Anda di halaman 1dari 8

PEMIKIRAN S. J.

SAMARTHA & WESLEY ARIARAJAH

Pendahuluan
Di era ini, khususnya orang-orang Kristen hidup dalam masyarakat yang
majemuk. Teologi pluralisme agama menjadi sebuah pilihan yang menarik untuk
digunakan di era globalisasi karena dianggap cukup toleran terhadap pandangan agama-
agama lain. Dengan demikian pada materi kali ini kelompok akan membahas mengenai
dua tokoh yang mana mereka memiliki pandangan berteologi agama berdasarkan teologi
pluralisme.
Stanley Jedidiah Samartha
Biografi1
Stanley Jedidiah Samartha dilahirkan pada 7 Oktober 1920 anak pertama dari
sebuah keluarga Kristen yang berhubungan secara dekat dengan misi Basel, di desa
Karkal daerah Kanara (sekarang disebut Karnataka), India. Ayahnya bernama Lukas
Yonatan Samartha (1891-1959), dan masa kecilnya dilalui disebuah panti asuhan misi
Basel, kemudian belajar di sekolah Teologi misi di Mangalore. Kemudian, ayah Samartha
mengabdikan hidupnya diberbagai pos sebagai seorang penginjil, kepala sekolah dari
sebuah sekolah dasar, pendeta, dan akhirnya sebagai kepala dari panti asuhan di mana ia
dibesarkan. Ibunya, Sahadesi (1901-1982) bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar.
Stanley mula-mula pergi ke sekolah menengah atas milik misi Basel (1933-1937),
kemudian memperoleh Pendidikan di sekolah tinggi selama empat tahun (1937-1941) dan
kemudian studi teologinya di UTC di Bangalore (1941-1945). Samartha juga
berhubungan dengan gerakan mahasiswa Kristen. Pada tahun 1940 dia terpilih sebagai
sekretaris SCM di Mangalore.
Samartha kemudian menjadi pembantu pendeta di Udipi, sebuah pusat ziarah
Hindu yang terkenal (1945-1947). Dia mengajar Alkitab di sekolah menengah milik misi
Basel. Di sini pula ia bertemu dengan isterinya, Edna Iris Furtado. Mereka menikah pada
tahun 1947. Dalam pernikahannya mereka dikaruniai tiga orang anak. Pada tahun 1947
itu juga ia ditunjuk menjadi pelajar pada seminari misi Basel di Mangalore.
Melalui dukungan P.D. Devanandan, mantan gurunya di Bangalore, yang pada
waktu itu merupakan profesor tamu di Union Theological Seminary, New York
(1947/1948), Samartha diberikan sebuah beasiswa untuk studi di Amerika (1949-1952).
Dia belajar di sana pada Paul Tillic dan Reinhold Niebuhr. Setelah mengambil MA-nya
dengan sebuah karya mengenai pandangan sejarah Hindu pada Rathakrishnan (1950),
yang di bimbing oleh Tillich, Samartha mendapatkan beasiswa dari Yayasan Seminari
Hardford di mana ia mendaftar untuk program doktor. Atas undangan dari misi Basel dia
mendapat kesempatan untuk berstudi lagi enam bulan di Basel, bersama dengan Karl
Barth dan Oscar Cullmann. Di sini Samartha juga bertemu dengan Hendrik Kraemer,
1
Volker Kütser, Wajah-wajah Yesus Kristus : kristologi lintas budaya, Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2017. 111-112; bnd. A.A. Yewangoe, Teologia Crusis di Asia : pandangan-pandangan orang kristen
Asia mengenai penderitaan dalam kemiskinan dan keberagamaan di Asia, Jakarta : BPK Gunung Mulia,
1996. 116.

