Anda di halaman 1dari 23

1

Islam dan Pluralisme Agama:


Merangkai Perbedaan Merayakan Perdamaian

Walaupun Ia Esa,
namun kelihatannya Tuhan senang
dengan keragaman sebagai hiburan-Nya
Prema Chaitanya

A. Prolog
Di awal milenium ketiga ini kehidupan umat beragama kembali
dihadapkan kepada serangkaian tantangan yang tidak terlalu berbeda dengan apa
yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern dan ekstern
antar pemeluk agama adalah fenomena ril yang saat ini tetap bergolak di berbagai
belahan bumi ini. Pluralisme agama yang merupakan salah satu karakteristik
fundamental dari era postmodernisme, secara khusus, menghadapkan seorang
beragama kepada situasi dan kondisi teologis yang cukup dilematis. Bagaimana ia
mendefinisikan dirinya (yang memiliki truth claim) di tengah-tengah agama dan
paham lain yang juga mempunyai keabsahan.
Indonesia adalah bangsa yang paling pluralis di dunia dengan 17.000
pulau, besar dan kecil, 400 kelompok etnis, bahasa dan kebudayaan yang sangat
majemuk. Enam agama diakui secara resmi dan, secara umum, dapat hidup
berdampingan. Namun kehidupan beragama di Indonesia senantiasa mengalami
pasang-surut: letupan dan bahkan konflik horizontal yang memakan banyak
korban jiwa kerap mewarnai kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Di era pasca
reformasi kondisi ini semakin parah.
Hal ini tentu akan terus menyadarkan para penganut agama yang
tercerahkan, untuk selalu mencari jalan keluar yang dapat membebaskan diri dari
potensi konflik dan kekerasan. Salah satunya adalah menyebarkan benih-benih
pemikiran teologi inklusif dan pluralis yang akan melahirkan pandangan-
pandangan keagamaan yang berwatak damai, toleran dan sejuk serta
menguntungkan bagi semua pihak, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara
dapat dijalani secara produktif dan harmonis.
2

B. Memahami Pluralisme
Pluralisme yang benar bukanlah semata dimaknai sebagai sikap toleransi
biasa tanpa reserve. Pluralisme seperti ini hanya akan melahirkan toleransi yang
semu dan basa-basi belaka. Yakni sebuah toleransi yang menghitung untung rugi.
Sebuah toleransi yang baru ditegakkan jika memang menguntungkan. Pluralisme
mestinya dipahami sebagai suatu “pertemuan sejati dari keserberagaman dalam
ikatan-ikatan kesopanan (bonds of civility)”. Pertemuan sejati dari kemajemukan
yang dimaksud berarti hubungan yang tulus berdasar pemahaman atas kesetaraan
tiap-tiap individu. Tidak ada perasaan superoritas atas individu dan kelompok
yang lain. Juga tidak ada sikap-sikap yang menunjukkan “diktator mayoritas” dan
“tirani minoritas”. Namun, hubungan yang tulus dengan penghormatan yang
penuh terhadap sesama juga tetap dalam kerangka proporsionalitas yang adil.
Di negara yang plural seperti Indonesia, mengkaji dan memahami konsep
pluralisme tetap penting, aktual dan senantiasa relevan. Menurut Craig Dykstra
dan Sharon Parks, sejak era pencerahan dan lebih jelas lagi di abad dua puluh
yang lalu, masalah pluralisme menjadi semakin gamblang. 1 Artinya,di mana-mana
kondisi pluralitas telah terjadi, namun masih sering menimbulkan persoalan.
Richard J. Mouw menjelaskan bahwa pluralisme merupakan faham tentang
kemajemukan. Pluralisme yang benar dan baik adalah ketika seseorang
berkeyakinan bahwa “yang bercorak banyak” dianggap sebagai anugerah.2
Artinya, ada ketulusan hati pada setiap manusia untuk menerima keanekaragaman.
Namun, harus disadari pula bahwa pluralisme bukan hal yang mudah.
Michael Amaladoss menegaskan bahwa pluralisme selalu menjadi problem, baik
ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi politik maupun struktur sosial,
apalagi masalah agama-agama.3 Demikian juga Craig Dykstra dan Sharon Parks
ketika menanggapi tentang pluralitas dari visi keagamaan, berkata:
“There is significant difference of vision both within religious
communities and among them. All the same time, the need formutual

