanita, maka kedua pihak lalu berembuk untuk menetapkan
besarnya mas kawin atau sompa, juga biaya perkawinan dan hari yang
baik untuk melangsungkan pernikahan.
b) Persiapan dan Upacara Pernikahan

Geografi Budaya Page 4


Beberapa hari menjelang pernikahan, keluarga mengadakan
mappaci, yaitu malam berbedak, bersolek, dan memerahi kuku atau
berinai. Pada hari yang telah ditetapkan, kedua mempelai melakukan
akad nikah menurut agama Islam yang dilakukan oleh penghulu,
kemudian kedua mempelai melakukan upacara adat, yaitu mempelai
pria menyentuh salah satu anggota badan mempelai wanita, seperti ibu
jari atau tengkuk. Itu berarti bahwa mempelai wanita telah syah
menjadi mempelai pria. Setelah itu, keluarga mempersandingkan
kedua pengantin di pelaminan, disaksikan oleh para tamu. Seluruh
upacara perkawinan yang diramaikan dengan pesta ini berlangsung di
rumah mempelai wanita dan upacara ini dinamakan marola.
c) Pakaian Pengantin
Pakaian pengantin pria dari Bugis-Makasar berupa baju jas model
tertutup yang disebut baju bella dada, kain sarung songket yang
disebut rope. Di pinggang bagian depan terselip sebuah keris pasang
timpo (keris yang terbungkus emas separuhnya) atau keris tataroppeng
(keris yang terbungkus emas seluruhnya), sedangkan di kepala terdapat
hiasan kepala yang disebut sigara. Pengantin wanita memakai baju
bodo, kain sarung songket atau rope, dan selendang di bahu. Sanggul
pengantin wanita berhiaskan kembang goyang dan perhiasan lainnya
berupa kalung bersusun, sepasang bassa atau gelang panjang bersusun,
dan anting-anting.
2. Lagu-Lagu khas Toraja
a) Siulu’
b) Lembang Sura’
c) Marendeng Marampa’
d) Siulu’ Umba Muola
e) Passukaranku
f) Katuoan Mala’bi’
g) Susi Angin Mamiri
h) Kelalambunmi Allo

Geografi Budaya Page 5


i) Tontong Kukilalai

2.5 Potensi Alam Toraja


Lampako Mampie adalah sebuah taman suaka margasatwa yang berada di
Pulau Sulawesi dengan luas hampir 2000 ha. Suaka margasatwa ini tepatnya
berada di bagian barat Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi pada kabupaten
Polewali Mamasa. Kondisi lapangan dari taman suka margasatwa tersebut terdiri
atas daerah wet land yang terdiri dari daerah berawa-rawa dengan secondary forest
seluas 300 ha swamp forest dan beberapa daerah isolasi mangrove. Daerah suaka
margasatwa ini merupakan daerah yang sangat penting bagi tumbuhan dan hewan.
Hewan utamanya adalah burung Mandar Sulawesi atau Ballidae atau Celebes Rails
(Aramidopsis plateni) yang merupakan burung endemis yang hidup pada kawasan
tersebut. Disamping itu, kawasan ini juga merupakan daerah untuk berkembang
biak beberapa hewan lainnya, bahkan menjadi tempat persinggahan burung-burung
yang bermigrasi.
Dengan melihat dari berbagai pengertian ekowisata, potensi yang dimiliki
oleh daerah tersebut, pengelolaan kawasan suaka yang mulai ditangani daerah dan
keinginan masyarakat lokal untuk dapat membangun sebuah kawasan yang
berasaskan lingkungan hidup, sehingga timbulah keinginan masyarakat daerah
tersebut untuk dapat mengelola langsung kawasan suaka ini dengan tetap
memperhatikan alam, disamping mereka juga mendapatkan insentif secara
ekonomis untuk kelangsungan anak.

Geografi Budaya Page 6


BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Lokasi Pelaksanaan


Lokasi dilaksanakannya Studi lapang Geografi Budaya yaitu di Kabupaten
Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan yang terdiri dari 9 lokasi yaitu :
1. Tongkonan papa batu
2. Tongkonan Kete’ Kesu
3. Pasar Bolu
4. Tongkonan Palawa
5. Loko mata
6. Kalimbung bori
7. Baby grave kambira
8. Tongkonan Layuk Kaero
9. Suaya
3.2 Waktu Pelaksanaan
Waktu dilaksanakannya studi lapang Geografi Budaya adalah pada :
Hari : Jum’at - Minggu
Tanggal : 19 – 21 Desember 2018
3.3 Alasan Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi di Toraja, karena daerah tersebut memiliki kebudayaaan
dan lingungan alam yang masih bersifat natural.

Geografi Budaya Page 7


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Umum Kebudayaan Tana Toraja


Gambaran umum kebudayaan tana toraja dilihat dari segi geografi,
demografi, dan sosial ekonomi yakni :
1. Kondisi Geografis
Secara administratif, saat ini Tana Toraja yang biasa disingkat ‘Tator’
merupakan kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Luasnya
3.205,77 Km2. Terletak antara 2o dan 3o LS, serta 119o dan 120o BT,
dengan batas wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu
dan Mamuju, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, di
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Pinrang, dan di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Polmas. Topografinya
merupakan pegunungan dan dataran tinggi, dengan ketinggian 300 – 289
meter di atas permukaan laut.
2. Kondisi Demografis
Menurut hasil penelitian, suku bangsa Toraja dapat digolongkan
kedalam ras melayu tua (proto melayu) yang diperkirakan berasal dari India
Belakang, dan merupakan gelombang imigrasi Asia yang pertama bersama-
sama dengan orang Dayak di Kalimantan dan Batak di Sumatera Utara.
Sewaktu masuk ke Indonesia, mereka sudah mengenal kebudayaan
perunggudari Dongson (Vietnam Utara) atau Tiongkok barat. Hal ini dilihat
dari cara hidup dan hiasan-hiasan yang banyak terdapat di Tana Toraja juga
ditemukan dalam kebudayaan Dongson, antara lain hiasan yang berupa
spiral bertolak belakang yang diukirkan pada kayu dan tanah bakar.
Berdasarkan hasil pencatatan penduduk akhir tahun 1989, jumlah penduduk
Kabupaten Tana Toraja sebanyak 346.929 jiwa, terdiri dari pria 171.932
jiwa dan wanita 174.997 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut tercatat
bahwa jumlah penduduk usia dewasa lebih besar daripada penduduk usia

