Anda di halaman 1dari 29

Arsitektur dan Antropologi

Rumah Tradisional
Toraja (Tongkonan)

Kelompok 4:

180406003 Muhammad Taufik


180406016 Rafiqah Zhafira
180406023 Alivia Putri Aritonang
180406028 Tisya Nurchaliza
180406031 Azura Fadhuillah Hanjaya
180406034 Alya Maysarah Daulay
01.
Faktor Ras
ASAL MULA SUKU
TORAJA
• ’’To Riaja’’ (bahasa bugis) = "orang yang
berdiam di negeri atas“ (pegunungan)

• Suku Toraja menetap di pegunungan bagian


utara Sulawesi Selatan, Indonesia.

• DR. C. Cyrut (2001) : masyarakat Tana Toraja


merupakan hasil dari proses akulturasi antara
penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi
Selatan dengan imigran dari Teluk Tongkin
(daratan Cina).

• Proses akulturasi berawal dari berlabuhnya


Imigran Indo Cina (Ras Proto Melayu) sekitar
hulu sungai, yang kemudian membangun
pemukimannya di daerah tersebut.
RAS PROTO MELAYU
● Nenek moyang bangsa Indonesia yang pertama
kali datang ke nusantara pada 1500 SM.

● Masuk nusantara melalui dua jalur, yaitu jalur


barat dan jalur utara atau timur menggunkan
perahu bercadik satu.

● Awalnya tinggal di wilayah pantai Sulawesi,


pindah ke dataran tinggi.

● Pemukiman suku Toraja terdiri dari beberapa


rumah yang dibangun berjajar. Rumah Tongkonan
RUMAH TONGKONAN

● Rumah adat khas masyarakat Toraja yang


digunakan sebagai rumah tinggal, rumah
kekuasaan adat hingga sebagai tempat
perkembangan kehidupan sosial budaya bagi
masyarakat Toraja.

● Rumah panggung dengan atap yang


menyerupai perahu.

● Memiliki peran yang cukup penting, yaitu


sebagai penghubung langsung dengan
kepercayaan Toraja, terutama dalam pesta
adat dan kehidupan ritual dalam masyarakat
Toraja.
FILOSOFI BENTUK

• Atap Tongkonan berbentuk seperti perahu karena nenek moyang Toraja


(Proto Melayu) menggunakan perahu dalam perjalanan mencari daratan
baru.

• Kemudian mereka membuat rumah dari perahu tersebut.

• Bentuk perahu berpengaruh terhadap bentuk atap pelana rumah di kawasan


Austronesia (Roxana, 1990 )

• Bentuk atap tetap dipertahankan karena mereka ingin mempertahankan


sesuatu hal yang berhubungan dengan perahu sebagai pengakuan warisan
budaya nenek moyang. (Said, 2004).
02.
Faktor
Geografis
Geografis
Kabupaten Tana Toraja

Kabupaten Tana Toraja termasuk daerah yang beriklim tropis


basah, temperatur suhu rata-rata berkisar antara 15° c - 28° c
dengan kelembaban udara antara 82 - 86 %, curah hujan rata-
rata 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/tahun.

Dengan udara yang dingin, serta ditambah dengan model


rumah yang dibangun tinggi.

Pada rumah adat Tongkonan, didesain jendela dan pintu yang


berukuran kecil untuk mengurangi volume angin yang masuk
ke dalam rumah
03.
Faktor
Perkembangan Teknologi
Perkembangan Teknologi

Pada rumah tongkonan material yang digunakan dahulu sebelum tersentuh


modernisasi atap tongkonan menggunakan atap rumbia, dan sekarang
menggunakan seng yang dicat warna kuning sehingga tampilan seng mirip
dengan bambu. Lalu atap ditutupi seng aluminium berwarna merah.

