Anda di halaman 1dari 85

Ilmu Budaya Dasar

Suku Toraja

0| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
1. Wilayah Toraja

Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada
di propinsi Sulawesi Selatan yang terletak diantara 2º20´sampai 3º30´ Lintang
Selatan dan 119º30´ sampai 120º10´ Bujur Timur. "Ibukota" Tator yakni kota kecil
Rantepao adalah kota yang dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai terbesar
di Sulsel yakni sungai Sa'dan, sungai inilah yang memberikan tenaga pembangkit
listrik untuk menyalakan seluruh Makasar. Secara Sosio linguistik, bahasa Toraja
disebut bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa lain seperti Adriani dan Kruyt
menyebutnya sebagai bahasa Sa'dan. Bahasa ini terdiri dari beberapa dialek,
seperti dialek Tallulembangna (Makale), dialek Kesu (Rantepao), dialek
Mappapana (Toraja Barat).
Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah :
 Sebelah Utara : Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, Kabupaten
Mamasa
 Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
 Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
 Sebelah Barat : Kabupaten Polmas
Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km² atau sekitar 5%
dari luas propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan.
Jumlah penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari
209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata

1| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
penduduk 126 jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar
2,68% pertahun.
2. Sejarah Toraja

Tanah Toraja mempunyai nama tua yang dikatakan dalam literatur kuno
mereka sebagai "Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo"nyang berarti negeri
dengan pemerintahan dan masyarakat berketuhanan yang bersatu utuh bulat
seperti bulatnya matahari dan bulan.
Nama suku Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sindengreng dan
Luwu. Orang Sidengreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To
Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di pegunungan” sedang orang
Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya “Orang yang berdiam di sebelah
barat”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata
Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama – kelamaan
penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga
tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam Utara dan Cina Selatan, dipercaya
sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras
Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di
wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan
dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi
tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki
sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir
terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama diantara suku
Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme
sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi
penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial
Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan
dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah
Sa’dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari
kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda
memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari
suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja.
Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh

2| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi,
dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun
demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya
sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10%
orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Pada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara penduduk Muslim di
dataran rendah dengan orang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin
beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan
1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan
akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk
mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung
selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja
berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekrit presiden mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui:
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja
(aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret
tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai
bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan
sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

3. Masyarakat Toraja

3.1 Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja.
Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang
dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah
praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang
pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk
bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan
berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling
menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling
membayarkan hutang.

3| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti, penanggung jawab keluarga
adalah ayah dan diganti anak laki-laki bila meninggal sedangkan ibu hanya
mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti
garis keturunan Bilateral. Setiap desa adalah suatu keluarga besar.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak,
dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah
dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan
biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi,
paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara
kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana
Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi
tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka
sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa
desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga
diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan),
secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual.
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan
budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam
hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan
menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk,
piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging
yang diperbolehkan untuk masing-masing orang. Hukum waris Toraja.
Orang di Suku Toraja akan melakukan adopsi,walaupun mereka sudah
mempunyai anak. Hal itu dikarenakan di Suku Toraja mempunyai keyakinan
bahwa semakin banyak anak akan semakin banyak pula Toding (Kerbau) yang
akan ikut di kubur saat orang tua angkatnya meninggal dunia. Sistem Hukum
waris adat yang berlaku di Indonesia sangat beragam, antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain, juga menganut sistem kewarisan yang berbeda. Hal itu
mempengaruhi kedudukan anak angkat dalam kekerabatan orang tua kandung
dan orang tua angkat serta bagaimana pewarisannya dan juga mengenai
penyelesaian hukum bila hak anak angkat tersebut tidak terpenuhi.

4| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
3.2 Kelas Sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan
kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak
(perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda).
Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status
pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat
jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di
tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana
(pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun
di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja
tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk
menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan
perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status
seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan
dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga.
Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan
perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka,
tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan
memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan

5| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi
pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

3.3 TANA' (Kasta dalam Budaya Toraja)


Masyarakat Toraja sejak dari dahulu mengenal pula beberapa tingkatan
masyarakat yang dinamakan tana (kasta) seperti pula pada suku –suku bangsa
lain di Indonesia yang sangat mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan
kebudayaan Toraja karena sehubungan dengan lahirnya sendi – sendi kehidupan
dan aturan dalam Aluk Todolo, dan Tana’ tersebut dikenal dalam 4 (empat)
susunan atau tingkatan masing – masing :
1. Tana’ Bulaan, adalah lapisan masyarakat atas atau bangsawan tinggi
sebagai pewaris sekurang aluk, yaitu dipercayakan untuk membuat aturan
hidup dan memimpin agama, dengan jabatan puang, maqdika, dan
Sokkong bayu (siambeq).
2. Tana’ bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang
dapat menerima maluangan batang(pembantu pemerintahan adat) yang
ditugaskan mengatur masalah kepemimpinan dan pendidikan.
3. Tana’ Karurunge adalah lapisan masyarakat kebanyakan yang merdeka,
tidak pernah diperintah langsung. Golongan ini sebagai pewaris yang
menerima Pande, yakni ketrampilan pertukangan, dan menjadi Pembina
aluk todolo untuk urusan aluk petuoan, aluk tanaman yang dinamakan
Toindoq padang (pemimpin upacara pemujaan kesuburan).
4. Tana’ Kua-kua adalah golongan yang berasal dari lapisan hamba sahaya,
sebagai pewaris tanggung jawab pengabdi kepada tana’ bulaan dan tana’
bassi. Golongan ini disebut juga tana’ matuqtu inaa (pekerja), juga
bertindak sebagai petugas pemakan yang disebut tomebalun atau
tomekayu (pembuat balun orang mati). Lapisan tana’ kua-kua ini
dihapuskan oleh pemerintah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan
karena tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Namun
kenyataannya dalam pelaksaaan upacara-upacara adat golongan ini masih
terlihat.

Keempat golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau


pedoman yang dijadikan sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial masyarakat
Toraja, terutama dalam interaksi dan aktifitas masyarakat, seperti pada saat
diselenggarakan upacara perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau
pemimpin adat dan sebagainya. Misalnya dalam upacara pengangkatan seorang
pemimpin, yang menjadi penilaian utama adalah dari golongan apa orang yang

6| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
bersangkutanberasal. Kedudukan dalam sistem kepemimpinan tradisional
berkaitan dengan sistem pelapisan sosial yang berlaku dalam serta kepemilikan
tongkonan (rumah adat).
Menurut falsafah Aluk Todolo sebagai tempat berpijaknya Kebudayaan
Toraja menyatakan bahwa adanya tana’ ini adalah berkaitan dengan tugas dan
kewajiban manusia dalam mengamalkan aluk todolo, makanya mengikuti
kelahiran manusia sesuai dengan ajaran sukaran aluk yang menurut mithos
kelahiran manusia itu ada 4 (empat) proses yang ditempuh oleh Puang Matua
dalam terciptanya nenek manusia yang dikatakan sebagai berikut:
1. Kelahiran yang pertama ialah kelahiran atau diciptakannya Puang Matua
Datu Laukku’ melalui Saun Sibarrung.
2. Kelahiran yang kedua ialah kelahiran Puang Adang dari perkawinan
Bangai Rante dan Tallo’ Mangka Kalena atas suruhan Puang Matua.
3. Kelahiran yang ketiga ialah diciptakannya Puang Matua Pande Kambuno
Langi melalui pula Saun Sibarrung.
4. Kelahiran yang keempat ialah diciptakannya Patto Kalembang oleh Puang
Matua sebagai nenek manusia yang terakhir diatas langit.

Keempat nenek manusia yang pertama tersebut masing – masing diberi


tugas dan kewajiban akan menempati bumi ini. Kewajiban dan tugas memuliakan
Puang Matua yaitu :

1. Datu La Ukku’ menerima Sukaran Aluk (Agama dan Aturan Hidup)


2. Puang Adang menerima Maluangan Ba’tang (kepemimpinan dan
kecerdasan)
3. Pande Pongkambuno’ Langi’ menerima Pande (keahlian seperti tukang –
tukang, ahli perang dan ketangkasan dll)
4. Potto Kalembang menerima Matutu Inna (pengabdi)

Semua tugas dan kewajiban itu merupakan pangkal adat yang dikenal
dengan Ada’ A’pa’ Sulapa’ (adat empat dasar) atau Ada’ Apa’ Ote’na yaitu adat
yang terbagi dalam 4 (empat) golongan dan susunannya masih jelas dalam
masyarakat Toraja sekarang ini antara lain:
1. Orang Toraja dalam setiap pertemuan keluarga permulaan katanya dalam
bermusyawarah itu selalu dimulai dengan mencahari tepo a’pa’na
2. Desa di Tana Toraja berdasar pembahagian 4 (empat) yang dinamakan
Tepo Padang.

7| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
3. Dewan Pemerintahan Adat yaitu Dewan Toparengnge’ terdiri atas 4
(empat) orang anggota.
4. Warna pada ukiran Toraja hanya terdiri dari empat macam yaitu, merah,
putih, kuning dan hitam.
5. Pembagian penjuru bumi dan langit menurut Aluk Todolo sesuai dengan
peranannya adalah 4 (empat) penjuru yaitu:

a. Ulunna’ langi’ dengan nama daa atau daya


b. Pollo’na langi dengan nama Loo’ atau lau’
c. Matallona Langi dengan nama Lan mataallo.
d. Matampu’na Langi’ dengan nama Diong Matampu’ hal ini jelas
karena sesuai dengan perjalanan matahari.

Tana’ sebagai salah satu dalam pembentukan dan pertumbuhan


kebudayaan Toraja dan banyak menentukan tata kehidupan masyarakat Toraja,
kasta – kasta tersebut menjadi penyelesai utama dalam menentukan masalah –
masalah penting, antara lain :
1. Dalam menghadapi perkawinan.
2. Dalam menghadapi pemakaman/upacara adat pemakaman.
3. Dalam mengajadapi pengangkatan jabatan adat atau menjadi pemerintah
adat.

Dalam perkawinan, seorang peminang sudah terlebih dahulu


diperkenalkan kastanya oleh tongkonannya, atau mendapat pengakuan dari
pemerintah adat pria itu berasal jika tak dikenal keturunannya.
Hal tersebut demikian karena menurut adat perkawinan dalam adat
Toraja tidak boleh seorang laki – laki dari Tana Karurung atau Tana’ Kua – Kua
kawin dengan perempuan dari kasta Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi, kalau ini
terjadi maka dikenakan hukum adat yang dijuluki Unteka Palanduan atau Unteka’
Bua Layuk, tetapi sebaliknya seorang laki – laki dari Kasta Tana’ Bulaan atau Tana’
Bassi boleh kawin dengan Kasta dibawahnya, hanya saja tidak dapat dikawinkan
menurut adat, dan anaknya pun yang lahir dari perkawinan kasta yang tidak sama
itu atau yang dilarang itu tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan
saudara – saudaranya yang lahir dari kasta yang dapat diterima menurut adat
yang hal ini turut pula mempengaruhi kedudukan sebagai pewaris yang tidak
sama dengan saudaranya yang kastanya diterima oleh adat.
Suatu contoh jikalau seseorang Tana’ Bulaan kawin dengan sesamanya
Tana’ Bulaan dan terjadi perceraian yang sengaja oleh salah satu pihak maka yang
bersalah itu dihukum dengan membayar suatu denda yang dinamakan kapa’

8| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
sebanyak kerbau menurut tana’nya yaitu tana’ bulaan dengan Kapa’ 24 ekor
kerbau yang ukuran tanduknya dikatakan dengan ukuran sang pala’ (satu tapak
tangan diatas pergelangan) atau kerbau yang berumur rata – rata 2 s/d 3 tahun.
Penilaian masing – masing tana’, sbb:
a. Untuk tana’ bulaan (kasta bangsawan tinggi) nilai hukmnya dengan 24 ekor
kerbau (tedong sangpala’)
b. Untuk tana’ bassi (kasta bangsawan menengah) nilai hukumnya dengan 6
ekor kerbau tedong sangpala’.
c. Untuk Tana’ karurung (kasta rakyat merdeka) nilai hukumnya dengan 2 ekor
kerbau tedong sangpala’.
d. Untuk tana’ kua – kua (kasta hamba sahaya) nilai hukumnya dengan 1 ekor
babi betina yang sudah pernah beranak namanya bai doko.
Inilah susunan tana’ awal Tana Toraja tetapi setelah tersebarnya Aluk
Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ (Monarkhi Agama) Tana’ ini
mengalami sedikit perubahan sehingga pelaksanannya seolah – olah hanya
terdapat tiga tana’ saja disesuaikan dengan struktur pemerintahan adat puang
dan kedudukan puang atau yang berketurunan bangsawan. Karena
kedudukannya dan pemerintahannya yang bersifat monarkhistis itu, maka
menurut aluk sanda saratu’, tana’ dalam pengabdian kepada aluk sanda saratu’
susunannya sbb:
a. Tana’ Bulaan hanya khusus bagi turunan Puang Tomanurun.
b. Tana’ Bassi untuk bangsawan yang bukan turunan puang to manurun atau
darahnya lebih banyak turunan bukan turunan Tomanurun.
c. Tana’ Karurung untuk semua rakyat merdeka atau yang tidak
berketurunan bangsawan yang kesemuanya digolongkan dalam golongan
kasta pengabdi kepada Tana Bassi dan Tana’ bulaan.
Jadi menurut susunan kasta dalam arahan aluk sanda saratu tidak ada
rakyat merdeka yang sebenarnya karena semua rakyat yang tidak berdarah
bangsawan dinyatakan sebagai pengabdi kepada tana’ bassi dan tana’ bulaan
semata – mata.

