Anda di halaman 1dari 7

BERTEOLOGI BERSAMA RAIMUNDO PANNIKAR & GAVIN D’COSTA

Fokus dalam berteologi agama-agama ialah bagaimana memandang positif agama dengan
nilai-nilai agama itu sendiri dari perspektif agama sendiri. Di bawah ini akan dilihat dan
memahami teologi dari tokoh-tokoh yakni Raimundo Pannikar dan Davin D’Costa.
A. Raimundo Pannikar
Raimundo Pannikar lahir pada 3 Novenmber 1918 di Barcelona, ia mengajar dan tinggal
di Amerika 1966-1987 namun pada tahun 1987 ia mengakhiri karirnya dan tinggal disebuah desa
terpencil di bagian utara Barcelona di desa pegunungan kecil Tavertet sampai ia meninggal pada
26 Agustus 2010 di rumahnya. Ayahnya seorang Hindu India dan ibunya seorang Katolik
Katalan.1
Pada akhir 1954 Ia mengunjungi tanah ayahnya (India) dan dari situlah menentukan
minat dan teologinya dengan agama-agama lain. Pannikar sendiri mengatakan “saya
meninggalkan Eropa sebagai seorang Kristen, saya menemukan saya adalah seorang Hindu dan
kembali seorang Budhist tanpa pernah berhenti menjadi Kristen”. Dalam filsafat Pannikar selalu
terbuka untuk refleksi manusia, menemukan seorang pemikir asli yang menerima perbedaan
yang hanya bisa diperdebatkan oleh merek yang telah mengalami dan mengerti mereka dari
dalam tradisi masing-masing. Ia disebut atau diberi Gelar Honoris causa.
Karya-karyanya al:
Karyanya dalam disertasi yakni “The uknown Christ Of Hinduisme” dalam disertasinya Ia
berpendapat bahwa Kristus sebagai universal dari yang ilahi dan manusia terjalin untuk seluruh
dunia, bukan hanya agama Kristen saja; “Pengalaman Kosmotheandric: Kesadaran beragama
yang Berkembang” yang di dalamnya mengenai interaksi antara yang ilahi, manusia dan kosmik;
“Trinitas dan pengalaman Religius manusia”; “Christophany: The Fullness of Man”; “The
Experience of God:Icon Misteri”2
Karya Pannikar dalam berteologi agama-agama
SUNGAI YORDAN, TIBER DAN GANGGA3
Tiga Peristiwa Kronologis Kesadaran Diri Chistic
Penulis menghubungkan sejarah tradisi Kristen dengan agama-agama lain dilambangkan
dengan tiga sungai suci (Yordan, Tiber, Gangga).
Yesus dibaptis di Sungai Yordan, Hâ Yârdȇn, Nahr al-Urdunn. Peristiwa Yesus
dibaptis, kemudian menjadi tradisi yang dilakukan oleh orang-orang Kristen sampai hari ini (dan
seterusnya). Di mana Tradisi Kristen itu menunjukkan asal-usul Yahudi bahwa Yesus, para rasul

1
http://www.raimon-pannikar.org/english/laudatio.html

2
https://www.nytimes.cpm/2010/09/05/us/05pannikar.html

3
Raimundo Pannikar., “Sungai Yordan, Tiber dan Gangga”. John Hick & paul F. Khitter (Peny) dalam
Mitos Keunikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1987. 138-181

