BUDAYA NUSANTARA
KELOMPOK 08
DI-44-03B
Suku Toroja
Pengertian Suku Toroja:
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Luthfi F.G
1603204122
Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang berarti "orang yang
berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini
Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman,
rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Suku Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Anak perempuan Toraja pada upacara
Sejarah
pernikahan
Daerah dengan populasi signifikan
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan
Bahasa
Toraja-Sa'dan, Kalumpang, Mamasa, Ta'e,
Talondo' dan Toala'.
Agama
Asal usul orang Toraja ialah dari Teluk Tonkin yang terletak di antara Cina Protestan: 65,15%, Katolik: 16,97%, Islam:
5,99% dan Aluk To Dolo:
5,99%.[1]
selatan dan Vietnam. Pada awalnya, nenek moyang Suku Toraja mendiami Suku bangsa terkait
Suku Bugis, Suku Mandar
wilayah pantai di Sulawesi sebelum akhirnya
berpindah ke dataran tinggi.
Hingga kemudian pada akhir abad ke-19, agama Islam mulai menyebar pesat
di Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda pun mulai khawatir dengan keadaan ini.
Mengetahui mayoritas Suku Toraja masih menganut kepercayaan tradisional,
Belanda melihat hal ini sebagai kesempatan untuk melakukan kristenisasi di
Toraja. Selanjutnya, pada tahun 1920-an Belanda memulai proses tersebut.
Letak Suku Toroja
Toroja :
Makasar :
Bugis :
Agama:
Banyak yang menuding secara keliru bahwa orang
Toraja tak punya agama sebelum Kristen dan Islam
masuk ke Nusantara. Pada masa itu orang Toraja disebut hanya penganut
animisme. Sulit bagi banyak orang menyamakan Aluk Tadolo, sistem kepercayaan
atau agama masyarakat Toraja, sebagai agama. Aluk Tadolo, seperti dicatat
Theodorus Kobong dalam Injil dan Tongkonan: Inkarnasi,
Kontekstualisasi, Transformasi (2008: 121) sebagai “agama para leluhur atau cara
hidup atau aturan hidup para leluhur.” Kepercayaan ini, sayangnya, tak mendapat
tempat sebagai agama dalam negara Republik Indonesia—yang di masa Orde Baru
hanya mengakui "lima agama resmi" dan setelah reformasi bertambah satu agama
resmi: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Baca selengkapnya di artikel "Apa pun Agama Resminya, Orang Toraja Memegang
Aluk Tadolo",
Keluarga Dalam Suku Toraja
Dalam tradisi Suku Toraja, sebuah desa adalah satu keluarga
besar. Masyarakat Toraja tinggal di rumah adat yang
bernama rumah Tongkonan. Setiap Tongkonan memiliki
nama yang dijadikan nama desa.
Sistem pernikahan dengan sepupu jauh adalah hal yang biasa dilakukan. Tujuannya adalah
untuk mempererat hubungan kekerabatan. Sepupu jauh yang dimaksud adalah sepupu
keempat dan seterusnya. Sedangkan pernikahan dengan sepupu dekat sangat dilarang dan
hanya diperbolehkan bagi kaum bangsawan.
Hal tersebut dilakukan oleh kalangan bangsawan agar menjaga keturunan mereka tetap
berada di darah yang sama. Tujuan lainnya adalah untuk menjaga agar harta mereka tidak
tersebar.
Sistem kekerabatan yang terbentuk dari pernikahan ini berarti mereka melakukan hubungan
yang sifatnya timbal balik. Dalam arti, keluarga besar saling tolong-menolong dalam berbagai
hal. Mulai dari ritual kerbau, pertanian, hingga membayar hutang.
Kelas Sosial Masyarakat Toraja
Terdapat pembagian kelas sosial dalam adat
masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja terbagi
menjadi 3 kelas, yaitu kaum bangsawan, rakyat
biasa, dan budak. Hingga akhirnya perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh Belanda.
