Oleh:
Hery Purnomo
(Mahasiswa Magister Arsitektur, Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi, hery_arsitektur@yahoo.co.id)
Judi O. Waani
(Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi, judiwaani@yahoo.com)
Abstrak
Arsitektur kolonial Belanda merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur.
Arsitektur kolonial Belanda hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan bagi bangsa Belanda
yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan. Benteng Oranje merupakan salah satu
bangunan peninggalan Belanda yang ada di Ternate. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali lebih
dalam tentang gaya dan karakteristik visual bangunan yang ada di kawasan Benteng Oranje. Jenis penelitian
yang digunakan ialah penelitian kualitatif-rasionalistik dengan metode deskriptif, yaitu mendeskripsikan
objek/ bangunan pada kawasan Benteng Oranje dan menganalisa gaya dan karakter visual bangunan. Hasil
penelitian diperoleh gaya bangunan kolonial di kawasan benteng Oranje dominan dipengaruhi oleh gaya
arsitektur peralihan (1890-1915).
Kata Kunci: Benteng Oranje, Gaya/ Style Bangunan, Karakter Visual, Bangunan Kolonial Belanda, Ternate.
a. Gaya Arsitektur Indische Empire style terletak pada sebidang tanah yang luas dengan
(Abad 18-19)
kebun di depan, samping dan belakang.
Gaya arsitektur Indische Empire style
b. Gaya Arsitektur Transisi (1890-1915)
di Indonesia menurut Handinoto (2008),
diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels Menurut Handinoto (2012), arsitektur
saat dia bertugas sebagai Gubernur Jendral transisi di Indonesia berlangsung sangat
Hindia Belanda (1808-1811). Indische Empire singkat, arsitektur transisi berlangsung pada
Style (gaya Imperial) adalah suatu gaya akhir abad 19 sampai awal abad 20 antara
arsitektur yang berkembang pada pertengahan tahun 1890 sampai 1915. Peralihan dari abad
abad ke-18 sampai akhir abad ke-19. Gaya 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi
arsitektur Indische Empire Style pada mulanya oleh perubahan dalam masyarakatnya.
muncul di daerah pinggiran kota Batavia Modernisasi dengan penemuan baru dalam
(Jakarta), munculnya gaya tersebut sebagai bidang teknologi dan perubahan sosial akibat
akibat dari suatu kebudayaan Indische Culture dari kebijakan politik pemerintah kolonial
yang berkembang di Hindia Belanda. pada saat itu mengakibatkan perubahan
Indische secara harfiah berarti “Indies” bentuk dan gaya dalam bidang arsitektur.
atau Hindia. Kebudayaan Indische adalah Perubahan gaya arsitektur pada zaman transisi
percampuran kebudayaan Eropa, Indonesia atau peralihan (antara tahun 1890-1915) dari
dan sedikit kebudayaan dari orang China gaya arsitektur “Indische Empire” menuju
peranakan, Milano dalam Handinoto (2012). arsitektur “Kolonial modern” sering
Mengungkapkan ciri-ciri arsitektur Indische terlupakan.
Empire Style antara lain: Denahnya berbentuk Ciri-ciri arsitektur transisi menurut
simetris penuh, ditengah terdapat “central Handinoto (2012), antara lain: denah masih
room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan mengikuti gaya „Indische Empire’, simetri
kamar tidur lainnya. “central room” tersebut penuh, pemakaian teras keliling pada
berhubungan langsung dengan teras depan dan denahnya masih dipakai dan ada usaha untuk
teras belakang (voor galerij dan achter menghilangkan kolom gaya Yunani pada
galerij). Teras tersebut biasanya sangat luas tampaknya. Gevel-gevel pada arsitektur
dan diujungnya terdapat barisan kolom yang Belanda yang terletak ditepi sungai muncul
bergaya Yunani (Doric, Ionic, Corinthian). kembali, ada usaha untuk memberikan kesan
Dapur, kamar mandi/WC, gudang dan daerah romantis pada tampak dan ada usaha untuk
service lainnya merupakan bagian yang membuat menara (tower) pada pintu masuk
terpisah dari bangunan utama dan letaknya utama, seperti yang terdapat pada banyak
ada dibagian belakang. Kadang-kadang gereja Calvinist di Belanda. Bentuk atap
disamping bangunan utama terdapat paviliun pelana dan perisai dengan penutup genting
yang digunakan sebagai kamar tidur tamu. masih banyak dipakai dan ada usaha untuk
Kalau rumah tersebut berskala besar biasanya memakai konstruksi tambahan sebagai
ventilasi pada atap (dormer).
c. Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915- fitur yang membentuk dan membedakan
1940)
sebuah individu. Karakter dapat dipahami
Menurut Handinoto (1993), arsitektur sebagai satu atau sejumlah ciri khas yang
modern merupakan sebuah protes yang terdapat pada individu atau kelompok tertentu
dilontarkan oleh Arsitek-arsitek Belanda yang dapat digunakan untuk membedakan
sesudah tahun 1900 atas gaya Empire Style. individu atau kelompok tersebut dari individu
Arsitek Belanda yang berpendidikan akademis atau kelompok lainnya.
mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka Menurut Fajarwati (2011), karakter
mendapatkan suatu gaya arsitektur yang dari sebuah objek arsitektur merupakan
cukup asing, karena gaya arsitektur Empire keberagaman atau kekhasan yang tersusun
Style yang berkembang di Perancis tidak menjadi ciri-ciri objek arsitektural atau
mendapatkan sambutan di Belanda. susunan elemen dasar yang terangkai sehingga
Arsitektur Modern memiliki ciri-ciri membuat objek tersebut mempunyai kualitas
denah lebih bervariasi, sesuai dengan anjuran atau kekhasan yang membedakan dengan
kreatifitas dalam arsitektur modern. Bentuk objek lain.
simetri banyak dihindari, pemakaian teras
a. Karakter Arsitektur Indische Empire
keliling bangunan sudah tidak dipakai lagi,
Style (Abad 18-19)
sebagai gantinya sering dipakai elemen
Arsitektur Indische Empire Style (Abad
penahan sinar. Berusaha untuk menghilangkan
18-19) menurut Handinoto (2006), memiliki
kesan tampak arsitektur gaya “Indische
karakter konstruksi atap perisai dengan
Empire” ( tampak tidak simetri lagi), tampak
penutup atap genting, bahan bangunan
bangunan lebih mencerminkan “Form Follow
konstruksi utamanya adalah batu bata (baik
Function” atau “Clean Design”. Bentuk atap
kolom maupun tembok), pemakaian kayu
masih didominasi oleh atap pelana atau
terutama pada kuda-kudanya, kosen maupun
perisai, dengan bahan penutup genting atau
pintunya dan pemakaian bahan kaca belum
sirap. Sebagian bangunan dengan konstruksi
banyak dipakai.
beton, memakai atap datar dari bahan beton
yang belum pernah ada pada jaman
b. Karakter Arsitektur Transisi (1890-1915)
sebelumnya.
Menurut Handinoto (2006), karakter
2. Karakter Visual Bangunan Kolonial arsitektur transisi memiliki konstruksi atap
Belanda di Indonesia
pelana dan perisai, penutup atap genting,
Karakter visual pada bangunan Pemakaian ventilasi pada atap (dormer),
kolonial Belanda di Indonesia memiliki bentuk atap tinggi dengan kemiringan besar
karakter visual yang berbeda-beda, perbedaan antara 450-600, Penggunaan bentuk lengkung,
karakter visual pada bangunan dapat kita lihat kolom order yunani sudah mulai ditinggalkan,
berdasarkan gaya arsitektur pada bangunan kolom-kolom sudah memakai kayu dan beton,
tersebut. Karakter menurut Adenan (2012), dinding pemikul, Bahan bangunan utama bata
dapat diartikan sebagai salah satu atribut atau
dan kayu dan pemakaian kaca (terutama pada dengan cara memotret kondisi bangunan dan
jendela) masih sangat terbatas. mencatat informasi maupun data yang
diperoleh dilapangan. Studi literatur dilakukan
c. Karakter Arsitektur Kolonial Moderen
dengan cara mengkaji tulisan-tulisan dan
(1915-1940)
berbagai konsep serta berbagai teori-teori
Karakter visual Arsitektur kolonial
yang berkaitan dengan perkembangan
moderen (1915-1940) menurut Handinoto
Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dan
(2006), antara lain: menggunakan atap datar
sejarah benteng Oranje Ternate, sehingga
dari bahan beton, pemakaian gevel horizontal,
diperoleh data-data untuk menganalisa gaya
mulai menggunakan besi cor, sudah mulai
dan karakter visual bangunan.