Tetapi menurut sejarah daerah adat kapuangan, sebelum tersebarnya aluk


sanda saratu’ dahulunya juga memakai 4 (empat) susunan tana’ tersebut secara

9| I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
murni sama dengan daerah adat Toraja lainnya, yang masih mempunyai
peninggalan – peninggalannya sampai sekarang ini seperti di daerah Lion Rorre,
dari Makale, daerah adat Kapuangan Basse Kakanna masih mempergunakan
susunan 4 (empat) kasta atau Tana’ tersebut di atas, begitu pula di daerah Batu
Alu di Sangalla’/daerah adat kapuangan Basse Tangngana masih mempergunakan
pula keempat susunan Tana’ tersebut di atas.
Di samping menjadi pedoman dalam hal perkawinan dan pemilihan
Pemerintah adat/pemangku adat Tana’, Tana’ tersebut di atas juga menjadi dasar
penilaian seseorang di masyarakat pada waktu orang itu meninggal dunia.,
karena Tana’ ini turut menentukan tingkatan upacara pemakamannya. Dalam
pelasanaan upacara pemakaman (rambu solo’) banyaknya hewan yang akan
dipotong sebagai korban bergantung disesuaikan dengan golongan sosial yang
menyelenggarakan upacara. Misalnya golongan tana’ bulaan, sebagai lapisan
sosial tertinggi, harus mengorbankan lebih banyak hewan dibandingkan
golonagan sosial lainnya. Hewan yang akan dipotong harus dalam keadaan sehat,
tubuhnya besar/gemuk, dan tanduknya panjang. umpamanya seseorang dari
Kasta atau Tana’ Bassi tidak dapat dimakamkan dengan upacara pemakaman
Tana’ Bulaan sekalipun keluarganya mampu mengadakan kurban yang mencukupi
upacara Tana’ Bulaan yang dinamakan Rapasan, tetapi sebaliknya pula bahwa
seseorang dari Kasta Tana’ bulaan dapat saja dimakamkan dengan upacara
apapun sampai serendah-rendahnya karena tidak berkemampuan dalam
persiapan kurban dan biaya-biaya pemakaman yang tinggi.

Adat Tana’ turut menentukan golongan kasta yang akan menjabat setiap
jabatan adat yang garis besarnya sebagai berikut:

10 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
a. Kasta atau tana’ Bulaan adalah kasta yang menjabat ketua atau
pemimpin dan anggota pemerintahan adat umpamanya jabatan
Puang, Ma’dika, dan Sokkong Bayu (Siambe’).
b. Kasta atau tana’ Bassi adalah kasta yang menjabat jabatan pembantu
atau anggota pemerintahan adat seperti jabatan – jabatan Anak
Patalo atau To Bara’ dan To Parengge’ – To Parenge’.
c. Kasta Tana’ Karurung adalah kasta yng menjabat pembantu
pemerintahan adat serta menjadi petugas atau pembina Aluk Todolo
untuk urusan Aluk Patuoan, Aluk Tananan yang dinamakan To Indo’
atau Indo Padang.
d. Kasta atau Tana’ Kua - Kua adalah kasta yang menjabat jabatan
petugas atau pengatur pemakaman atau kematian yang dinamakan To
Mebalun atau To Ma’kayo (orang yang membungkus orang mati) dan
juga sebagai pengabdi kepada kasta Tana’ Bulaan dan Tana’ Bass

3.4 Marga Suku Toraja


Suku Toraja juga menggunakan nama keluarga atau marga, yang
ditempatkan di belakang nama, seperti suku Minahasa, suku Ambon, suku Batak
dan lain-lain

11 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
A B D G H
Aitonam
Bangalino Dala Galla Hariawang
Allo
Barani Dalle
Allokendek
Basiang Datu
Allositandi
Batoarung Datulayuk
Amak
Batusura Demmanongkan
Ampulembang
Bonting
Arung
Bouw
Bulawan
Bulo
Bura

O K L M
Kalatiku
Ombelli Lalang Madellu
Kambuno
Lalawi Maega
Kamonto
Lallo Maimpo
Kombongkila
Lande Manapa
Kondorura
Latoada Manganan
Lembang Mangiri
Lempo Mapandin
Lilipadang Masiku
Limbong Massa
Limbongan Matande
Lulumbara Matutu
Lumba
Lutemadi
Lolobua
Londongbuntu

12 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
P S T
Pilo
P R Sa'beng Tambing
Pirade
Salubongga Tambun
Pongbala Pabuaran Rambulangi
Salurerung Tandang
Pongmakamba Paembonan Rampa
Salusu Tandi
Pongpadati Pahan Rante
Sambira Tandiassang
Pongpangala Pailin Rantekanan
Sambua Tandilintin
Pongsamma Pakan Rantelili
Samma Tandilolo
Pongsitanan Pakulla Rantelinggi
Sampe Tandirerung
Pongtinamba Palebangan Rantetasak
Sampebuntu Tandiri
Ponto Palengan Rapang
Sampeliling Tandiseru
Popang Pali Rara
Sampetoding Tando
Parura Palili Raru
Sampewai Tangalayuk
Pasulu Palilu Rempe
Sapan Tangdiembong
Payung Palimbong Rerung
Saranga Tangdirerung
Pelenkahu Palimbunga Ruru
Saring Tangipau
Patoding Palinang
Sarungallo Te'dang
Pasassang Palindangan
Sesa Tikupasang
Paseleng Panie
Sibala Toding
Pasenggong Pangadongan
Siganna Tolle
Paseru Panggalo
Simamentang Tomarere
Pasoling Panggelo
Sipayung Tombokan
Patabang Panggua
Sirompo Topayung
Patandianan Pantig
Sludung Toraya
Patasik Paonganan
Somalinggi Tulak
Patemme Papayungan
Sombolinggi Tulungallo
Patintingan Paranoan
Sulle Turupadang
Patuli Parantean
Sulo
Patiung Parapak
Pararuk
Parera
Paressa
Parinding
Parore
Parrangan

13 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Marga Toraja dari daerah Mamasa

 Pampang

Marga Toraja dari daerah Ulusalu


 Batusura
 Simamentang

Marga Toraja Sa'dan

 Kondorura

Nama-nama khas dalam suku Toraja

 Tato
 Sampe
 Makku
 Lute
 Bira
 Dalle
 Tappi’

Nama asli dalam suku Toraja sampai saat ini masih ada yang menggunakannya,
sayangnya nama-nama asli ini secara perlahan seiring perkembangan zaman
terkikis oleh nama-nama berbau indonesia, ataupun nama-nama yang berasal
dari luar indonesia.

4. Sistem mata pencaharian dan Ekonomi suku Toraja


Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar
penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi
orang Suku Toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam
pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri
menanaminya.
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian
dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan
pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan
suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama

14 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri
pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak
dan pertambanganMultinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat
Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di
perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua
untuk menambang dan ke kota – kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini
terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada
tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh
pendapatan dengan bekerja dihotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual
cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir
1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan
pariwisata Toraja menurun secara drastis.
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat
wisata di Tana Toraja.Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh
wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana
Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman
Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja
terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh
National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar
12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja
dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di
Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.
Kemudian tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang
berbasis budaya.

Syal Jumputan Motif Laba Ungu Coklat Kuning Syal Jumputan Ungu

15 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
5. Perkembangan Bahasa
Bahasa toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa
Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ ,
Toala’ , dan Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia
dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh
oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita
kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka
dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam
beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banya Bahasa Toraja
hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.k istilah untuk menunjukkan
kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis
bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari
peristiwa kehilangan seseorang, hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Sebagai bagian dari Nusantara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan
salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan.
Namun demikian bahasa daerah yakni bahasa toraja (sa’dan) tentunya menjadi
bahasa yang paling dominan dalam percakapan antara warga masyarakat, bahkan
menjadi salah satu mata pelajaran muatan local yang diajarkan di sekolah dasar.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi selatan telah percaya kepada
satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata
SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut orang Bugis dengan istilah
PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang makasar sering menyebutnya
dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang
maha kehendak) dan orang Toraja menyebutnya puang matua (Tuhan yang maha
mulia).
Mereka juga mempercayai adanya dewa yang bertahta ditempat – tempat
tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di gunung
latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue.
Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian

16 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
melahirkan PatotoE. Dewa Patotoe kemudian kawin dengan Palingo dan
melahirkan Batara Guru.
Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai
dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di
puncak Himalaya. Kira – kira satu abad sebelum Masehi, Batara Guru menuju ke
cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta
Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Selain itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa.
Keenam bahasa tersebut digunakan di daerah – daerah jajahannya. Keenam
bahasa itu adalah :
1. Bahasa TaE atau To’da. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang
bermukim di wilayah tanah toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya.
Mereka dibekali dengan kesenian yang bernama Gellu’.
2. Bahasa Bare’E. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim
diwilayah Poso Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang
disebutnya menari.
3. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang
bermukim diwilayah Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula
dibekali dengan kesenian, yang namanya Lulo’.
4. Bahasa Bugisi. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim
di Wajo seluruh daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga.
5. Bahasa Mandar. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang berdiam
di wilayah Mandar dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian
Pattundu.
6. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di
wilayah Makasar dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian
Pakkarena.
Keturunan Batara Guru tersebar kemana – mana. Keturunannya terbagi – bagi
pada seluruh wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut diatas.
Mereka menduduki tempat – tempat yang strategis seperti puncak – puncak
gunung.

6. AGAMA

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah


kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang

17 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja
datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.
Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia
(bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan
menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal
di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang
yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan
surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja
lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi
gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik
dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to
minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata
cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang
umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika
pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama
pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan
melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan
hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak
dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut
berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem
kepecayaan.
Tak ada aturan tertulis mengenai Aluk Todolo, kepercayaan kepada leluhur
warga Dusun Kanan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Kepercayaan mereka
diturunkan secara lisan, turun-temurun, dan mengikat kehidupan sehari-hari.
Namun, warga mematuhi aturan itu dan rela menjalani hukuman jika ketahuan
melanggar Penganut Aluk Todolo wajib menyembah dan memuliakan leluhurnya
yang diwujudkan dalam berbagai bentuk dan sikap hidup serta ungkapan ritual.
"Penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia
luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa
aman, mendamaikan, menyejahterakan, serta memberi kemakmuran warga,"

18 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
kata Musni Lampe, pengajar antropologi di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Walau terbuka bagi agama luar, warga sepakat, yang telah menganut selain Aluk
Todolo wajib keluar dari Dusun Kanan. Tentu saja mereka tetap boleh berkunjung
ke sana, tapi tak dapat tinggal lama.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian
menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.
Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama
Hindu Dharma

7. Seni dan Kebudayaan

7.1 Rumah Adat Toraja (Tongkonan)


Rumah Adat Toraja atau yang biasa disebut dengan Tongkonan, kata
tongkonan sendiri berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau
tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat
berkupulnya bangsawan toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi.
Rumah adat ini selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga memiliki fungsi sosial
budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Masyarakat Suku Toraja
menganggap rumah tongkonan itu sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung
padi) dianggap sebagai bapak.

Rata-rata rumah orang Toraja menghadap ke arah utara, menghadap ke


arah Puang Matua sebutan bagi orang Toraja kepada Tuhan YME dan untuk

19 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
menghormati leluhur mereka dan dipercaya akan mendapatkan keberkahan di
dunia.
Di daerah Tana Toraja pada umumnya merupakan tanah pegunungan batu
alam dan kapur dengan ladang dan hutan yang masih luas, dilembahnya itu
terdapat hamparan persawahan.
Rumah Tongkonan adalah rumah panggung yang dibangun atau didirikan
dari kombinasi lembaran papan dan batang kayu. Kalau dilihat, denahnya
berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Material
kayu dari kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi. Kayu uru
banyak ditemui dihutan-hutan didaerah Toraja dan kualitas dari kayu uru cukup
baik, kayu-kayu ini tidak perlu dipernis atau di pelistur, kayu dibiarkan asli .
Atapnya melengkung menyerupai Perahu, terdiri atas susunan bambu
(sampai saat ini sebagian tongkonan meggunakan atap seng). Di bagian depan
terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur
dan dapur. Bahkan tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan
Mayat. Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat
(stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi,
yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon
palem (bangah) saat ini sebagian sudah di cor, Di bagian depan lumbung terdapat
berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan
simbol untuk menyelesaikan perkara.
Rumah Toraja atau Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian:
1. Kolong (Sulluk Banua)
2. Ruangan rumah (Kale Banua)
3. Atap (Ratiang Banua)

Pada bagian atap rumah Tongkonan, bentuknya melengkung seperti


tanduk kerbau. Bentuk atap yang khas dari rumah adat Toraja terjadi secara tidak
langsung dipengaruhi oleh bentuk tanduk kerbau yang menjadi binatang
kebanggan suku Toraja. Juga oleh bentuk kapal nenek moyangnya yang
terdampar waktu datang pertama kali kesana.Terdapat jendela kecil disisi timur
dan barat pada bangunan, bertujuan sebagai tempat masuknya sinar matahari
dan aliran angin.
Bentuk Tongkonan yaitu berlapis tiga, berbentuk segi empat yang
melambangkan empat azas kehidupan manusia yang disebut Ada 'A 'pa eto 'na,
terdiri dari kelahiran, kehidupan, pemujaan dan kematian. Segi empat ini juga
dianggap sebagai simbol dari empat penjuru angin. Tongkonan harus selalu

20 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
menghadap arah utara yang melambangkan awal kehidupan, dengan bagian
belakang rumah menghadap arah selatan yang melambangkan akhir kehidupan.
Dalam pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang harus
diperhatikan dan tidak boleh untuk di langgar, yaitu:
1. Rumah diharuskan menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan
rumah, dengan keyakinan langit dan bumi itu merupakan satu kesatuan,
dan bumi dibagi kedalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
1. Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang
Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja).
2. Timur disebut Matallo, tempat matahari terbit, tempat asalnya
kebahagiaan atau kehidupan.
3. Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari
kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
4. Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia,
tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik atau angkara
murka.
2. Pembangunan rumah tradisional Tongkonan biasanya dilakukan secara
gotong royong. Rumah Adat Tongkonan dibedakan menjadi 4 macam:
1. Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan
penyebaran aturan-aturan.
2. Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat
dilaksanakannya aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah
terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab
pada Tongkonan Layuk.
3. Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan
dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.
4. Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa
turunan (diwariskan), kemudian disebut Tongkonan Batu A’riri.