Geografi Budaya Page 8


anak-anak. Demikian pula, persebaran penduduk tidak merata pada semua
kecamatan di Tana Toraja.
Adapun bahasa yang digunakan oleh masyarakat Toraja yaitu
bahasa Toraja itu sendiri. Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di
Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan
digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di
semua sekolah dasar di Tana Toraja. Ragam bahasa di Toraja antara lain
Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan
termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.
Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi
terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang
diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja
adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di
Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan
duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.
Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan,
kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi
orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari
peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut terkadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
3. Kondisi Sosial Ekonomi
Sebagian besar penduduk Tana Toraja adalah petani, sementara
tenaga kerja lainnya bergerak di berbagai bidang antara lain di sektor –
sektor : pemerintahan, perdagangan, hotel dan restoran, industri
pengolahan, bangunan, angkutan dan komunikasi, bank dan lembaga
keuangan, dan industri kerajinan. Sistem mata pencaharian hidup
masyarakat Tana Toraja disebut Undaka Katuan , yang bergerak di sektor

Geografi Budaya Page 9


pertanian. Hal ini disebabkan masih tersedianya lahan pertanian/
perkebunan yang cukup luas, sedangkan sektor lapangan kerja lain yang
memungkinkan untuk menyerap tenaga kerja yang banyak dengan latar
belakang pendidikan relatif rendah dapat dikatan masih sedikit. Mata
pencaharian hidup di bidang pertanian tersebut dikenal dengan istilah
Mukhun Dilitak, yang dapat dibedakan atas ma’palak (berkebun) dan
ma’uma (bertani). Selain mata pencaharian di bidang pertanian, banyak
penduduk yang mengusahakan jenis mata pencaharian yang lain seperti
peternakan, industri kerajinan rakyat, perdagangan dan karyawan
(pemerintah atau swasta). Dalam sector peternakan jenis hewan ternak yang
dipelihara antara kerbau, babi, itik, dan ayam serta ikan mas. Sedangkan
kerajinan rakyat, menghasilkan kerajinan ukiran pada kayu dan bambu
anyaman dari bambu dan daun lontar, tenun, pandai besi, dan lain-lain.
Hasil produksi kerajinan rakyat setempat umumnya dijual dalam bentuk
souvenir untuk wisatawan, yang kebanyakan dijajakan di sekitar kawasan
objek wisata.

4.2 Pembahasan Lokasi Studi Lapang


1. Tongkonan papa batu

Tongkonan adalah sebutan untuk rumah adat toraja, yang


mempunyai fungsi sebagai tempat berkumpulnya rumpun keluarga

Geografi Budaya Page 10


besar,sebagai tempat melangsungkan acara-acara adat baik rambu tuka'
maupun rambu solo'. Rumah tongkonan berbentuk perahu dan atapnya
terbuat dari bambu, namun saat ini rumah tongkonan kebanyakan sudah
tidak menggunakan atap bambu lagi namun diganti dengan atap seng,
dengan alasan praktis dan pengerjaannya cepat dibanding dengan atap
bambu yang proses pemasangan membutuhkan waktu yang panjang dan
rumit.
Papa’ batu ini adalah satu-satunya tongkonan yang memiliki atap dari
batu.Rumah adat yang dipercaya telah berumur 700 tahun ini, diwariskan
turun temurun kepada keturunan pemiliknya.
Badan dan rangka atap, ditopang oleh 55 buah tiang kayu pilihan,
atapnya yang unik, terbuat dari batu pahatan berbetuk segiempat, dengan dua
lubang kecil di sisi atas, yang berfungsi untuk mengikatkan papan batu
tersebut pada rangka atap. Untuk mengikatnya, “hanya” diperlukan rotan
yang kuat.
Orang-orang tua dahulu tidak mengenal alat ukur yang jelas seperti
penggaris. Jadi mereka memahat batu itu selebar kira-kira tiga jengkal orang
dewasa, dengan tebal sekitar 5cm. Konon, setiap atap batu itu berbobot 10
kilogram. Jumlah atap batu ini sekitar 1000 keping.Jadi kira-kira, beratnya
10 ton. Dari dalam rumah, terlihat papan batu dan rotan yang mengikatnya..
Di bagian atas atap, tempat pertemuan atap dari kedua sisi, ditutup
dengan bambu dan daun nipah, supaya air hujan tidak merembes
masuk.Dinding tongkonan ini terbuat dari dinding berukir khas Toraja dan
berlantaikan papan kayu.
Menurut informasi pemilik tongkonan, selama berdirinya Tongkonan
ini baru dua kali mengganti atap, penggantiannya tidak menyeluruh dn hanya
dibeberapa titik saja untuk mengganti tali rotan yang sudah putus. Sangat
sulit dipercaya namun itulah kenyataannya sebuah tongkonan yang berat
atapnya 10 ton diidkat dengan tali rotan dan hanya ditopang oleh tiang kayu
berjumlah 55 tiang masih mampu berdiri kokoh sampai sampai sekarang.