1
yang pada waktu itu merupakan direktur dari Institut Ekumenis Bossey. Setelah tiga
tahun studi intensif, pada tahun 1952 Samartha kembali ke Mangalore sebagai rektor
Seminari Teologi. Pada tahun 1958 dia mempresentasikan disertasinya tentang
pandangan sejarah dalam Hinduisme. Kemudian dia dipanggil untuk menjadi pelajar di
Bangalore (1960-1966), menggantikan tempat P.D. Devanandan, yang menawari dia
untuk menjadi penasihat pada CISRS. Di kemudian hari Samartha memandang masanya
sebagai direktur Serampore College (1966-1968) lebih sebagai tahap antara.
Pada Konsultasi DGD di Kandy mengenai Dialog dengan Umat Beriman Lain
(1967), Victor E.W.Hayward Sekretaris dari Divisi untuk Misi dan Penginjilan,
mempunyai perhatian khusus untuk Samartha. Tahun berikutnya dia meminta Samartha
ke Jenewa sebagai sekretaris asosasi. Dia diharapkan dapat memberi kekuatan baru untuk
pekerjaan DGD dalam studi, “Firman Allah dan Keyakinan-Keyakinan yang Hidup di
antara Manusia”, yang mengalami masalah. Di bawah pimpinannya pekerjaan ini
berkembang menjadi program dialog yang pada tahun 1971 dikembangkan menjadi satu
sub-unit yang terpisah, dengan Samartha sebagai direktur yang pertama. Bersama dengan
kepala dari divisi yang baru didirikan, Hans Jochen Margull, yang adalah profesor Misi
dan Ekumenika di Hamburg, Samartha memainkan peran yang penting dalam perumusan
“Petunjuk Dialog dengan Orang dari Ideologi dan Iman yang Hidup”, yang diterima oleh
Komisi Sentral pada tahun 1979 setelah melalui perjuangan yang panjang. Ini masih tetap
merupakan posisi DGD dalam masalah dialog. Tema kehidupannya ini, dialog dengan
agama lain, tidak pudar dari Samartha, bahkan ketika ia pulang ke India. Dia terus
berbicara sebagai profesor tamu di UTC dan sebagai penasihat CISRS.
Pemikiran Samartha2
Kebanyakan orang Kristen saat ini enggan untuk bersikap negatif terhadap agama
lain. Tempat Kristus menjadi suatu masalah penting bagi masyarakat yang multiagama
dalam hal pencarian teologi agama-agama baru. Berdasarkan apa yang terjadi di India
ketika pandangan kaum eksklusif yang mempengaruhi komunitas orang percaya hal ini
membangkitkan pertanyaan teologis mengenai hubungan Allah dengan seluruh umat
manusia bukan hanya satu kelompok umat manusia. Di India telah dilakukan berbagai
upaya untuk menuju teologi Kristen yang baru berkaitan dengan tanggapan Hindu
terhadap pluralisme agama menjadi bagian refleksi teologis Kristen India.
Konteks pemikirannya berawal dari selama dua dasawarsa lalu, perubahan-
perubahan penting telah terjadi secara resmi dalam sikap-sikap Kristen terhadap sesama
umat beriman lain. Deklarasi Konsili Vatikan II yang terkenal, Nostra Aetate (1965),
dianggap sebagai “pernyataan pertama yang sungguh-sungguh positif” dari Gereja
Katolik tentang agama-agama lain. Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) yang didirikan
tahun 1948 brgerak agak lamban dan enggan tentang masalah ini hingga, pada tahun
1971, mereka menerima pernyataan kebijakan “sementara” (interim) tentang
kepercayaan-kepercayaan lain. Setelah hampir sepuluh tahun bekerja keras, dan sering
ditandai dengan kontoversi, pada tahun 1979 DGD menerima pernyataan teologis dan
serangkaian Pedoman tentang Dialog, “sambil menyambut tingkat kesepakatan dan
pemahaman bersama yang diwakilinya di antara mereka yang memegang pandangan-
2
John Hick & Paul F. Kniter (peny.) Mitos Keunikan Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia,
2001,137; bnd. R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994.