Model Tongkonan senantiasa mengikuti model desa, secara konsepsional


harus bersegi empat. Struktur ruangan mengikut struktur makro-kosmos yang
terdiri dari tiga lapisan benua, yakni bagian atas (Rattiangbanua), bagian tengah
(kale banua) dan bagian bawah (Sulluk banua). Bagian atas digunakan sebagai
tempat menyimpan benda-benda pusaka yang dianggap mempunyai nilai sakral.
Atap Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih,
dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bamboo atau rotan. Fungsi
dan susunan demikian untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celah,
dan sebagai lubang ventilasi. Susunan bambu ditaruh di atas kaso yang terdapat
pada rangka atap. Susunan tarampak minimal 3 lapis, maksimal 7 lapis, setelah
itu disusun hingga membentuk seperti perahu. Bagian tengah digunakan untuk
tempat tinggal dan melakukan aktivitas di dalam rumah. Bagian tengah yang

21 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
merupakan badan rumah ini berlantaikan papan kayu uru yang disusun di atas
pembalokan lantai, memanjang sejajar balok utama. Dindingnya disusun dengan
sambungan pada sisi-sisi papan. Dinding yang berfungsi sebagai rangka dinding
yang memikul beban, terbuat dari bahan kayu uru atau kayu kecapi.
Bagian tengah sebagai ruang tempat tinggal, dibagi pula atas tiga bilik yaitu bilik
bagian depan disebut Tando', berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat tidur
nenek, kakak dan anak laki-laki serta tempat mengadakan sesajen. Jendela pada
ruang Tangdo berjumlah 2 buah, menghadap ke utara. Bagian tengah disebut Sali
dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni bagian timur tempat kegiatan sehari-hari
dan sebagai dapur, ruang menerima tamu, ruang keluarga, dan kamar mandi. Di
bagian barat digunakan tempat persemayaman jenazah pada waktu diadakan
upacara kematian.
Bagian belakang disebut Sumbung yang digunakan sebagai tempat
pengabdian dan tempat tidur kepala keluarga bersama anak-anak, khususnya
anak gadis, serta untuk menyimpan benda-benda pusaka. Lantainya ditinggikan
pertanda bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang
tinggi. Sumbung ini berada di bagian selatan, maksudnya anak-anak gadis dan
anak kecil memerlukan pengawasan ketat, dengan perlindungan dari anak laki-
laki yang bertempat di ruang Tando. Bagian bawah yang merupakan kolong
rumah merupakan tempat hewan peliharaan. Fondasinya menggunakan batuan
gunung, diletakkan bebas dibawah Tongkonan, tanpa pengikat antara tanah,
kolong dan fondasi itu sendiri.
 Struktur
Secara keseluruhan rumah adat atau lumbung merupakan suatu kesatuan
struktur. Maksudnya antara bagian tiang dinding dan atap merupakan satu
kesatuan konstruksi, oleh karenanya bangunan ini tahan gempa dalam arti kata
tidak runtuh, tetapi hanya mengalami pergeseran perletakkan. Hubungan
elemen-elemennya menggunakan sistim pengikat, tusuk, coak,dan sebagainya.
Konstruksi pondasi hanya merupakan tempat perletakan yang tidak diikat
dan alas yang dipakai ialah batu alam. Perletakan ini hanya berfungsi untuk
mencegah turunnya bangunan karena lembeknya tanah. Tiang tiang mencapai
kekakuan dengan bantuan tiang pembantu dan ditusuk oleh balok balok
horisontal ( Patolok). Lantai merupakan bagian yanmg memakai sistim balok
induk dan balok anak. penutupnya adalah bambu yang dipecah. Dan dipasang
melintang terhadap balok anak. Perletakan elemen lantai ini dengan
memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan dari arah kolong.

22 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Dinding mempergunakan sistim hubungan papan dalam arah vertikal yang
dijepit oleh papan papan horisontal. Dinding ini diukir dengan
maksudperlambangan dan dekorasi.
Rangka atap tidak memakai sistim kuda kuda. Untuk mencapai
bentuknyayang menjulang ialah dengan menyambung nok ( kandang pemiring)
dengan pangoton dan paramak. Sambungan ini menggunakan sistim ikat
(berfungsi batang tarik) dimana ikatan itu memakai rotan. Sambungan nok
menusuk balok vertikal ( katorok yang ditahan balok horisontal ( lemba-lemba)).
lemba lemba ini menahan gerakan vertikal dengan berpegang kepada sepasang
tengkek longa yang berposisi miring vertikal. Dan akhirnya noknya ( kadang
pemiring) yang menahan semua beban didukung oleh kolom besar ( tulak somba)
Penutup atap yang menggunakan bambu dapat berumur relatif lebih lama
dibandingkan atap atau seng atau sirap, tetapi konsekwensinya berat dan mahal.
Penutup atap dari seng/ sirap umumnya dipakai pada rumah adat yang dibangun
belakangan.
Kamar mandi WC tidak terdapat dalam rumah adat . Dalam
perkembangan terakhir kedua unsur itu mulai memasuki kelompok rumah adat,
sekalipun dalam bentuk terpisah tetapi agak mengganggu kepribadian rumah
adat.
 Saluran saluran.
Fasilitas berupa saluran baik berupa saluran air bersih atau air kotor/
hujan tidak ada. Hal ini mengakibatkan terjadinya genangan air tanah menjadi
becek serta udara menjadi lembab.
Dapur, terdapat asalnya didalam rumah adat yang berfungsi sebagai
pemanas ruangan karena hawa yang dingin. penempatan ini kurang baik apalagi
dengan tidak adanya sistim ventilasi yang baik, hal mana tentunya mengganggu
kesehatan penghuni. Gudang untuk menyimpan alatkehidupan berada dirongga
atap.
Tongkonan dapat dilihat sebagai produk yang menampilkan nilai-nilai
estetik, dengan bentuknya yang anggun disertai kekayaan ragam hias yang
mengandung makna yang terkait dengan sistem budaya mereka. Pada mulanya,
orang Toraja hanya mengenal empat macam ukiran yang disebut Garonto Passura
artinya dasar ukiran, antara lain pa'barre allo yaitu ukiran yang menyerupai
matahari atau bulan, benda yang mulia di atas bumi berasal dari Sang Pencipta
yang memberi hidup dan kehidupan bagi umatNya: pa' tedong ukiran yang
menyerupai kepala kerbau, ukiran ini sebagai lambang kerja keras dan
kemakmuran, oleh karenanya diletakkan pada tiang-tiang yang berdiri tegak

23 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
sebagai tulang punggung bangunan, yang berarti bekerja adalah tulang punggung
kehidupan; pa' manuk londong ukiran yang menyerupai ayam jantan, sebagai
lambang dari norma, aturan yang berasal dari langit yang menata kehidupan
manusia. Bersama-sama Pa'barre allo diletakkan di atas bagian depan Tongkonan,
dan pa' sussuk yaitu ukiran yang menyerupai garis-garis lurus, sebagai lambang
kebersamaan dan kesatuan dalam lingkup kerabat yang tergabung dalam
kelompok Tongkonan. Ukiran ini diletakkan pada dinding bagian atas yang
menghiasi ruangan. Dari keempat dasar ukiran tersebut dikembangkan terus,
hingga sekarang sudah dikenal lebih dari 150 macam ukiran.
Selain motif-motif utama tersebut, ada pula motif lain yang juga memiliki
makna. Motif pa'daun balu adalah daun sirih yang merupakan lambang
penghormatan kepada dewa-dewa. Motif pa' bua tina adalah lambang pohon
waru yang merupakan hiasan dinding rumah sebagai lambang persatuan dalam
keluarga. Pa'sala'bi' dibungai berarti 'pagar' yang biasanya terdapat pada dinding
dan pagar rumah bangsawan. Motif ini mengandung arti sebagai penangkal
masuknya orang jahat dan mencegah penyakit sampar. Motif Pa' bunga
menyerupai bunga yang melambangkan pentingnya pengetahuan bagi manusia.
Pa' kangkung adalah ukiran yang menyerupai pucuk kangkung menghiasi rumah
bangsawan, motif yang mengandung harapan agar senantiasa memperoleh rejeki
sebagaimana kangkung yang selalu tumbuh subur di tempat berair. Pa' erong
berarti peti mayat yang hanya digunakan untuk peti mayat keluarga bangsawan,
yang menaruh harapan agar yang meninggal senantiasa memberi berkah kepada
keluarga yang ditinggalkan. Pa 'bunga kaliki simbol bunga pepaya yang bermakna
agar nasehat yang menyakitkan pun dapat membawa kebaikan dalam hidup. Pa'
sisik bale lambang sisik ikan agar cita-cita yang tinggi dapat tercapai. Pa'kollong
buku melambangkan leher merpati yang bermakna agar manusia dapat hidup
bebas menentukan pilihannya. Motif Koyo adalah burung bangau lambang
manusia yang penyabar. Pa'dara dena berarti dada burung pipit lambang
keteguhan hati dan pendirian yang tetap.

24 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan
istilah Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan
rumah tongkonan)dan Tongkonan A'pa'(empat rumah tongkonan) yang
memegang peranan dalam masyarakat sekitar.
Tongkonan karua terdiri dari:

1. Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)
2. Tongkonan Sangtanete Jioan
3. Tongkonan Nosu (To intoi masakka'na)
4. Tongkonan Sissarean
5. Tongkonan Tomentaun
6. Tongkonan Tomanta'da
7. Tongkonan To'lo'le Jaoan
8. Tongkonan Tomassere'

Tongkonan A'pa' terdiri dari:


1. Tongkonan Peanna Sangka'
2. Tongkonan To'induk
3. Tongkonan Karorrong
4. Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)

Banyak rumah adat yang konon di katakan tongkonan di Sillanan, tetapi


menurut masyarakat setempat, bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12
seperti tercatat di atas. Rumah adat yang lain disebut banua pa'rapuan. Yang
dikatakan tongkonan di Sillanan adalah rumah adat dimana turunannya
memegang peranan dalam masyarakat adat setempat. Keturunan dari tongkonan
menggambarkan strata sosial masyarakat di Sillanan. Contoh Tongkonan

25 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Pangrapa' (Kabarasan)/ pemegang kekuasaan pemerintahan. Bila ada orang yang
meninggal dan dipotongkan 2 ekor kerbau, satu kepala kerbau dibawa ke
Tongkonan Pangrapa' untuk dibagi-bagi turunannya.

Stara sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:


1. Ma'dika (darah biru/keturunan bangsawan);
2. To Makaka (orang merdeka/bebas);
3. Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.

Ketika anda berada di Tana Toraja, tidak semua Tongkonan dapat anda
kunjungi. Anda hanya boleh berkunjung ke Tongkonan yang secara khusus
dijadikan obyek wisata. Sementara Tongkonan milik keluarga Tana Toraja hanya
boleh dikunjungi oleh anggota keluarga Toraja yang memiliki Tongkonan itu.
Untuk memperoleh informasi lebih lengkap tentang Tongkonan mana yang dapat
dikunjungi oleh wisatawan, anda dapat bertanya kepada tetua adat atau
penduduk ketika berada di Tana Toraja. Apapun fungsi Tongkonan itu, bentuk
Tongkonan di Tana Toraja tetaplah sama. Arsitektur bangunan rumah terbuat dari

kayu pohon. Tongkonan memiliki atap yang terbuat dari daun nipa atau kelapa.
Jika dilihat dari bagian samping rumah, bentuk atap Tongkonan seperti kepala
dan sepasang tanduk kerbau.
Kenapa harus tanduk Kerbau? bagi orang Toraja, kerbau selain sebagai
hewan ternak juga menjadi lambang kemakmuran dan status soaia. Oleh sebab
itu kenapa tanduk atau tengkorak kepala kerbau di pajang dan disimpan di bagian

26 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
rumah, karena sebagai tanda bawasannya keberhasilan si pemilik rumah
mengadakan sebuah upacara atau pesta.
Ketika keluarga Toraja menyelenggarakan upacara adat khususnya ritual
pemakaman, mereka tak pernah lupa untuk menyembelih kerbau. Jumlah kerbau
yang disembelih itu tergantung dari kemampuan ekonomi keluarga yang
menyelanggarakan acara adat. Setelah disembelih, tanduk kerbau itu dipasang di
dalam Tongkonan milik keluarga Toraja. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau
dalam sebuah Tongkonan, semakin tinggi pula status sosial pemilik Tongkonan itu
di kalangan masyarakat Toraja.
Di dalam Tongkonan terdapat beberapa ornamen ukiran khas Toraja yang
terbuat dari tanah liat. Untuk ornament di dalam Tongkonan, masyarakat Toraja
biasanya menggunakan empat warna dasar yakni hitam, merah, kuning, serta
putih.
Bagi suku Toraja, keempat warna itu memiliki warna tersendiri. Di Toraja,
warna hitam melambangkan kematian, kuning menjadi simbol anugerah dan
kekuasaan Illahi, putih lambang warna daging dan tulang yang berarti suci,
sementara merah menjadi simbol warna darah yang melambangkan kehidupan
manusia. Sama halnya dengan jumlah tanduk kerbau, ornament di dalam
Tongkonan juga melambangkan kemewahan. Semakin banyak anda menjumpai
ornament ukiran di dalam sebuah Tongkonan, Tongkonan itu dinilai semakin
memiliki kemewahan tersendiri di kalangan masyarakat Toraja.