Geografi Budaya Page 11


Lantai Tongkonan Papa Batu ini terbuat dari Papan yang dindingnya
berukiran toraja yang masing-masing ukiran memiliki makna tersendiri dan
tidak dan ukiran ini tidak sembarang digunakan di rumah tongkonan lain.
Ada beberapa benda yang disakralkan dalam rumah tongkonan ini
bentuknya seperti sesajen yang terdiri dari kulit pa'piong ( bekas bambu yang
dibakar untuk memasak daging yang dicampur dengan sayurr-sayuran seperti
mayana dll), padi, keranjang nasi tempo dulu, daun bamboo dan kepala
kerbau yang masih utuh dengan tanduknya.
Salah satu bagian yang sangat disakralkan dalam tongkonan ini adalah
tiang besar yang terdapat di tengah tongkonan, satu-satunya tiang yang paling
besar yang menopang tongkonan ini. fungsi dari tiang ini dulunya digunakan
sebagai tempat menambat kerbau yang akan dikurbankan jika ada salasatu
dari rumpun tongkonan yang meninggal yang akan diupacarakan. karena
bagian ini sangat sakral dan dikeramatkan sehingga penghuni atau keluarga
dari tongkonan pun tidak sembarang masuk dan menyentuh tiang ini.
Apabila salah satu atap tongkonan jatuh maka di haruskan memotong
babi.tergantung dari jumlah yang jatuh.Tongkonan batu ini disakralkan oleh
masyarakat sekitarnya.Artinya, tidak boleh orang masuk tongkonan ini
secara sembarangan. Selain keluarga dan kerabat, orang lain
(tamu/pengunjung) harus mengetuk dinding di sisi pintu tongkonan ini
sebanyak tiga kali sebelum memasukinya.
2. Tongkonan Ke’te’ Kesu’

Geografi Budaya Page 12


Ke'te Kesu' adalah kompleks miniatur warisan budaya toraja berupa
pemukiman tradisional. Sebagai kompleks pemukiman tradisional, di objek
wisata Ke'te Kesu' dapat dijumpai rumah tradisional lengkap dengan
lumbungnya, kompleks pemakaman tradisional dengan liang batu batu dan
peti kayu berukir yang memuat satu keluarga, serta lapangan/pelataran untuk
upacara adat dimana masih terdapat menhir-menhir dari upacara yang pernah
diadakan di masa yang lalu.

a. Rumah & Lumbung Tradisional


Rumah tradisional atau rumah adat toraja disebut Tongkonan, dan lumbung
tradisional disebut alang. Tongkonan maupun Alang selalu dibangun
membujur dari Utara - Selatan dan saling berhadapan. Tongkonan di sebelah
selatan menghadap ke Utara, sementara Alang di sebelah Utara menghadap
ke Selatan.
b. Lapangan/Pelataran upacara adat
Masyarakat Tradisional Toraja tidak dapat dipisahkan dari upacara
Adat, oleh karena itu setiap pemukiman memiliki lapangan upacara yang
disebut Rante.Di sinilah upacara adat diadakan, baik Rambu Solo' dan
Rambu Tuka'.
Dengan adanya rumah tradisional, pemakaman, dan lapangan upacara adat,
objek wisata Ke'te Kesu merupakan salah satu kompleks pemukiman
tradisional toraja yang paling lengkap.Objek wisata ini juga dikelilingi
hamparan persawahan dan rumpun bambu yang selalu menjadi ciri khas
pemukiman asli toraja.
Menurut literature dari internet, 3 bulan sebelum kami praktek di lokasi
Ke’te’ Kesu’ telah diadakan upacara kematian di Ke’te’ kesu’.Isi literature
yang diposkan oleh Simon Daijon pada tanggal 30 Agustus.

a. Pemakaman Tradisional
Pemakaman tradisional untuk bangsawan adalah liang kubur yang
dipahat di tebing-tebing batu. Dari era sebelum dikenalnya liang kubur
batu, model peti kayu berukir yang memuat satu keluarga banyak

Geografi Budaya Page 13


digunakan di Toraja karena lebih mudah dibuat. peti-peti kayu ini memiliki
berbagai bentuk, baik menyerupai Babi, Kerbau, maupun berbentuk Rumah
Tongkonan. Di kompleks pemakaman Ke'te Kesu' kedua jenis peti/kuburan
ini masih dapat ditemukan.
Para wisatawan juga tidak boleh melewatkan sebuah kuburan yang
ada di ke’te kesu.Kuburan yang ada di Toraja, terbagi atas beberapa
jenis.Ada yang disebut dengan kuburan gantung, yang dimana peti orang
yang telah meninggal digantung di atas sebuah tebing batu dengan
disanggah oleh kayu yang sangat kuat.Peti yang digunakan cukup
unik.Petinya terbuat dari kayu dan berbentuk seperti lesung atau tempat
menumbuk padi yang panjang seperti perahu, dan bagian penutupnya
berbentuk seperti atap dari rumah tongkonan, kemudian ada yang disebut
dengan dengan kuburan batu. Orang yang meninggal, pertama- tama
dibuatkan sebuah lubang secara mendatar yang berukuran 1x1,5 meter di
atas tebing batu yang dalamnya biasanya disesuaikan. Orang yang telah
meninggal dan dikuburkan pada kuburan batu tidak dimasukkan ke dalam
peti, melainkan dililit oleh kain sangat cukup tebal.Biasanya disebut di
balun oleh masyarakat Toraja. Orang yang biasanya dikuburkan dengan
cara itu hanya dimasukkan ke dalam lubang kuburan batu.
Dan yang terakhir adalah patane. Patane adalah sebuah kuburan
yang berbentuk seperti rumah kecil dan memiliki pintu yang biasanya
ukurannya disesuaikan.Orang yang dikuburkan ke dalam patene terlebih
dahulu dimasukkan ke dalam peti.Ada peti yang berbentuk segi empat dan
ada yang berbentu bundar dan diukir dengan ukiran Toraja.Ada juga yang
polos.Semua jenis kuburan Tersebut ada di Ke’te Kesu.
3. Pasar Bolu
Pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara merupakan salah satu
pasar yang memiliki ciri khas tersendiri di kabupaten Toraja Utara.Pasar ini
sejak zaman dahulu terus mengalami perkembangan seiring dengan
meningkatnya kegiatan pemasaran dan perdagangan ternak.