2
pandangan teologis berbeda”. Sehubungan dengan umat beriman lain, pernyataan
tersebut berbunyi, “Kami merasa mampu, dengan intergritas, menjamin mitra-mitra kami
dalam dialog bahwa kami datang bukan sebagai manipulator, melainkan sebagai sesama
peziarah”.
Di India terjadi perubahan radikal sikap Kristen terhadap sesama umat lain
menjadi tuntutan eksistensial dan kebutuhan teologis yang berhubungan dengan misteri
kebenaran. Komunitas-komunitas keagamaan menjadi salah satu indikator dalam
memberi sumbangan ketidakadilan sosial di India (juga di negara-negara lain). Agama-
agama yang mapan sering berada di pihak yang kaya dan berkuasa bukan dipihak yang
miskin dan tertindas. Di sini agama terlibat dalam hal kekuasaan politik.
Pandangan dari Hindu Ortodoks dengan mendasarkan diri pada kedua prinsip –
mataikya, kesatuan dari semua agama, dan matavirodha, sifat-sifat merka yang tidak
saling kontradiktif – para pandita mengajukan tiga argumen terhadap klaim keunggulan
agama Kristen. Pertama pluralitas agama-agama adalah “intrinsik dan ada tujuannya
karena adanya dharma. Kedua prinsip adhikara yang dapat diterjemahkan sebagai
kecakapan, kemampuan, yang berhak, yang membuat pluralitas perlu ada. Ketiga,
adhikarabheda (perbedaan-perbedaan kecakapan atau kemampuan) bukanlah masalah
pilihan masalah melainkan unsur “yang ada dengan sendirinya” bahkan merupakan
kehendak Allah dan hal itu memilih marga-marga (lorong-lorong atau jalan-jalan) yang
berbeda. Orang Hindu tidak meminta orang-orang Kristen untuk meninggalkan komitmen
mereka kepada Allah di dalam Kristus. Sebaliknya, mereka memohon kepada orang
Kristen agar tidak minta orang-orang Hindu meninggalkan komitmen mereka.
Pemikiran Samartha berkaitan dengan hubungan multiagama yaitu mengenai
makna misteri yang mana orang Kristen percaya bahwa di dalam Yesus Kristus makna
misteri ini merupakan pernyataan Allah dan memberikan jalan keselamatan bagi seluruh
umat manusia. Ketika akan meninggalkan eksklusivitas dan inklusivitas orang Kristen
harus tiba pada pemahaman lebih jelas mengenai keunikan Yesus. Kristologi teosentris
dapat menjadi penolong dalam membangun hubungan baru dengan sesama kita yang
beragama lain. Kehadiran Kristologi teosentris memungkinkan komitmen kepada Allah
di dalam Yesus Kristus tanpa mengambil sikap negatif terhadap sesama kita yang
beriman lain, dan pada saat yang sama menawarkan kerangka konseptual yang lebih
menyeluruh untuk dialog dengan sesama ini. Teosentrisme mendasarkan kerja sama
bukan pada keuntungan, melainkan pada teologi dengan memberikan visi partisipasi
kepada sekuruh umat manusia dalam misi Allah yang berlanjut di dunia, sambil berupaya
menyembuhkan kehancuran diantara umat manusia, mengalahkan keterpecahan
kehidupan, dan menjembatani jurang antar alam, umat manusia dan Allah. Yesus yang ia
gambarkan hadir mengundang semua orang untuk beralih dari egoisme dan keterpusatan
pada Allah. Dalam kaitannya ini juga dihubungkannya dengan kesenian. Bahwa kesenian
atau pengalaman esteika dapat menjadi jembatan hubungan-hubungan agama-agama lain.
Karena dalam seni tidak mungkin ada ekslusivitas,karena seni mentransformasikan
perasaan-peraan manusia dan memberi mereka yang ikut serta di dalamnya rasa
kedamian batin, shanti. Seni membebaskan manusia dari perasaan-perasaan nafsu untuk
menguasai. Dengan demikian memperjelas bahwa meskipun kekristenan adalah milik
Kristus, Kristus tidaklah hanya dimiliki oleh kekristenan.

3
Karya-karya
Karya-karya dari Samartha antara lain : dalam buku “The Hindu Response to the
Unbound Christ” berusaha menelaah pandangan hindu mengenai Yesus Kristus3, “One
Christ – Many Religions”, Samartha menantang eksklusivisme normatif dengan
kemungkinan dari suatu perbedaan relasional Yesus Kristus4. Ada pula “Religion,
Cultures and the Struggle for Justice” di journal of Ecumenical Studies, “Christ in a
Multireligious Culture” (under the title “The Cross and the Rainbow”) as chapter 5 in
The Myth of Christian Uniqueness (Eds John Hick and Paul F.Knitter, Maryknoll, dan
“Mission in a Religiously Plural World” di internasional Review of Mission5

WESLEY ARIARAJAH
Biografi, Konteks dan Karya
Wesley Ariarajah, lahir di kota Yalpanam. Karena penjajah yang datang di Sri
Lanka pada waktu itu, tidak bisa menyebutkan nama dari kota-kota yang ada di Sri
Lanka. Sehingga mereka menyingkatnya. Maka mereka menyebut kota Yalpanam dengan
sebutan Jaffna. Jaffna adalah ibukota Sri Lanka bagian utara. Di sana, ada satu Gereja
Metodis yang besar, aktif, dan berkembang. Ada juga sekolah berasrama Metodis.
Sedangkan Kankesanthurai yang merupakan kota tempat Wesley dibesarkan mereka
menyebutnya KKS. KKS adalah sebuah kota yang hampir semua penduduknya beragama
Hindu, tetapi ada beberapa keluarga meganut agama lain, yakni Katolik Roma, dan
Protestan.
Ketika Ariarajah berusia 5 tahun, mereka pun pindah di KKS, karena ayahnya
bekerja (pindah). Dengan demikian, keluarga Wesley mendapat tetangga baru yang
beragama Hindu. Semasa kecilnya Wesley bermain dengan anak-anak yang beragama
Hindu. Sebagian besar aktivitas mereka bersentuhan dengan orang-orang yang beragama
Hindu. Bahkan, sampai ada dua anak tetangga Wesley yang ikut mengambil bagian
dalam persukutuan doa malam keluarga. Anak-anak dari keluarga Hindu itu senang,
bahkan orangtua mereka pun senang karena anak mereka bisa ikut serta dalam doa
malam keluarga Wesley. Tetapi, keluarga Wesley juga ikut serta dalam “pujas” (doa
agama Hindu) dan menyanyi Tevarams (lagu devosional).
Kemudian, ayah Wesley mengirim Wesley dan kakaknya ke sekolah Metodis di
Jaffna, agar supaya mereka memperoleh pendidikan yang lebih baik dalam lingkungan
Kristiani. Walaupun demikian, dalam liburan dan akhir pekan terkadang mereka pulang
ke KKS. Dengan demikian, hubungan dengan anak-anak yang beragama Hindu tetap
terjalin baik. Ketika Wesley sudah beranjak dewasa dan sudah mulai memahami masalah
agama, Wesley mulai sadar akan perbedaan antara kedua agama ini. kenyataan bahwa
keluarga Wesley bukan beragama Hindu tidak mempengaruhi sikap orang Hindu kepada

3
Yewangoe, 117
4
Küster, 119
5
S.J. Samartha, One Christ – Many Religions : toward a revised Christology. Maryknoll, New
York, 1995.