1
dan para penulis kitab Injil adalah orang Yahudi. Penulis hendak menyampaikan bahwa dalam
upaya untuk memahami kekristenan, spiritualitas Yahudi (asal-usulnya) jangan abaikan.
Sungai kedua ialah Sungai Tiber, il Tevere, tempat Petrus dan Paulus meninggal (tempat
mereka mengalami kebangkitan historis). Jika sebelumnya Yudaisme, sekarang Roma:
kekristenan tidak dapat dipahami tanpa Roma. Kekristenan: percampuran warisan Yahudi
dengan unsur-unsur Heleno-Roman-Gotik-Barat. Kristen adalah agama dari kedua sungai ini (hal
ini tidak dapat disingkirkan). Bila kekristenan secara spiritual tidak dapat menyisihkan
Yudaisme, secara intelektual ia akan runtuh tanpa kaitan dengan Sungai Tiber.
Sungai ketiga ialah Sungai Gangga. Sungai ini mempunyai banyak hulu sungai,
termasuk sebuah hulu yang tidak kelihatan. Sungai itu menghilang disebuah delta yang tidak
terkira dasarnya, dan telah menghasilkan banyak agama lahir di tepian-tepiannya. Yang harus
diingat adalah bahwa setiap negara mempunyai sungai-sungainya dan kebanyakan sungai itu
adalah sungai-sungai suci. Ma Gangga, induk sungai dari Sungai Gangga, digunakan sebagai
lambang, bukan hanya bagi Hinduisme, Buddhisme, Jainisme, Sikhisme, dan agama-agama
Primordial, tetapi juga bagi semua tradisi lainnya dari Asia, Afrika dan Oseania, yang mewakili
bukan hanya spiritualitas-spiritualitas lain, melainkan juga mentalitas-mentalitas yang berbeda.
Ada dua hal yang hendak disampaikan di sini. Pertama, orang Kristen harus mengakui
tradisi-tradisi lain, masing-masing dalam hak dirinya sendiri. Pertumbuhan yang tidak terbatas
adalah kanker dan demikian pula pertumbuhan terus-menerus satu agama Kristen di dunia ini.
Kedua, bahwa klaim universal sudah menjadi sifat kekristenan. Kekristenan dilihat sebagai
kelompok yang istimewa, yang dipanggil untuk mempersatukan dunia, untuk “menobatkan”
arus-arus budaya dan keagamaan lain ke dalam Amazonas Kristen, mengairi seluruh planet ini.
Di sini terjadi dilema: banyak orang Kristen akan merasa bahwa mereka menyangkali keyakinan-
keyakinan terdalam mereka bila mereka meninggalkan keyakinan bahwa dimensi christic iman
mereka dimaksudkan untuk menjadi universal. Di pihak lain, semakin banyak orang Kristen
yang mulai sadar, namun juga dengan rasa getir, bahwa klaim universalitas adalah sisa
imperialistis zaman yang harus berlalu, dan kebanyakan pengukit agama-agama lain
menganggap klaim ini sebagai ancaman – dan penghinaan – terhadap berbagai keyakinan
mereka.
Lima Periode Historis
Penyaksian mewakili kesadaran manusia Kristen yang berlaku umum pada abad-abad
pertama. Orang-orang Kristen memberikan kesaksian terhadap kata-kata yang hidup, yang
terdengar di Sungai Yordan dan yang dikukuhkan oleh kebangkitan. Mereka memberi kesaksian
terhadap fakta yang mentransformasi hidup mereka. Kesaksian mereka merupakan peristiwa
sejarah. Mereka menjadi para martir, saksi-saksi suatu peristiwa. Kesetiaan bagi mereka adalah
puncak segala-galanya. Orang-orang Kristen sejati adalah martir.
Pertobatan mewakili momen berikutnya. Dunia menjadi “Kristen”, tetapi suasana masih
“kafir”. Pada periode pertobatan ini, orang Kristen sejati harus membedakan dirinya dari
“dunia”, yaitu dengan mengalami perubahan gaya hidup (conversion morum). Menjadi Kristen
berarti bertobat kepada Kristus. Pemahaman Kristen ialah bahwa kini orang Kristen membentuk
sebuah agama, yang tidak bermusuhan dengan agama-agama lain (khususnya yang berada jauh
darinya). Akan tetapi, pertobatan perlahan-lahan mendapat konotasi-konotasi politik, yaitu
dengan tindakan mentobatkan seluruh bangsa. Nasib ini dialami oleh sebagian besar bangsa

