Anda di halaman 1dari 12

Tugas Bahasa Indonesia MENYAMA BRAYA SEBUAH KEARIFAN LOKAL BALI SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN HARMONI SOSIAL BANGSA

INDONESIA

Oleh Eka Handayani 0815051073

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK DAN KEJURUAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA TAHUN 2012 KATA PENGANTAR
i

Om Swastyastu Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya lah maka makalah yang berjudul MENYAMA BRAYA SEBUAH KEARIFAN LOKAL BALI SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN HARMONI SOSIAL BANGSA INDONESIA ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan mekalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah yang berikutnya sangat kami harapkan. Penulis berharap semoga mekalah ini dapat bermamfaat bagi yang membacanya.

Singaraja, Juni 2012

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Hal Kata Pengantar.................................................................................................................... ii Daftar Isi.............................................................................................................................. iii Bab I Pendahuluan Latar Belakang........................................................................................................... 1 Rumusan Masalah..................................................................................................... 1 Tujuan Penulisan....................................................................................................... 2 Manfaat Penulisan..................................................................................................... 2 Bab II Pembahasan Konsep Menyama Braya........................................................................................... 3 Menyama Braya Kearifan Lokal Bali Sebagai Upaya Mewujudkan Harmoni Sosial.......................................................................................................................... 4 Bab III Penutup Simpulan.................................................................................................................... 8 Saran.......................................................................................................................... 8 Daftar Pustaka..................................................................................................................... 9

iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, suatu krisis maha besar akibat perubahan demografi, teknologi, organisasi, ideologi, ekologi den ekonomi yang tiada taranya sedang terjadi. Masalah ini diduga muncul sebagai akibat dari perkembangan kebutuhan manusia dalam aspek jasmaniah yang jauh lebih cepat daripada perkembangan kesadaran manusia tentang aspek spiritual. Krisis yang muncul juga lebih disebabkan oleh arus globalisasi, dimana dunia semakin kecil dan saling mempengaruhi antar bangsa yang tidak dapat dihindari dampak negatif yang juga muncul adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dan orientrasi manusia, yakni selalu menganggap hidup ini buruk, selalu ingin menundukkan alam, bekerja hanya untuk mendapatkan suatu kedudukan tertentu dan berkembangnya sifat-sifat individualistik. Perkermbangan masyarakat, baik karena sebab-sebab internal maupun ekstemal, terutama dalam keterbukaan dengan peradaban global, akan makin terkomunikasi dengan berbagai sistem nilai. Di pihak lain, tantangan sosial yang begitu cepat dan banyak justru menciptakan medan yang luas untuk menjalin suatu kerjasama antara berbagai agama, tidak saja karena tantangan itu tidak kuat lagi dihadapi secara sendiri-sendiri, tetapi juga karena tantangan yang mengancam keselamatan manusia merupakan tantangan yang senantiasa memanggil fungsi agama untuk berperan, secara langsung atau tidak langsung, kita wujudkan konsep ideal menyama braya dalam pikiran, perkataan dan perilaku (Trikaya Parisuda) sehari-hari. Sudah tidak masanya lagi kalau ada umat beragama tetap berpegang pada pandangan sepihak, bahwa hanya agamanya yang benar, yang baik, dan agama diluar agamanya itu salah. Pandangan seperti itu sudah harus ditinggalkan jauhjauh. Persoalan-persoalan kemanusiaan akan tidak selesai dan tidak akan bisa dihadapi oleh satu kelompok agama atau satu golongan agama. 1.2 RUMUSAN MASALAH Bertitik tolak pada latar belakang dalam penulisan ini, maka dapat penulis rumuskan beberapa masalah yaitu: 1.2.1 Apakah konsep menyama braya itu? 1.2.2 Bagaimana menyama braya dapat mewujudkan harmoni soasial bangsa Indonesia 1.3 TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan yang akan dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1

1.3.1 1.3.2

Untuk mengetahui konsep dari menyama braya. Untuk mengetahui bagaimana menyama braya dapat mewujudkan

harmoni sosial bangsa Indonesia. 1.4 MANFAAT PENULISAN Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.4.1