Geografi Budaya Page 14


Pasar hewan Bolu terletak di wilayah Bolu, kecamatan Tallunglipu,
Kabupaten toraja Utara. Secara Geografis terletak antara 02°57'42.9"LS
dan 119°54'40,2"BT dengan elevasi 796mdpl. Pasar hewan ini memiliki
letak yang sangat strategis bagi masyarakat karena sarana dan prasarana
untuk mencapai wilayah atau lokasi tersebut sangat mendukung, seperti
sarana transportasi angkutan umum maupun prasarana jalan yang cukup
baik.Adapun luas pasar hewan Bolu yaitu ±500 m2.
Letak geografis pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara yang
menjadi lokasi penelitian yaitu :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Buntu Tallunglipu
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Rantepaku
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tagari
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tallunglipu
Saat ini keberadaan pasar hewan bukan hanya sebagai salah satu
sumber pandapatan asli daerah yang bersumber dari pemungutan retribusi
pasar, akan tetapi juga sebagai objek wisata bagi wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Hal ini tidak terlepas dari keunikan-keunikan yang
terjadi dalam pemasaran ternak atau hewan yang sangat berbeda dengan
pemasaran ternak atau hewan di daerah-daerah atau wilayah lain.
Pasar ini, khususnya memperdagangkan atau memasarkan hewan
ternak sehingga di kenal dengan nama pasar hewan bolu. Aktifitas
pemasaran hewan ternak kerbau ini berlangsung selama lima kali dalam

Geografi Budaya Page 15


sebutan. Adapun beberapa jenis ternak atau hewan yang di pasarkan yaitu
antara lain ternak kerbau lokal dan ternak kerbau asal daerah lain, serta
ternak babi.
Ternak kerbau merupakan salah satu ternak yang dominan di
pasarkan di pasar hewan Bolu disebabkan karena ternak kerbau merupakan
salah satu ternak yang memiliki arti ekonomis dan nilai sosial yang cukup
tinggi karena dugunakan pada berbagai kegiatan budaya maupun ritual
keagamaan masyarakat Tana Toraja.
Aktivitas perdagangan ternak kerbau dan ternak-ternak lainya di
pasar hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara berlangsung setidaknya 5 atau 4
kali dalam sebulan. Aktifitas jual beli atau transaksi bali kerbau di pasar ini
mulai pada jam 06.00 sampai selesai.
Aktifitas perdagangan ternak kerbau maupun ternak lainya seperti
ternak babi, ayam dan lain sebagainya yang sangat unik tersebut menjadi
salah satu daya tarik wisatawan baik mancanegaramaupun wisatwan
domestik. Hal ini menjadi salah satu sumber pedapatan asli daerah
Kaupaten Toraja Utara.
Salah satu ternak besar yang bernilai ekonomis yaitu Kerbau
(Bubalus Bubalis).Kerbau adalah binatang yang cukup banyak
diperjualbelikan di Toraja karena seringnya diadakan pesta orang mati.Ada
jenis kerbau yang sangat unik dan hanya terdapat di Toraja yaitu kerbau
belang.Orang Toraja menyebutnya Tedong Bonga.Tedong Bonga ini hanya
terdapat di Toraja Utara dan tidak terdapat di belahan manapun di dunia ini.
Walapun hal ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah namun hingga
sekarang memang belum pernah ada orang yang melihat Tedong Bonga
selain di Toraja. Tedong Bonga ini juga harganya jauh lebih mahal dari
kerbau biasa.
Pengaruh kerbau yang berlangsung turun-temurun demikian dalam
sehingga alam pikiran orang Toraja begitu didominasi oleh
kerbau.Langgengnya tradisi kedekatan dengan kerbau ini ditopang oleh
mitos seputar asal usul kerbau yang demikian berpengaruh terhadap benak

Geografi Budaya Page 16


pemikiran dan sikap orang Toraja tentang kerbau.Kerbau dapat dikatakan
bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Walaupun secara umum
kerbau mempunyai nilai sosial tinggi, namun orang Toraja mempunyai cara
menilai kerbau mereka. Tinggi rendahnya nilai kerbau tergantung pada
mutu kerbau menurut penilaian yang berlaku umum, dan nampaknya sudah
dipakai turun temurun sejak jaman nenek moyang.Penilaian ini juga
berlaku bagi para pedagang kerbau saat ini dalam menentukan harga.Secara
umum, orang Toraja menilai kerbau dari tanduk, warna kulit dan bulu, dan
postur, serta tanda-tanda di badan. Mutu kerbau dapat dilihat dalam cara
orang Toraja sendiri mengelompokkan kerbau berdasar jenis yang mereka
kenal. Salah satu bukti demikian pentingnya kerbau dalam kebudayaan
orang Toraja adalah dengan adanya sejumlah kategori dari berbagai macam
jenis kerbau.
Tanduk kerbau menentukan nilainya.Namun, peran tanduk bagi
kerbau jantan lebih penting dibandingkan pada kerbau betina.Biasanya
ukuran dan bentuk tanduk kerbau betina tidak terlalu
diperhitungkan.Tidaklah demikian dengan kerbau jantan.tanduk kerbau
menjadi alat dekoratif yang bermakna dalam masyarakat. Di rumah-rumah
tongkonan tanduk kerbau disusun di depan rumah, sebagai simbol status
seseorang atau tongkonan.Nilai satu kerbau muda ditentukan oleh panjang
tanduknya. Semakin panjang maka semakin berharga. Harga otomatis akan
turun bila terdapat cacat pada tanduknya, atau bentuknya tidak proporsional
dengan badan kerbau. Ukuran ini dipakai dalam transaksi yang memakai
kerbau.Umumnya, kerbau dipakai sebagai alat pembayaran dalam transaksi
jual beli tanah sawah atau kebun, gadai dan dalam pesta kematian.
Selain ukurannya, bentuk tanduk juga mempunyai arti penting dalam
memberi nilai pada kerbau. Orang Toraja membedakan bentuk tanduk
sebagai berikut:
a. Tanduk tarangga yaitu tanduk yang keluar dan membentuk
setengah lingkaran. Jenis ini sangat umum di Toraja.Untuk
kerbau jantan, jenis ini sangat kuat dalam adu kerbau.

Geografi Budaya Page 17


b. Tanduk pampang yaitu tanduk yang keluar melebar dan
cenderung panjang. Tanduk jenis ini biasanya terbentuk dari
kerbau balian.Kerbau yang buah pelernya sengaja dilepas untuk
memperindah tanduk.
c. Tanduk sikki’ yaitu tanduk yang arahnya hampir sama dengan
tarangga namun cenderung merapat bahkan ujungnya nyaris
bertemu.
d. Tanduk sokko yaitu tanduk yang arahnya turun ke bawah dan
hampir bertemu di bawah leher. Dengan warna tertentu nilainya
menjadi sangat mahal.
e. Tekken Langi’ yakni tanduk yang mengarah secara berlawanan
arah, satu ke bawah dan satu ke atas.
f.
4. Tongkonan Palawa

1. Gambaran umum wisata tongkonan di Palawa’


Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja.Atapnya
melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini
sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat
deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur
dan dapur.Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan
mayat.Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-
sama).Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam
masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan

Geografi Budaya Page 18


terdapat lumbung padi, yang disebut “alang”. Tiang-tiang lumbung padi
ini dibuat dari batang pohon palem (bangah) saat ini sebagian sudah
dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain
bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk
menyelesaikan perkara.
Tongkonan Palawa’ adalah salah satu tongkonan yang berada di
antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut
didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian
depan rumah adat. Terletak sekitar 12 Km ke arah utara dari Rantepao.
Antara 2º54'26,0"LS dan 119º56'22"BT, dengan elevasi 880 mdpl.
Tongkonan ini mengandung nilai sejarah yang tinggi.Ratusan
kegiatan adat sudah terselenggara di tempat ini, terutama Rambu Solo’
(Prosesi pemakaman).Pajangan tanduk tedong (Tanduk Kerbau) yang
disusun di tulak somba (tiang penyangga) Tongkonan menjadi saksi
bisu atas semua prosesi itu.
Di objek wisata ini terdapat usaha penenunan kain asli Toraja
yang dilakukan oleh keluarga yang berasal dari Tongkonan ini.Para
penenun menjualnya di kios-kios yang berada di sekeliling objek wisata
ini.
Sementara di beberapa kios juga ditawarkan patung-patung dan
ukiran asli Toraja serta hasil tenunan dengan harga pernak-pernik. “
Di beberapa kios pula terdapat beberapa motif yang bernuansa
Bali dan Dayak.Menurut penjaga toko pernak-pernik itu dibuat dari
bahan lokal Toraja hanya saja motifnya mereka tiru dari motif Bali dan
Dayak.
2. Sejarah singkat tongkonan Palawa’
Dahulu kala seorang lelaki dari Gunung Sesean bernama
“Tomadao” bertualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan
seorang gadis dari gunung Tibembeng bernama “Tallo’ Mangka
kalena”. Mereka kemudia menikah dan bermukim di sebelah timur
desa Palawa’ sekarang ini yang bernama Kulambu.Dari perkawinan ini

Geografi Budaya Page 19


lahir seorang anak laki-laki bernama Datu Muane yang kemudian
menikahi seorang perempuan bermana Lai’ Rangri’.Kemudian mereka
beranak pinak dan mendirikan sebuah kampong yang sekaligus
berfungsi sebagai benteng pertahanan.Apabila ada peperangan antara
kampung dan ada lawan yang menyerang dan dikalahkan.dibunuh,
maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang dan disebut
pa’lawak. Pada pertengahan abad ke-11 berdasarkan musyawarah
adat disepakati mengganti nama Pa’lawak menjadi Palawa’. Palawak
sebagai suatu kompleks perumahan adat dan bukan lagi daging
manusia yang dimakan tetapi digantin dengan ayam dan disebut
Pa’lawa’ manuk.
Keturunan Datu Muane secara berturut-turut membangun
tongkonan di Palawa’. Sekarang ini terdapat sebelas tongkonan (rumah
adat) yang urutannya sebagi berikut (dihitung dari sebelah Barat) :
1. Tongkonan Salassa’ dibangun oleh Salassa’
2. Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne’ Patan
3. Tongkonan Ne’ Niro dibangun oleh Patangke dan Sampe Bungin
4. Tongkonan Ne’ Darre dibangun oleh Ne’ Matasik
5. Tongkonan Ne’ sapea dibangun oleh Ne’ Sapiah
6. Tongkonan Katile dibangun oleh Ne’ Pipe
7. Ne’ Malle dibangun oleh Ne’ Malle
8. Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Patampang
9. Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
10. Tongkonan Ne’ Babu’ dibangun oleh Ne’ Babu’
11. Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne’ Ta’pare
Sebagaimana layaknya tongkonan di Toraja, maka tongkonan
Palawa’ juga memiliki Rante yang disebut Rante Pa’padanunan dan
Liang tua (kuburan batu) di Tiro Allo dan Kamandi.Selain tongkonan
juga dibangun Lumbung atau alang sura’ (tempat penyimpanan padi)
sebanyak 5 buah.