Perkembangan Rumah Adat Toraja atau Tongkonan


Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus menerus
sampai kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi
penggunaan ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun.
Sampai pada keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam
proses perkembangan. Walaupun mengalami perkembangan terus menerus,
tetapi rumah adat Toraja atau Tongkonan tetap mempunyai ciri yang khas. Ciri ini
terjadi karena pengaruh dari lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja
sendiri. Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya
dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk
atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun
begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.

27 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang
diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua
tiang + dinding tebing.

Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok
pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4
pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini
mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas.

Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang


buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang
buatan. Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang
berdekatan. Bentuk ini disebut Re'neba Longtongapa.

28 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan
tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini
bentuk pertama terjadinya lumbung.

Perkembangan ke-5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi


dengan tiang yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong
rumah itu. Tiang-tiang dibuat sedemikian rupa, sehingga cukup aman. Biasanya
tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang
yang disusun secara horisontal .

Lama sesudah itu terjadi perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah
meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali
dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai
bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas
dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga
tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi.

29 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon.
Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai
fungsinya.

Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga
yang berada di bagian depan.

Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan


permainan lantai. Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk
perkembangan kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan
fungsi lantai (ruang). Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan
ruang hanya dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi

30 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan akan ruang
dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan
produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak
perkembangan dari rumah adat Toraja.

Contoh –contoh RUMAH ADAT.

1. Nama Tempat : Garampak


Kampung : Marinding
Desa : Kandora
Kecamatan : Mengkendek

1.Gambaran Umum.
Di kampung ini terdapat 3 rumah adat, 2 lurnbung dan 1 rumah tinggal
biasa. Ketiga rumah adat itu yang satu merupakan rumah lama dan ditinggali oleh
penghuninya, yang satu dalam rekonstruksi dan yang sebuah lagi dalam taraf
pembangunan. Dalam peninjauan ini lebih dikhususkan pada rumah yang
dikonstruksi yang menurut keterangan, dibuat kira-kira 100 tahun yang lalu.
2.Tata Letak.
Semua rumah mnghadap ke Utara, karena ada kepercayaan bahwa Utara
merupakan lambang kehidupan. Sedang arah Selatan darimana timbul kehidupan
(kelahiran) merupakan tujuan kemana setiap insan akan pergi (kenatian). Letak
lumbung di karnpung ini tidak dapat tepat di depan rumah, lebih tepatnya agak
disamping.
3.Perencanaan.
Direncanakan oleh tukang-tukang dan keluarga yang akan menempati
rumah dengan dibantu beberapa tukang ukir. Cara pelaksanaan dengan sistim
gotong-royong rakyat setempat.
a. Pembagian ruangan.
Ruangan rumah dibagi atas tiga bagian, dengan urutan dari Utara
ke Selatan.
Ruang I : SALI, teimpat duduk, ruang tamu, entrance, dapur,
termpat tidur anak,
Ruang II : INAN TENGA (SALI TENGA) , tempat tidur orang tua,
ruang makan.

Ruang III: SUMBUNG, tempat tidur orang tua (nenek) dan orang-
orang terhormat.

31 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
b. Ruangan-ruangan terletak dibagian atas rumah (panggung).
Sedang dibagian bawah (kolong) dengan tiang-tiang merupakan
kandang kerbau. Kandang babi terbuat terpisah dari rumah adat.
c. Fasilitas kamar mandi dan WC tidak ada, begitu juga dengan
tempat cuci. Untuk keperluan ini penghuni harus pergi ke sungai
terdekat.
d. Tangga masuk pada rumah adat ini banyak nengalami perubahan
mulai letak di depan di kolong, sampai di samping. Pada rumah
adat di desa ini tangganya berada di depan.
4.Struktur
Struktur rumah terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait
mengkait sehingga menjadi kesatuan yang kaku dan berdiri diatas tiang-tiang.
Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan
tiang. Konstruksi bangunan ini adalah tahan gempa & angin dalam arti kata tidak
runtuh. Sebab seluruh bagian merupakan satu kesatuan yang diletakkan diatas
batu begitu saja. Untuk bangunan yang ditinjau ini tiangnya 9 buah termasuk
Tulak Somba. Selebihnya adalah tiang pembantu yang dihubungkan dengan
kasta-kasta ( menggambarkan struktur sosial Tana Toraja) Adapun stratifikasi
sosial Tana Toraja yang berhubungan dengan rumah adat ialah :
 Tana Bulaan ( bulaan = emas ) jumlah tiang rumah 29 buah
 Tana Besi Jumlah tiang rumah 27 buah
 Tana Karuru ( Karuru = ijuk ) jumlah tiang rumah 25 buah
 Tana Kua-Kua ( Kua = tebu ) jumlah tiang rumah 23 buah.
5. Konstruksi.
a. Materi bangunan.
Hampir keseluruhan menggunakan bahan kayu. dimulai dari balok
tiang, papan untuk dinding dan lantai. Untuk alas runah (pondasi)
digunakan batu. Jenis kayu yang digunakan tergantung dari persediaan.
Jenis itu umumnya kayu Bunga, kayu Buangin (cemara), kayu Kalapi atau
Nangka, Cendana, kayu Beringin.
b. Cara penyambungan
Untuk atap menggunakan sistim ikat (dengan rotan) dan jepit.
Untuk balok-balokbanyak menggunakan sistim pen.

c. Atap

32 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Bahan dari bambu yang dibelah dan dirangkai menjadi bidang-
bidang. Pengikat menggunakan rotan dan diantara lapisan bambu diberi
ijuk. Untuk hubungan dipakai bambu belah-belah.
d. Dinding
Menggunakan bahan papan yang biasa.nya penyelesaiannya diukir
dibagian luarnya.
e. Tiang
Dari balok yang raasih berupa pohon yang hanya diperhalus
sedikit, lalu ditaruh begitu saja diatas batu.
f. Penyelesaian
Untuk ukir-ukiran dicat yang dipakai ialah tanah merah + tuak,
arang + cuka + air.
g. Lantai
Dari papan, balok kecil yang dipasang saling bersilangan ditambah
anyaman kayu.
h. Cara pembuatan
Untuk mengukur kedataran (rata) dipakai perkiraan sejajar
permukaan air. Untuk mengukur arah tegak dipergunakan pertolongan
tali.
i. Kandang babi
Bangunan sederhana dengan konstruksi bambu.
j. Lumbung
Konstruksi sama dengan rumah, tapi strukturnya berbeda dan
lebih sederhana. Jumlah tiang lebih sedikit dan tidak memakai tulak
somba. Tiang biasanya berjumlah 4 atau 6 buah.
k. Ornamen/Hiasan bangunan
Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah
adat sebagian besar mempunyai arti. Arti ini biasanya berhubungan
dengan adat istiadat yang masih diipertahankan. Disamping itu ada pula
yang hanya merupakan hiasan saja, misalnya :
Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada tiap-
tiap sudut rumah adat. Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa
macam ornamen, masing-masing ialah :
1. Ornamen binatang
Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam
upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak
dipergunakan untuk ornamen. Misalnya tanduk, kepala

33 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
( tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada dalam ukiran
di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau ( tiruan dari
kayu ) biasanya dipasang pada ujung-ujung balok lantai
bagian depan (pata sere). Tanduk kerbau disusun pada
tiang yang utama (tulak- sonba) artinya menyatakan jumlah
generasi yang pernah tinggal di rumah adat itu. Ayam
jantan, sebagai lambang Kasta Tana’ Bulaan (kasatria)
diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga
dipintu-pintu. Babi, sebagai lambang binatang sajian.
2. Ornamen Senjata.
Keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang Kasta Tana
Bulaan (kasatria).
3. Ornamen Tumbuh-tumbuhan.
Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang utama tulak
somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai
ruang tamu, juga di pintu-pintu.
Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU. Ornamen ini diukir
dulu baru dipasang di tempat. Penyelesaian ukiran biasanya dengan zat pewarna
yang dibikin dari tanah +tuak atau arang + cuka + air.

2.Nama desa: Sarira


Kecamatan: Makale
Kabupaten: Tana Toraja

Di desa ini, seperti juga kebanyakan di tempat lain di Tana Toraja, banyak
menggunakan kayu URU. Adapun alasannya antara lain : relatif tahan lama,
mudah didapat di tempat tersebut, cukup mudah untuk diukir.
Di desa ini terdapat rumah adat yang dalam proses penggantian atap dari atap
bambu menjadi atap seng.Penggantian ini disebabkan atap yang lama sudah
busuk (rusak) atau bocor. Penggunaan materi seng adalah gejala masuknya hasil
teknologi modern yang terlihat nyata. Dengan materi ini pula bersamaan
masuknya beberapa alat modern pada rumah adat itu. Misalnya mulainya
penggunaan paku dan sebagainya. Begitu juga dengan sendirinya konstruksi atap
mengalami perubahan yang cukup banyak, sekalipun tidak prinsipil. Banyak
alasan tentang penggunaan materi seng ini yang pada dasarnya bersifat praktis,
seperti :
 lebih cepat dalam pembangunannya
 lebih murah, karena menggunakan jumlah kayu lebih sedikit
(ekonomis)

34 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Disamping alasan-alasan praktis itu sebenarnya tidak disadari akibat yang
timbul karenanya. Salah satu efek negatifnya ialah expresi tradisionilnya hilang.
Sebab atap yang merupakan hampir setengah bagian bangunan, mempunyai
permukaan bidang yang cukup besar. Kalau ditinjau dari segi kekuatan bambulah
yang lebih kuat. Karena bambu dapat tahan kira2 sarapai 40 tahun. Relatif cukup
lama dibandingkan seng, sebab dalam prakteknya bambu ini ditumbuhi
tumbuh2-an yang melindungi dari sinar matahari atau hujan.

3.Nama tempat :halaman Teuru


Kampung :Berurung
Desa :Sesean Mataallo
Kecamatan :Sesean
Kabupaten :Tana Toraja

Menurut keterangan penduduk setempat rumah-rumah adat di kampung


ini sudah berusia kira-kira 50 tahun. Ada rumah yang sudah diganti atapnya
sekalipun menggantinya dengan bambu juga. Tetapi satu hal yang menyolok
dikampung ini ialah dibangunnya dapur disamping rumah adat yang berbentuk
model rumah Bugis. Bangunan induk mulai dibuat jendela-jendela kaca untuk
mendapatkan sinar lebih banyak. Satu lagi efek tak menguntungkan terhadap
kepribadian rumah adat Tana Toraja.
Tiap rumah di kampung ini ditinggali oleh satu keluarga. Urutannya
dimulai dibagian Timur untuk Bapak & Ibu berikutnya mengikuti ketinggian tanah
adalah rumah-rumah untuk anak. Seperti di tempat lain di Toraja, di desa inipun
lumbung merupakan lambang kekayaan. Semakin banyak jumlah lumbung
semakin kaya penghuninya.

4.Nama Kampung : Tondok batu


Desa : Tondon
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Kampung Tondon Batu terletak di desa Tondon yang lokasinya berada di


bagian Timur Kota Rantepao. Kampung ini merupakan kelompok rumah-rumah
adat yang tidak besar, karena di sini hanya terdapat 4 tongkonan (rumah adat).
Sekalipun begitu satu keistimewaan rumah adat di kampung ini ialah adanya
rumah adat yang berumur kira-kira 200 tahun dan sudah berganti atap sampai 3
kali. Dalam waktu yang sekian lama rumah adat itu masih berdiri dengan baik,
artinya masih berfungsi sebagai tempat tinggal, Disamping itu di kampung ini

35 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
terlihat adanya pengaruh bentuk runah Bugis. Juga mengenai bentuk lumbung-
lumhung disini umumnya mempunyai panjang tiang yang lain, yang lebih
panjang. Jadi secara tampak, lumbung-lumbung itu terlihat lebih tinggi daripada
yang umumnya ada.

5.Nama kampung : Kondok


Nama Desa : Tondon
Kecamatan : Sangalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Kampung Kondok letaknya tidak begitu jauh, masih di Kecamatan


Sanggalangi juga Kampung ini sebenarnya tidak begitu besar karena jumlah
penghuninya hany 4 keluarga. Dalam peninjauan ke kampung ini lebih ditekankan
kepada penelitian konstruksinya, Sebab kebetulan sedang ada penggantian atap
& lantai. Biasanya dalam penggantian atap ini selain lantai diikuti juga dengan
penggantian dinding (ukiran). Hanya tiang-tiang yang utama yang tetap tidak
diganti.
Dalam peninjauan ke kampung ini sempat ditanyakan sekitar harga
rumah. Sekalipun patokannya bukan uang, tapi jika dikalkulasikan harganya cukup
mahal juga. Seperti misalnya:
 penggergajian kayu upahnya 3 (tiga) kerbau
 mendirikan upahnya 4 (empat) kerbau
 mengukir 1 (satu) kerbau
 finishing 100 (seratus) babi.
Harga-harga ini belum termasuk harga dari pembelian kayu sendiri, yang
dinilai cukup mahal. Tetapi biasanya untuk kayu ini mereka ambil dari kebun
sendiri.

6. Nama kampung : Marante


Nama Desa : Tondon
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Kampung Marante terletak di bagian Utara dari Kabupaten Tana Toraja.


Letak Kampung ini agak masuk kira-kira 50 meter dari jalan raya. Merupakan satu
kelompok rumah adat Toraja yang cukup besar. Dibagian belakang kelompok ini
terdapat kelompok kecil yang merupakan perkembangan dari kelompok kampung
Marante.