2
Eropa, yang berlangsung sampai Abad Pertengahan, meskipun mengalami pergolakan dan
berbenturan dengan Islam – yang melahirkan sebuah sikap baru.
Perang Salib mencirikan pemahaman diri Kristen semasa periode baru (abad ke-8 sampai
jatuhnya Konstantinopel tahun 1453, barangkali sampai kekalahan kekuasaan Turki di Lepanto
tahun 1571). Dunia Kristen yang telah kokoh waktu itu mengalami ancaman, baik dari dalam
(pergumulan dan ketengangan intern antara para pangeran Kristen) dan dari luar yakni ancaman
dari Islam: wilayah-wilayah Kristen, seperti Spanyol, Prancis (bagian selatan), Yerusalem dan
Wina jatuh ke tangan Islam. Bahaya terasa di mana-mana. Dalam keadaan ini, orang Kristen
harus menjadi tentara, prajurit salib, seorang “militan”. Situasi keagamaan berubah. Para
pemimpin gerakan-gerakan keagamaan tidak disebut lagi bapa, ibu atau kepala biara, melainkan
jenderal. Menjadi prajurit salib (atau seorang Yesuit), mewakili sikap utama masa itu. Demikian
pun Protestantisme: Kekristenan adalah suatu upaya yang menuntut keberanian, iman, dan
keputusan. Seseorang harus menjadi perwira Kristen, yang mempunyai tugas suci untuk
menaklukan atau menaklukan kembali kehidupan batin dan dunia yang ada di luar. Tidak boleh
ada kompromi dengan dunia luar. Iman saja sudah cukup. Islam yang dirasakan sebagai
ancaman, menjadi citra semua agama lain. Kekristenan mulai mengembangkan gagasan sebagai
satu-satunya agama yang benar. Agama-agama lainnya salah.
Misi kemudian menjadi ciri dominan sampai akhir abad modern. Orang Kristen sejati masa
ini adalah seorang misionaris, yaitu dia yang “pergi memberitakan Injil kepada ‘orang-orang
kafir’” sampai pada “penyerahan diri secara mistis demi keselamatan mereka”, “memberi teladan
kepada dunia”.
Dialog. Kini adalah sebuah kecenderungan baru menuju pemribumian, inkulturasi,
penghargaan yang lebih besar terhadap agama-agama lain, dan upaya-upaya melakukan
penafsiran baru terhadap fakta christic. Banyak orang Kristen yang tidak ingin lagi
mempertobatkan; mereka ingin melayani dan belajar; mereka menyerahkan diri mereka sebagai
peserta-peserta tulus dalam dialog terbuka, sebagai proses terbuka untuk saling memperkaya dan
mendapatkan pengetahuan lebih tentang satu sama lain.
Jelas bahwa orang Kristen, bagimanapun juga, mempertahankan kelima ciri di atas. Bahwa
ada sesuatu yang merupakan kesaksian dalam diri semua orang Kristen dan mereka akan merasa
gelisah bila mereka tidak lebih baik daripada orang-orang non-Kristen (pertobatan), bila mereka
tidak punya keberanian mengakui iman mereka (seorang militant, seorang lascar salib), dan
tidak melihat beban dan tanggung jawab untuk peduli terhadap seluru dunia (misi). Kini setelah
mereka sadar bahwa mereka tidak sendirian, orang Kristen pun terbuka untuk dialog.
B. Gavin D’Costa
Penjelasan secara jelas di mana ia lahir tidak didapatkan secara rinci, yang diketahui dala
literature yang kami dapati bahwa D’Costa lahir di Kenya 1958. Ia mengajar di Bristol sejak
1993 yang adalah Profesor Teologi Katolik di Universitas Bristol, Inggris Raya. Ia menjadi
kepala Departemen Teologi dan Studi Keagamaan tahun 2002-2006. Dia menjadi Dewan
Kepausan untuk Dialog Antaragama dan pada tahun 1998 mengunjungi profesor di Universitas
Kepausan Gregoriana, Roma. Publikasi D'Costa termasuk Vatikan II: Doktrin Katolik tentang
Yahudi dan Muslim (2014), Kristen dan Agama-Agama Dunia: Pertanyaan yang Disengketakan