4
mereka. keterbukaan dan kesetiakawanan itu pun diperlihatkan oleh tetangga yang lain.
Wesley berpendapat, bahwa mereka adalah kelurga yang berakar dalam kasih Allah.
Walaupun Wesley sangat menghargai agama Hinduisme karena wawasannya
dalam kehidupan, dia tidak terlalu jatuh cinta pada agama Hindu pada saat itu. Kesalehan
religius yang terlihat dalam kehidupan orang-orang yang beragama Hindu ini sangat
berkesan.
Saat Wesley menjelang dewasa ia pun mulai serius dan terlibat dalam kegiatan
iman Kristen melalui gerakan mahasiswa, kelompok studi di Gereja dan sebagainya, ia
mendengar tentang misi. Bahwa semua manusia berdosa dan tersingkir dari Allah.
Namun, Allah dalam kebaikan dan anugerahnya telah menampakkan kasih-Nya dalam
Yesus. Dari kematian dan kebangkitannya Yesus telah membuka jalan menuju
keselamatan.
Para penginjil yang keras sering melakukan pertemuan terbuka di stadion Jaffna.
Mereka berpendapat, penganut Hinduisme adalah penyembala berhala dan percaya
takhayul. Sementara orang Kristen yakin akan masuk surga, orang Hindu yang tidak
percaya akan masuk neraka. Oleh karena itu, ada keharusan untuk menyebarkan Injil
kepada orang Hindu agar mereka percaya kepada Kristus. Ini yang Firman Allah ajarkan
kepada kita, kata para penginjil itu sambil, mengutip ayat-ayat di luar kepala.
Namun, berbeda halnya dengan Wesley Ariarajah. Dia merasa hancur mendengar
pandangan semacam itu. Saat itu Wesley belum mampu memahami masalah itu secara
teologis dan juga tidak memiliki pengetahuan apapun tentang hal itu. Namun, dia merasa
bahwa tidak adil kalau Allah menerima mereka keluarga Kristen ke dalam surga dan
mengirim tetangga mereka yang Hindu ke neraka. Wesley berpendapat bahwa dia tidak
bersedia masuk surga kalau tetangganya tidak.
Dia membaca sebuah buku yang telah difilmkan yang berjudul: “Not Without My
Daughter”. Sehingga menginspirasinya untuk menulis buku yang berjudul: “Not Without
My Neighbour”. Yang merupakan pergumulan Wesley dan bahkan orang Kristen di Asia
yang hidup bersama dengan sesama agama yang lain. Terkadang hubungan itu berat dan
pemaham mereka tentang kehidupan spiritualitas sesama mereka begitu jelas sehingga
mereka tidak bersedia berada di “surga” sementara sesama mereka ditolak di dalamnya.
Kini, tidak lagi berbicara tentang kami ke surga dan mereka ke neraka. Dalam
Gereja pandangan teologi, dan teologi agama-agama telah diperluas untuk menampung
kenyataan adanya pluralitas dan kebangkitan kembali agama-agama.
Ada pengaruh dari tokoh-tokoh Kristen yang di antaranya D. T. Niles, Stanley
Samartha. D. T. Niles, ialah seorang pendeta di Jaffna, yang telah mempersiapkan
Wesley untuk sidi, yang membuat iman Kristen Wesley menjadi lebih teguh dan
memutuskan untuk melibatkan diri dalam pelayanan Gereja Metodis. Di sisi lain Wesley
memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang agama Hindu dan Budha, yang
merupakan agama yang dianut oleh 85% penduduk Sri Lanka, dalam rangka untuk
menjelaskan dilema tentang tetangga Hindu yang tanpa diteliti lebih dalam. Dia juga
mulai tertarik dengan dialog antar agama yang dipimpin oleh seorang oikumenis Lynn De
Silva.