1
Craig Dykstra and Sharon Parks, Faith Development and Fowler, Religious Education Press,
(Alabama: Birmingham, 1986), h. 3
2
Richard J. Mouw and Sander Griffoen, Pluralism & Horison (USA: Wm.B.Berdmans Publishing
Co., 1993), h. 13
3
Michael Amaladoss, Making All Things New (New York: Orbits Book, 1990), h. 11
3

understanding, acceplance and appreciation in a world become small and


dangerous is profound.”4
Artinya, memang ada signifikansi yang berbeda-beda dari visi komunitas
keagamaan dan antar pemeluknya. Namun, pada saat yang sama, kebutuhan untuk
saling mengerti, saling menerima dan saling berapresiasi dalam sebuah dunia yang
kecil ini menyimpan potensi yang amat berbahaya.
Meski demikian, John Hick memberikan harapan yang positif atas
pluralisme ini. Ia argumentasi bahwa pluralisme agama adalah sesuatu yang
rasional karena mampu memberikan penegasan tentang realitas alam yang secara
substansial benar, berkembang, tepat dan memperluas jalan bagi pengalaman
masa depan.5
Alwi Shihab dalam karyanya yang amat mengagumkan, Islam Inklusif
(1997) mengurai garis-garis besar pengertian pluralisme, yang menurutnya
mencakup beberapa hal:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat di-jumpai
di mana-mana. Pada masyarakat tertentu, di kantor tempat bekerja, di sekolah
tempat belajar, bahkan di pasar tempat berbelanja. Namun, menurut Alwi,
seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut jika ia dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain,
pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan
saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, namun juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam
kebhinekaan.
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama,
ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Contoh konkret kota New
York misalnya. Kota ini adalah kota kosmopolit. Di kota ini terdapat orang
Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang yang tanpa agama
4
Craig Dykstra and Sharon Parks, Faith Development and Fowler, Religious Education Press,
Ibid.
5
John Hick, An Interpretation of Religion, Human Responses to the Transcendent (New Haven
and London: Yale University Press, 1989), h. 233
4

sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi
positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun
ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme.
Seorang relativis akan beransumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran”
atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang
atau masyarakatnya. Sebagai contoh, ”kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh
bangsa Eropa bahwa “Columbus menemukan Amerika” adalah sama benarnya
dengan “kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan
bahwa “Columbus mencaplok Amerika”.
Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa
pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama,” karena
kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan
lainnya, tatap harus diterima. Untuk itu, seorang relativis tidak akan mengenal,
apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan
sepanjang masa.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat unsur
relativisme, yakni unsur tidak mengkalim pemilikan kebenaran tersebut kepada
pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme
yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Oleh karena itu, banyak
orang enggan menggunakan kata pluralisme agama, karena khawatir akan
terperangkap dalam lingkaran konsep relativisme agama.
Sebagaimana diketahui, konsep relativisme agama berawal pada abad
kelima sebelum masehi, yakni di masa Protagoras, seorang sofis Yunani. Konsep
tersebut bertahan hingga kini, khususnya dalam pendekatan ilmiah yang dipakai
oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Konsep ini menerangkan bahwa apa yang
dianggap baik atau buruk, benar atau salah, adalah relatif, tergantung kepada
pendapat tiap individu, keadaan setempat atau institusi sosial dan agama.
Karenanya, konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yang menciptakan
suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagaian komponen
5

ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru
tersebut.
Dalam sejarah, kita dapati sekian banyak agama sinkretik. Fenomena ini
tidak terbatas pada masa lalu. Hingga kini hal itu masih kita jumpai. Mani,
pencetus agama Manichaeisme pada abad ketiga, dengan cermat mempersatukan
unsur-unsur tertentu dari ajaran Zoroaster, Buddha, dan Kristen. Bahkan apa yang
dikenal sebagai New Age Religion (Agama Masa Kini), adalah wujud nyata dari
perpaduan antara pratik yoga Hindu, meditasi Buddha, tasawuf Islam, dan mistik
Kristen. Demikian pula Bahaisme, yang didirikan pada pertengahan abad ke-19
sebagai agama persatuan oleh Mizra Husein Ali Nuri yang dikenal sebagai Baha
Ullah. Sebagian elemen agama baru yang didirikan di Iran ini diambil dari agama
Yahudi, Kristen, dan Islam.
Menurut Alwi selanjutnya, hal terpenting yang mesti diingat adalah, jika
konsep pluralisme agama di atas hendak diterapkan di Indonesia maka ia harus
bersyaratkan satu hal, yakni komitmen yang kokoh terhadap agama masing-
masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak
saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi
yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hanya
dengan sikap demikian kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak
sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.6

C. Mengapa Selalu Terjadi Konflik?


Pluralisme agama sejatinya tidak semata mengakui keragaman agama
namun juga kesanggupan dan kesediaan untuk hidup bersama dalam kerukunan
dengan semua penganut agama yang berbeda-beda. Dalam konteks teologi
universal, keberadaan agama adalah bukti cinta kasih Tuhan kepada manusia.
Agama diturunkan guna kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia. Dengan
agama, Tuhan berharap manusia memiliki orientasi yang lurus nan baik (al-shirât
al-mustaqîm) dalam mengarungi gelombang kehidupan yang keras ini sehingga
tidak tersesat, tidak liar dan tidak hidup kacau balau karena tiadanya aturan dan
hukum. Dengan logika ini, maka menjadi jelas kiranya bahwa tidak ada agama
6
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997),
h. 41-43
6

yang berpotensi (secara eksplisit) terhadap kekerasan, permusuhan dan


peperangan, apalagi mengajarkannya.
Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa secara sosiologis kerap
terjadi konflik antar umat beragama dan polarisasi yang tak ada henti-hentinya,
dan kemudian agama dianggap sebagai biang keladi dan sumber atas berbagai
malapetaka itu. Kenyataan ini, kemudian melahirkan sebagian kalangan yang
berpandangan negatif terhadap agama. Mereka berdalih bahwa banyak
peperangan yang terjadi pada banyak tempat di belahan bumi ini karena dominasi
agama-agama besar yang ingin meraih banyak lagi pengikutnya. A. N. Wilson
misalnya, seorang novelis dan wartawan inggris ternama, dalam Against Religion:
Why We Should Try To Live Without It? (1993), menuduh agama sebagai institusi
yang harus bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindas
kebenaran. Jika Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat, maka Wilson
mengangggapnya lebih berbahaya dari candu. Agama, dalam pandangan Wilson
selalu mendorong orang untuk menganiaya sesamanya karena klaimnya sebagai
pemilik kebenaran mutlak.
Pernyataan Wilson di atas tidak sepenuhnya keliru mengingat banyak
tragedi umat manusia yang awalnya bersumber dari emosi dan fanatisme
beragama yang berlebihan. Di Irlandia Utara, konflik serius antara kaum Katolik
dengan Protestan sudah lebih dari tiga puluh lima tahun tak kunjung usai dan telah
banyak memakan korban jiwa. Di Timur Tengah, khususnya kawasan pantai timur
laut tengah, hingga kini berkecamukberbagai konflik antara Yahudi, Muslim dan
Kristen. Dikawasan wilayah Asia Selatan dan Tenggara, konflik keagamaan juga
masih terjadi antara Hindu melawan Buddha, Islam, Katolik dan Sikh, juga
sebaliknya. Di negeri kita pun yang katanya terkenal sebagai bangsa yang
menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan, sering dilanda kekerasan atas nama
agama. Beberapa waktu lalu, konflik serius antara Islam dan Kristen di Poso,
Ambon terjadi demikian parah dan tidak mustahil menjadi ancaman serius bagi
kesatuan bangsa.
Saat inipun, Terorisme atas nama agama yang terjadi pada hampir tiap
pelosok dan belahan bumi ini—juga sangat sulit dideteksi dan diantisipasi—
menjadi hantu yang paling menakutkan dan ancaman yang paling serius bagi
7

peradaban umat manusia. Hal-hal inilah kiranya yang menjadi reference dan tolok
ukur Wilson dalam menelorkan hipotesisnya mengenai kebiadaban agama.
Namun, pernyataan itu juga tidak sepenuhnya benar dan tidak akan keluar
dari seorang Wilson jika ia mau memahami inti ajaran agama yang benar dan mau
melihat para penganutnya yang menjalani kehidupan beragama secara lurus dan
tulus. Kitab suci dengan semangat penafsiran yang benar, inklusif dan humanis
serta para cendekiawan agama yang tercerahkan tidak memiliki pandangan
seperti Wilson, apalagi mengajarkannya. Saat ini, proyek besar tentang pentingnya
memahami dan membumikan pluralisme agama telah menjadi perhatian sangat
serius semua kalangan. Gagasan Islam pluralis, misalnya, walaupun beberapa
kalangan menganggapnya “hanya kuat di visi namun lemah di aksi”, tetap tidak
menggoyahkan semangat kita untuk memberi pengertian bahwa pluralisme agama
adalah sunatullah (hukum Allah) yang tidak bisa diubah dan diingkari serta harus
disikapi secara positif. Barang siapa yang mengingkarinya, maka akan lahir
konflik yang tak berkesudahan. Secara teologis, pluralisme agama dapat menjadi
wadah umat manusia untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (fastabiq
al-khairât) terhadap Tuhan dan sesama, kelak di akhirat Tuhan akan menerangkan
mengapa manusia diciptakan berbeda-beda (lihat Al-Qur`an surah al-Ma`idah:
48).
Memang ada kendala-kendala teologis, psikologis, kultural dan politik
yang menghambat proses pembumian pluralisme agama. Namun terutama penulis
melihat kendala teologis dan psikologis yang paling menonjol diantara kendala
lainnya. Claims of ultimate truth yang selanjutnya berkembang menjadi sikap
saling curiga, tidak percaya, kesombongan kelompok, saling menutup diri,
kelihatannya masih menjadi mainstream mayoritas umat beragama. Namun
khusus bagi umat Islam, dalam konteks memahami dan menghayati pluralisme
agama, sebenarnya memiliki landasan teologis yang cukup kokoh yakni
pandangan-pandangan al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang memiliki semangat
inklusif dan humanis, juga bukti sejarah umat Islam di Spanyol yang dapat hidup
berdampingan dengan para penganut agama lain secara damai, harmonis dan
produktif.
8

D. Islam dan Pluralisme Agama


Dalam memahami pluralisme agama, kitab suci berulang kali menegaskan
bahwa sistem nilai plural (termasuk pluralisme agama) adalah takdir (ketentuan)
Tuhan dan sunnatullah (hukum Tuhan) yang tidak mungkin berubah, diubah,
dilawan dan diingkari (QS. al-Baqarah {2}:148, al-Ma`idah {5}:48). Siapa saja
yang coba mengingkari dan melawan hukum itu akan berakibat fatal terhadap
kedamaian hidup umat manusia, yakni konflik dan peperangan yang tak dapat
dihindari. Allah berfirman,
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat kebaikan). Di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. al-
Baqarah: 148).
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat
saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah kamu (dalamberbuat) kebaikan. Hanya kepada Allah
lah kamu kembali, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu. (Q.S. al-Ma`idah: 48).”
Ayat al-Qur`an yang dikutip diatas merupakan intisari dari problem dan
sekaligus solusi tentang pluralitas dan pluralisme menurut pemahaman Islam. Ayat
tersebut dimulai dengan pernyataan tentang fakta bahwa masyarakat—dalam
dirinya sendiri—terbagi ke dalam berbagai macam kelompok dan komunitas,
yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri, yang memberinya
arah petunjuk. Komunitas-komunitas tersebut diharapkan dapat menerima
kenyataan tentang adanya keragaman sosio kultural, dan saling toleran dalam
memberikan kebebasan dan kesempatan kepada setiap orang untuk menjalani
kehidupan sesuai dengan sistem kepercayaannya masing-masing.
Dengan kehendak-Nya bisa saja Tuhan menciptakan satu umat yang
homogen dengan unitas keimanan (QS. al-Baqarah {2} :213, Yunus{10} :99), tapi
itu tidak dilakukan-Nya karena hal itu hanya akan menafikan perjuangan manusia
melawan segala macam kekuatan dan kepentingan yang berkecamuk dalam
9

dirinya. Padahal perjuangan adalah usaha manusia yang paling mulia dan
berharga. Apa yang diharapkan dalam sistem plural itu adalah bahwa komunitas-
komunitas yang berbeda saling berkompetisi dengan cara yang dapat dibenarkan
dan sehat, guna meraih sesuatu yang terbaik bagi umat manusia. Semua itu
disebabkan karena hanya Tuhan yang Maha Mengetahui dalam artian paling final,
tentang yang baik dan buruk, benar dan salah. Kelak di akhirat ketika Tuhan
mengumpulkan manusia, akan menerangkan mengapa manusia diciptakan
berbeda-beda (termasuk beda agama), Ia akan memberikan keputusan di dalam
keadilan, keharuan dan kemurahan hati.
Nabi Muhammad Saw. sendiri benar-benar ditegur Allah ketika
menunjukkan hasrat dan keinginannya memaksa rakyat untuk menerima dan
mengikuti agamanya, seperti diungkap al-Qur`an:
Dan jika Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau (Muhammad) hendak memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. (Q.S.
Yunus:99).
Karenanya, sekali lagi Tuhan membebaskan umat manusia dalam
beragama, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (Q.S. al-
Baqarah:256).
Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia
dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan
memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain,
manusia kini dianggap telah dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan
hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti seseorang yang
belum dewasa.
Prinsip kebebasan beragama ini sebenarnya merupakan kehormatan bagi
manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri
jalan hidupnya. Hal ini tentu berarti bahwa resiko pilihan itu adalah tanggung
jawab sepenuhnya manusia itu sendiri.
10

E. Dialog dan Titik Temu Agama-Agama


Dalam konteks pluralisme agama ini, biasanya seorang Muslim akan
berdalil, seperti kata al-Qur`an, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Q.S.
al-Kafirun:6). Namun, bagi kaum Muslim yang setuju dengan dialog, perintah
Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak Ahli Kitab sampai pada doktrin
umum (yang sama) antara agamanya (Islam) dan agama mereka, adalah sebuah
keniscayaan. Seperti ungkapan al-Qur’an:
Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpeganglah) pada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Ia dengan sesuatu apapun, dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
Allah: jika mereka berpaling maka katakanlah pada mereka: “Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Q.S. al-
Imran: 64).

Salah satu segi ajaran al-Qur’an yang sangat penting untuk disadari
implikasinya dikalangan kaum Muslim dalam membangun suatu dialog antara
agama-agama adalah pandangan keagamaan mengenai para pengikut kitab suci
(Ahl Kitâb). Yakni pandangan mengenai pengakuan tertentu kepada para pengikut
agama lain, yang memiliki kitab suci, dan memberikan kebebasan untuk
menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Dampak sosial konsep ini, dalam
sejarah Islam sungguh luar biasa. Islam, benar-benar merupakan ajaran yang
memperkenalkan pandangan tentang toleransi sejati dan kebebasan beragama
pada umat manusia. Cyril Glasse yang menulis The Concise Encyclopedia of
Islam, mengungkapkan soal ini.
“Fakta bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu lain sebagai
wahyu yang asli atau absah merupakan peristiwa yang luar biasa dalam sejarah
agama-agama”.7
Ini berarti, bagi kaum Muslim suatu kewajiban untuk mempertahankan
pluralisme, toleransi dan kebebasan dalam beragama. Keselamatan tidak hanya

7
Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, s.v. Ahl al- Kitab (San Fransisco: Harper, 1991)
11

ada pada kaum Muslim yang bertakwa tetapi juga para penganut kitab suci (Ahl
Kitâb), seperti Firman Allah berikut:
Kalau mereka itu benar-benar menegakkan ajaran Taurat dan Injil serta
yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka pastilah mereka akan makan
(mendapatkan rejeki, mengalami kemakmuran) dari atas mereka (langit), dan
dari bawah kaki mereka (bumi). Dari mereka ada umat yang menempuh jalan
kebenaran dan banyak dari mereka yang tidak baik tingkah lakunya”. (Q.S. al-
Maidah: 66)

Lebih-lebih ayat sebelumnya menyatakan:


Jika para penganut kitab suci (mana saja) benar-benar beriman dan
bertakwa, maka pastilah Kami (Tuhan) ampuni segala keburukannya dan Kami
masukkan ke surga-surga kebahagiaan abadi. (Q.S. al-Maidah: 66).

Berdasarkan pandangan inklusif Islam inilah kaum Muslim diperintahkan


untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju ke “pokok-pokok persamaan” (kalimat
– al sawâ/common platform), sebagaimana disebut surat Ali ‘Imran ayat 64 di
atas.
Titik temu atau pokok-pokok persamaan antara kaum Muslim dan para
pemilik kitab suci lain, secara jelas termaktub dalam apa yang disebut dengan The
Ten Commandement, al-Kalimat al-‘Asyr atau sepuluh perintah Tuhan8 yang dulu
diturunkan kepada Nabi Musa. Meski The Ten Commandement ini selalu identik
dengan tiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam), namun secara substantif,
agama-agama lain juga -dapat dipastikan- memiliki sepuluh prinsip ajaran yang
terkandung dalam The Ten Commandement itu.
Secara teologis, usaha mendapatkan titik temu ini sangat penting, apalagi
ada keterangan dalam al-Qur’an tentang adanya segolongan Ahli Kitab yang rajin
mempelajari ayat-ayat Allah di tengah malam, sambil terus menerus beribadah
8
Sepuluh Perintah Tuhan itu adalah: 1. Sembahlah Tuhan Yang Maha Esa, 2. Jangan membuat
patung atau ukiran Tuhan kemudian disembah-sembah, 3. Jangan menyebut nama Tuhan dengan
main-main atau sia-sia, 4. Muliakan hari Sabbath, 5. Hormatilah Ibu-bapak, 6. Jangan membunuh,
7. Jangan berbuat zina, 8. Jangan mencuri, 9. Jangan memberikan kesaksian palsu kepada
sesamamu, 10. Jangan mengambil hak orang lain: rumah, istri, hamba sahaya, binatang ternak dan
barang-barang lainnya. Lihat Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988, h. 310. Dalam kitab suci al-Qur`an, sepuluh perintah Tuhan ini terdapat dalam surat al-
Baqarah ayat 63 dan 93, al-An’am ayat 151-153, dan al-Isra ayat 23 dan 40.
12

dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian serta melakukan amar ma’ruf
nahi munkar dan bergegas dalam banyak kebaikan yang digambarkan Al-Qur’an,
mereka itu tergolong orang-orang yang saleh, apapun pekerjaan yang mereka
kerjakan tidak akan diingkari (pahalanya), dan Allah Maha Tahu tentang orang-
orang yang bertakwa. (Q.S. al-Imran: 114 – 115).
Adanya ayat-ayat yang positif dan simpatik kepada kaum Ahli Kitab ini
sebenarnya mengajak kepada kaum Muslim untuk membuka diri dalam proses
dialog untuk mendapatkan suatu keyakinan bersama tentang kebenaran yang
paling mendalam, “All inner faith is inter faith”, kata Wilfred Cantwell Smith.
Adanya persamaan dari sumber agama yang berbeda juga tentunya
tidaklah perlu mengejutkan. Sebab semua yang benar berasal dari sumber yang
sama, yakni Allah, Yang Maha Benar (al-haqq). Dan semua Nabi dan Rasul
membawa ajaran kebenaran yang sama seperti itu. Perbedaan yang ada hanyalah
dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman
dan tempatnya. Maka, perbedaan itu tidaklah prinsipil, karena ajaran pokok atau
tawhid para Nabi dan Rasul adalah sama. Hal ini ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah:
“Oleh karena asal-usul agama, tidak lain ialah al-Islâm, yakni agama pasrah
(kepada Allah) itu satu, meskipun syari’atnya bermacam-macam, maka Nabi Saw
bersabda dalam hadits shahih, “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu,” dan
“Para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,” dan “Yang paling berhak
kepada ‘Isa putera Maryam adalah aku.” 9

Sejatinya, titik temu agama-agama itu ada pada dimensi tawhid. Namun,
dalam perkembangan sejarah umat Islam di kemudian hari, dimensi esoterik
dalam Islam atau yang lebih populer disebut dengan tasawuf atau sufisme,
ternyata dapat pula mempertemukan segi-segi fundamental dan esensial agama-
agama. Karenanya, agama-agama besar di bumi ini –dapat dikatakan-bermuara
pada dua dimensi besar ini.

F. Siapa Ahli Kitab?


Biasanya, bagi para fukaha dan kaum Muslim kebanyakan, apa yang
disebut sebagai Ahl Kitab itu hanyalah Yahudi dan Kristen. Citra ini disepakati
secara umum dan diterima dari generasi ke generasi. Ahli Kitab dalam citra inipun
diyakini sebagai Ahli Kitab yang hidup sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi
9
Ibn Taymiyyah, `Iqtidhâ al-Shirât al-Mustaqîm (Beirut: dar al-Fikr, t.th.), h. 452
13

rasul, bukan Ahli Kitab yang ada sekarang ini. Ahli Kitab saat ini sudah tidak ada
lagi. Komunitas Yahudi dan Nashrani yang ada saat ini dicitrakan sudah banyak
menyimpang akidahnya, karenanya mereka dianggap tidak akan selamat di akhirat
nanti. Begitu juga dengan para penganut Hindu, Buddha, Konghucu dan lain-lain.
Namun tidak demikian halnya dengan pandangan para intelektual Muslim
yang tercerahkan, Muhammad Rasyid Ridha, seorang mufassir dan teolog
kontemporer kenamaan asal Mesir dapat mewakili pandangan inklusif intelektual
Muslim lainnya mengenai Ahli Kitab. Menurutnya, Ahli Kitab itu mencakup para
penganut agama-agama lain selain Yahudi dan Nashrani. Dalam perspektif Ridha,
kaum Shabi’in, Majusi, Hindu, Buddha dan Konfusius adalah juga Ahli Kitab.
Berikut kutipan lengkap mengenai pandangannya tentang hal ini seperti tertulis
dalam tafsirnya yang masyhur, al-Manar:
Yang nampak ialah bahwa al-Qur’ân menyebut bahwa para penganut agama-
agama terdahulu, kaum Shâbi’în dan Majûsi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu),
Buddha dan para pengikut Konfusius karena kaum Shâbi’în dan Majûsi dikenal oleh
bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula alamat al-Qur’ân, karena kaum Shâbi’în
dan Majûsi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-
orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka
mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tecapai dengan menyebutkan
agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan
yang terasa asing (ighrâb) dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang
yang menjadi alamat pembicaraan itu dimasa turunnya al-Qur’ân, berupa penganut
agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang
menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan
perkara antara kaum Brahma, Buddha, dan lain-lain.
Sudah diketahui bahwa al-Qur’ân jelas menerima jizyah dari kaum Ahli Kitab,
dan tidak disebutkan bahwa jizyah itu dipungut dari golongan selain mereka. Maka Nabi
saw. pun, begitu pula para khalifah ra., menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi
menerimannya dari kaum Shâbi’în dan Majûsi di Bahrain, Hajar dan Persia sebagaimana
disebutkan dalam dua kitab Hadîts yang shahîh (Bukhârî-Mûslim) dan kitab-kitab Hadîts
yang lain. Dan (Imâm) Ahmad, al-Bukhârî, Abû Dâwûd, dan al-Turmudzî serta lain-
lainnya telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. Memungut jizyah dari kaum Majûsi Hajar,
dan dari Hadits ‘Adb-al-Rahmân Ibn ‘Auf bahwa ia bersaksi untuk ‘Umar tentang hal
tersebut ketika ‘Umar mengajak para Sahabat untuk bermusyawarah mengenai hal itu.
Mâlik dan al-Syâfi’î meriwayatkan dari ia (‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Auf) bahwa ia berkata:
“Aku bersaksi, sungguh aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Jalankanlah
sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab’. Dalam sanad-nya ada
keterputusan, dan pengarang kitab al-Muntaqâ dan lain-lainnya menggunakan Hadîts itu
sebagai bukti bahwa mereka (kaum Majûsi) tidak terhitung Ahli Kitab. Tapi pandangan
ini lemah, sebab penggunaan umum perkataan “Ahli Kitab” untuk dua kelompok manusia
(Yahudi dan Nasrani) karena adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka dan tambahan
sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli Kitab
selain mereka, padahal diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap Rasul-rasul untuk
membawa berita gembira dan berita ancaman, dan bersama mereka itu Dia (Allah)
menurunkan Kitab Suci dan Ajaran Keadilan (al-Mîzân) agar manusia bertindak dengan
14

keadilan. Sebagaimana juga penggunaan umum gelar “ulama” untuk sekelompok


manusia yang memiliki kelebihan khusus tidaklah mesti berarti ilmu hanya terbatas
kepada mereka dan tidak ada pada orang lain. 10

Juga ada keterangan Rasyid Ridha yang mengutip sebuah hadis yang disitu
Ali Ibn Abi Thalib menyatakan bahwa kaum Majusi adalah tergolong Ahli Kitab,
‘Abd Ibn Hamid dalam tafsirnya atas surat al-Burûj meriwayatkan dengan sanad
yang shahih dari Ibn Abza, bahwa setelah kaum Muslim mengalahkan pendudukPersia,
Umar berkata, “Berkumpullah kalian!” (Yakni, ia berkata kepada para Sahabat,
“Berkumpullah kalian untukmusyawarah”, sebagaimana hal itu telah menjadisunnah yang
diikuti dengan baik dan kewajiban yang semestinya). Kemudian, ia (Umar) berkata,
“Sesungguhnya kaum Majusi itu bukanlah Ahli Kitab sehingga dapat kita pungut jizyah
dari mereka, dan bukan pula penyembah berhala sehingga dapat kita terapkan hukum
yang berlaku.” Maka Ali menyahut, “Sebaliknya, mereka adalah Ahli Kitab!”. 11