3
dalam Teologi Agama (2009), Pertemuan Agama dan Trinitas (2000), dan Teologi dan
Pluralisme Agama(1986).4
Karya-karyanya al.5:
Teologi dan Pluralisme Agama: tantangan agama-agama lain; Keunikan Kristen Ditinjau
Kembali: Mitos Teologi Agama Pluralistik; Agama di Eropa: Perspektif Kontemporer;
Pertemuan Agama dan Tritunggal; Gereja Katolik dan Agama-agama Dunia. Akun Teologis dan
Fenomenologis; Kekristenan dan Agama-agama Dunia: Pertanyaan yang Disengketakan dalam
Teologi Agama-agama; Vatikan II: Doktrin Katolik tentang Yahudi dan Muslim.
Karya Gavin D’Costa dalam Teologi Beragama
KRISTUS, TRITUNGGAL DAN PLURALITAS KEAGAMAAN6
Gavin mengusulkan dalam buku Mitos dan keunikan Agama Kristen sebaiknya
dihubungkan dengan doktrin Tritunggal sebab baginya doktrin Tritunggal ini menjawab berbagai
keprihatianan tentang tiga jembatan yang dibangun para penyebrang Rubicon. Strategi yang
dipakai oleh Gavin ialah inklusivis yang memungkinkan pengakuan yang sungguh-sungguh
terhadap pluralitas dan memudahkan penerimaan terhadap kriteria teologis. Kemudian Gavin
D’Costa tidak setuju dengan kaum pluralis yang mengangkat tiga faktor terhadap pendekatan
Kristen tradisional tentang agama-agama lain: relativitas, misteri dan keadilan. Yang mereka
anggap sudah mengembangkan teologi pluralis tentang agama-agama yang dengan luas
kesederajatan semua penyataan. Bagi Gavin, ketiga rangkaian masalahnya dapat ditinjau secara
berbeda dengan perspektif Trinitarian. Pertama, masalah mempertemukan sesuatu yang secara
historis partikular dengan yang universal, persoalan tentang relativitas, diterangi perantaraan
Allah yang universal yang didasarkan pada penyataan partikularitas penyataan Allah dalam
Kristus. Kedua, persoalan tentang misteri Allah dan transendensi Allah terhadap serta di atas
setiap artikulasi partikular, diterangi dengan pemahaman tentang Roh kudus yang terus menerus.
Yang ketiga masalah mengembangkan keadilan, setiap teologi pembebasan agama-agama
menuntut pemahaman Trinitarian yang kristosentris untuk membenarkan fokus tentang
kemungkinan titik-titik temu baru diantara agama-agama. Tritunggal ini menuntut orang Kristen
supaya benar-benar mendengarkan serta belajar dari agama-agama dunia dan dan dalam proses
ini, bersikap terbuka terhadap penghakiman Allah terhadap komunitas Kristen.
Gavin D’Costa membuktikan pendapatnya yang tlah dikemukakan sebelumnya melalui
kelima tesisnya: TESIS 1: kristologi Trinitarian memberikan perlindungan terhadap
eksklusivisme dan pluralisme dengan menghubungkan secara dialektis yang universal dan yang
partikular. Dalam pengertian bahwa ia menegaskan penolakan terhadap indentifikasi eksklusif
tentang Allah dan Yesus, maupun terhadap non-identifikasi Allah dan Yesus. Terhadap
kristomonisme mutlak harus ditekankan bahwa “sang anak bukanlah sang Bapa”. Melalui Roh
dan sang Anaklah Allah itu dinyatakan. Terhadap teosentrisme pluralis juga ditekankan bahwa
“apa pun yang dikatakan tentang sang Bapa juga berlaku bagi sang Anak”. Sebagai orang kristen
kita tidak dapat berbicara mengenai tentang sang Bapa tanpa kisah tentang Yesus. Dengan cara
4
https://berkleycenter.georgetown.edu/people/gavin-d-costa
5
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Gavin_D%27Costa
6
Gavin D’Costa., Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen: Mitos Teologi Pluralitas
Agama-agama. Jakarta. BPK Gunung Mulia. 2002. 47-68