Geografi Budaya Page 20


5. Loko mata

Lo'ko' Mata adalah sebuah kuburan atau tempat pemakaman yang


terbuat dari batu yang sangat besar. Sejak beberapa tahun lalu masyarakat
setempat telah menggunakan batu raksasa ini sebagai tempat pemakaman.
Diberi nama Lo’ko’ Mata karena kuburan batu besar dari alam
sangat menyerupai kepala manusia dan pahat lubang seperti sejumlah mata
di salah satu batu besar. batu besar ini mulai digunakan sebagai Liang
(makam) sekitar 1700-350 tahun lampau. liang dengan cara dipahat ini
awalnya dimulai oleh seorang yang bernama Pongrangga yang berasal dari
wilayah dataran rendah di sekitar Kota Rantepao, sekarang diperkirakan
dari Desa Kondongan sekitar Tahun 1600_an, mula-mula datang ke Daerah
Pegunungan di Lembah Gunung Sesean untuk membuka daerah hutan
untuk dijadikan lokasi Perkebunan/Persawahan.
Acara Ma’nene di Lo’komata berlansung 5 hari diawali dengan
kebaktian di gereja yang tidak jauh dari lokasi kubur batu, dengan
memukul gong yang diringi keluarga jenazah menuju ke liang. Kegiatan
hari pertama adalah pembersihan lokasi liang dan mebuat tangga agar peti
jenazah bisa di turunkan. Hari kedua dan hari ketiga penurunan jenazah,
membuka peti jenazah dan mengganti pakaian jenazah. Hari ke empat,
menaikkan kembali peti jenazah dan menyusun peti dalam satu liang sesuai
dengan marga dari keluarga yang ada di Lo’komata. Hari kelima yaitu
makan bersama yang ditandai dengan pemotongan kerbau dan babi, taka

Geografi Budaya Page 21


ada aturan dengan jumlah kerbau atau babi yang harus dipotong, itu
tergantng sponsor, kata bapak Luther Allo Sariran dari keluarga Bapak
sariran dan Mama’ Rante Datu. Dihari kelima ini juga diadakan acara
Ma’Semba’ yaitu adu betis antara masyarakat yang ada dan yang mau
berpartisipasi.
Menurut bapak Luther, biaya pembuatan satu liang ukuran 2X2
meter sama dengan harga 5 ekor kerbau biasa. Waktu pembuatannya paling
cepat 3 bulan dan paling lama setahun, tergantung serviss keluarga
pemesan kepada pembuat liang ini. Assumsi harga kerbau sekarang sekitar
15 jutaan maka biaya pembuatan yang harus dikeluarkan sebesar 75 juta,
belum biaya tambahan
6. Kalimbung bori

Rante Kalimbuang merupakan kawasan utama di Bori’ Kalimbuang,


Sesean, Toraja Utara. Rante menjadi tempat upacara pemakaman adat atau
Rambu Solo’ yang dilengkapi dengan menhir-menhir yang dikenal dalam
bahasa Toraja sebagai simbuang batu. Di Tana Toraja sebenarnya banyak
ditemukan situs megalith seperti ini. Di Bori Kalimbuang, menhir didirikan
demi menghormati pemuka adat atau keluarga bangsawan yang meninggal.
Bebatuan menhir ini ada yang berusia hingga ratusan tahun.
Untuk membangun menhir di Bori Kalimbuang, masyarakat harus
mengadakan suatu upacara adat yang dinamakan Rapasan Sapurandanan.
Dalam upacara ini, kerbau yang dikurbankan minimal sejumlah 24 ekor.
Jumlah yang dikorbankan sesungguhnya tidak berdampak pada ukuran
tinggi dan besar menhir. Sama saja nilai adatnya. Tetapi sekarang, banyak
orang yang menganggap semakin tinggi dan besar menhir yang didirikan,
maka semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Barangkali benar juga.
Pada menhir-menhir yang tinggi, saya amati batuannya masih tampak baru.

Geografi Budaya Page 22


7. Baby grave kambira

Kuburan bayi (Baby Grave) ini menempati lubang-lubang batang


Pohon Tara’, yang mengandung getah. Getah inilah yang dianggap dapat
mengganti makanan bagi jasad Sang Bayi, yang meninggal sebelum umur 6
bulan atau belum tumbuh gigi. Tradisi kubur bayi ini sudah lama tidak
diterapkan lagi. Kompleks kubur bayi lain yang lebih tua ada di Kambira.
Masyarakat setempat memperkirakan Baby Grave ada sekitar 100-300
tahun yang lalu.Anggapan masyarakat inilah yang membuat Baby Grave
semakin digemari para pengunjung karena umur Baby Grave yang
dianggap sudah cukup tua membuat para wisatawan semakin penasaran
untuk mengunjungi tempat wisata tersebut. Masyarakat setempat juga
sangat menjaga kelestarian lingkungan Baby Grave karena tempat tersebut
dianggap sebagai warisan dari nenek moyang atau orang-orang terdahulu
tana toraja yang harus dijaga dan dilestarikan serta diabadikan
keberadaannya.
8. Tongkonan Layuk Kaero
Tongkonan Layuk yang dikenal oleh masyarakat Toraja dan sekitarnya
adalah Tongkonan Layuk Kaero karena dari sini banyak muncul raja-raja
yang mengembara ke daerah lain di sekitar Sulawesi Selatan. Salah satunya

Geografi Budaya Page 23


adalah Puang Lakipadada yang kemudian mengembara ke kerajaan Gowa
dan kawin dengan putrid raja dan mempunyai tiga orang anak, yaitu :
Puang Pattala Merang Menetap di Kerajaan Gowa, Puang Pattala Bantan
kembali ke Tondok Lepongan Bulan dan menetap di Tongkonan Layuk di
Kaero), Puang Pattala Bunga yang menikah dengan putri Raja Luwu-
Palopo. Dalam perkembangan politik dan sosial selanjutnya di Tondok
Lepongan Bulan Tana Matarik Allo terjadi kesalahpahaman antara Puang
Bullu Matua dari Tongkonan Pantan di Makale dengan Puang Tempang
dan Tangdiara yang berkedudukan di Tongkonan Layuk Kaero. Dalam
perselisihan tersebu peperangan tidak dapat dihindari, Sangalla kalah dan
Tongkonan Layuk dikuasai oleh Puang Bullu Matua.