Makalah ini dapat bermanfaat menambah wawasan penulis dan Makalah ini dapat bermanfaat sebagai referensi untuk penulisan

pemvbaca mengenai menyama braya untuk mewujudkan harmoni sosial. 1.4.2 berikutnya.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 KONSEP MENYAMA BRAYA Secara etimologi menyama braya terdiri dari dua kata, yakni nyama dan braya. Nyama berarti saudara, kemudian mendapat awalan me menjadi menyama yang berarti bersaudara. Nyama maupun menyama yang berarti saudara/bersaudara yang dimaksud adalah saudara kandung/saudara keturunan darah (vertikal), dan nyama/menyama adalah saudara/bersaudara karena berasal dari satu perut, juga satu mengacu dari pengertian kata saudara (se artinya satu, udara berarti: perut). Jadi keturunan darah, tunggal dadia/ tunggal purusa (saudara kandung, misan, mindon). Sedangkan braya berarti tetangga terdekat atau orang sekitar (horizontal). Braya adalah tetangga atau sesama umat manusia. Dalam bahasa Bali, braya juga disebut semeton (se berarti satu dan meton, metu berarti lahir). Jadi braya adalah semua umat manusia karena satu jalan kelahiran. Pada sisi lain, secara etimologi menyama braya juga memiliki pengertian yang terbalik sebagaimana yang dijelaskan di atas. Nyama berasal dari kata nyam. Nyam berarti yeh (air) dan yeh itu adalah kama. Kama adalah bibit kehidupan. Kemudian dari kata kama ada kata kamu dan kami. Kamu dan kami adalah sama-sama saudara/bersaudara sebab berasal dari kama atau yeh (air). Jadi nyama atau menyama berarti semua umat manusia saudara/bersaudara karena tunggal bibit, disamping itu nyama atau menyama yang berarti semua umat manusia bersaudara mengacu dari arti kata saudara (se berarti satu, udara berarti udara/angin) sebab yang menghidupkan kita adalah satu udara. Braya adalah perubahan dari kata brayat yang berarti saudara kandung, misan dan mindon (sepupu) purusa, tunggal kawitan, atau orang-orang se-klen (di Bali dikenal dengan tunggal pemujaan atau satu agama). Walaupun yang adanya pengertian secara etimologi berbeda, dimana satu memahami nyama lebih sempit sedangkan yang lain lebih luas, demikian dan sekaligus terminologi

tunggal dadia, tunggal sanggah, tunggal sembah yang berarti satu leluhur, satu tempat

juga braya, akan tetapi sesungguhnya mengandung esensi dan prinsip dasar yang sama, bahwa nyama braya adalah sebuah frasa untuk menyatakan persaudaraan sesama manusia. Sedangkan menyama braya adalah suatu
3

cara hidup yang memahami Bertitiktolak dari

bahwa semua manusia pengertian

adalah bersaudara

atau

cara

hidup yang memperlakukan orang lain seperti saudara sendiri. tersebut, masyarakat Bali memahami bahwa menyama braya dalam beberapa hal: Pertama, menyama braya (persaudaraan) adalah kekayaan utama, bukan uang, pangkat atau wanita. Ada sebuah petuah yang membudayadalam masyarakat Bali buat apa kaya tapi tak bisa menyama braya (Damayana, 2005). Kedua, menyama braya adalah jalan untuk menggapai kebahagiaan dan keharmonisan hidup (dharma santi). Sebagai sebuah jalan untuk menggapai kebahagiaan dan kesejahteraan adalah aktualisasi dari landasan hidup Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan hidup, salah satunya adalah harmoni dengan sesama), juga terungkap melalui beberapa lagu daerah yang cukup populer dalam masyarakat Bali, misalnya, (Maskot Kembang Jempiring Kota Denpasar) dan Bungan Sandat , Kidung Leluhur dalam tembang ginanti

yang sarat dengan pesan-pesan moral. Ketiga, menyama braya adalah salah satu kearifan lokal (local wisdom) masyarakat lokal Bali, yang pahami dan diyakini secara luas sebagai sebuah kearifan yang cukup efektif dalam menjaga integrasi masyarakat (sosial). Integrasi disini dipahami sebagai pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem social tertentu. Hal ini diperlukan agar masyarakat tetap terintegrasi meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. 2.2 MENYAMA BRAYA KEARIFAN LOKAL BALI SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN HARMONI SOSIAL Kearifan lokal adalah ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau (Poespowardojo