Setelah perubahan terjadi ternyata beberapa masyarakat kembali merubah


pemakaian atap yang dari seng kembali ke atap rumbia, dikarnakan atap
pada rumah tongkonan merupakan identitas diri dari rumah tongkonan
tersebut.
• Pada Banua Tamben mulai mengalami perubahan
akibat hubungan sosial orang Toraja dengan orang
Banua Tamben
orang yang berada di luar Toraja, sehingga orang-
orang Toraja mulai mengenal berbagai macam alat
pertukangan tersebut, maka benuk dan ukuran Banua
Tamben mulai berubah.

• Contohnya untuk kolom pada Banua Sanda A’riri


dibuat lebih besar dibandingkan kolom pada Banua
Tamben. Dan perubahan pada bentuk rumah yang
lebih besar dan memanjang.

Banua Sanda A’riri


04.
Faktor
Hubungan Antar
Bangsa
Kendala terbesar dari permukiman yang berada di area dataran
tinggi dan terisolasi ini adalah, jauh dan sulitnya jalan menuju
sawah dari lokasi permukiman. Hal ini tentunya menyulitkan
orang-orang yang memiliki sawah tersebut untuk mengawasi dan
mempertahankan sawah mereka dari musuh. Selain itu, mereka
sulit untuk mengurus hewan-hewan peliharaan. Mereka harus
kembali menggiring kembali hewan-hewan tersebut ke
permukiman yang berada di dataran yang lebih tinggi.

Hal lain yang menyulitkan adalah cukup jauhnya lokasi mata air.
Lokasi mata air yang berada di lembah mengharuskan mereka
naik turun mengambil air
Pengaruh Belanda
• Setelah tahun 1905, pemerintah Belanda memerintahkan masyarakat
Toraja yang bermukim di dataran tinggi untuk memindahkan permukiman
masyarakat Toraja ke lembah. Dengan pertimbangan semakin
berkurangnya bahaya terhadap serangan musuh, masyarakat Toraja juga
merasa lebih cocok untuk bermukim di dataran rendah. Lokasi sawah dan
mata air menjadi lebih dekat dari lokasi permukiman.
• Rumah-rumah di dalam permukiman di bangun tidak serapat seperti pada
Permukiman di dataran tinggi, karena permukiman memiliki area yang
lebih luas. Letak Tongkonan dan lumbung dalam permukiman ini
memiliki pola berjajar atau memanjang mengikuti arah gerak matahari
dari timur ke barat.
05.
Faktor Sosial
Sejarah Sosial
Istilah “Tongkonan” berasal dari kata “tongkon” yang
bermakna “tempat duduk” atau “menduduki”.

Konon, istilah ini muncul berdasarkan fungsi utama rumah


adat Tongkonan yang sering dijadikan sebagai tempat
berkumpulnya para raja dan bangsawan untuk mengadakan
pertemuan baik resmi ataupun tak resmi di rumah ini.
Kehidupan Sosial Masyarakat Toraja

Masyarakat Toraja dalam kehidupannya sangat


terikat oleh sistem adat yang berlaku, sehingga hal
itu berkaitan dengan keberadaan Tongkonan.
Patrilinealism

Masyarakat Toraja penganut adat


Patrilinealism, dimana kedudukan pria
lebih dominan daripada kedudukan
wanita.
Communalisme
Pola asli kehidupan masyarakat Tana Toraja adalah
gotong royong.

Semangat gotong royong tersebut sampai saat ini


masih sangat kuat dikalangan suku Toraja,
masyarakatnya merupakan daerah yang menganut
communalisme.
Jenis Rumah
Berdasarakan Adat Masyarakat

Masyarakat Toraja mengenal ada dua jenis rumah, yaitu:

Tongkonan Rumah Barung-barung

Rumah adat keluarga suku Tana Toraja. Pada dasarnya Rumah pribadi orang Toraja yang pada umumnya
rumah adat ini merupakan bentuk hubungan keturunan dibangun disamping Tongkonan dan bentuknya tidak
dari suami-istri, dimana setiap keluarga membangun terikat seperti Tongkonan.
rumah bersama anak-anak dan cucu-cucu.
Makna Ukiran Tongkonan
Bagi Suku Toraja