4
ini Tritunggal menanamkan penyataan diri Allah dalam kisah-kisah partikular sejarah, yang pada
prinsipnya terfokus pada Yesus Kristus tanpa membatasi Allah terhadap partikularitas ini karena
adanya universalitas Roh.
TESIS 2 : pneumatologi memungkinkan partikularitas Kristus dihubungkan dengan
aktivitas universal Allah dalam sejara umat manusia, pemikiran logis yang diajukan oleh Gavin
D’costa adalah: semua sejarah, baik di masa lalu maupun yang akan datang, secara potensial
adalah partikularitas yang dengannya penyataan diri Allah diperantarai. Secara kronologis dan
geografis, tidak mungkin ada batas-batas yang telah ditetapkan sebelumnya terhadap hal ini:
“Roh bertiup ke mana saja sesuai kehendaknya”. Secara eklesiologis, hal ini dikukuhkan dalam
pengutukan terhadap pengajaran Jansenisme bahwa “di luar gereja anugerah tidak diberikan”. Di
mana pun juga dan kapan saja Allah Allah menyatakan diri-Nya, dengan cara yang sering kali
tidak dikenali atau keliru dipahami oleh orang Kristen, inilah Allah yang dinyatakan dalam
Kristus. Jadi, orang Kristen perlu belajar secara lebih mendalam tentang Allah dari penyataan
diri Allah di mana pun juga hal itu terjadi. Hal penting yang perlu diketahui adalah pengakuan
tentang aktivitas penyelamatan Allah di luar gereja ini menuntut bahwa orang-orang non-Kristen
mempunyai ruang naratif dalam teologi dan praktik Kristen, sehingga berbagai sejarah serta
kisah mereka dapat didengar tanpa distorsi.
TESIS 3 : Pemahaman Tritunggal yang Kristosentris menyingkapkan hubungan yang
penuh kasih sebagai cara keberadaan yang tepat. Jadi semua orang Kristen wajib mengasihi
sesama (termasuk orang-orang Hindu, Buddhis dan yang lainnya). Pernyataan diri Allah dalam
Kristus memperlihatkan bahwa cara keberadaan yang tepat adalah persekutuan penuh kasih,
yang diteladankan dalam kasih antara sang Bapa dan sang Anak, dan secara korelatif kasih di
antara ketiga oknum Tritunggal. Orang Kristen terpanggil untuk mencerminkan realitas ini, yang
dengannya mereka dibentuk dalam persekutuan mereka dengan orang lain dalam komunitas-
komunitas Kristen dan lingkup yang lebih luas lagi. Dalam berbagai masyarakat lokal dan global
multi-iman, sesamanya mencakup pula orang-orang dari semua keyakinan. Terpanggil untuk
mengasihi sesama tidaklah secara eksklusif diungkapkan melalui modalitas pribadi melainkan
juga secara struktural. Jadi, dialog antar-agama, pada tingkat pribadi dan struktural adalah wajib
bagi semua orang Kristen.
TESIS 4 : Normativitas Kristus mencakup normativitas kasih yang mempersembahkan
diri melalui penyaliban. Praksis dan dialog. “Dan siapakah sesamaku manusia?” jawaban Yesus
terhadap pertanyaan ini dalam Lukas 10:29-37 tentang permumpamaan orang Samaria. Hal ini,
seperti yang dijelaskan dalam permupamaan, menuntut kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan
nyata sesama kita, khususnya marginalisasi, penderitaan, kemiskinan dan ketidak berdayaan
mereka. Petunjuk paling radikal terhadap makna kasih dalam kisah Kristen, yang juga
merupakan kritik terhadap cara kita menjalani kisah tersebut, ialah apa yang diketengahkan
kehidupan Yesus yang berakhir pada salib. Melalui kisah Yesus kita secara normatif dibentuk
oleh pola-pola pelayanan dan kasih yang dikemas dalam kehidupan serta kematian-Nya, yang
terus menerus dikemas kembali, sejauh kita berpartisipasi dalam pola-pola ini, dengan kuasa
Roh. Normativitas Kristus secara tepat menunjukkan bahwa bekerja bersama dengan orang-
orang beragama lain demi pembebasan dari penindasan dan penderitaan dalam pelbagai
bentuknya dan melalui upaya timbal balik ini, menemukan banyak bentuk, yang di dalamnya
penindasan serta penderitaan ini berlangsung, adalah cara dialog antar garis agama yang tepat
untuk orang Kristen.