5
Hal ini yang membuat dia terlibat dalam program dialog Dewan Gereja se-Dunia
dan akhirnya, memimpin sub-unit dialog yang dulunya dipimpin oleh Stanley Samartha
yang merupakan perintis program dialog dari DGD dan memimpin selama periode
pembentukkan dan masa-masa sulit. Samartha ini, merupakan guru dari Wesley Ariarajah
tentang agama Hindu dan filsafat India.
Jika meninjau sejarah kegiatan dialog yang dilakukan DGD maka akan
menimbulkan lima fase yang saling berkaitan. Lima fase ini adalah, pertama, konsep
mengenai dialog. Dialog muncul sebagai suatu konsep yang cocok untuk
menggambarkan hubungan antar umat beragama; kedua, meninjau iman. Hal ini muncul
karena adanya perdebatan tentang dialog pada fase pertama. Sehingga pada fase kedua ini
mendorong kita untuk meninjau iman kita sendiri untuk mencari dasar-dasar yang cukup
bagi hubungan yang baru dan menegaskan kembali iman kita; ketiga, kebebasan
beragama dan peran untuk berpartisipasi. Pada fase kedua, ada hubungan-hubungan yang
memungkinkan adanya pertemuan yang baru dengan dunia Yahudi, Islam, Budha, Hindu,
dan lainnya. Pertemuan juga dilakukan dengan organisasi antar iman internasional untuk
kebebasan agama dan juga dengan berpartisipasi dalam berbagai peristiwa antar agama
internasional yang penting. Semua ini dibaringi dengan pertemuan-pertemuan dialog
aktual pada tingkat internasional yang di organisasi oleh sub-unit dialog DGD, dan juga
usaha mempromosikan dialog ditingkat lokal; keempat, kebaktian antar iman, menyikapi
sikap militansi agama. Berbagai usaha promosi dialog ditingkat lokal memunculkan
beberapa masalah yang perlu diperhatikan. Misalnya, apakah dibenarkan melaksanakan
kebaktian antar iman? Bagaimana caranya? Bagaimana cara menangani pernikahan lintas
agama? Bagaimana menyikapi militansi agama dan penindasan terhadap kelompok
agama yang minoritas; kelima, masa depan agama dan agama-agama. Apa dampak dari
meningkatnya budaya sekuler, teknologi, dan global terhadap agama? Isu-isu ini terdapat
dalam semua agama dan dalam hubungan mereka satu terhadap yang lain.
Sejak awal gereja hidup dalam konteks kepercayaan-kepercayaan yang lain. Apa
yang sebelumnya merupakan bagian dari Yudaisme, segera mengalami persentuhan
langsung dengan agama, budaya, dan filsafat dari dunia Yunani Romawi. Kontak ini
mempengaruhi perumusan dan penafsiran iman Kristen.
Sejarah teologi setelah itu, adalah cerita tentang bagaimana bermacam-macam
kontak filsafati dan kultural dari gereja, telah memperkaya dan memperluas tradisi
teologis yang ada di dalam Alkitab.
Kini gereja diperhadakpan dengan situasi yang baru secara hakiki. Waktu dulu,
kontak dengan agama-agama lain mempunyai dampak yang memperkaya dan
memperluas iman Kristen, tetapi gereja mempunyai pemahaman diri, ia menolak untuk
memandang kepercayaan lain itu dengan serius. Teologi gereja adalah untuk melayani
misiologinya. Mereka selalu menunjukkan mengapa iman Kristiani itu superior terhadap
kepercayaan-kepercayaan lain.
Sekarang gereja berhadapan dengan situasi yang sungguh baru. Pertama, tradisi
agama yang lain telah pulih kembali dari penaklukan kolonial dan menampilkan diri
sebagai alternatif yang universal bagi kepercayaan Kristen. Kedua, tradisi-tradisi agama
ini telah berhasil menambah jalan bahkan juga sampai kedunia barat “Kristen”, sehingga
kemajemukan agama telah menjadi realitas dalam masyarakat. Ketiga, kini bertumbuh
6
kesadaran tentang kekayaan yang terdapat pada kepercayaan-kepercayaan lain. Dulunya
Budhisme dianggap sebagai penyembah berhala, oleh karena itu ia tidak mempunyai
ajaran tentang Allah. kini ada kesadaran yang baru tentang kemajemukan agama, bukan
sebagai ancaman yang harus ditolak tetapi sebagai kenyataan yang harus dihadapi.
Sekarang adalah waktunya bagi gereja-gereja untuk bergumul menentukan sebuah
dasar teologis yang baru bagi hubungannya dengan orang-orang yang berkepercayaan
lain. Dasar teologis ini merupakan dasar yang memapuhkan orang Kristen untuk terikat
dalam kesetiaan kepada Kristus, namun terbuka bagi kesaksian orang lain.

