Anda di halaman 1dari 10

KARYA TULIS ILMIAH

“PANDANGAN ISLAM TERHADAP PLURALISME AGAMA”

Disusun Oleh :

ISRA SAIFUDIN SALAN

(160301004)

Kelas/Semester : PAI A/ III

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini pluralisme agama merupakan gagasan yang sedang aktual


diperbincangkan di kalangan umat, dan merupakan istilah yang masih baru. Namun gagasan
baru inilah yang banyak menimbulkan persoalan pro dan kontra dari berbagai pihak, karena
perbedaan pemahaman dalam menafsirkan pluralisme itu sendiri. Fenomena yang terjadi di
kalangan umat ini akan terus berlanjut sampai akhir kehidupan manusia.

Sehingga untuk menyikapi persoalan pluralisme agama yang begitu maraknya, kita
sebagai umat Islam harus merujuk kembali pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah sebagai pedoman
hidup, agar kita dapat memahami bagaimana ajaran islam terhadap pluralisme agama. Karena
sejarah mencatat bahwa Muhammad SAW diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang
terakhir dengan membawa risalah islamiyah, dengan misi universal yakni menjadi rahmat
bagi seluruh alam sebagaimana tertuang dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Anbiya: 107
“Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam”.

Dengan mengkaji kembali dalam Al-Qur‟an Dan As-Sunnah, kita dapat mengetahui
bagaimana ajaran Islam terhadap pluralisme agama?, apakah Islam menerima pluralisme
agama? atau sebaliknya Islam melarang bahkan mengharamkan umatnya dalam menerima
pluralisme. Semoga tulisan ini menjadi rujukan bagi siapa saja yang ingin mengetahui
keberadaan pluralisme dalam ajaran Islam serta dapat menyelasaikan permasalan yang
beeredar dikalangan umat beragama.

Terakhir, penulis hanya menginginkan kritik dan saran yang membangun dari siapa
saja yang membaca tulisan ini, agar saya dapat merubah kembali di kemudian hari. saya
selaku penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat kesalahan dalam penulisan ayat
suci Al-Qur‟an atau dalam menafsirkanya. Semoga Allah SWT memberikan jalan terbaik
untuk kita, dan menempatkan kita bersama orang-orang beriman lainnya Amin Ya Rabbal
„Alamin.

Penulis

Isra Saifudin Salan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pluralisme

Secara etimologis, pluralisme menurut Martin H. Manser dalam Oxford Learner


Pocket Dictionary (1995:318) adalah pemahaman mengenai lebih dari satu atau banyak (for
refering to more then one).
Sedangkan secara terminologis, masih menurut Martin, pluralisme adalah paham
kemajemukan atau paham yang berorientasi kepada kemajemukan yang memiliki berbagai
penerapan berbeda dalam berbagai falsafah agama, moral, hukum, dan politik, di mana batas
kolektifnya adalah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalan.
Sementara itu, menurut Nurcholish Madjid (2000:109) pluralisme tidak dapat
dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita plural, beraneka ragam, terdiri
atas berbagai suku, etnis, ras, golongan, dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan
fragmentasi (perbedaan). Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar kebaikan negatif
(negative good), yang hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.
Pluralisme harus dipahamai sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban
(genuine engagment of diversities within the bonds of civility).
Nur Achmad (2001) dalam buku Pluralitas Agama dalam Keragaman menyatakan
bahwa suatu paham atau doktrin metafisika yang memandang bahwa perbedaan itu
meerupakan suatu ketentuan tuhan dan bahwa seluruh eksistensi secara umum bisa
menunjukkan pada jalan keselamtan.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pluralisme agama adalah
kondisi hidup bersama-sama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan
tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama masing-masing). Sedangkan Pluralitas
sendiri adalah realitas terhadap keanekaragaman yang ada.1
Pandangan pluralisme tersebut secara filosofis teoritis dapat dijumpai dalam kajan
Ilmu Perbandingan Agama. Dalam hubungan ini Schuon misalnya mengatakan bahwa dalam
kenyataannya tidak ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa kebenaran unik dan
khusus hanya dimiliki agama tenrtentu saja.

Amirullah Syarbini, dkk., Al-Qur’a da Keruku a Hidup U at Beraga a, (Jakarta: PT Elex Media
1

Komputindo, 2011), hlm: 5-6


Dalam pada itu Huston Smith menyatakan bahwa pernyataan keselamatan merupakan
monopoli dari salah satu agama saja sebenarnya sama saja dengan menyatakan bahwa Tuhan
hanya ditemukan dalam ruangan ini saja dan tidak ada diruangan sebelah atau hanya dalam
busana ini saja, dan tidak ada dalam busana lain.
Perbagai pemikiran tersebut merupakan dasar yang dapat digunakan untuk
membangun paham Islam pluralisme. Namun demikian Alwi Shihab mengatajkan bahwa
keberagaman yang pluralisme harus dibedakan (tidak sama) dengan kosmonopolitanisme,
relativisme, dan sinkretisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras
dan suku bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil bisa kota New York. Kota ini
adalah kota Kosmonopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Nasrani, Muslim, Hindu,
Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia
berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama
sangat minimal, kalaupun ada.
Sementara itu, relativisme adalah pandangan bahwa hal-hal yang menyangkut
“kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang
atau masyarakatnya. Sebagaimana akibatnya maka doktrin agama apa pun harus dinyatakan
benar. Tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama walaupun
berbeda-beda dan bertentangan satu dengan yang lainnya, tetapi harus diterima. Oleh sebab
itu konsep atau paham ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.
Selanjutnya pluralisme bukan pula sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru
dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa
agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Dengan pandangan keberagaman yang pluralisme, maka akan terjadi dialog antara
agama-agama. Baik muslim maupun agama lainnya berkewajiban menegakkan agama
masing-masing. Melibatkan diri dengan keyakinan orang lain berarti memahami dan
mempelajari keyakinan ini. Hal ini pada gilirannya akan membuka dialog antara umat
beragama. Dialog ini tidak lebih dari sebuah pendidikan dalam pengertian yang paling luas
dan paling mulia. Jika kita bukan seorang yang fanatik, maka konsekuensi dialog tersebut
tidak lain akan memperkaya bagi setiap pelakunya. 2

2
Dr. H. Abuddin Nata, MA., Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, cet. 2. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001), hlm:189-190
B. Sejarah Pluralisme Agama
Mengenai sejarah munculnya Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Toha punya
pendapat sendiri. Beliau mengatakan bahwa Pada awal abad ke-20 ada seorang teolog Kristen
Jerman Ernst Troeltsch. Ernst menyatakan bahwa umat kristiani tidak boleh mengklaim
bahwa mereka benar sendiri. Sehingga perlunya sikap pluralis ditengah-tengah merebaknya
konflik antar aliran-aliran dalam agama Kristen ataupun agama lainnya. Pendapat ini juga
diamini oleh sejumlah pemikir teolog lainnya.3
Menurut versi lainnya, pluralisme agama berawal dari agama kristen yang dimulai
setelah Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yanng mendeklarasikan “keselamatan
umum” bahkan untuk agama-agama diluar kristen. Gagasan pluralisme agama ini sebenarnya
merupakan upaya-upaya peletakan landasan teologis kristen untuk berinteraksi dan
bertoleransi dengan agama-agama lain. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa
pluralisme agama berasal dari India. Misalnya Rammohan Ray (1773-1833) pencetus
gerakan Brahma Samaj, ia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama
(ajaran ini penggabungan antara Hindu-Islam). Serta masih banyak lagi pencetus pluralisme
dari India, pada intinya teori pluralisme di India didasari pada penggabungan ajaran agama-
agama yang berbeda.
Sedangkan dalam dunia Islam sendiri pemikiran pluralisme agama muncul setalah
perang dunia kedua. Diantara pencetus pemikiran pluralisme agama dalam Islam yaitu Rene
Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya
mereka ini sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh
kembangnya wacana pluralisme agama.selain kedua orang tersebut juga ada Seyyed Hossein
Nasr, seorang tokoh muslim Syi‟ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling
bertanggung jawab dalam mempopulerkan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional.
Pemikiran-pemikiran Nasr tentang plurlaisme agama tertuang pada tesisnya yang membahas
tentang sophia perennis atauperennial wisdom (al-hikmat al-kholidah atau kebenaran
abadi) yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metefisika yang tersembunyi
dalam tiap ajaran-ajaran agama semenjak Nabi Adam as. hingga sekarang.4

3
https://www.academia.edu/11067389/Sejarah_dan_Ideologi_Pluralisme
4
http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id/2012/05/islam-dan-pluralisme-agama.html
C. Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Agama

Mengenai pandangan Islam terhadap pluralisme agama, Nurcholish Madjid


meberikan pendapatnya dalam buku Al-Qur‟an dan kerukunan Hidup Umat Beragama, Cak
Nur menjelaskan bahwa Islam merupakan agama terbuka (open religion), di mana ia menolak
eksklusivisme dan absolutisme, serta memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme.
Ia mengatakan:

“Islam adalah agama terbuka, dan umat islam harus menjadi golongan yang terbuka.
Umat Islam harus tampil dengan penuh percaya pada diri sendiri, bijaksana, dan arif serta
menyadari fungsinya sebagai saksi dan juru atas manusia. Mereka adalah pemimpin karena
itu harus bersikap sebagai pemimpin, mereka adalah pamong karena itu harus bertindak
ngemong. Mereka itu golongan yang paling unggul karena itu harus mencerminkan
keunggulan itu dalamsikap-sikap yang dewasa dan penuh semangat leadership, tidak egois
tapi altruis. Jadi, kemenangan Islam itu akhirnya akan berarti kemenangan semua orang,
kemenangan perikemanusiaan berasaskan ketuhanan dan takwa. Kemenangan Islam tidak
boleh mewujudkan diri dalam bentuk mengancam golongan lain. Jadi, kemenangan itu juga
kemenangan semua golongan yang bukan Islam.” (Nurcholish Madjid, 2000:231)5

Dari uraian tersebut, tampak dengan jelas bahwa Cak Nur memiliki perhatian yang
tinggi terhadap pluralisme agama. Ia juga berharap agar umat Islam bersikap yang sama
dengan pluralisme tersebut. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana umat Islam
mampu mengembangkan dimensi pulralitas sehingga menerima pluralisme, yakni sistem nilai
yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Bahkan Cak Nur
menganggap pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain
melalui mekanisme perawatan, pengawasan, dan pengimbangan yang dihasilkannya (Budhy
Munawar Rachman, 2004:39)

Dalam Al-Qur‟an Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2: 251

ۡ ‫ل ۡ َ د ۡفع هّ الناس ب ۡعض ۡ بب ۡعض لفسدت ۡاَ ۡرض هلـکن هّ ذ ۡ ف‬


‫ضل ع ى ۡال هع ۡمين‬
“Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas
seluruh alam.

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah SWT., menciptakan manusia dengan beragam
bentuk golongan dengan tujuan untuk memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu
wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Dengan demikian, perbedaan
atau pluralisme merupakan salah satu sunatullah yang keberadaanya tidak mungkin ditolak
oleh siapapun.

Amirulloh Syarbini, dkk., Al-Qur’a da Keruku a Hidup U at Beraga a, (Jakarta: PT Elex Media
5

Komputindo, 2011), hlm: 9


Mengenai perbedaan di antara manusia ini, Allah SWT., berfirman :

‫يا أي ا الناس إنا خ قناك من ذكر أنث هى جع ناك شع با قبائل لتعارف ا ۚ إن أكرمك عند‬
‫ّ أتقاك ۚ إن ّ ع ي خبير‬
“Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling kenal mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sis Allah ialah
orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-
Hujurat/49: 13)

Menurut tafsir ibnu katsir ayat di atas menjelaskan bahwasannya, Allah SWT.,
menceritakan kepada manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari diri yang satu dan
darinya Allah menciptakan istrinya, Adam dan Hawa, kemudian Dia menjadikan mereka
berbangsa-bangsa. Pada garis besarnya semua manusia bila ditinjau dari unsur kejadiannya –
yaitu tanah liat- sampai dengan Adam dan Hawa as. Sama saja. Sesungguhnya perbedaan
keutamaan di antara mereka karena perkara agama, yaitu ketaatannya kepada Allah dan
Rasul-Nya.6

Ayat tersebut menunjukan bahwa pluralisme merupakan perwujudan dari kehendak


Allah SWT., hanya saja perbedaan itu dalam kerangka yang lebih baik. Islam mengajarkan
persamaan di antara sesama manusia. Islam juga sangat mengutuk perlakuan diskriminatif di
antara sesama manusia dan mereka yang merasa dirinya lebih tinggi dibanding orang lain
sehingga merendahkan martabat orang lain. Perbedaan warna kulit, bahasa, budaya, jenis
kelamin, dan lain sebagainya bukan merupakan alasan manusia yang satu memiliki derajat
yang lebih tinggi di antara yang lainnya. Pada kenyataannya yang membedakan manusia di
hadapan Tuhan adalah ketakwaannya.7

D. Pengakuan Al-Qur‟an terahadap Pluralisme Agama

Kedatangan Al-Qur‟an di tengah-tengah pluralitas agama tidak serta merta


mendiskriditkan agama-agama yang berkembang saat itu, tapi Al-Qur‟an yang sangat
aspiratif, akomodatif, mengakui dan membenarkan agama-agama yang datang sebelum Al-
Qur‟an diturunkan. Bahkan lebih jauh dari itu Al-Qur‟an juga mengakui akan keutamaan
umat-umat terdahulu sebagaimana firman Allah SWT., :

ْ ‫ا ْع‬ ‫ع ْ ْم أ ِ ْ ف َ ْ ْم ع‬ ْ ‫ا َ ْ أ ْع‬ ‫ب ْ إ ْس ائ ْ ا ْ ك ْ ا ْع‬


“Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku
telah Melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu). (QS. Al-
Baqarah/2: 47)

6
Syekh Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs Umar ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir.
Amirulloh Syarbini, dkk., Al-Qur’a da Keruku a Hidup U at Beraga a, (Jakarta: PT Elex Media
7

Komputindo, 2011), hlm: 8-11


Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan Al-Qur‟an akan keunggulan dan
keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam. Al-Qur‟an sebagai sumber normatif
bagi satu teologi pluralisme. Bagi kaum muslimin, tidak teks lain yang mempunyai posisi
otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Al-Qur‟an. Maka, Al-Qur‟an merupakan kunci
untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Al-Qur‟an8

Dalam surah lainnya, Allah SWT., berfirman:

‫ق حْ م‬ ِ ‫ب ْح‬ ْ ‫أ ْ مع م ا‬ ْ‫م‬ َ ‫ك ا َ أ َم ً اح ً ف عث‬


‫َ ا َ ِ م ِش‬
ً ‫م ْ ب ْع م ج ء ْ م ا ْ ِ ب ْي‬ ‫اخ ف ف إ ََ ا َ أ‬ْ ‫اخ ف ا ف ۚ م‬ْ ‫بْ ا َ ف‬
‫َ ْ م ْ شءإ ٰ ص ا‬ َ ْ ‫ق بإ‬
ِ ‫اخ ف ا ف م ا ْح‬ْ ‫َ ا َ آم ا‬َ ‫ب ْ ْم ف‬
‫م ْس ق م‬
“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah Mengutus para nabi (untuk)
menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab
yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi
(kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara
mereka sendiri. Maka dengan Kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang
beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah Memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.(QS. Al-Baqarah/2: 213)

Dalam pemahaman ayat tersebut muncul tiga fakta, khususnya yang berkaitan dengan
pluralisme agama, yaitu pertama, kesatuan umat manusia di bawah satu Tuhan (Ketuhanan
Yang Maha Esa), kedua, kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan ketiga,
peran wahyu dalam mendamaikan perselisihan dan perbedaan di antara berbagai umat
beragama.

Ketiganya merupakan konsep fundamental Al-Qur‟an tentang pluralisme, khususnya


pluralisme agama. Pada satu sisi, konsepsi tersebut tidak mengingkari kekhususan berbagai
agama dan kontradiksi-kontradiksi yang mungkin ada di dalamnya. Sedangkan di sisi lain,
konsepsi tersebut menekankan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia dalam
penciptaan dan kebutuhan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama.9

8
Penyunting: P. Dr. Bertolomeus Bolong, OCD., Pdt. Dr. Fredrik Y. A. Doeka, Mencintai Perbedaan Renungan
Lintas Iman Pluralisme dan Kerukunan, (Kupang: Bunet Pinggupir, 2013), hlm: 78
Amirulloh Syarbini, dkk., Al-Qur’a da Keruku a Hidup U at Beragama, (Jakarta: PT Elex Media
99

Komputindo, 2011), hlm: 12-13


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama-sama antar agama yang berbeda-beda
dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama masing-
masing). Sedangkan Pluralitas sendiri adalah realitas terhadap keanekaragaman yang ada.

sejarah munculnya Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Toha punya pendapat sendiri.
Beliau mengatakan bahwa Pada awal abad ke-20 ada seorang teolog Kristen Jerman Ernst
Troeltsch. Ernst menyatakan bahwa umat kristiani tidak boleh mengklaim bahwa mereka
benar sendiri. Sehingga perlunya sikap pluralis ditengah-tengah merebaknya konflik antar
aliran-aliran dalam agama Kristen ataupun agama lainnya. Pendapat ini juga diamini oleh
sejumlah pemikir teolog lainnya.

Islam adalah agama terbuka, dan umat islam harus menjadi golongan yang terbuka.
Jadi, pada dasarnya Islam menerima perbedaan antara umat beragama atau yang dimaksud
yakni pluralisme agama. Dan pluralisme juga merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan
yang melimpah kepada umat manusia. Dengan demikian, perbedaan atau pluralisme
merupakan salah satu sunatullah yang keberadaanya tidak mungkin ditolak oleh siapapun.

Pada dasarnya Al-Qur‟an yang sangat aspiratif, akomodatif, mengakui dan


membenarkan agama-agama yang datang sebelum Al-Qur‟an diturunkan. Bahkan lebih jauh
dari itu Al-Qur‟an juga mengakui akan keutamaan umat-umat terdahulu.

Jadi, inti dari materi ini adalah Islam menerima pluralisme atau kemajemukan yakni
hidup bersama-sama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap
mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama masing-masing).
DAFTAR PUSTAKA

1. Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, cet. Ke-2. 2001.

2. Amirulloh Syarbini, dkk. Al-Qur’an & Kerukunan Hidup Umat Beragama,


Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011.

3. Bertolomeus Bolong & Fredrik Y. A. Doeka, Mencintai Perbedaan Renungan


Lintas Iman Pluralisme dan Kerukunan, Kupang: Bonet Pinggupir, 2013

4. Syekh Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs Umar
ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir.

5. https://www.academia.edu/11067389/Sejarah_dan_Ideologi_Pluralisme

6. http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id/2012/05/islam-dan-pluralisme-
agama.html

Anda mungkin juga menyukai