Upacara pemakaman tidak harus dilakukan segera setelah seseorang anggota keluarga meninggal dunia,
namun bisa dilakukan setelah bermingguminggu,
bahkan hingga bertahun-tahun setelah kematian yang
bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar biaya upacara
adat pemakaman terkumpul, mengingat upacara ini
Tarian Ma’randing merupakan prosesi awal ketika jenazah akan dibawa dari lumbung padi menuju rante atau tempat
upacara pemakaman. Selama upacara ini berlangsung, para perempuan dewasa akan melakukan tarian Ma’katia
dengan mengenakan baju berbulu dan bernyanyi.
Tarian Ma’katia adalah tarian yang bertujuan untuk mengingkatkan penonton pada kemurahan hati dan kesetiaan
orang yang meninggal. Setelah kerbau dan babi disembelih, maka sekelompok anal lelaki dan perempuan akan
bertepuk tangan sambil menarikan tarian ceria yang dinamakan Ma’dondan.
Selain saat upacara kematian, orang Toraja juga melakukan tarian dan nyanyian untuk menyambut musim panen.
Tarian Ma’bugi adalah tarian untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur, serta tarian Ma’gandangi merupakan tarian
saat menumbuk beras. Ada pula tarian perang, seperti tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria kemudian diikuti
tarian Ma’dandan oleh perempuan.
Contoh alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa’suling. Suling mempunyai enam lubang
yang dimainkan dibanyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan. Saat alat musik ini dimainkan, maka
sekelompok pria berkuku panjang akan menari tanpa baju.
Selain itu, alat musik asal Toraja yang lain adalah Pa’pelle yang terbuat dari daun palem dan dimainkan saat panen
atau upacara pembukaan rumah.
Mata Pencaharian
Suku Toraja adalah masyarakat agraris, sehingga mata pencaharian utamanya adalah
bercocok tanam di sawah atau berkebun di ladang. Keseharian mereka diisi dengan
kegiatan menanam pafi, jagung, sayuran, singkong, ubi, kopi, cengkeh, kelapa dan buah
markisa. Di masa lalu, Toraja merupakan daerah penghasil kopi berkualitas.
Selain itu, masyarakat Toraja juga melakukan kegiatan beternak kerbai dan babi. Kerbau
dan babi adalah dua hewan penting untuk melengkapi upacara adat Toraja. Orang-orang
Toraja juga memelihara ikan serta beternak ayam dan bebek.
Sistem Kekerabatan
Hubungan kekerabatan orang Toraja disebut marapuan atau parapuan yang berorientasi 13 4
pada satu kakek moyang pendiri tongkonan, yaitu rumah komunal atau rumah adat Toraja.
Rumah ini menjadi pusat kekerabatan, kehidupan sosial dan keagamaan.
Kelompok marapuan terdiri atas kerabat dari 2 sampai 5 generasi. Orang Toraja menganut
pola bilateral, sehingga seseorang dapat menjadi anggota dari beberapa rumah tongkonan.
Masyarakat Toraja terbagi menajdi 3 daerah adat, yaitu Kama’dikan, Pakamberan dan
Kapuangan. Daerah Kapuangan mempunyai sistem sosial yang cukup kuat karena
terpengaruh oleh tradisi kerajaan Bugis dan Makassar. Golongan bangsawan Kapuangan
disebut dengan Ma’dika, golongan rakyat disebut Tomakaka, kemudian golongan hamba
sahaya yang disebut Kaunan.
Penyebab dengan adanya perayaan kematian di Toraja
yaitu merekan akan banyak sekali mengeluarkan biaya yang cukup besar
sekitar Rp
664 juta atau sekitar lebih dari 10 kali rata-rata pendapatan tahunan
masyarakat setempat untuk pemakamannya saja.
Dan biaya lainnya untuk pembuatan Tau-tau atau boneka yang terbuat
dari kayu sekitar Rp13 juta.
Kesimpulan
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba
tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau
akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain
dan disimpan dibawah tongkonan.
Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan
perjalanan ke Puya. Bagian lain dari pemakaman
adalah penyembelihan kerbau, penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya.
Saran
Budaya Nusantara