KESIMPULAN
Stanley Jedidiah Samartha merupakan seorang teolog yang mana pemikirannya
tentang berteologi agama-agama berangkat dari konteks di mana ia berada yaitu di India,
bahwa berteologi Kristen dilihat dari pandangan Hindu terhadap pluralisme agama yang
menjadi refleksi bagi teologi Kristen India. Terdapat pandangan kristen tentang agama-
agama yang menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakadilan karena lebih memilih
yang kaya dan berkuasa. Hal ini tentunya sangat ditolak bagi pemikiran Samartha. Ia
pandangan eksluvisme dan inklusivisme terhadap agama lain dan berupaya untuk
membangun pemikiran yang pluralisme mengenai agama-agama lain berkaitan dengan
Kristologi teosentris yaitu pandangan tentang Yesus dari agama Hindu dan membuka
wawasan agama-agama bahwa keselamatan bukan hanya ada dalam umat Kristen
melainkan juga ada pada umat beragama lain yang mana juga agama dalam
pandangannya tidak melibatkan diri dalam ketidakadilan, melainkan bersama-sama
mewujudkan misi Allah untuk mempertahankan kesatuan ciptaan-Nya dengan bekerja
sama dan berdialog tanpa ada rasa memiliki kuasa satu dengan yang lain dalam artian
pemikiran ekslusivisme dan inklusivisme dapat di jauhkan dari pemikiran agama-agama.
Selain itu juga dari pandangannya tentang kesenian bahwa melalui pengalaman estetika
dapat menjembatani hubungan agama-agama.
Wesley Ariarajah berbicara mengenai kemajemukan agama menurut latar
belakangnya yang adalah orang Sri Lanka. Karena konteksnya Wesley Ariarajah yang
hidup berdampingan dengan tetangga yang yang beragama Hindu. Hubungannya dengan
tetangganya terjalin dengan baik dan saling terbuka. Ketika dia mahasiswa, sudah
tergabung dengan gerakan mahasiswa dan juga berbagai kelompok studi di gereja. Dia
mulai mendengar tentang misi. Di mana melihat semua manusia adalah berdosa dan
tersingkir dari Allah. tetapi Allah dalam kebaikan dan anugerah-Nya menyatakan kasih-
Nya dalam Yesus. Dalam keikutsertaan Wesley Ariarajah dalam gerakan ini, ada
penginjil yang berpendapat bahwa orang yang beragama Hindu adalah penyembah
berhala. Namun pemikiran Wesley Ariarajah bertentangan dengan ini. karena dia
“merasa” tidak adil kalau Allah menerima orang Kristen masuk surga dan menolak
tetangganya yang Hindu. Dari hal itu sebenarnya secara tidak sadar dia tidak menerima
dilema atas hal yang demikian. Sehingga membuat di mendalami agama Hindu dan
agama Budha. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh pendeta yang mempersiapkan sidinya
dan membuat iman Kristennya menjadi lebih teguh dan memustuskan untuk terlibat
langsung dalam pelayanan gereja Metodis. Oleh karena itu dia melakukan studi
mendalam tentang agama Hindu dan Budha. Semuanya itu membuat dia terlibat dalam
7
program dialog Dewan Gereja se-Dunia, dan memimpin Sub-unit Dialog yang dulunya
dipimpin dan sekaligus perintisnya Stanley Samartha yang juga adalah guru dari Wesley
Ariarajah tentang agama Hindu dan filsafat India.
Wesley Ariarajah mengatakan bahwa sejak awal gereja sudah hidup dalam
konteks yang majemuk. Dia mengatakan bahwa sekarang gereja menghadapi situasi yang
sungguh baru. Pertama, tradisi agama yang lain telah pulih kembali dari penaklukan
kolonial dan menampilkan diri sebagai alternatif yang universal bagi kepercayaan
Kristen. Kedua, tradisi-tradisi agama ini telah berhasil menambah jalan bahkan juga
sampai kedunia barat “Kristen”, sehingga kemajemukan agama telah menjadi realitas
dalam masyarakat. Ketiga, kini bertumbuh kesadaran tentang kekayaan yang terdapat
pada kepercayaan-kepercayaan lain. Sekarang gereja haruslah bergumul untuk
menentukan dasar teologis yang baru dalam hubungannya dengan orang-orang yang
beragama lain. Dasar teologis ini merupakan dasar yang memapuhkan orang Kristen
untuk terikat dalam kesetiaan kepada Kristus, namun terbuka bagi kesaksian orang lain.

Literatur :
Kütser, Volker, Wajah-wajah Yesus Kristus : kristologi lintas budaya, Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2017.
Yewangoe, A.A., Teologia Crusis di Asia : pandangan-pandangan orang kristen Asia
mengenai penderitaan dalam kemiskinan dan keberagamaan di Asia, Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 1996.
Hick, John & Kniter, Paul F. (peny.) Mitos Keunikan Agama Kristen, Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2001
R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994.
S.J. Samartha, One Christ – Many Religions : toward a revised Christology. Maryknoll,
New York, 1995.
Ariarajah Wesley S. Tak Mungkin Tanpa Sesamaku: Isu-isu Dalam Relasi Antar-
Iman. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008.
Ariarajah Wesley. Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain.
Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000.

Anda mungkin juga menyukai