Sebagai upaya untuk mengisi kekosongan pemerintahan dan


penguasa adat pada saat itu, maka Puang Tempang dan Tandiara digatikan
oleh sepupunya Puang Datu Baine yang juga istri dari Puang Bullu Matua.
Oleh karena itu Tongkonan Layuk bergelar. Tongkonan Datu Baine.
Sepeninggal Datu Baine, digantikan oleh suaminya Puang Bullu Matua
yang kemudian membagi daerah kebangsawaanan yang bergelar Tondok
Kabusungan menjadi tiga federasi tetapi tetap satu wilayah adat dan budaya
yang disebut Tallu Lembangna meliputi Mengkendek yang bergelar Basse
Adinna, Sangalla bergelar Basse Tangngana, dan Makale bergelar

Geografi Budaya Page 24


Basse Kakanna. Hal itu dilakukan sebagai upaya menghindari
terjadinya peperangan antara saudara di wilayah ini. Munculnya dan pusat
pemerintahan di Palodang adalah Tongkonan Layuk Kaero yang bergelar
Tongkonan To Kabarrean Alloan To Nakalindo Bulanan.
9. Suaya

Kuburan Batu Suaya merupakan persembahan kepada Puang


Tamboro Langi’ dan keturunannya. Puang Tamboro Langi’ merupakan
pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Kalindobulanan Lepongan Bulan
(Tana Toraja).
SUAYA adalah kuburan Raja-raja Sangalla.Kuburan ini berada di satu
sisi dinding bukit cadas yang dipahat dan dibentuk kantung-
kantung.Patung-patung (tau-tau) para raja dan keluarga raja diberi pakaian
seperti pakaian saat mereka hidup dulu.
Lokasi Obyek Situs pemakaman gua Suaya terletak 23 kilometer di
sebelah selatan kota Rantepao atau lima kilometer sebelah barat kota
Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Gua-gua itu terletak cukup tinggi dari permukaan tanah.Sebagai
tempat bersemayamnya raja, masyarakat sekitar telah menjadikannya
tempat ziarah rutin.Sebagaimana tradisi mereka yang sangat menghormati

Geografi Budaya Page 25


orang-orang besar dan para leluhur.Tersedia tangga batu yang memudahkan
wisatawan untuk melihat-lihat ke dalamnya.
Warga sekitar menyebutkan, tangga batu itu sudah ada sejak raja-
raja itu masih hidup.Digunakan oleh para raja Sangalla untuk menyendiri
dan melakukan semacam pertapaan.Banyak peninggalan para raja,
termasuk pusaka-pusaka.
Karena itu, pemerintah setempat berencana membangun sebuah
museum untuk menyimpannya.Tau-tau Suaya termasuk yang tua di
Toraja.Ada yang berusia hingga ratusan tahun.Mereka berjejer rapi di atas
tebing dengan memakai pakaian adat khas Toraja.Tau-tau seluruh
mendiang lengkap di Suaya.Di samping lubang Tau-Tau, ada beberapa
lubang dengan pintu kayu yang di dalamnya jasad-jasad darah biru Sangalla
ini ditaruh untuk dimakamkan.
Di Lihat di bawahnya, ada kuburan berada di tanah Itu adalah
pemakaman bagi bangsawan Sangalla yang beragama Islam. Tertulis di
nisan putih bernama Haji Puang Lai Rinding. Lahir tahun 1905, wafat 23
April 1988. Makam Islam adalah keunikan yang menjadikan Suaya
berbeda dibandingkan kuburan batu lain di Toraja.
Haji Puang Lai Rinding adalah bangsawan Toraja yang merantau
keluar dari Tana Toraja. Kemudian dia memeluk Islam hingga berhaji ke
Mekkah.Meski demikian, sebagai orang Toraja, dia tetap menghormati
leluhurnya dengan berpesan dikuburkan di tanah asalnya.Sebaliknya, orang
Toraja juga menghormati agama Islam yang dianut bangsawan Lai Rinding
ini.Penguburan di atas tanah adalah sebuah komunikasi yang
mengedepankan toleransi dalam masyarakat Toraja.alam, budaya, catper,
sulawesiselatan, wisata.
Pesta Rambu Solo paling besar dan meriah adalah saat pemakaman
Raja Sangalla terakhir, Puang Lasso Rinding atau yang dikenal Puang
Sangalla’, pada tahun 1972. Saat itu juga Rambu Solo Puang Sangalla
didokumentasikan oleh National Geographic sehingga menjadikan Tana
Toraja mulai masyhur di dunia internasional.Semenjak itu, banyak

Geografi Budaya Page 26


wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang ke Toraja dan menyaksikan
upacara Rambu Solo.
Kuburan Batu Suaya merupakan persembahan kepada Puang
Tamboro Langi’ dan keturunannya.Puang Tamboro Langi’ merupakan
pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Kalindobulanan Lepongan Bulan
(Tana Toraja).Menurut hikayat, dia turun dari langit di puncak Gunung
Kandora di Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja pada pertengahan abad 4
M.
Selanjutnya oleh keturunannya, yakni Puang Bullu Mattua,
Kerajaan Lepongan Bulan dibagi menjadi tiga Kerajaan yaitu Makale,
Sangalla’, dan Mangkendek.Pembagian ini dilakukan di atas suatu landasan
sumpah yang disebut Basse Tallu Lembangna.Ketiga kerajaan ini berkuasa
penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-masing.Pemimpinnya
disebut Puang Basse Kakanna Makale, Puang Basse Tanganna Sangalla’
dan Puang Basse Adinna Mengkendek.
Meski demikian, secara simbolis ada Puang Tomatasak
Kalindobulanan Lepongan Bulan yang selalu dijabat oleh Puang Basse
Tanganna Sangalla’ selama 13 periode mulai dari Puang Palodang sampai
Puang Laso’Rinding (Puang Sangalla’).Kerajaan Sangalla mewarisi asli
Lepongan Bulan karena Tongkonan Layuk Kaero yang merupakan Istana
Lepongan Bulan dibangun oleh Puang Patta La Bantan itu berada di
wilayah Sangalla’.
Hadir di Suaya, seperti melemparkan saya kepada sejarah panjang
Tana Toraja. Khususnya masa lalu Kerajaan Sangalla.Namun, matahari
perlahan beranjak naik.Sudah mulai menuju siang.Saya melangkahkan kaki
kembali ke tempat parkir.Melangkahkan kaki kembali ke masa kini.Terjaga
lagi pada kesadaran untuk menjelajahi khasanah Toraja. Masih banyak
destinasi Toraja yang lain.
4.3 Upacara Adat Tana Toraja
Di wilayah Toraja terdapat upacara adat yang terkenal dan tidak ada duanya di
dunia, yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara

Geografi Budaya Page 27


Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', juga acara upacara Ma'nene'. Dan Upacara
Adat Rambu Tuka.
Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo'
diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam
ragamnya.
a. Rambu tuka’

Upacara adat Rambu Tuka' adalah acara yang berhungan dengan


acara syukuran.Misalnya acara pernikahan, syukuran panen, dan peresmian
rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi;
menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan
kekeluargaan di Toraja sangat kuat. Semua upacara tersebut dikenal dengan
nama Ma'Bua', Merok, atau Mangrara Banua/Sura'. Untuk upacara adat
Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari: Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga',
Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra',
Panimbong dan lain-lain.
Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, Pa'barrung, Pa'pelle'. Musik dan
seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu
ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.

b. Rambu solo’ (Upacara Pemakaman)


Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun
temurun ini, mewajibkan keluarga yang ditinggal membuat sebuah pesta
sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Namun dalam Pelaksanaannya, upacara Rambu Solo terbagi dalam
beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja,
yakni:
a. Dipasang Bongi: Upacara yang hanya diiaksanakan dalam satu malam.
b. Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan
dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan.
c. Dipalimang Bongi: Upacara pemakamanyang berlangsung selama lima
malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan.

Geografi Budaya Page 28


d. Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh
malam yang setiap harinya ada pemotongan hewan.
Biasanya pada upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentan
waktu sekurang kurangnya setahun. Upacara yang pertama disebut Aluk
Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan
keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante
biasanya dilaksanakan disebuah "lapangan Khusus" karena upacara yang
menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai
ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Mebalun (membungkus
jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak
pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung
untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung
jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Tidak hanya ritual adat yang dapat dijumpai dalam Upacara Rambu
solo, berbagai kegiatan budaya yang begitu menariknya dapat
dipertontonkan dalam upacara ini, antara lain :
a. Mapasilaga tedong (Adu kerbau), perlu diketahui bahwa kerbau di Tana
Toraja memiliki ciri yang mungkin tidak dapat ditemui didaerah lain,
mulai yang memiliki tanduk bengkok kebawah sampai dengan kerbau
berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai
tinggi harganya sampai ratusan juta;
b. Sisemba (Adu kaki). Biasanya diadakan sehabis panen.
c. Tari tarian yang berkaitan dengan rambu solo’: Pa'Badong, Pa'Dondi,
Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong;
Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan
Unnosong.; Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas
masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya
dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan
pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Menjelang usainya
Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan

Geografi Budaya Page 29


syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya
upacara pemakaman Rambu Solo'.

Geografi Budaya Page 30


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Menanggung derita bersama merupakan kewajiban moral
masyarakat Toraja dan upacara pemakaman tetap penting untuk tujuan
itu. Karena pentingnya makna sosial politik, tidak ada tanda-tanda
kebiasaan itu akan punah.
Penetapan Harga Jual Kerbau di Pasar Hewan Bolu Kecamatan
Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara dengan tiga karakteristik kerbau yaitu
tanduk, warna, dan letak pusaran bulu.
Toraja sendiri memiliki sejarah-sejarah yang begitu unik. Ini dapat kita
lihat dari tempat-tempat wisatanya, seperti:
1. Tongkonan papa batu
2. Tongkonan Kete’ Kesu
3. Pasar Bolu
4. Tongkonan Palawa
5. Loko mata
6. Kalimbung bori
7. Baby grave kambira
8. Tongkonan Layuk Kaero
9. Suaya

5.2 Saran
Tanah toraja terkenal akan adat istiadat masyarakatnya yang masih kental dan
tempat – tempat wisatanya yang unik. Saran agar hal tersebut tetap di pertahankan dan
makin di lestarikan.

Geografi Budaya Page 31


DAFTAR PUSTAKA

Anonim,2010. Menyambangi Tongkonan Tertua Di Tana Toraja


https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/menyambangi-
tongkonan-tertua-di-tana-toraja
Ariyanto Bakti Pangala. 2012. Makalah: Adat dan Budaya Toraja. Sma Kristen
Barana
Harmanto,Nana.2011. Papa Batu Tongkonan
https://nanaharmanto.wordpress.com/2011/09/07/papa-batu-tongkonan-
beratap-batu
Iqbal Kautsar, 2013. Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik Nan Eksotik
http://www.iqbalkautsar.com/2013/03/jelajah-toraja-viii-bori-
kalimbuang.html
Iqbal Kautsar, 2013. Tana Toraja (Bagian Iii), Suaya King's Grave
http://www.iqbalkautsar.com/2013/01/tana-toraja-bagian-iii-suaya-
kings.html
Kobong, Theodorus, 2008, Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Konteks- tualisasi,
Transformasi, PT. BPK-Gunung Mulia, Jakarta
Misa Kada, 2017. Toraja Eksotis.
http://torajaeksotis.blogspot.com/2017/08/fungsi-dan-klasifikasi-
tongkonan-dalam.html
Rahardi, 2009. Percampuran Agama di Suaya
https://rahardi.com/percampuran-agama-di-suaya/

Geografi Budaya Page 32

Anda mungkin juga menyukai