1986 dalam Triguna 2008). Lebih lanjut Astra (2006 dalam Yudha, 2008), menyatakan bahwa yang dimaksud kearifan lokal adalah aneka unsur budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah atau masyarakat, yang mengkristal secara evolusioner dan tersusun secara kumulatif seiring dengan pengalaman wilayah atau masyarakat tersebut, yang memiliki kemampuan mengolah serta mengintegrasikan unsur-unsur budaya pendatang dengan budaya setempat, sehingga dapat memperkaya dan meningkatkan kualitas atau nilai budaya setempat dan bermakna bagi pembinaan mempunyai kemampuan mengakomodasi dan adat masyarakat pendukungnya. budaya luar, 3) mempunyai Dengan sifat-sifat yang hakiki seperti: 1) mampu bertahan terhadap budaya luar, 2) unsur-unsur
4

kemampuan mengintegrasi budaya luar, 4) mampu mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya sendiri, sehingga fungsi yang dapat dilaksanakan oleh kearifan lokal menjadi sangat luas dan beragam. Secara konsepsional kearifan lokal (Geriya 2004: 8-10) adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika cara-cara dan prilaku yang melembaga secara tradisional mengelola yang dimaksud adalah berbagai sumber daya manusia dan sumber daya budaya untuk kelestarian sumber daya tersebut bagi kelangsungan hidup berkelanjutan. Kearifan lokal sebagai kebijakan harmonis lahir para leluhur yang telah disepakati, fungsi secara empiris karena batin. Bentuk cakupannnya bidang sastra lisan tradisional, upacara

pengalaman turun-temurun, semuanya dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan sejahtera, tradisional dan tingkah laku sebagai sikap teloransi untuk menghargai manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan penciptanya. Menurut John Haba kearifan lokal ialah sebuah kebudayaan yang mengacu pada pelbagai kekayaan budaya itu sendiri, yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, dikenali, dipercayai, dan diakui sebagai elemen- elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat. Sehingga dalam pengertian di atas, menyama braya sebagai kearifan lokal dapat berarti wujud budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang hidup dan berkembang serta memiliki kemampuan bertahan terhadap budaya luar, mengakomodasi mengintegrasi-mengendalikan pengaruh budaya luar, serta mampu memberi arah pada perkembagan budaya yang ada. Konsep menyama braya mengandung nilai-nilai plural yang menganggap orang lain adalah saudara, sama dengan dirinya dan oleh karena itu saling membutuhkan dalam membangun relasi sosialnya dan mewujudkan harmoni sosial dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Lanin (2007: 44) mengemukakan manusia melakukan hubungan sosial/relasi sosial:
1. Naluri untuk mencari teman hidup. Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan

ada

empat

faktor

yang mendorong

memiliki hasrat yang berdasar naluri untuk mencari teman hidup. Secara biologis, laki-laki membutuhkan perempuan, begitu pula sebaliknya. Hubungan ini bermula dari tuntutan biologis semata, kemudian kaerena nilai-nilai agama hubungan itu berkembang menjadi ikatan perkawinan dalam bentuk sebuah keluarga. 2. Kelemahan yang ada pada manusia mendorongnya untuk mecari kekuatan bersama. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri
5

sebagai seorang individu. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan beragam itu memaksanya untuk menjalin hubungan individu atau kelompok lain. Dari sinilah kita bisa melacak terbentuknya sebuah kelompok atau serikat. Masing-masing individu yang menjadi anggota kelompok atau masyarakat itu ingin terpenuhi kebutuhannya. Dengan menjadi anggota masyarakat maka ia akan merasa terlindungi, aman, dan tidak merasa hidup sendirian.
3. Manusia adalah makhluk sosial. Pada dasarnya manusia adalah mahkluk sosial yang