memakai bahan kaca dalam jumlah yang
besar, penggunaan warna putih yang dominan,
HASIL DAN PEMBAHASAN
dinding hanya berfungsi sebagai penutup dan
penggunaan kaca (terutama pada jendela) Kawasan Benteng Orange terletak di
yang cukup lebar. jalan dr. Hasan Boesoiri, Kelurahan
Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah, Kota
Ternate, Provinsi Maluku Utara. Sejarah
METODOLOGI PENELITIAN
Berdirinya Benteng Oranje tidak terlepas dari
Jenis penelitian yang digunakan adalah
hasil bumi yang ada di Ternate yaitu rempah-
kualitatif rasionalistik dengan metode
rempah. Menurut Amal (2010), kedatangan
deskriptif, metode deskriptif bertujuan untuk
bangsa Belanda diawali oleh seorang
mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
Laksamana VOC yang bernama Cornelis
keadaan sesuatu. Menurut Muhadjir (2002),
Matelief de Jonge pada tahun 1607 yang
metode deskriptif dilakukan dengan cara
berdalih membantu Sultan Ternate untuk
mengumpulkan data dari hasil observasi
mengusir bangsa Spanyol yang berkuasa di
lapangan, dokumentasi/ sketsa dan studi
Ternate. Atas keberhasilan de Jonge
literatur yang berhubungan dengan objek
mengalahkan Spanyol dari Ternate, Sultan
studi. Observasi/pengamatan pada arsitektur
Ternate memberikan ijin de Jonge untuk
bangunan kolonial Belanda di kawasan
mendirikan sebuah benteng dengan nama
Benteng Oranje Ternate, dilakukan dengan
Fort Oranje. Kawasan Benteng Oranje
cara melihat dan mengamati gaya dan karakter
dilengkapi dengan bangunan pendukung
visual bangunan secara langsung pada
antara lain: ex Rumah kediaman Gubernur
bangunan yang menjadi studi kasus dalam
Jenderal Hindia Belanda yang saat ini berubah
penelitian ini. Pengamatan gaya bangunan
fungsi menjadi Kantor UPTD Dinas
meliputi denah, tampak, bahan bangunan yang
Pariwisata Kota Ternate, 2) ex Rumah Sakit
digunakan dan sistem konstruksi yang
berubah fungsi menjadi Museum seni dan
dipakai. Pengamatan karakter visual meliputi
Budaya, 3) ex Barak prajurit berubah fungsi
bentuk atap, dinding eksterior, pintu dan
menjadi Ruang pamer dan mini teater, dan 4)
jendela. Dokumentasi/sketsa dilakukan
Gambar 1
Peta Kawasan Benteng Oranje Ternate / Lokasi Penelitian
Gambar 2
Kantor UPTD Dinas Pariwisata Kota Ternate
Gambar 5
Bangunan Rest Room
a. Atap
c. Kolom d. Pintu
Gambar 8
Bentuk kolom pada bangunan kolonial
di kawasan benteng Oranje Ternate
Gambar 1
Bentuk Pintu pada Bangunan Kolonial
di Kawasan Benteng Oranje Ternate
Penutup
gaya arsitektur Transisi (1890-1915) yaitu Fajarwati, Nur Annisa. (2011). Pelestarian
Bangunan Utama Eks Rumah Dinas
58.00% pada kantor UPTD Dinas
Residen Kediri. Malang: e-journal
Pariwisata Kota Ternate, 46.75% pada arsitektur vol.4, Universitas Brawijaya.
Museum seni dan budaya, 41.25% pada Gustami, S.P. (2000). Studi Komparasi Gaya
Seni Yogya – Solo. Yogyakarta: Yayasan
Ruang pamer dan 49.50% pada Rest room.
untuk Indonesia.
2. Karakter visual bangunan peninggalan
Handinoto. (1993). Arsitek G.C. Citroen dan
kolonial Belanda yang ada dikawasan Perkembangan Arsitektur Kolonial
Belanda di Surabaya (1915-1940). Jurnal
Benteng Oranje Ternate antara lain:
Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 19.
Memiliki bentuk atap perisai, dengan Surabaya: Universitas Kristen Petra press.
sudut kemiringan antara 380 sampai 580 Hartono, Samuel & Handinoto. (2006).
Arsitektur Transisi di Nusantara dari
dengan bahan penutup atap sirap. Dindin
Akhir Abad 19 ke Awal Abad 20 ( Studi
merupakan konstruksi dinding pemikul, Kasus Kompleks Bangunan Militer di
Jawa pada Peralihan Abad 19 ke 20).
dinding tebal dengan ketebalan antara 40-
Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 34.
80 cm, dinding bertekstur halus, terbuat Surabaya. Universitas Kristen Petra.
dari campuran batu kali dan batu kapur Handinoto. (2008). Daendels dan
yang di plester. Kolom bangunan terbuat Perkembangan Arsitektur di Hindia
Belanda Abad 19. Jurnal Dimensi Teknik
dari kayu berbentuk persegi, kolom yang Arsitektur Vol. 36. No. 1. Surabaya:
digunakan berdiameter 20 x 20 cm. Model, Universitas Kristen Petra press.
jenis, ukuran, jumlah dan perletakan pintu Handinoto. (2012). Arsitektur dan Kota-Kota
di Jawa pada masa Kolonial. Yogyajakta:
setiap bangunan berbeda. Pintu Graha Ilmu.
berdiameter besar, daun pintu ganda, Irianto, Nurachman. (2010). Penempatan
menggunakan bahan dari kayu. Model, Benteng-benteng Kolonial Eropa di Pulau
Ternate ( Dalam Peta pelayaran dan
jenis, ukuran, jumlah dan perletakan Perdagangan). Tesis. Universitas Gajah
jendela setiap bangunan berbeda. Jendela Mada. Yogyakarta
terdapat tiga model yaitu jendela panel Muhadjir, Noeng. (2002). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
kayu massif, jendela krepyak dan jendela Sarasih.
panil kaca. Jendela menggunakanan bahan Sumalyo, Yulianto. (1993.). Arsitektur
kayu dan kombinasi kaca polos/ bening. Kolonial Belanda di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Pers.