Anda di halaman 1dari 13

Suku Toraja : Sejarah, Asal-Usul, Karakter dan Kebudayaan

Suku Toraja : Sejarah, Asal-Usul, Karakter dan Kebudayaan – Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok
etnis utama yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar, dan suku Toraja. Ke empat suku tersebut
memiliki cirri khas yang berbeda seperti penjelasan Suku Toraja, Sejarah, Asal-Usul, Karakter dan
Kebudayaan berikut ini.

Daftar isi
A. Sejarah dan Asal-Usul
B. Karakter Suku Toraja
1. Bahasa Suku Toraja
2. Kepercayaan Suku Toraja
3. Filosofis Hidup Suku Toraja
4. Kelas Sosial Suku Toraja
C. Kebudayaan Suku Toraja
1. Upacara-Rambu-Solo
1.1 Tujuan Upacara Rambu Solo
1.2 Arti Upacara Rambu Solo
1.3. Puncak Upacara Rambu Solo
3. Kesenian Sejarah Suku Toraja
D. Pakaian Adat Suku Toraja
1. Pakaian Adat Pria
2. Pakaian Adat Wanita
E. Warisan
1. Rumah Adat
Bagian Utara
Ruang Selatan
Ruangan Tengah
Akhir kata dan penutup

A. Sejarah dan Asal-Usul


Menurut beberapa sumber kata toraja berasal dari bahasa Bugis yaitu to riaja, yang berarti “orang yang
berdiam di negeri atas”. Suku ini adalah suku yang penduduknya menetap di pegunungan bagian utara
Provinsi Sulawesi Selatan. Agama yang dianut oleh mayoritas penduduk suku Toraja adalah Kristen, dan
sebagian penduduknya beragama Islam.

Tetapi ada juga yang menganut ajaran animisme yang biasa disebut Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia
telah mengakui keyakinan ini dan menganggap keyakinan ini sebagai agama Hindu Dharma.

Ketika Indonesia dikuasai oleh Kolonial Belanda yaitu pada tahun 1909. Kolonial Belanda menyebut suku
ini sebagai Suku Toraja. Sebelum abad ke 20, suku ini sama sekali belum tersentuh oleh dunia luar dan
masih menganut keyakinan animisme. Saat itu suku ini masih tinggal di desa-desa otonom. Kedatangan
Belanda di awal tahun 1900an memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Kristen.
Ritual Ma’Nene Tradisi Unik Warisan Leluhur Toraja
Kearifan Lokal Suku Toraja Dan Tradisi Uniknya
Tradisi Meletakkan Mayat Di Atas Tanah Trunyan, Bali
Seiring berjalannya waktu suku ini semakin terbuka terhadap dunia luar yaitu pada tahun 1970an.
Setelah itu Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Sejak tahun 1990an masyarakat Toraja
mengalami transformasi budaya. Masyarakat Toraja yang tadinya menganut keyakinan animisme
sekarang sudah berganti menjadi masyarakat beragama Kristen.

B. Karakter Suku Toraja


Toraja memiliki karakter yang kuat seperti budaya dan adat istiadat nya yang sudah tersohor hingga
Internasional.

1. Bahasa Suku Toraja


Sa’dan Toraja
Kalumpang
Mamasa
Tae
Talondo
Bahasa sehari-hari suku Toraja adalah Sa’dan Toraja dan menjadi dialek utama. Bahasa Toraja memiliki
berbagai ragam, yaitu Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’, dan Toraja Sa’dan. Ciri-ciri khas dari
bahasa suku Toraja yaitu gagasan tentang kematian dan duka cita. Bahasa Toraja digunakan sebagai
sebuah media ekspresi duka cita dan ditujukan untuk mengurangi penderitaan akibat duka yang
diderita. Bahasa Toraja juga masuk ke dalam kurikulum sekolah dasar di Tana Toraja.

2. Kepercayaan Suku Toraja


Kristen
Islam
Hindu dharma
Suku Toraja secara mayoritasnya menganut kepercayaan Kristen. Sebagian lainnya menganut agama
Islam dan kepercayaan animisme politeistik yang bernama Aluk To Dolo yang telah diakui oleh
pemerintah Indonesia sebagai bagian dari agama Hindu Dharma. Aluk To Dolo diartikan sebagai jalan
atau hukum bagi suku Toraja. Dikisahkan dalam mitos di suku Toraja bahwa leluhur suku Toraja berasal
dari surga.

Leluhur Suku Toraja turun ke bumi dengan menggunakan tangga, lalu tangga tersebut digunakan oleh
suku Toraja sebagai media untuk berhubungan dengan Puang Matua sang dewa pencipta. Dewa lain
dalam suku Toraja antara lain Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Belo Tumbang (dewi
pengobatan), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), dan Pong Lalondong (dewa kematian).

3. Filosofis Hidup Suku Toraja


Tallu Lolona
Suku Toraja memiliki falsafah hidup yang disebut Tallu lolona. Tallu lolona berarti tiga kehidupan yang
meliputi kehidupan manusia, kehidupan hewan, dan kehidupan lingkungan. Suku Toraja sangat menjaga
hubungan harmonis dengan sesama makhluk dan hubungan harmonis dengan Yang Maha Kuasa.

Selain itu, suku Toraja juga mempunyai filosofis hidup lain yang disebut tau. Tau merupakan empat pilar
utama dalam kehidupan yang menjadi pedoman bagi suku Toraja. Empat pilar tersebut adalah sugi’
(kaya), barani (berani), manarang (pintar) dan kinawa yang bermakna berhati mulia. Seorang dari suku
Toraja dapat disebut sebagai tau, apabila mengamalkan keempat pilar tersebut.

4. Kelas Sosial Suku Toraja


Bangsawan
Orang Biasa
Budak
Kelas sosial dalam suku Toraja dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu bangsawan, orang biasa, dan budak.
Berbeda dengan suku bangsa di Pulau Jawa yang menganut adat patrilineal, suku Toraja menganut adat
matrilineal yang mengatur kelas sosial berdasarkan keturunan ibu. Adat di suku Toraja tidak
memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan dari kelas sosial yang lebih rendah,
namun laki-laki dari suku Toraja diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas sosial yang lebih tinggi.
Hal ini dilakukan agar laki-laki dapat meningkatkan kelas sosial pada keturunannya.

C. Kebudayaan Suku Toraja


1. Upacara-Rambu-Solo
1.1 Tujuan Upacara Rambu Solo
Rambu Solo adalah sebuah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja. Upacara tersebut
mempunyai tujuan dimana digunakan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang sudah
meninggal dunia menuju alam roh. Memiliki arti bahwa orang yang sudah meninggal akan kembali pada
keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan.

1.2 Arti Upacara Rambu Solo


Upacara ini juga sering dikenal sebagai upacara penyempurnaan kematian. Hal ini dikarenakan orang
yang meninggal baru bisa dianggap benar-benar meninggal, jika setelah seluruh prosesi upacara ini
dilengkapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau
lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan
diberi hidangan makanan dan minuman bahkan selalu diajak berbicara.

1.3. Puncak Upacara Rambu Solo


Puncak dari upacara Rambu solo adalah dilaksanakan disebuah lapangan khusus upacara. Dalam
upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual, seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan
ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke lumbung untuk
disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
3. Kesenian Sejarah Suku Toraja
Tanah toraja adalah salah satu daerah yang terkenal akan ukirannya dan kesenian ini menjadi kesenian
khas suku bangsa Toraja di Sulawesi Selatan. Ukiran dibuat menggunakan alat ukir khusus di atas sebuah
papan kayu, tiang rumah adat, jendela, atau pintu.

Bukan sembarangan ukiran, setiap motif ukiran dari Tana Toraja mempunyai nama dan makna khusus.
Kerapian, keteraturan serta ketertiban adalah ciri umum dalam ukiran kayu Toraja. Selain Kerapian,
keteraturan serta ketertiban, ukiran Tana Toraja juga memiliki sifat abstrak dan geometris. Ornament
Toraja sering menjadikan Tumbuhan dan hewan sebagai dasar ornament.

D. Pakaian Adat Suku Toraja


Toraja memiliki pakaian adat khusus pria dan wanita berikut penjelasannya.
pakaian adat sejarah suku toraja
pakaian adat sejarah suku toraja (img via skyscanner.co.id)
1. Pakaian Adat Pria
Untuk Pakaian adat pria Toraja sering dikenal dengan Seppa Tallung Buku. Pakaian ini berupa celana
yang mempunyai panjang sampai di lutut. Pakaian ini masih dilengkapi dengan asesoris lain, seperti
kandaure, lipa’, gayang dan sebagainya.

2. Pakaian Adat Wanita


Baju adat Toraja disebut Baju Pokko’ untuk wanita. Baju Pokko’ berupa baju dengan lengan yang
pendek. Warna yang paling sering mendominasi pada pakaian adat Toraja adalah warna kuning, merah,
dan putih. Baju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi
penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang.

E. Warisan
Suku Toraja adalah salah satu suku di Negara Indonesia yang mempunyai keunikan yang beragam dalam
setiap adat istiadatnya. Tentu saja, dengan adanya beragam keunikan yang dimiliki, Suku Toraja pasti
memiliki warisan yang turun-temurun. Warisan dari suku Toraja diantaranya :

1. Rumah Adat
Tongkonan merupakan Rumah adat Toraja yang memiliki keunikan dalam bentuk dan juga fungsinya.
Rumah Tongkonan suku Toraja digunakan untuk menyimpan jasad anggota keluarga.

Komponen dari rumah adat Toraja Tongkonan secara umum sama seperti kebanyakan rumah adat
tradisional di Indonesia yang lain yaitu terbuat dari kayu. Rumah Tongkonan biasanya terbuat dari kayu
uru. Kayu uru adalah salah satu kayu yang kuat. Rumah adat Tongkonan suku Toraja ini sama sekali tidak
menggunakan unsur besi pada proses pembangunannya. Dari sini bisa diketahui, bahwa dalam
pembangunan rumah adat ini sama sekali tidak menggunakan paku.
Pada bagian atap, Rumah Tongkonan ini terbuat dari bambu dengan memiliki bentuk yang unik. Dimana
bentuk tersebut menyerupai seperti pe

Rumah Tongkonan Toraja


Rumah Tongkonan Toraja
rahu, bentuk ini memiliki arti yang sangat pengting yaitu sebagai pengingat bahwa pada jaman dahulu
nenek moyang Tana Toraja menyeberangi Sulawesi dengan menggunakan perahu.

Selain digunakan sebagai tempat berlindung, rumah ini juga menggambarkan tentang status sosial
masyarakat Toraja. Dimana bagi Anda yang berkunjung ke Tana Toraja, maka akan sering dijumpai
banyak kepala kerbau beserta tanduknya yang dipajang pada tiang utama di setiap Rumah Tongkonan.
Semakin tinggi status sosial keluarga tersebut di kalangan masyarakat, maka akan semakin banyak pula
tanduk kerbau yang dipasang pada tiang utama Rumah Tongkonan.

Pada setiap warna yang terlukis disetiap dindingnya mempunyai arti masing-masing. Rumah adat
Tongkonan mempunyai 4 warna dasar penghias rumah yang memiliki makna tersendiri :

Warna Merah yang melambangkan darah yang artinya kehidupan manusia.


Warna Kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan dari Tuhan.
Sedangkan warna putih menggambarkan warna daging dan juga tulang yang artinya suci bersih.
Warna terakhir warna hitam melambangkan kematian dan kegelapan.
Tongkonan ini mempunyai 3 bagian rumah yaitu meliputi bagian utara, bagian tengah, dan yang terakhir
adalah bagian selatan. Selain sebagai tempat untuk berlindung atau tidur Rumah Adat Tongkonan ini
juga dianggap sebagai Ibu bagi masyarakat suku Toraja.

Bagian Utara
Biasa disebut dengan bagian “Tengolak”, Anda akan mendapati ruang tamu, tempat tidur untuk anak-
anak, serta sebagai tempat untuk menaruh sesaji. Ketika Anda bertamu ke Rumah Tongkonan ruangan
pertama yang akan Anda masuki adalah bagian Tengolak ini.

Ruang Selatan
Ruangan “Sumbung” atau ruang Selatan merupakan ruangan untuk kepala keluarga. Kepala keluarga
adalah seorang pemimpin dalam sebuah keluarga yang memiliki peran penting dan sangat dihormati.
Segala aktivitas atau aturan dalam keluarga, seorang kepala keluarga memiliki andil yang besar dalam
hal ini.