Rumah adat Tongkonan yang sarat dengan ukiran mengandung


makna yaitu melambangkan status sosial pemilik Tongkonan
menempati lapisan atas, seperti untuk mengenal latar belakang atau
status sosial serta nama marga seseorang hanya dengan menanyakan
Tongkonan asalnya.
06.
Faktor Religi
Makna Religi
dari Ukiran

Tongkonan juga memiliki ukiran yang berwarna di


dinding-dindingnya. Ukiran ini menggunakan 4 dasar
warna yaitu warna hitam, merah, putih dan juga kuning.

Untuk masyarakat Toraja sendiri warna ini memilii


makna tersendiri. Warna hitam melambangkan adanya
kematian atau duka. Sementara warna merah
melambangkan kehidupan dan warna kuning
melambangkan sebuah kekuasaan Tuhan. Terakhir, warna
putih berarti kesucian.
Anggota Keluarga yang Meninggal
Tak Langsung Dikubur

Sebelum dikuburkan, anggota keluarga yang meninggal di sana harus melakukan upacara yang disebut dengn penyempurnaan
ketian. Upacara kematian ini juga untuk menghormati dan juga menghantarkan arwah orang meninggal menuju alam keabadian
dengan para leluhur. Nantinya sebelum disemayamkan, jenazah tersebut akan disimpan di Tongkonan sebelum dilakukan
proseesi penguburan.

Penyimpanannya memang di lumbung dan dibalsem agar tetap awet. Tiang-tiang rumah ada dari Tana Toraja ini juga dibuat
dari batang pohon palem yang licin. Tikus tidak akan mudah naik ke lumbng. Nanti sebelum memindahkan jenazah, butuh
biaya yang cukup banyak yang bahkan upacaranya mirip dengan pesta karena melibatkan seluruh warga setempat.

Nantinya di upacara ini piak keluarga harus membungkus jenazah dan membubuhkan ornamen benang emas dan perak di peti
jenazah. Penurunan jenazah dari lumbung untuk nantinya disemayamkan ke peristirahatan terakhir.
Sistem struktur bangunan dan keterkaitan
dengan agama/religi
Sistem struktur bangunan dan keterkaitan
dengan agama/religi

. Bagian kaki (Sullu Banua)


bagian bawah bangunan yang berfungsi sebagai kandang untuk
penyimpanan ternak (kerbau dan babi). Sullu banua menggunakan
sistem rangka kolom dan balok. Kestabilan lengtong alla ini
diperkuat oleh ikatan-ikatan lentur antara oleh balok roroan baba
dan roroan lambe

Sullu Banua
Sistem struktur bangunan dan keterkaitan
dengan agama/religi

Bagian badan rumah (Kale Banua)

bagian tengah dari bangunan yang difungsikan sebagai tempat/wadah


untuk kegiatan fungsional sehari hari. Menurut ajaran aluk todolo
bahwa kale banua merupakan pusat kegiatan seluruh segi 5
kehidupan yang menyangkut manusia dan hubungannya dengan alam
sekitar. Kale banua menggunakan sistem struktur siamma, sistem ini
sama fungsinya dengan dinding pemikul beban, yang
membedakannya adalah bahan dan penyusun dinding ini terbuat dari
susunan papan.
Sistem struktur bangunan dan keterkaitan
dengan agama/religi

Bagian atas (Rattiang Banua)

bagian atas dari bangunan merupakan Atap rumah, sebagai penutup seluruh
struktur rumah. Bagi masyarakat Toraja rattiang difungsikan juga sebagai tempat
barang-barang seperti peralatan rumah tangga, kain dan lain sebagainya. Rattiang
banua menggunakan sistem struktur bidang pada atap dan struktur rangka balok-
kolom (rangka balok pada balok kaso, pada rangka kolom pada lentong garopa
dan tulak somba).
THANKS
Does anyone have any questions?

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo,


including icons by Flaticon, infographics & images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai