Anda di halaman 1dari 9

TUGAS RESUME

PLURALISME, INKLUSIVISME DALAM DAKWAH

Dosen Pembimbing :
Drs. Prihananto, M.Ag.

Nama Kelompok :
1. Gyda Aldilangga G.K (04040122095)
2. Irfan Syah Abdullah (04040122099)
3. M. Nur Rizqi Ardlika (04040122101)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
SEMESTER 01
A. PENGERTIAN PLURALISME
Pluralisme adalah istilah yang digunakan dalam filsafat, yang berarti “doktrin multiplisitas”,
sering digunakan untuk menentang monisme (doktrin persatuan) dan dualisme (doktrin dualitas).
Pengertian Pluralisme Istilah ini memiliki arti yang berbeda dalam metafisika, ontologi,
epistemologi dan logika.

Titik temu tersebut menjadi garis utama yang disampaikan oleh paham pluralisme bahwa kita
harus lebih realistis melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada agama secara syariat pengajaran
dan penyampaiannya sebagai yang dilihat secara dimensi simbolik dan sosiologisnya. Paham
pluralisme tidak mengabsahkan perbedaan yang ada sebagai embrio kebencian dan menebar
konflik, karena pengakuan terhadap perbedaan adalah menjadi kesatuan pandangan paham ini
secara hakiki.

Pluralisme secara jelas telah memberikan pesan penting berupa suatu rekomendasi model
toleransi aktif, yaitu toleransi yang tidak sekedar mengakui perbedaan dan keragaman, tetapi
labih dari itu juga menjadikan perbedaan sebagai potensi untuk bekerjasama dan berdialog untuk
menghasilkan kesatuan dalam perbedaan. Selain itu, lebih dari sekedar toleransi, upaya
pluralisme dalam membangun suatu pemahaman atau pemikiran yang konstruktif (constructive
understanding), artinya karena perbedaan dan keragaman dalam keyakinan serta kepentingan
adalah hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang
yang lain, karena pemahaman bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu bergerak dari
dimensi-dimensi baik dan buruk, adanya perbedaan dan persamaan yang harus dipahami secara
konstruktif, sebagai upaya menemukan komitmen bersama yakni perdamaian dari setiap
perbedaan dan keragaman yang ada (mutual understanding). Jadi, dapat menjadi kesimpulan,
bahwa pluralisme bertujuan untuk memaksimalkan eksistensi toleransi.

Ada seorang tokoh penting yang mengemukakan konsep pluralis ini dalam tradisi Kristen yang
bernama John Hick. Ia menyatakan bahwa asumsi solus Christus yang dipegang oleh para
ekslusivis sangat bertentangan dengan ajaran Kristus mengenai universal salvific will of God
(kehendak universal keselamatan Allah) yang menghendaki keselamatan bagi semua.

Oleh karena itu, Hick mengajukan suatu perubahan paradigma dari paradigma christocentric
(berpusat pada agama Kristen atau Kristus) menuju paradigma theocentric (berpusat pada
Allah). Maka, bagi Hick, kepada Allah-lah seluruh agama menuju, dan darinyalah mereka
memperoleh keselamatan.

John Hick menulis, sebagaimana dikutip oleh Joas Adiprasetya “Dan kita harus menyadari
bahwa semesta iman berpusat pada Allah bukan pada kekristenan atau pada agama lain mana
pun. Ia adalah matahari, sumber awal dari terang dan kehidupan, yang agama-agama
refleksikan dalam cara-cara mereka sendiri secara berbeda.”

Ungkapan-ungkapan para pluralis yang lain, sebagaimana dikutip oleh Munawar-Rachman, juga
menyatakan pandangan yang serupa, seperti pernyataan John Hicks “Other religions are equally
valid ways to the same truth”, atau teriakan John B. Cobbs “Other religions speak of different
but equally valid truths”, atau istilah Raimundo Panikkar “Each religion expresses an important
part of the truth” , atau peneguhan yang diucapkan dari Nurcholish Madjid “Agama adalah
sistim simbol. Kalau kita berhenti pada sistim simbol, kita akan konyol. Tapi kalau kita
berusaha untuk kembali ke asal simbol itu, kita akan menemukan [banyak] persamaan
[antaraagama].”

Klaim pluralis seperti ini juga dapat ditemukan dasarnya dalam alQur‘an, seperti QS al-
Mâ‘idah/5:48 Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” (Q.S Al-Maidah :48)

Implikasi dari ayat di atas adalah:

1. Setiap masyarakat atau umat memiliki aturan dan jalannya sendiri. Selanjutnya setiap
masyarakat harus yakin terhadap ajaran agamanya sendiri, karena Allah pasti akan “menguji atas
apa yang telah Ia berikan” li-yabluwakum fîmâ âtâkum

2. Setiap masyarakat agama harus berlomba-lomba dalam kebajikan Fa stabiqû l-khayrât

3. Setiap masyarakat agama harus menghormati perbedaan yang memisahkan mereka. Tidak
dianjurkan untuk menghakimi keyakinan agama lain, karena di Hari Akhir nanti, Allah akan
menunjukkan “apa yang diperselisihkan.”
B. DAKWAH DALAM TANTANGAN PLURALISME

Tantangan Dakwah Dalam Pluralitas Menurut Nurcholis Madjid Konsep kemajemukan umat
manusia sangat mendasar dalam Islam, sehingga sebagai konsekuensi dari kemajemukan ini,
umat Islam harus memposisikan diri sebagai mediator dan moderator ditengah pluralitas agama.

Tantangan-tantangan dakwah dalam pluralitas agama seperti yang telah penulis sebutkan di bab-
bab sebelumnya dapat menjadi gambaran tentang keadaan hubungan antar umat beragama saat
ini. Sikap eksklusivistik yang menganggap kebenaran suatu agama hanya berlaku bagi para
penganutnya atau yang satu faham dengannya, sementara penganut agama lain salah
mengakibatkan pemahaman tentang keberagamaan menjadi sempit. Sikap tertutup dan
keengganan menerima pendapat dari luar menjadikan keragaman yang ada terancam. Fanatisme
dan radikalisme yang dilahirkan dari sikap eksklusif merupakan tantangan dalam menyampaikan
pesan-pesan Islam yang Rahmatan Lil Alamin dalam keadaan dunia yang mutlak heterogen.

Dikatakan oleh Kautsar Azhari Noer dalam buku Passing Over Melintas Batas Agama, orang
yang memiliki sikap eksklusivistik, fanatis dan militan justru menjadi penghalang dalam dialog
antar agama. Bagi mereka dialog adalah pekerjaan yang sia-sia dan bisa merusak keyakinan.
Padahal, sikap-sikap yang menutup diri tersebut sebenarnya adalah bukan suatu kekokohan dasar
yang sejati dalam beriman, tetapi merupakan suatu kegoyahan. Kekokohan dasar dalam beriman
bagi seorang justru terbukti ketika ia berani berhadapan dengan orang-orang lain yang berbeda
pandangan dengannya dalam suatu agama dan orang-orang yang berbeda agama dengannya.

Untuk menguatkan pendapatnya bahwa umat Islam mapu menjadi penengah, Nurcholis Madjid
menunjukkan bukti empiris sejarah peradaban Islam di masa lalu, dimana Islam tampil secara
inklusif dan sangat menghargai minoritas non-Muslim. Sikap inklusif ini ada karena Al-Quran
mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality).

- Konsep Dakwah Nurcholis Madjid Menghadapi Tantangan Dalam Pluralisme Agama

1. Islam Inklusif
Nurcholis Madjid selalu menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama yang terbuka.
Umat Islam harus tampil dengan percaya diri, bijaksana dan arif dalam menghadapi
kemajemukan. Sikap inklusif sangat dianjurkan dalam menjalani hidup di tengah pluralisme
agama.

Sikap inklusif tersebut tentunya meniscayakan adanya paham pluralisme dan bisa juga
sebaliknya, bahwa pluralisme menuntut adanya sikap inklusivisme. Karena pluralisme
merupakan realitas yang niscaya, dalam bentuk apa dan dimanapun kita berada, maka sikap
inklusivisme itupun menjadi suatu keniscayaan. Disinilah kemudian muncul interaksi sosial
anatarkeyakinan dan ideologi, yaitu apa yang biasa disebut dialog.

Sikap pasrah dan ikhlas menerima eksistensi pluralisme agama memiliki pesan yang bisa
membuka kesadaran keberagamaan yang lapang, toleran, egaliter, dan semuanya itu adalah
bingkai dari pemikiran inklusifisme agama.

2. Islam Dialogis

Konsep dakwah dialogis dan humanis sangat dianjurkan mengingat keberadaan masyarakat yang
heterogen dan umat Islam sendiri akan menjadi umat yang secara mendasar mempunyai ajaran
mengenai kepatuhan, kepasrahan dan perdamaian. Dalam komunitasnya, umat Islam mampu
membangun kesepahaman dalam masyarakat, tepo seliro, serta sikap saling menghargai.

Kehadiran Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebenarnya tidak
menegasikan agama-agama samawi lainnya, karena secara kebahasaan, Islam sebenarnya
mempunyai perhatian yang sangat mendasar terhadap perdamaian, keadilan dan kemaslahatan.
Sejatinya setiap muslim dapat menebarkan kedamaian dalam kehidupan sosial yang pluralistik,
karena kemasalahatan bukan hanya milik personal, tetapi juga milik sosial.

3. Islam Humanis

Islam menurut Nurcholis Madjid adalah agama kemanusiaan. Dalam pandanga beliau mengenai
hubungan Islam dan pluralisme sebenarnya berpijak pada semangat humanitas dan universalitas
Islam. Universalitas Islam disini secara teologis bisa diartikan bahwa semua agama yang benar
adalah bersifat “Islam” (sikap pasrah kepada Tuhan) karena mengajarkan kepasrahan keapada
Tuhan dan perdamaian.
Dalam perspektif ini menurut Nurcholis, umat Islam sebagai golongan mayoritas harus menjadi
golongan yang bisa tampil dengan percaya diri yang tinggi, bersikap sebagai pamong yang bisa
ngemong golongan-golongan lainnya, bekerja sama dalam kebaikan tanpa membeda-bedakan.
Mengutip perkataan Gus Dur, bahwa menjunjung tinggi agama sendiri tidak harus dengan
menjatuhkan agama yang lain.

C. PENGERTIAN INKLUSIVISME

Kata Inklusivisme sebuah kalimat asing dalam wacana tarbiyah Islam, namun demikian jika
diterjemahkan dalam bahasa agama maka akan berarti nahi munkar, dalam bahasa sehari-hari
mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama Islam. Inti dari
seluruh kegiatan tarbiyah adalah memanusiakan manusia, dalam arti menciptakan manusia atau
peserta didik yang cerdas dan terampil sekaligus memiliki kesadaran Ilahiya. Dengan bahasa
trend yang dipakai dalam dunia pendidikan saat ini adalah peserta didik mempunyai tiga
kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spritual SQ.

Inklusivisme juga merupakan salah satu cara untuk membangun peradaban yang toleran. Aspek
terpenting dari toleransi adalah kemauan yang kuat untuk memahami orang lain tanpa kehilangan
jati diri. Mengetahui dan memahami kepribadian orang lain akan memudahkan kita untuk
mengenali dan menjalin kerjasama. Manusia akan semakin memperlakukan dan diperlakukan
sebagai manusia, sebagaimana slogan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak pula
toleran.”

Salah seorang tokoh yang bernama Raimundo Pannikar menyampaikan bahwa paham
inklusivisme bukanlah suatu paham yang instan, karena paham ini memerlukan rasionalitas dan
kelanjutan terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa penafsiran
dibutuhkan oleh paham inklusivisme ini, tafsir terhadap teks keagamaan tidak hanya
dimaksudkan mempunyai relevansi dengan pihak-pihak lain yang berbeda, tetapi juga berfungsi
agar pandangannya dapat diterima oleh pihak lainnya. Perbedaan dan keragaman dalam
penafsiran pada dasrnya bukan merupakan kontradiksi antara satu dengan lainnya, melainkan
sebuah bentuk kesatuan substansial yang tidak terpisahkan. 
Perbedaan merupakan suatu bentuk keniscayaan, sekalipun demikian perlu ada suatu titik temu
yang bisa dipertemukan pada perbedaan tersebut, melalui suatu sikap toleransi yang sama-sama
harus meyakini bahwa segala sesuatu senantiasa mempunyai dua unsur, yaitu dimensi universal
dan partikular yang sama-sama harus dipahami bahwa terhadap ke dua dimensi tersebut, maka
semakin terbuka pula kesempatan kita untuk menjadi inklusif terhadap kelompok (agama dan
adat) lainnya. Artinya, inklusivisme disini merupakan keniscayaan sosiologis, yang mana
pemahaman terhadap pihak lain tidak hanya mengandalkan aspek-aspek yang ada dalam
komunitas masing-masing, melainkan mencoba memahami hal-hal yang terdapat dalam
komunitas lainnya.

Ciri lain dari inklusivisme Islam yang menjadi dasar pemikiran Nurcholis Madjid adalah
memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama terbuka. Prinsip Islam sebagai agama
terbuka adalah ia menolak ekslusivisme dan absolutisme.

1. Ekslusivisme

Menurut Nurcholis, eksklusivisme bagaimanapun bersifat memecah belah, dan Islam tidak
mengijinkan adanya cultic-system. Pertama, karena agama Islam sejak semula ditegaskan tidak
ada system kependetaan. Itu artinya tidak ada otoritas keagamaan pada seorang manusia. Semua
orang langsung berhubungan dengan Tuhan. Kedua, pencarian kebenaran itu harus dengan
dengan suatu pemihakan kepada yang baik dan benar secara terbuka.

2. Absolutisme

Soal absolutisme, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi
dari kalimat syahadat “laa ilaaha illa Allah” tidak ada yang absolut kecuali Allah. Dan Allah
sebagai konsep wujud Yang Maha Tinggi, tidak bisa kita ketahui. Oleh karena itu manusia tidak
bisa mengetahui yang mutlak, sebab yang mutlak berarti Tuhan. Dan yang mutlak itu harus satu.
Jika ada dua yang mutlak, itu berarti bukan lagi. mutlak namanya. Jadi mengetahui kebenaran
mutlak itu sama saja mengetahui Tuhan. Dan itu tidak mungkin.

Selain kedua hal tersebut, adalah fundamentalisme keagamaan yang menurut Cak Nur bisa
menjadi ancaman dalam kehidupan beragama dalam kemajemukan.
Secara terminologi, fundamentalisme diartikan sebagai aliran pemikiran keagamaan yang
cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara kaku dan literalis. Ketertutupan kaum
fundamentalis dengan dunia luar membuat mereka merasa tidak membutuhkan orang lain dari
luar kelompoknya. Mereka merasa paling benar dan paling berhak menginterpretasikan teks-teks
suci agama. Keadaan ini menjadikan kelompok fundamentalis cenderung berfikir parsial dan
berpotensi memunculkan konflik-konflik destruktif sosial berkepanjangan dalam kehidupan
social keagamaan.

Fundamentalisme diartikan Cak Nur-dengan meminjam istilah Erich Fromm “lari dari
kebebasan”, adalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya akibat dari perubahan sosial.
Fundamentalisme hanya akan memberikan ketenangan semu yang bahayanya sama dengan
narkotika, bahkan lebih buruk sebab fundamentalisme dapat melahirkan gerakan social dengan
disiplin yang terlampau tinggi. Itu artinya kehidupan beragama akan sangat memprihatinkan jika
tampil dalam bentuk fundamentalis.

Menurut Nurcholish, fundamentalisme sebagai gerakan emosional reaksioner yang berkembang


dalam budaya-budaya yang sedang mengalami krisis sosial, bersifat otoriter, tidak toleran dan
bersifat memaksa dalam menampilkan dirinya terhadap masyarakat yang lain.

D. PENUTUP

Demikian tugas resume kita mungkin ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami
sangat berlapang dada menerima kritik dan saran atas segala kekurangan dan kesalahan demi
penugasan selanjutnya agar menjadi lebih baik.

Semoga apa yang kita sampaikan dapat memberikan manfaat khususnya bagi teman-teman dan
bagi pembaca pada umumnya. Serta bisa memberikan kontribusi bagi perkembangan khazanah
keilmuan dakwah. Aamin Yaa Robbal „Alamiin
E. DAFTAR PUSTAKA

https://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/alislah/article/view/2092

http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/toleransi/article/view/2470

http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/toleransi/article/view/2470

https://business-law.binus.ac.id/2019/04/04/toleransi-dalam-perspektif-inklusivisme-pluralisme-
dan-multikulturalisme-terhadap-kajian-penyelesaian-konflik/#:~:text=Inklusivisme
%20Inklusivisme%20dalam%20suatu%20komunitas%20merupakan%20suatu
%20kelompok,bahwa%20hanya%20pandangan%20dan%20kelompoknya%20yang%20paling
%20benar.

https://r.search.yahoo.com/
_ylt=AwrjZjeTMLZjHQQOCkhXNyoA;_ylu=Y29sbwNncTEEcG9zAzUEdnRpZAMEc2VjA3
Ny/RV=2/RE=1672913171/RO=10/RU=https%3a%2f%2feprints.walisongo.ac.id
%2f4785%2f1%2f091211043.pdf/RK=2/RS=aWjvVBuPzX2SSN4HAXkvlWSY6Ow-

Anda mungkin juga menyukai