Ruangan Tengah
Ruangan Rumah Tongkonan pada bagian tengah atau yang biasa disebut dengan “Sali”. Anda akan
menjumpai jasad anggota keluarga yang telah meninggal pada ruangan ini.
Selain itu Sali juga berfungsi sebagai ruang makan, dapur, serta ruang pertemuan keluarga. Uniknya
anggota keluarga yang masih hidup tidak takut dengan adanya jasad dari anggota keluarga yang telah
meninggal.

Akhir kata dan penutup


Demikianlah ulasan mengenai sejarah suku toraja, Asal-Usul, Karakter dan Kebudayaan yang bisa kami
sampaikan. Dengan mempelajari kebudayaan suku toraja, kita bisa lebih mengenal keragaman suku
yang ada. Semoga bermanfaat.
Sejarah dan Kebudayaan Suku Toraja ( Artikel Lengkap )
Sejarah dan penjelasan kebudayaan suku Toraja. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan
bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia, tepatnya di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara,
dan Kabupaten Mamasa. Agama yang dianut mayoritas agama Kristen, dan sebagian lainnya menganut
Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Aluk To Dolo telah diakui oleh
pemerintah Indonesia sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama yaitu suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan
pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan
suku Toraja (petani di dataran tinggi).

Arti kata Toraja


Menurut beberapa sumber kata toraja berasal dari bahasa Bugis yaitu to riaja, yang berarti "orang yang
berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku
Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.

Masuknya agama kristen


Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan
belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan
menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an,
kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh
pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an
mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus
meningkat.

Sejarah
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah
tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa
Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke
dataran tinggi.

Pada abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran
tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan
yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di
Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang
menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.

Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah
kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan
menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja.
Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada
tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan
jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke
dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang
tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-
usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu
menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang
Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan
Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi
Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan
untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun
tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut
salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik,Hindu dan Buddha. Kepercayaan
asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut.
Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama
resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Masyarakat
Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga
besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara
persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek
umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu
dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling
menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai
hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar
kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman
dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa
melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa
menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,
beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui
darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan
budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang
menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang
boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan
daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga
tingkatan kelas sosial:
1. Bangsawan
2. Orang biasa
3. Budak

Namun perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelas sosial
diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah
tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk
meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat
jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat
jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di
gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa
saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian
status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan
pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status
seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah
kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja
menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa
saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi
anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau
emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan
merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang
dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara
berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia
atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan
menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang
dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah
tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-
dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian
maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendetaaluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara
satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah
jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika
ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian
masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Kebudayaan
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan
ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon
(duduk).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.
Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur
suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan
keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan yaitu :
1. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
2. Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat
dan tradisi local
3. Tongkonan batu adalah tempat tinggal anggota keluarga biasa.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang
mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang,
orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu
Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya
Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan
kecebong yang melambangkan kesuburan.

Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya
mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin
mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang
besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung
selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada
sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat
lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin,
dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan,


bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang
ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya
bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang
bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus
dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke
Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin
banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau,
termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur".
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan
lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi
merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan
dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau
digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau
biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali
di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat
petinya terjatuh.

Musik dan Tarian


Tarian suku Toraja biasa dilakukan dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan.
Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati
arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama,
sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting
dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang,
perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya.

Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan
hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi,
sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut
Ma'dondan.

Suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan
Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk
beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian
diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah
upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling
pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling ini dimainkan pada
banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria
yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik
lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika
upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Bahasa Toraja adalah bahasa yang
dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja
pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Beberapa ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-
Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya,
sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri.
Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh
bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah
penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Bahasa Toraja
mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.
Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari
peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi
penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Filosofi Tau
Masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau.
Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa
toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang
mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain:
1. Sugi' (Kaya)
2. Barani (Berani)
3. Manarang (Pintar)
4. Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana)

Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam
daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia
telah memiliki dan hidup sebagai Tau.

Anda mungkin juga menyukai