36 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Di dalam kelompok rumah-rumah adat di kampung ini terdapat juga
2(dua) rumah model Bugis yang letaknya terselip diantaranya. Kedua rumah Bugis
ini rupanya dibangun paling belakangan dengan pertimbangan hal yang lebih
fungsionil. Dilihat dari segi kesehatan rumah Bugis ini lebih baik, karena banyak
mempunyai lubang untuk jendela. Sehingga memungkinkan adanya sinar masuk
dan ventilasi udara. Seperti di tempat lain di kampung Marante inipun letak
lumbung berhadapan dengan rumah-rumah adat. Jadi biasanya jumlah rumah
sama dengan jumlah lumbung. Adapun jumlah rumah ada : 7 (tujuh) buah,
jumlah lumbung : 9 (sembilan), jumlah rumah Bugis 2 (dua), jumlah kandang babi
: 7 (tujuh) buah, jumlah dapur : 5(lima). Jumlah dapur ini yang 2 masing-masing
menempel pada rumah Bugis sedang yang 3 menempel pada rumah adat.
Kandang babi umumnya terletak dibagian belakang dari rumah adat.

7.Nama Kampung :Palawa


Nama Desa :Pangli Palawa :Sesean
Kabupaten :Tana Toraja
Letak Kampung ini berada disebelah Utara kota Rentepao, Lokasi
perkampungannya cukup jauh dari jalan raya, kalaupun ada jalan masuk jalan itu
sempit dan jelek sekali keadaannya. Pada jalan ini banyak terdapat rumah adat
yang dibangun sendiri-sendiri, artinya bukan merupakan satu kelompok. Rumah-
rumah ini umumnya dibangun pada waktu belakangan, hal ini terlihat atapnya
yang banyak menggunakan seng dan bermoncong tinggi.
Keadaan medan mendekati perkampungan ini agak naik, pada dataran
yang tertinggi berkumpullah rumah-rumah adatnya. Seperti semua rumah adat,
disinipun menghadap arah Utara. Berhadapan dengan lumbung-lumbung dimana
padi disimpan atau sebagai ruang tamu. Hal berhadapan ini menurut keterangan
ialah perlambang antara lumbung dan rumah adat sebagai suami dan isteri.
Rumah-rumah adat disini rata-rata masih menggunakan atap bambu. Sekalipun
usianya sudah 7 turunan dan mengalami penggantian atap, keadaan rumah adat
disini umumnya masih baik. Jumlah rumah adat adalah 9 dan jumlah lumbung 11.
Dari junlah ini ada yang bermoncong lebih tinggi, ini merupakan ciri dari rumah
adat yang sudah diganti atapnya. Perkampungan ini cukup bersih menurut ukuran
kampong-kampung di Tana Toraja. Karena hal ini mungkin perkampungan ini jadi
sering didatangi wisatawan. Akibatnya dari hal itu timbul pedagang-pedagang
yang menjual barang souvenir, umumnya mereka penduduk setempat.

8.Nama Tempat: Kete.


Nama kampung : Bonoran
Nama Desa : Tikun'na Malenong

37 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Perkampungan Ke'te letaknya relatif dekat dengan kota Rantepao.


Perkampungan ini adalah yang paling terkenal dari sekian banyak perkampungan
lain yang dibuka untuk wisatawan. Sekalipun bukan merupakan perkampungan
yang besar tapi Ke'te nempunyai keistimewaan. Sebab disini terdapat juga
kuburan Batu (gunung batu) yang merupakan batas sebelah dari perkampungan
ini. Kuburan ini sekaligus manjadi obyek wisata karena kebetulan letaknya cukup
dekat. Batas disebelah Utara ialah sawah yang banyak digenangi air, mungkin
merangkap sebagai tempat pembuangan air hujan. Keistimewan lain,
diperkampungan ini sudah ada air leiding yang belum tercatat dari mana asalnya.
Begitu juga riol - riol di depan rumah yang mungkin dimaksudkan untuk saluran
air hujan. Itulah sebabnya mungkin Ke'te keadaannya relatif lebih baik
dibandingkan perkampungan yang lain di Tana Toraja. Tanah yang becek atau
genangan air tidak kita jumpai disini. Kesannya kehidupan diperkampungan ini
lebih sehat.
Jumlah rumah adat disini ada 8 (delapan) disaimping terdapat 14
lumbung yang bentuk atau bahannya bermam- macam, Diperkampungan ini juga
terdapat lumbung yang dibuat dari bambu baik itu tiang, dinding, sampai
atapnya. Menurut keterangan bentuk ini adalah yang pertama kali diciptakan.
Disamping itu terdapat bentuk rumah yang meniru rumah bugis meskipun
atapnya memakai bambu.Bentuk-bentuk rumah ini biasanya sudah dilengkapi
dengan kamar mandi dan WC,bahkan tempat cuci. Karena sudah menjadi tempat
yang sering dikunjungi wisatawan di Ke'te dibangun bentuk asal rumah adat suku
Toraja (Lantang Talumio dan Pandoko Dena).
Bentuk asal ini dibuat untuk memberikan penerangan tentang asal usul
rumah adat Toraja.Perkampungan Ke'te adalah contoh suasana perkampungan
yang disesuaikan dengan keinginan wisatawan.Sehingga ada beberapa ciri yang
terpaksa dikorbankan, padahal ciri itu merupakan kepribadian rumah adat.
Sebagaimana diterangkan diatas, di Ke'te ini terdapat lumbung yang keseluruhan
konstruksinya menggunakan materi bambu. Ini adalah bentuk pertama lumbung
setelah mengalami pemisahan dari rumah induk: (Tongkonan). Adapun urutannya
secara teliti adalah sebagai berikut:
 Paliku lumbung yang terletak dibawah rumah adat.
 Lumbung Bambu terpisah dari rumah adat menggunakan 4 tiang.
 Lumbung kayu terpisah, bertiang 4 dan tak diukir.
 Lumbung kayu terpisah, bertiang 4 dan mulai diukir.

38 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
 Lumbung kayu terpisah, bertiang 6 dan merupakan lumbung yang
umum dibikin baik yang diukir ataupun yang tidak diukir.
 Lumbung kayu terpisah, bertiang antara 8 sampai dengan 12,
merupakan lumbung-lumbung yang mengikuti perkembangan.

7.2 Ukiran Kayu

Melihat Rumah Adat Tongkonan Toraja, yang sangat menarik adalah


variasi gambar dan simbol yang diukir menghiasi semua bagiannya. Ukiran kayu
khas Toraja yang dinamakan Pa’ssura(tulisan) merupakan perwujudan budaya
Toraja karena telah menjadi keseharian orang Toraja. Pada mulanya, ukiran Toraja
dipahatkan pada media kayu yang tampak menghiasi rumah adat Tongkonan dan
berbagai perkakas ritual adat suku Toraja. Namun, seiring dengan waktu ukiran
Toraja merambah media lain, seperti kain yang dibordir dan juga kain
batik.Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial
suku Toraja yang disebut Pa’ssura (Penyampaian Pola yang terukir memiliki
makna dengan presentase simbol tertentu dari pemilik atau rumpun keluarga
yang punya nilai magis. Ukiran-ukiran Toraja itu diyakini memiliki kekuatan alam
atau supranatural tertentu.
Diperkirakan, tidak kurang dari 67 jenis ukiran dengan aneka corak dan
makna. Warna-warna yang dominan adalah merah, kunig, putih dan hitam.
Semua sumber warna berasal dari tanah liat yang disebut Litak kecuali warna
hitam yang berasal dari jelaga atau bagian dalam pisang muda. Pencipta awal
mula ukiran-ukiran magis ini diyakini dari Ne’ Limbongan yang mana simbolnya
adalah berupa lingkaran berbatas bujur sangkar bermakna mata angin. Motif
Pa’Barre Allo (matahari) yang dapat ditemui di pucukTongkonan, melambangkan
kebesaran dan keagungan Toraja.

39 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Setiap pola ukiran abstrak punya nama dan kisah antara lain motif “empat
lingkaran yang ada dalam bujur sangkar” biasanya ada di pucuk rumah yang
melambangkan kebesaran dan keagungan. Makna yang terkandung dalam
simbol-simbol itu antara lain simbol kebesaran bangsawan ( motif paku), simbol
persatuan (motif lingkaran 2 angka delapan), simbol penyimpanan harta ( motif
empat lingkaran berpotongan dan bersimpul) dll. Selain motif-motif abstrak itu,
beragam pula pola-pola yang realistis mengikuti bentuk binatang tertentu antara
lain burung bangau (motif Korong), motif bebek ( Kotte), Anjing ( motif Asu),
Kerbau ( Tedong), Babi ( Bai) dan ayam ( Pa’manuk Londong).
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan
dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti
gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan
kesuburan. lambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan
kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup
dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak.
Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan
kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak
di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian
tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu
Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering
digunakan sebagai dasar ukiran dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan
abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam
ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun
suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku
Toraja menggunakan bambu untuk membuat jelas ornamen geometris tersebut.

40 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Motif yang dibuat mengandung makna hubungan masyarakat Toraja
dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon),
dan tanaman (lolo tananan).

Ukiran Toraja selain sebagai perlambangan atau menggambarkan simbol-


simbol tertentu, juga merupakan suatu seni yang tetap terpelihara hingga kini.
Hal ini didukung dengan prosesi ritual upacara adat yang tetap kukuh memegang
nilai-nilai tradisi. Ini merupakan cerminan bahwa masyarakat Toraja amat
menghargai peninggalan dan tradisi nenek moyang.

7.3 Tenun

Tenun Ikat. Desa To’ Barana’ di Sa’dang, di mana masih terlihat beberapa
ibu-ibu tua yang asyik memintal kapas dan menenun benang. Ketekunan para
perempuan tua itu sayangnya bakal punah kalau tidak dilanjutkan oleh orang-
orang muda. Memang harus diakui keterampilan menenun membutuhkan
kesabaran lebih, karena prosesnya menggunakan alat tradisional dan
membutuhkan waktu yang cukup lama, berbilang bulan untuk sebuah kain tenun
yang panjang dan cantik. Kain tenun yang agak lebar dan bisa digunakan untuk
selendang maupun hiasan dinding bernilai sekitar Rp. 75.000,

41 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Syal Jumputan Kuning Garis Merah Biru

7.4 Pakaian Adat Suku Toraja

Pakaian adat pernikahan Suku Toraja


Baju adat Toraja disebut Baju Pokko' untuk wanita dan seppa tallung buku
untuk laki-laki. Baju Pokko' berupa baju dengan lengan yang pendek. Sedangkan
seppa tallung buku berupa celana yang panjangnya sampai di lutut. Pakaian ini
masih dilengkapi dengan asesoris lain, seperti kandaure, lipa', gayang dan
sebagainya.

42 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
7.5 Alat Musik Toraja

 Pa’geso-geso adalah sejenis alat musik gesek yang terbuat dari kayu dan
tempurung kelapa yang diberi dawai. Dawai yang digesek dengan alat
khusus yang terbuat dari bilah bambu dan tali akan menimbulkan suara
yang khas.

 Pa’tulali’ adalah bambu kecil yang halus, dimainkan sehingga


menimbulkan bunyi/suara yang lumayan untuk menjadi hiburan.
 Pa’karobbi adalah alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir.
Benang atau bibir disentak-sentak sehingga menimbulkan bunyi yang
berirama halus namun mengasyikkan.
 Pa’pombang atau Pa’bas adalah musik bambu yang pagelarannya
merupakan satu simponi orkestra. Dimainkan oleh banyak orang biasanya
murid-murid sekolah di bawah pimpinan seorang dirigen. Musik bambu
jenis ini sering diperlombakan pada perayaan bersejarah seperti hari
peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, Peringatan Hari Jadi tana Toraja.
Lagu yang dimainkan bisa lagu-lagu nasional, lagu-lagu daerah Tana
Toraja, lagu-lagu gerejawi, dan lagu-lagu daerah di seluruh Indonesia.

43 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
 Pa’pelle’ atau Pa’barrung adalah alat musik yang digemari oleh anak-anak
gembala menjelang menguningnya padi di sawah. Alat musiknya terbuat
dari batang padi dan disambung sehingga mirip terompet dengan daun
enau yang besar. Pa'barrung ini merupakan alat musik khusus pada
upacara pentahbisan rumah adat (Tongkonan) seperti Ma'bua', Merok,
Mangara dan sejenisnya.

Semua lagu-lagu hiburan duka dapat diikuti dengan suling


tradisional Toraja (Suling Lembang). Passuling ini dimainkan oleh laki-laki
untuk mengiringi lantunan lagu duka (Pa'marakka) dalam menyambut
keluarga atau kerabat yang menyatakan dukacitanya. Passuling ini dapat
juga dimainkan di luar acara kedukaan, bahkan boleh dimainkan untuk
menghibur diri dalam keluarga di pedesaan sambil menunggu padi
menguning.

Alat musik tradisional lainnya adalah geso (biola) danTomoron (terompet).

44 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
7.6 Lagu Suku Toraja
Suku Toraja kaya akan budaya termasuk salah satunya adalah lagu. Berikut
adalah beberapa lagu yang berasal dari Suku Toraja :
1. Iake Maleko Toyang Mambela

Iake Maleko Toyang Mambela Yesu’tu tontong rondongko


Nangnaan tako, narapa lalan katuoam mu
Moi napi’ peleseanmu marunde depe naam mu
Tangla boyo’ ko, tangla pusako, ke Yesu’ tontong urondongko

Iake ko pako kematka’ ko Yesu’ tu tontong rondongko


Napakananna, napakatana, mura’pa lan mintu’ tengkomu
Moi mambela tu tondok mu patu, moi masusako larampo
Nakampaiko, natammuiko, musende dio tolapekna

2. Katuoan Mala’bi’

E sangmane-maneku
Bunkai'tu matammu
Budamo tu kameloan
dadi lan tondokta
Napoparannu tau buda
Napokalelean Indonesia

Apa bu'tu katangkinan


Katang masokanan
Bendan tu saun sia tangga'
Lan tangga kameloan
Urrabek boko maindanna
Tondok Toraya mala'bi'

Saung tangga mapakarannu-rannu


Saung tangga mepakario-rio
Torroimi e sangmaneku
Parri-parri tu penkarangan

Apa bu'tu katangkinan


Katang masokanan
Bendan tu saung sia tangga'

45 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Lan tanga kameloan
Urrabek boko maindanna
Tondok Toraya mala'bi'

Tumba mala'bi'-Na katuoan


Situang kakinaan
Sia mengkaola langan Puang
Umpemeloi tondokta
Na bu'tu kamarampasan
Lako kita sang Torayan

Saung tangga' mepakarannu-rannu


Saung tangga' mepakario-rio
Torroimi e sangmaneku
Parri-parri tu pengkarangan

Saung tangga mapakarannu-rannu


Saung tangga' mepakario-rio
Torroimi e sangmaneku
Parri-parri tu pengkarangan
Parri-parri tu pengkarangan

3. Tondokku Tondok Toraya

Tondokku, tondok Toraya


Natikui buntu malangka'
Sia narande lombok kalua'
Lendu' tongan ia maballo na

Tondokku, tondok Toraya


Tondok ku ni ditibussanan
Tontong ko la kupa lan ara'
Moi umba-umba ku ola

Mamali' tongan penangku


Kekukilalai tu tondokku
E siulu' sia kaboro'ku
Sa'bara' komi ungkampaina
4. Siulu’
5. Lembang Sura’

46 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
6. Marendeng Marampa’
7. Siulu’ Umba Muola
8. Passukaranku
9. Susi Angin Mamiri
10. Kelalambunmi Allo
11. Tontong Kukilalai
12. To Mepare
13. Indeko
14. Sarira Parerung

7.7 Tari Toraja


Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam
upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan
untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang
arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
1.Tarian Ma’gellu

Tarian Ma'gellu. Tarian ini awalnya dikembangkan di Distrik Pangalla kurang lebih
45 km ke arah Timur dari kota Rantepao Biasanya dipentaskan pada upacara khusus yang
disebut Ma'Bua', yang berkaitan dengan upacara pentasbihan Rumah adat
Toraja/Tongkonan, atau keluarga penghuni tersebut telah melaksanakan upacara Rambu
Solo' yang sangat besar (Rapasaan Sapu Randanan). Saat ini tarian Ma'gellu' sering
dipertunjukkan pada upacara kegembiraan seperti pesta perkawinan, syukuran panen,
dan acara penerimaan tamu terhormat. Tarian ini dilakukan oleh remaja putri dengan
jumlah ganjil, diiringi irama gendang yang ditabuh oleh remaja putra yang berjumlah

47 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
empat orang. Busana serta aksesoris yang digunakan juga bukan sembarang busana tapi
khusus untuk penari dengan perhiasan yang terbuat dari emas dan perak

2.Tarian pa'pangngan

Tarian ini dilakukan oleh gadis-gadis cantik memakai baju hitam atau
gelap dan, tentu saja, ornamen khas Toraja seperti kandaure tersebut. Pangngan
Ma 'adalah menari saat menerima tamu-tamu terhormat yang menyambut
dengan kata-kata:

Tanda mo Pangngan mali'ki


Kisorong sorong mati '
Solonna pengkaboro'ki '
Rittingayona mala'bi'ta '
Inde'mo Sorongan sepu '
Rande pela'i toda
Mala'bi tanda Kiala '
Ki po Rannu matoto '

Kata-kata dan penawaran sirih menunjukkan nilai ditempatkan pada


kunjungan dan menegaskan bahwa para tamu telah diterima dan sekarang
dianggap sebagai bagian dari masyarakat Toraja. Penawaran ini secara simbolis
diungkapkan oleh masing-masing penari memegang sirih (pangngan) yang, dalam
perjalanan tarian, ditempatkan dalam kantong di depan mereka. Kantong
tersebut dikenakan oleh wanita lansia kebanyakan di desa-desa dan mengandung
bahan untuk sirih mengunyah sirih pinang campuran, sebuah narkotika ringan
yang noda gigi dan bibir yang jingga-merah. Ia menyerupai tembakau kunyah dan
itulah mungkin alasan mengapa nama diterjemahkan tari adalah Tari Tembakau.

3.Tarian Ma'randing

48 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Tarian ini dilakukan pada saat pemakaman besar untuk orang-kasta yang
lebih tinggi, tarian prajurit yang disebut ma'randing dilakukan, untuk menyambut
para tamu. pakaian Para penari 'didasarkan pada pakaian prajurit tradisional dan
persenjataan. Pada dasarnya, tarian ma'randing merupakan tarian patriotik atau
tarian perang. Kata ma'randing berasal dari kata randing berarti untuk
memuliakan sambil menari. Tarian ini diadakan untuk menunjukkan keahlian
seseorang dalam menangani senjata militer, dan untuk memuji keberanian dan
kekuatan almarhum selama hidupnya. Hal ini ditarikan oleh beberapa orang,
masing-masing membawa perisai besar, pedang dan berbagai ornamen.
Setiap objek yang dikenakan oleh penari memiliki arti sendiri; perisai yang
terbuat dari kulit kerbau (bulalang) merupakan simbol kekayaan karena hanya
orang-orang mulia dan kaya mampu kerbau mereka sendiri; pedang (Doke,
bulange la'bo ', la 'bo' pinai, Todolo la'bo ') menunjukkan kesiapan untuk
memerangi datangnya dan, dengan demikian, mereka melambangkan
keberanian. Helm yang terdiri dari tanduk kerbau (tanduk, dimaksudkan untuk
menangkis pukulan) menjadi simbol maskulinitas dan keberanian.
Tarian ini memiliki empat gerakan pokok. Pada gerakan pertama,
komandan berbalik untuk memeriksa anak buahnya dan senjata mereka - ini
adalah simbol disiplin. Dalam gerakan kedua, lengan memegang perisai ditarik
keluar dan perisai bergerak bolak-balik dan samping - sebuah simbol
kewaspadaan. Kemudian kaki kanan diangkat sedikit dari tanah sementara tumit
kanan terjebak ke dalam tanah - simbol ketekunan. Akhirnya penari bergerak tiga
langkah mundur atau bergerak penari satu ke kiri dan yang lain ke kanan untuk
melihat gerakan musuh di berbagai arah - juga merupakan simbol kewaspadaan.
Selama tarian, para penari yang berteriak untuk mendorong satu sama lain
selama pertarungan. Pengamat akan bergabung dan juga mulai berteriak. Ini
berteriak (peongli) sering dapat didengar di Toraja dalam berbagai kesempatan.

49 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Tarian ini dilakukan pada upacara pemakaman seorang anggota berani
bangsawan lokal. Para penari juga menemani almarhum ke tempat peristirahatan
terakhir itu. Makna asli dari tarian ini adalah untuk menjaga permusuhan jauh
dari desa dan untuk melindungi gadis-gadis muda dari yang diculik oleh musuh-
musuh dari desa-desa tetangga.

4.Tarian Ma’gandangi

Tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk


beras.

5. Tarian Ma’Badong
Tarian ini dilakukan pada saat upacara pemakaman, tepatnya pada hari
pertama upacara pemakaman berlangsung.sekelompok pria membentuk
lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum. Ritual ini dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara
pemakaman.
Tari ini hanya diadakan pada upacara kematian ini bergerak dengan
gerakan langkah yang silih berganti sambil melantunkan lagu ( Kadong Badong )
yang syairnya berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati, agar arwah
yang telah meninggal dapat diterima di negeri arwah ( Puya ) atau alam dialam
baka
6. Tarian Ma’Katia
Selama upacara pemakaman, para perempuan dewasa melakukan tarian
ini sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum.

7. Tarian Ma’dondan
Tarian ini dilakukan pada saat upacara pemakaman setelah
penyembelihan kerbau dan babi. sekelompok anak lelaki dan perempuan
bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria.
8.Tarian Ma’Bua
Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah
tarian yang disebut Ma'bua. Tarian ini hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.
Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan
kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

50 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
9.Tarian Ma’bugi
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari
selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari
Pengucapan Syukur.

10. Tari Pa’gellu

Merupakan salah satu tarian tradisional dari Tana Toraja yang dipentaskan
pada acara pesta “Rambu Tuka”. Tarian ini juga dapat ditampilkan untuk
menyambut patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan
membawa kegembiraan.

7.8 Peralatan Hidup


Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang
digunakan seperti :
Alat Dapur
1. La’ka sebagai alat belanga
2. Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
3. Karakayu yaitu alat pembagi nasi
4. Dulang yaitu cangkir dari tempurung
5. Sona yaitu piring anyaman
Alat Perang / Senjata Kuno
1. Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
2. Penai yaitu parang
3. Bolulong yaitu perisai
4. Sumpi atau sumpit
Alat Perhiasan
1. Beke – ikat kepala
2. Manikkota – kalung
3. Komba – gelang tangan
4. Sissin Lebu – cincin besar
Alat Upacara Keagamaan
1. Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita
2. Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala
3. Pokti – tempat sesajen
4. Sepui – tempat sirih
Alat Musik Tradisional
1. Geso – biola
2. Tomoron – terompet
3. Suling Toraja

51 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
7.9 Makanan dan minuman khas tradisional Toraja

1. Pa’piong Bai (babi)


Makanan ini adalah makanan terbuat dari babi yang dicampur
dengan sedikit rempah-rempah bersama dengan lombok katokkon(cabe
asli Toraja). dan uniknya di masak dengan menggunakan bambu dan
yang kemudian di panggang.

Pa'piong Babi
2. Pa’piong manuk (ayam)
Makanan ini adalah makanan yang terbuat dari ayam yang juga
dicampur dengan rempah-rempah.Proses pembuatannya sama dengan
pa’piong babi, juga di masak dalam bambu, yang kemudian di panggang.
Pa'piong manuk (ayam)

Gambar proses panggangan Pa'piong


3. Pantollo’pamarasan
Pantollo’ pamarasan merupakan masakan khas Toraja yang
terbuat dari daging babi yang diolah dengan pamarasan (rawon) yang
dicampur dengan sedimikian rupa menggunakan rempah-rempah khas
Toraja. Makanan ini biasanya disajikan dalam acara-acara adat masyarakat
Toraja. Selain dimasak dengan menggunakan daging babi,
Tollo’pamarasan juga bisa diolah dengan menggunakan ikan mas.

52 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Pantollo'pamarasan
4. Ballo’ (Tuak)
Merupakan minuman khas masyarakat Toraja yang terbuat
dari getah pohon Nira. Proses pembuatan minuman ini dilakukan dengan
cara fermentasi getah Nira yang dilakukan selama beberapa hari. Rasa
dari minuman ini ada dua macam yaitu, manis dan asam. Rasanya
tergantung dari bagaimana cara dalam fermentasi dan kualitas dari getah
pohon nira itu sendiri. Minuman khas masyarakat Toraja ini biasanya
disajikan baik dalam acara upacara adat (Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’)
maupun dalam acara ucapan syukur keluarga masyarakat Toraja.

Ballo'

8. Adat Istiadat
8.1 Upacara Pemakaman
Di Tana Toraja tradisi menghormati kematian dikenal dengan upacara
Rambu Solo'. Ritual upacara kematian dan penguburan jenazah. Di Tana Toraja
sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka.
“Rambu Solo” adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang
mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

53 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu
pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni :
 Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam
satu malam saja.
 Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga
malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan
hewan.
 Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima
malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan
pemotongan hewan.
 Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh
malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu


sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya
dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka,
sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah
lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman
ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan,
Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang
emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah
kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung
jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini :
 Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas
Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok
kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga),
tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan
juta; Sisemba' (Adu kaki)
 Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo' seperti : Pa'Badong,
Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga
Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan
Unnosong.
 Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat
Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan
sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada
sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus
bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-
sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada

54 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
upacara adat membuat “plasma nutfah” (sumber daya genetika) asli itu terancam
kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo', keluarga mendiang diwajibkan
mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya
upacara pemakaman Rambu Solo'.
Upacara ini meiiputi 7 (tujuh) tahapan,yaitu
a. Rapasan
b. Barata Kendek
c. Todi Balang
d. Todi Rondon.
e. Todi Sangoloi
f. Di Silli
g. Todi Tanaan.

Rambu Tuka” adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran


misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah
adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua
rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja
sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek,
atau Mangrara Banua Sura'.
Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa'
Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna,
Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang,
pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu
Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.
Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan

Rambu Solo' merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja,
karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya
dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya
membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan

55 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit
batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana
Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana
Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat
pula rohnya sampai ke nirwana.
Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-
beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan
dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang
bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari
24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah
diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama
upacara sekitar 3 hari.
Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi jenazah tidak boleh dikuburkan di
tebing atau di tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama
bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga
almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi
penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah,
lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan upacara
ini.
Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan
sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara
Rambu Solo' maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit karena
statusnya masih 'sakit' maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan
diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya,
menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya
dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

56 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Jenazah yang belum dianggap mati

Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama


(tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan
penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya
Ma'tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas
kerbau dengan padang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan
disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada
mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya


sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang
berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya
sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan

57 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar
tongkonan tersebut.
Seluruh prosesi acara Rambu Solo' selalu dilakukan pada siang hari.
sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), tiba di tongkonan barebatu,
Selanjutnya adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju
rante (lapangan tempat acara berlangsung).
Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di
depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya
terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut
ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante
dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut
mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut,
sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.
Dalam pengarakan terdapat urutan-urutan yang harus dilaksanakan, pada
urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu
diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul),
lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan
lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat
prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang
terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri
berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena
selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing
tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang
berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan
diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi
berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara
lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu
dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum
nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan
tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari
setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para
keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan
ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena

58 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
selama upacara Rambu Solo', adu hewan pemamah biak ini merupakan acara
yang ditunggu-tunggu.
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau
merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan
sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu
lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini
merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai
pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di
patane' (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

Bila ada salah satu warga (orang tua atau leluhur ) yang meninggal orang-
orang berbaris pergi kerumah orang tersebut mengikuti dibelakang mereka
hewan ternak untuk dipersembahkan pada tuan rumah dan tuan rumah pun
menyambut dengan ramah dan diiringi oleh tari-tarian dan beraneka ragam
santapan yang telah dipersiapkan diatas daun pisang
Namun dalam Pelaksanaannya upacara ini terbagi menjadi empat
tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni :
 Dipasang Bongi : Upacara yang hanya dilaksanakan dalam satu
malam.
 Dipatallung Bongi : Upacara yang berlangsung selama tiga malam
dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan.
 Dipalimang Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung
selamalima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta
pemotongan hewan.
 Dipapitung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama
tujuh malam setiap harinya ada pemotongan hewan

59 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Pemakaman kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang
paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang
dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan ( Erong ), namun
mereka juga mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan
sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam
masyarakat Toraja maupun ekonomi individu
Pada umunya tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung
atau dibuatkan sebuah rumah ( Pa’tane ). Budaya ini telah diwarisi secara turun
temurun oleh leluhur mereka, adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah
pada liang gua atau tebing merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik
untuk disimak lebih dalam lagi, Dapat dijumpai puluhan Erong yang berderet
dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak disisi batu menandakan
petinya telah rusak akibat di makan usia
Sampai saat ini masyarakat dunia masih dapat menikmati turunan-
turunan budaya yang diwariskan nenek moyang suku Toraja ini, seperti bentuk-
bentuk kebudayaan atau kesenian dari yang bersifat upacara kematian sampai
tari-tarian serta musik-musik khas Toraja. Warisan ini tentunya menjadi sorotan
perhatian dan tanggung jawab bagi masyarakat suku Toraja saat ini, terutama
dengan adanya globalisasi ataupun modernisasi, ketidaksiapan melangkah dalam
menghadapi tantangan-tantangan tersebut tentunya dapat mempertaruhkan
kelestarian alam, budaya Toraja dan juga kualitas SDM Toraja itu sendiri. Sehingga
dapat mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang ada di
Toraja.
Oleh karena itu Toraja mengadakan program Toraja Mamali yaitu program
spontanitas seluruh lapisan masyarakat Toraja, baik yang tinggal di Toraja
maupun diluar Toraja yang peduli terhadap kampung halaman, untuk bersama-
sama menyatukan visi dan misi demi membangun Tana Toraja atas dasar
tanggung jawab dan komitmen bersama. Tekad yang diusung adalah untuk
menjadi Toraja unggul dalam :
1. Perkataaan ( berani dan penuh percaya diri )
2. Penguasaan ilmu dan teknologi ( cerdas dan terampil )
3. Penebaran kasih ( saling hormat dan mengasihi )
4. Pariwisata ( budaya dan alam )

Toraja mamali dicanangkan sebagai program kerja lima tahun (2006 –


2010) dimana akan diwujudkan melalui konsep program kerja yang konkrit dan
nyata khususnya akan diarahkan kepada bidang pendidikan, pertanian dan
pariwisata.

60 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan
(Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada
tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).
Beberapa kawasan pemakaman :
 Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam
sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam
bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu
menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.
Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7
km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan
panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati
dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
 Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan
alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang
Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri
sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan
kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena
model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-
bintik.
 Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di
Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan
ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI
oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama
istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat
pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan
dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita
berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari
Makale.
 Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para
bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
 To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak
yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar
tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga
inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
 Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang
dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang
meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja

61 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi
gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat
dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
 Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan
Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain
Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu
dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan
kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam
adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan
tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan
termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari
poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam
yang mempesona.
 Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang
merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur
dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari
poros jalan Makale-Rantepao.

Tempat upacara pemakaman adat


a. Rante
Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi
dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang
Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah
ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir
ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor
perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang
meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan
(kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
b. Tau-tau
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada
pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah
satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau.

62 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya
dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau.
Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman
muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin
berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.

Tempat Penguburan Toraja Yang Diukir Tempat Penguburan Toraja

8.2 Pernikahan Adat


Perkawinan yang dinamai rampanan kapa’ di Tana Toraja merupakan
suatu adat yang paling dimuliakan masyarakat Toraja karena dianggap sebagian
dari terbentuknya atau tersusunannya kebudayaan seperti pula pada suku-suku
bangsa lainnya di Indonesia.
Jikalau kita memperhatikan proses dan pelaksanaan perkawinan yang
dinamakan rampanan kapa’ itu di Tana Toraja yang dilakukan menurut adat
Toraja, maka tampak perbedaan antara proses perkawinan di daerah lain karena
yang dilakukan atau yang menghadapi serta yang mensyahkan perkawinan di
Tana Toraja bukanlah penghulu agama tetapi dilakukan oleh pemerintah adat
dinamakan ada’. Namun sebenarnya perkawinan itu di asuh atau diatur olah
aturan-aturan yang bersumber dari ajaran aluk todolo yang dinamakan aluk
rampanan kapa’.
Dalam suatu perkawinan di Tana Toraja tidak diadakan kurban
persembahan dan sajian persembahan seperti dalam menyelamati peristiwa-
peristiwa lain umpamanya pembangunan rumah, menyelamati keadaan tanaman
dan hewan ternak dan kelahiran manusia dan lain-lain.
Perkawinan di Tana Toraja adalah semata-mata adanya persetujuan
kemudian persetujuan itu disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan
pemerintah adat dan seluruh keluarga yang telah terdapat aturan dan hukum-
hukum yang dibacakan dalam perjanjian sebagai sangsi dan perjanjian
perkawinan.
Mobil Pendoloan, yaitu mobil khusus yang berjalan didepan Mobil
Pengantin, memasuki lokasi pesta. Mobil Pendoloan itu diikuti oleh Mobil
Pengantin dibelakangnya kemudian berhenti tidak jauh dari pusat pesta, untuk
menurunkan pengantin dan rombongan yang menyertainya.

63 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Pengantin lelaki kemudian membawa pengantin perempuan menuju
Gereja untuk disyahkan secara agama , kemudian kembali ke lokasi pesta. Pada
saat menuju lokasi pesta, di depan ada pasukan yang membawa Doke semacam
Tombak, kemudian disusul dengan barisan pagar ayu yang berbaju adat Kandore
yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada,
gelang, ikat kepala dan ikat pinggang. Ada dua warna baju para pagar ayu, yaitu
Merah dan Putih, kemudian di belakang mereka berjalan-lah pasangan pengantin
dengan diiringi oleh Payung Kebesaran, selanjutnya menyusul-lah para keluarga

dari keluarga kedua mempelai. Kedua mempelai itu berjalan menuju kursi
pelaminan yang telah disediakan.

64 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Nama tempat pelaksanaan pesta perkawinan adalah Tongkonan LOMBOK,
dan disitulah pelaminan pengantin disediakan. Tongkonan adalah Rumah
Tradisional Toraja yang dihiasi dengan ukiran berwarna hitam, merah dan kuning.
Kata Tongkonan sendiri berasal dari bahasa Toraja yaitu Tongkon yang berarti
duduk.

Kalau diperhatikan dengan seksama, maka di bahagian atas tongkonan itu


ada semacam etalase yang terbuat dari kaca, lalu di dalam kaca tersebut
terpajanglah Lima Tengkorak Kepala Manusia. Saya mencoba mencari tahu
keberadaan tengkorak-tengkorak itu, dan hampir semua mengatakan bahwa itu

adalah tengkorak dari para penguasa Tongkonan Lombok sejak jaman dahulu
kala. Dan sebagai penghormatan, maka tengkorak-tengkorak mereka diletakkan
di situ. Dan bagi masyarakat Toraja, sudah menjadi kebiasaan tinggal bersama
sisa-sisa jasad para leluhur mereka. Bahkan ketika mayat belum dikuburpun,
biasanya disimpan terlebih dahulu di dalam rumah tempat mereka tinggal.

Tongkonan LOMBOK Lima Tengkorak Kepala Manusia

65 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Dibawah ini adalah foto-foto suasana pesta perkawinan. Untuk tamu-
tamu yang memiliki posisi tinggi dipemerintahan, atau memiliki kedudukan
dalam Dewan Adat dan memiliki unsur kebangsawanan di persilahkan bergabung
duduk di Alang, atau Tempat Duduk Di bawah Lumbung, dimana Lumbung adalah
tempat menyimpan padi bagi masyarakat Toraja dan merupakan tempat
kehormatan bagi para tamu. Sementara para tamu lainnya dibuatkan pondok dari
bambu yang memanjang, dan di sesuaikan dengan asal kampung mereka. Juga
disediakan kursi bagi para udangan lainnya.

Biasanya para undangan membawa Jerigen yang berisi Tuak, yang


digunakan sebagai air minum pengganti air putih setelah menikmati konsumsi
yang disediakan oleh tuan rumah. Tuak ini diminum dengan menggunakan
Bambu sebagai wadahnya yang biasa disebut SUKE. Membawa tuak merupakan
tradisi masyarakat Toraja, dimana itu juga merupakan penghormatan kepada
tuan rumah. Meskipun akhirnya Tuak tersebut mereka konsumsi sendiri.

Dan puncak-nya adalah foto kenang-kenangan, foto bareng dengan


keluarga, terlebih dengan keluarga yang datang dari tempat yang jauh. Bagi

66 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
masyarakat Toraja, tempat berkumpul dan berjumpa dengan keluarga adalah di
acara Rambu Solo atau Upacara Adat Pemakaman dan Rambu Tuka yaitu acara
syukuran adat, serta di Pesta Perkawinan seperti ini, karena setelah itu mereka
kembali berpencar ke seluruh negeri untuk mencari sesuap nasi dan sepiring
berlian.

TINGKATAN RAMPANAN KAPA' (Toraja dan Kebudayaannya / Edisi III / L. T.


Tangdilintin / Yalbu / 1978)

Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut


kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya
harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang
laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi,
maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari pada
perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam) ekor kerbau
Sangpala’.

Demikianlah maka perkawinan itu dilakukan dalam 3 cara. Hai itu


ditentukan oleh kemampuan dari yang mengadakan perkawinan dan ketiga cara
ini tidak dititikberatkan pada adanya tana’ atau dengan kata lain cara kawin ini
ditentukan saja oleh waktu perkawinan dan karena itu maka dikenallah tiga
macam waktu serta menjadi pula tiga tingkatan masing-masing :

1. Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’


Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan
tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya
hanya pengantar laki-aki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi
dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam
untuk jamuan dari pengantar laki-laki.

2. Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya


perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan
mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam
pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan
saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-
ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang
sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong
seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan

67 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan
banyaknya yang hadir.

3. Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu
perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih
kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan
ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai
dengan kemampuan dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo
Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan
yang disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya
dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta
Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana'
Kua-Kua .

Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo,
harus melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan
ini masing-masing:

1. Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan
perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar.

2. Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan


mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang
dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang),
yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung
disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar
sirih pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang
jalannya sebagai berikut:
 Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai
pernyataan lamaran.
 Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang
menunggu jawaban pinangan.

 Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa lamaran


yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan
membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu
utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan
3. Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk
menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan

68 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang hari
yang dinamakan Kapa’
4. Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan
sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya
berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua
buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’
Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan To
Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan
yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti
mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula
bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya
dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta
mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus
menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta
bangsawan/Tana' Bulaan.
5. Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-
laki untuk mengakhiri perkawinan damn melaksanakan yang dikatakan
Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh
wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah
perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku
Barasangini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa
bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung
beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan
dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga
pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah
perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada
kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh
keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang
hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan
seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada
waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang yang berisi nasi
dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta yang kawin,
yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin ini berasal
dari kasta Tana' Bulaan ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan dulang dari
Tana' Bulaan yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo sebagai berikut:
1. Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua
mempelai.

69 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
2. Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang
datang membawa sirih pinang.
3. Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
4. Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan
Kapa' (perkawinan).
5. Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada
saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki
dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-
masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta
Tana' Bulaan dengan susunan 9 (sembilan) dulang. Dengan adanya perkawinan
semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan
baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka
diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat
hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada
nilai hukum Tana dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan Kapa’, yang
jumlah Kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan
berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah. Penentuan hukuman dengan nilai
hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu
sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga
kedua belah pihak. Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana
Toraja antara lain:
1. Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang
bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar
kepada yang tidak bersalah sebesar nilai Hukum Tana’ yang telah
disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
2. Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh
adat yang dinamakan To Sikampa(to=orang;sikampa=saling menunggui)
dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari Dulang
(Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu
tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai
dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain
dari pada dewan adat.
3. Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka
laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang tua perempuan jikalau
tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak sama
atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat
hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.

70 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
4. Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan
perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan
membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
5. Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat
tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada
hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
6. Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda
yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan
pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan
nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum
upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu
sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi
sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu
dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan
janda itu.

8.3 Ma’ Nene

Tana Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam


pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor,
tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang
dihormati.
Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Toraja ini
senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.Selain Rambu Solo,
sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di Toraja, yaitu Ma’ Nene’, yakni ritual
membersihkan dan mengganti busana jenazah leluhur.

71 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Ritual ini hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara.
Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’ berlangsung,
peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam
dan liang batu dan diletakkan di arena upacara.
Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara
perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang
tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah
dengan yang baru.Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup
dan tetap menjadi bagian keluarga besar.

Ritual Ma’ Nene’ oleh masyarakat Baruppu dianggap sebagai wujud


kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah meninggal
dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari gangguan
jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.

72 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Asal Muasal Ritual Ma' Nene' di Baruppu

Kisah turun-temurun menyebutkan, pada zaman dahulu terdapatlah


seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek. Saat sedang berburu di
kawasan hutan pegunungan Balla, bukannya menemukan binatang hutan, ia
malah menemukan jasad seseorang yang telah lama meninggal dunia. Mayat itu
tergeletak di bawah pepohonan, terlantar, tinggal tulang-belulang.
Merasa kasihan, Pong Rumasek kemudian merawat mayat itu
semampunya. Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang dipakainya,
lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong Rumasek
melanjutkan perburuannya.
Tak dinyana, semenjak kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu, ia
selalu memperoleh hasil yang besar. Binatang hutan seakan digiring ke dirinya.
Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati tanaman padi
di sawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya.
Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya
berkat welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak bernama yang
ditemukannya saat berburu. Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu
memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’ Nene’.
Dalam ritual Ma’ Nene’ juga ada aturan tak tertulis yang mengikat warga.
Misalnya, jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang
ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma’ Nene’ untuknya.
Ketika Ma’ Nene’ digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran ke
seantero negeri akan pulang kampung demi menghormati leluhurnya.
Warga Baruppu percaya, jika Ma’ Nene’ tidak digelar maka leluhur juga
akan luput menjaga mereka. Musibah akan melanda, penyakit akan menimpa
warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan padi yang bernas dan tanaman
yang subur.

8.4 Kombongan

Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang mengawal


dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan,
maka salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang
dinamakan Kombongan.

73 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke
generasi. Semboyan Kombongan yaitu “Untesse batu
mapipang” artinya dapat memecahkan batu cadas yang mempunyai makna
bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat
merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan
setelah disahkan merupakan adat.

Prinsip tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga


dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan
bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, “Kada Rapa dan Kada
Situru” (kesepakatan dan persetujuan) yaitu :

 Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan


 Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
 Kombongan Karopi dalam tiap Karopi
 Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi

Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung),


kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan
aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai
tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di Tana
Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka
kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing
kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.

Kombongan kalua sang lembangan, kombongan yang tertinggi dalam


wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada
hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge bersama
pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan
bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil
keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.

Musyawarah Kombongan Kalua dalam pengambilan keputusan


berdasarkan keterwakilan oleh To Parenge karena asumsi bahwa sudah ada
proses di tingkat Karopi sebelum terjun ke Kombongan Kalua. Seluruh keputusan
dalam Kombongan Kalua dibacakan kembali oleh To Dia dan akhiri dengan
upacara Potong Babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti
apabila ada yang mengingkari hasil Kombongan, maka tulang babi akan
menyumbat lehernya dan bulu dari babi akan menusuk perut sehingga hasil
kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Besse atau sumpah.

74 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Hasil Kombongan Kalua disosialisasikan kembali oleh To Parenge atau
pemuka adat yang biasanya dilakukan pada saat upacara adat dan mengikat
seluruh warga Lembang sang Nanggalaan.

Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja.


Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila
terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh
seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut
tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang
terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta
pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya
sehingga biasanya kombongan menjadi ajang Pengadilan To Parenge, namun
karena kedudukan To Parenge serta mekanisme pengangkatannya melalui usulan
keluarga, maka sukar dijatuhkan namun To Parenge dapat dikenakan denda atau
didosa. Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut
aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. Apabila ada
yang tidak dapat diselesaikan atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya,
maka akan diajukan ke Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya
menunjuk beberapa pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat.

Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkit aturan lokal dalam


wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain
organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Mengkaji
dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-royong
kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau
hutan. Segala keputusan Kombongan diketahui oleh To Parenge dan yang tidak
terselesaikan di bawa ke Kombongan Karopi.

9. Aset budaya dan pariwisata suku Toraja

Sulawesi selatan merupakan salah satu wilayah yang juga banyak


dikunjungi oleh wisatawan, ini dikarenakan banyaknya tempat-tempat wisata
yang menarik salah satunya adalah tanah toraja.keunikan dari budaya dan
keseniannya menarik wisatawan dan membuat tanah toraja menonjol dibanding
tempat-tempat wisata yang lain.
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan
Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan
sebagai "perhentian kedua setelah Bali".Pariwisata menjadi sangat meningkat:
menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi

75 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan
tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. [2] Suvenir dijual di Rantepao,
pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain
itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah
petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan
Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman
batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah
mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum
tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual
Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh
bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa
bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap
sebagai orang luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan(sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985.
Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional
sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada
daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan
dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka
masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah
ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan
beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu
mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari
saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari
penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat
sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan
(Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar
bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para
wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status
kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat
saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara
memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Tongkonan

76 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Jika anda pernah berjalan-jalan ke tanah toraja, pertama kali yang
mengundang daya tarik anda adalah bentuk bangunannya yang unik, yang akan
anda jumpai dihampir setiap pekarangan masyarakat toraja. Bangunan yang unik
ini merupakan rumah adat masyarakat toraja yang lebih dikenal dengan Rumah
Tongkonan. Konon bentuk tongkonan menyerupai perahu kerajaan Cina jaman
dahulu. Pada bangunan tongkonan ini terdapat guratan pisau rajut merajut diatas
papan berwarna merah, yang merupakan pertanda status social pemilik
bangunan. Ditambah lagi oleh deretan tanduk kerbau yang terpasang digantung
di depan rumah, semakin menambah keunikan bangunan yang terbuat dari kayu
tersebut.

77 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Pekuburan Gua Londa
Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Salah
satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dimana
peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainya
dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Londa terletak de
Desa Sendan Uai, Kecamatan Sanggalai, sekitar 5 Km ke arah selatan dari
Rantepao, Tana Toraja.

Ke'te Kesu

Ke’te Kesu berarti pusat kegiatan, dimana terdapatnya perkampungan,


tempat kerajinan ukiran, dan kuburan. Pusat kegiatannya adalah berupa deretan
rumah adat yang disebut Tongkonan, yang merupakan obyek yang mempesona di
desa ini. Selain Tongkonan, disini juga terdapat lumbung padi dan bangunan
megalith di sekitarnya. Sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat
situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau dalam bangunan
batu yang diberi pagar. Tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya

78 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
sehari-hari. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki
oleh penduduknya dan sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja
souvenir. Terletak sekitar 4 Km dari tenggara Rantepao.

Ini adalah gambar patane (kuburan) milik ne'reba sarong allo yang merupakan
salah satu kuburan yang ada di ke'te' kesu'

Batu Tumonga

Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu
lingkaran dengan 4 pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki
ketinggian sekitar 2 – 3 meter. Dari tempat ini anda dapat melihat keindahan
Rantepao dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sesean dengan ketinggai
1300 Meter dari permukaan laut.

Pekuburan Batu Lemo

79 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Lemo merupakan sebuah kuburan yang dibuat di bukit batu. Bukit ini
dinamakan Lemo karena bentuknya bulat menyerupai buah jeruk (limau). Di
bukit ini terdapat sekitar 75 lubang kuburan dan tiap lubangnya merupakan
kuburan satu keluarga dengan ukuran 3 X 5 M. Untuk membuat lubang ini
diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dengan biaya sekitar Rp. 30 juta.
Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo anda
dapat melihat mayat yang disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang
curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni
dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti
dengan melalui upacara Ma Nene. Kuburan Batu Lemo ini terletak di sebelah
utara Makale, Kabupaten Tana Toraja.

Kuburan Bayi Kambira

Di kuburan ini, bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan


di dalam sebuah lubang yang dibuat di pohon Tarra’. Bayi ini dianggap masih
masih suci. Pohon Tarra’ dipilih sebagai tempat penguburan bayi, karena pohon
ini memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dengan
menguburkan di pohon ini, orang-orang Toraja menganggap bayi ini seperti
dikembalikan ke rahim ibunya dan mereka berharap pengembalian bayi ini ke
rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir kemudian.

Pohon Tarra’ memiliki diameter sekitar 80 – 100 cm dan lubang yang


dipakai untuk menguburkan bayi ditutup dengan ijuk dari pohon enau.
Pemakaman seperti ini dilakukan oleh orang Toraja pengikut ajaran kepercayaan
kepada leluhur. Upacara penguburan ini dilaksanakan secara sederhana dan bayi

80 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
yang dikuburkan tidak dibungkus dengan kain, sehingga bayi seperti masih
berada di rahim ibunya.

Kuburan ini terletak di Desa Kambira, tidak jauh dari Makale, Tana Toraja.

Arung Jeram Sungai Sa’dan

Sungai Sa’dan memiliki panjang sekitar 182 km dan lebar rata-rata 80


meter serta memiliki anak sungai sebanyak 294. Di sepanjang Sungai ini terdapat
beberapa jeram dengan tingkat kesulitan yang berbeda, seperti jeram Puru’
dengan kategori tingkat kesulitan III; jeram Pembuangan Seba dengan kategori
tingkat kesulitan IV, yaitupermukaan air di pinggir sungai yang lebar dan tiba-tiba
menyempit dengan cepat; jeram Fitri dengan kategori tingkat kesulitan V, yaitu
berupa patahan dan arus sungai yang menabrak batu besar yang dapat
menyebabkan perahu menempel di batu dan terjebak diantaranya. Selain itu,
topografi daerah ini juga sangat menarik dengan keindahan alam dan udara yang
sejuk di sepanjang perjalanan.

Lokasi Sungai Sa’dan ini dimulai dari jembatan gantung di Desa Buah Kayu
kabupaten Tana Toraja dan berakhir di jembatan Pappi Kabupaten Enrekang,
Sulawesi Selatan.

10. Kesimpulan

81 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, daerah tana toraja memiliki
sejarah yang panjang dan layak diketahui. Termasuk pola kehidupan yang tidak
kalah unik dibanding suku-suku lainnya di Indonesia. Tidak hanya peninggalan
sejarah, namun juga peninggalan budaya suku Tana Toraja yang masih terjaga
kelestariannya hingga saat ini.
Tana Toraja memiliki ciri khas yang unik dan luar biasa . Suku yang
berdiam di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan
yang unik. Keunikan serta kekayaan yang ada dalam Suku Toraja ini meliputi
rumah adat, bahasa, religi, sistem kemasyarakatan, makanan khas, sistem
kesenian, mata pencaharian, upacara pemakaman, upacara perkawinan, musik
dan tarian, objek wisata yang beragam dan unik. Tentunya banyak diminati para
wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara sebagai objek wisata.

Daftar Pustaka

82 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
http://www.apakabardunia.com/2011/05/ritual-unik-suku-toraja-
membersihkan.html
http://hariyantowijoyo.blogspot.com/2012/05/pesta-perkawinan-adat
torajawarisan.html#axzz2QJhc47mY
http://dicahdwicahyono.blogspot.com/2011/03/tingkatan-rampanan-kapa-
toraja-dan.html
http://www.sulsel.go.id/wisata/Kabupaten%20Tana%20Toraja?page=1
http://dicahdwicahyono.blogspot.com/2011/03/objek-wisata-yang-ada-di-tana-
toraja.html
http://banuadigital.blogspot.com/2010/07/bagaimanakah-adat-nikah-di-tana-
toraja.html
http://reskidembong.wordpress.com/2012/03/12/makanan-khas-tradisional-
toraja/
http://bougenvile.blogspot.com/2008/01/memahami-sosiologi-komunikator.html
http://dicahdwicahyono.blogspot.com/2011/03/tarian-tradisional-tana-
toraja.html
http://moeslikhienachcahwaru.blogspot.com/2012/12/suku-tanah-toraja.html
http://lagutoraja.blogspot.com/
http://torajamamasa.blogspot.com/2011/12/alat-alat-musik-tradisional-
toraja.html
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/12/24/ukiran-kayu-keunikan-
lain-dibalik-tana-toraja-519290.html
http://yessy-si.blogspot.com/2013/01/kebudayaan-suku-toraja.html
http://leezheek.blogspot.com/2012/11/filosofi-tongkonan-rumah-adat
toraja.html
http://muchammadekodarwanto.blogspot.com/2012/11/rumah-adat-toraja-
tongkonan.html
http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/03282716/tongkonan.simpul.perada
ban.toraja
http://cetak.kompas.com/read/2011/02/21/03510635/juru.kunci.budaya.toraja
http://aluktodolo.blogspot.com/2012/06/aluk-todolo-kepercayaan-kepada-
leluhur.html
http://kwatkhaysin.blogspot.com/2011/10/kajian-antropologis-suku-toraja.html
http://novrymythology.blogspot.com/2012/10/suku-toraja.html
http://sheilanurcahaya.wordpress.com/2012/01/17/suku-toraja/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
http://www.toraja.go.id/
http://www.tanatorajasulawesiselatan.com/tongkonan.htm

83 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a
http://properti.kompas.com/index.php/read/2009/06/25/1608452/filosofi.ruma
h.adat.toraja
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13795/1/09E01580.pdf
http://www.slideshare.net/coryditapratiwi/toraja-presentasi
http://protomalayans.blogspot.com/2011/09/marga-suku-toraja.html
http://kainikat.com/tag/mata-pencaharian-penduduk-tana-toraja/

84 | I l m u B u d a y a D a s a r – S u k u To r a j a

Anda mungkin juga menyukai