senantiasa menyukai hidup bersama. Menurut Aristoteles manusia adalah Zoon Politicon, artinya di mana pun manusia berada, ia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Manusia lebih suka hidup bersama daripada hidup sendiri.
4. Perbedaan dalam diri manusia. Adanya perbedaan sifat kedudukan, watak/karakter, dan

kebutuhan mendorong manusia untuk menjalin hidup kebersamaan. Menusia baru akan merasakan realitas atau kenyataan hidup saat menyadari bahwa ia berbeda dari orang lain. Dari sinilah manusia menemukan nilai teloransi dan persatuan. Dalam konteks menyama braya, keempat-empatnya ada dan orang Bali sangat sadar akan diri dan lingkungannya. Mereka berusaha untuk memandang yang lain adalah dirinya sendiri. Pandangan hidup dalam dimensi relasi sosial yang plural dan multikultural, akan menyebabkan saling menghargai dan menolong. Jika ini terjadi akan terjadi integrasi dalam masyarakat, Jika hal ini terjadi secara resultan, akan terjadi integrasi bangsa dan terwujudnya harmoni sosial dalam situasi perbedaan. Pada sisi lain, faktor pendorong terjadinya hubungan sosial adalah karena adanya faktor-faktor interen dan eksteren. Faktor interen, yaitu faktor-faktor yang mendorong hubungan sosial yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, antara lain: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan masyarakat, dan terjadinya pemberontakan atau revolusi. Faktor eksteren, yaitu faktor-faktor yang mendorong hubungan sosial yang bersumber dari luar masyarakat, antara lain: lingkungan alam, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain (Hidayati dkk. 2007: 35). Selanjutnya tidak dapat disangkali bahwa hubungan sosial yang merupakan proses sosial yang terjadi di masyarakat berdampak terhadap perkembangan dan perubahan masyarakat. Perubahan masyarakat tidak selamanya bersifat progersif (kemajuan) pada sisi lain dapat regress (kemunduran). Perubahan dalam masyarakat meliputi semua aspek kehidupan masyarakat itu sendiri, seperti cara-cara hidup dan berpikir, kebudayaan, nilai dan norma, pola-pola prilaku. Seperti Gillin dan Gillin mengatakan bahwa perubahan- perubahan
6

sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi atau pun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

BAB III PENUTUP 3.1 SIMPULAN Adapun simpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Menyama braya adalah suatu cara hidup yang memahami bahwa semua manusia adalah bersaudara atau cara hidup yang memperlakukan orang lain seperti saudara sendiri. 3.1.2 Konsep menyama braya mengandung nilai-nilai plural yang menganggap orang lain adalah saudara, sama dengan dirinya dan oleh karena itu saling membutuhkan dalam membangun relasi sosialnya dan mewujudkan harmoni sosial dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. 3.2 SARAN Adapun saran penulis bagi pembaca dalam makalah ini adalah semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sehingga dapat mengamalkan konsep menyama braya dalam lingkungan social demi terwujudnya harmoni sosial antar bangsa dan semoga makalah ini dapat menjadi acuan bagi penulisan berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA Damayana, Wayan, 2005. Suatu Studi Teologis Terhadap Konsep Menyama Braya Yang Dikembangkan GKPB (Tesis). Salatiga: Program Pasca Sarjana Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana. Triguna Yudha IBG (ed), 2008. Kebudayaan dan Modal Budaya Bali Dalam Teropong Lokal, Nasional Global. Denpasar : Widya Darma. Sumber lain: Indahnya Harmoni Sosial oleh Asatidzah http://bp3m.uksw.edu/uploads/documents/laporan_akhir_stranas_Dekonstruksi_Meny ama_Braya.pdf diakses 17 Juni 2012 Dekontruksi Menyama Braya : Analisis Sosio-Kultural Masyarakat Bali dalam Rangka Penyusunan Model Integrasi Bangsa dan Harmoni Sosial Bangsa Indonesia oleh David Samiyono http://www.almanar.co.id/artikel-asatidzah/indahnya-harmoni-sosial.html diakses 19 Juni 2011

Anda mungkin juga menyukai