5
TESIS 5 : Gereja berada di bawah penghakiman Roh kudus, dan bila Roh kudus aktif
dalam agama-agama dunia, maka berbagai agama dunia itu penting bagi kesetiaan Kristen.
Gavin mengutip teks yang bernas dalam Injil Yohanes untuk mengembangkan tesis kelima ini.
dalam wacana-wacana perpisahan Yohanes, Yesus berbicara tentang hubungan Roh Kudus
dengan diri-Nya dengan Sang Bapa: “masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi
sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia
akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-
Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia
akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Segala sesuatu yang Bapa punya adalah
Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari
pada-Ku” (Yoh. 16:12-15). Signifikansi eklesiologi Trinitarian ini adalah bila kita mempunyai
alasan-alsan kuat untuk percaya bahwa Roh dan Firman itu hadir dan aktif dalam agama-agama
dunia. Maka, adalah tugas intrinsik gereja untuk mendengarkan dan memperhatikan agama-
agama dunia. Bila tidak demikian, agama-agama di dunia dengan sengaja menutup dirinya
terhadap Roh kebenaran, yang diharapkannya untuk tetap setia kepada kebenaran dan dipimpin
semakin mendalam pada kebenaran tersebut. Dengan demikian, doktrin Roh memberikan ruang
naratif yang di dalamnya kesaksian-kesaksian berbagai orang dari agama-agama dunia, dalam
kata-kata dan kehidupan mereka, dapat menyingkapkan ideology-ideologi palsu dan praktik-
praktik naratif yang menyimpang dalam komunitas-komunitas Kristen. Pada saat yang sama, hal
itu memungkinkan orang Kristen menjadi sadar akan penyingkapan diri Allah dalam agama-
agama dunia dan melalui proses belajar ini, memperkait pemahaman tentang diri kita sendiri.
KESIMPULAN
Melalui kelima tesis yang telah diurai oleh Gavin D’Costa, dia berupaya menguraikan
kemungkinan arah teologi Kristen yang inklusif tentang agama-agama. Kristologi Trinitarian
yang diusulkan tersebut baik, seperti yang dia pahami, dalam mempertemukan penekanan
eksklusif tentang partikularitas Kristus dan penekanan pluralis pada aktivitas Allah yang
universal dalam sejarah. Kristologi Trinitarian terbuka terhadap agama-agama dunia dalam
menolak memberika penghakiman kritis apriori atau pengukuhan positif yang apriori pula.
Tetapi sebaliknya, ia mengusulkan orientasi dan aturan yang dengannya tugas penting seperti itu
dapat dilaksanakan dalam konteks dialog yang spesifik.
Raimundo Panikkar menghubungan sejarah tradisi Kristen dengan agama-agama lain
dilambangkan dengan tiga sungai suci, yaitu sungai Yordan, tempat Yesus dibaptis, yang
menunjuk pada asal-usul tradisi kristen yaitu Yahudi. Kedua, sungai Tiber, tempat Petrus dan
Paulus meninggal. Di sini kekristenan tidak dapat dipahami tanpa Roma. Kekristenan:
percampuran warisan Yahudi dengan unsur-unsur Heleno-Roman-Gotik-Barat. Sungai ketiga
ialah Sungai Gangga. Ada dua hal yang hendak disampaikan di sini. Pertama, orang Kristen
harus mengakui tradisi-tradisi lain, masing-masing dalam hak dirinya sendiri. Kedua, bahwa
klaim universal sudah menjadi sifat kekristenan. Hal ini menimbulkan terjadinya dilema.
Selanjutnya, Panikkar menuliskan lima periode historis sikap kekristenan, yaitu: Penyaksian,
Pertobatan, Perang Salib, Misi, dan Dialog

6
Literatur:
Hick John & Knitter .F Paul. Mitos Keunikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
1987.
D’Costa Gavin., Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen: Mitos Teologi
Pluralitas Agama-agama. Jakarta. BPK Gunung Mulia. 2002
http://www.raimon-pannikar.org/english/laudatio.html
https://www.nytimes.cpm/2010/09/05/us/05pannikar.html
https://berkleycenter.georgetown.edu/people/gavin-d-costa
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Gavin_D%27Costa

Anda mungkin juga menyukai