Tampaknya cukup jelas keterangan Rasyid Ridla di atas. Dan, seperti


diakuinya, Rasyid Ridla memang pernah berpendapat – sebagaimana pendapat
para ahli fikih – bahwa kaum Shabi’in dan Majusi itu bukan dari golongan Ahl
Kitâb. Apa lagi kemudian Hindu, Buddha, Zoroaster, agama Jepang, Cina dan
lain-lain. Namun, setelah membaca tulisan salah seorang kaum Salaf dan ulama
ahli agama-agama dan sejarah, yakni Abu Manshur ‘Abd al-Qahir Ibn Thahir al-
Baghdadi, (w. 426 H), ia berkeyakinan bahwa agama-agama (yang memiliki kitab
suci) di luar Yahudi dan Nashrani juga termasuk Ahli Kitab.
Seorang ulama klasik, Ibn Taymiyyah juga sudah terlibat dalam usaha
menjelaskan kepada anggota masyarakatnya masalah para pengikut kitab suci ini,
dengan penjelasannya yang sejalan dengan apa yang kemudian dipertegas oleh
Rasyid Ridha diatas bahwa Ahli Kitab bukanlah kaum musyrik dan bahwa para
penganut kitab suci selain Yahudi dan Nashrani juga termasuk Ahli Kitab. Berikut
penjelasan selengkapnya:
Sesungguhnya Ahli Kitab tidaklah termasuk ke dalam kaum musyrik.
Menjadikan (memandang) Ahli Kitab sebagai bukan kaum musyrik ialah berdasar firman
Allah: Sesungguhnya mereka yang beriman, dan mereka yang menjadi Yahudi, kaum
Sabi’in, kaum Nashrani, dan kaum Majusi serta mereka yang melakukan syirik…”(Q.S.
al-Hajj:17). Kalau dikatakan bahwa Allah telah menyifati mereka itu dengan syirik dalam
firman-Nya, “Mereka (Ahli Kitab) itu mengangkat para ulama dan pendeta-pendeta
mereka, serta ‘Isa putera Maryam, sebagai tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka
tidaklah diperintahkan melainkan agar hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang
tiada Tuhan selain Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu” (Q.S. al-
Taubah:31), maka karena (Allah) menyifati mereka bahwa mereka telah melakukan
10
Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jil. VI, h. 188-9
11
Ibid.
15

syirik, dan karena syirik itu adalah suatu hal yang mereka ada-adakan (sebagai bid’ah)
yang tidak diperintahkan oleh Allah, wajiblah mereka itu dibedakan dari kaum musyrik,
sebab asal-usul agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan (dari Allah)
yang membawa ajaran tawhid, bukan ajaran syirik. Jadi, jika dikatakan bahwa Ahli Kitab
itu dengan alasan ini bukanlah kaum musyrik, karena kitab suci yang berkaitan dengan
mereka itu tidak mengandung syirik, sama dengan jika dikatakan bahwa kaum Muslim
dan umat Muhammad tidaklah terdapat pada mereka itu (syirik) dengan alasan ini, juga
tidak ada paham ittihadiyyah (monisme), rafidhiyah (paham politik yang menolak
keabsahan tiga khalifah pertama: Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman), penolakan paham
qadar (paham kemampuan manusia untuk memilih, dapat juga yang dimaksudkan ialah
qadar dalam arti takdir), ataupun bid’ah-bid’ah yang lain. Meskipun sebagian mereka
yang tergolong umat (Islam) menciptakan bid’ah-bid’ah itu, namun umat Muhammad
Saw tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Karena itu, selalu ada dari mereka orang
yang mengikuti ajaran tawhid, lain dari kaum Ahli Kitab. Dan Allah ‘azza wa jalla tidak
pernah memberitakan tentang Ahli Kitab itu dengan nama “musyrik”…). 12

Selanjutnya, yang lebih penting lagi menurut Ibn Taymiyyah adalah bahwa
dalam kitab-kitab suci terdahulu itu, di luar perubahan oleh tangan manusia yang
mungkin menyimpangkannya, sampai sekarang masih terdapat unsur-unsur ajaran
yang berlaku, termasuk untuk umat Islam.13 Ayatullah Khomaini, pemimpin besar
Revolusi Iran, juga berpendapat sama, dengan menegaskan bahwa beriman
kepada para Nabi terdahulu tidak berarti sekedar mengetahui adanya para Nabi itu
dan membenarkan tugas mereka sebagai pengemban syari’at, tetapi jelas
mengandung arti memikul atau menerima dan melaksanakan syari’at mereka juga,
sepanjang syari’at itu bukan bagian yang diabrogasikan oleh al-Qur`an dan Nabi
Muhammad Saw.14
Di tanah air, pandangan serupa dikemukakan oleh seorang tokoh ulama
pembaharu dari Padang Panjang, Sumatera Barat, bernama Abdul Hamid Hakim,

12
Ibn Taymiyyah, Ahkâm al-Zawâj (Beirut: Dar al-Kutub ak-‘Ilmiyyah, 1408 H./1988 M.), h. 188-
190
13
Menurut Ibn Taymiyyah, “Pendek kata, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah
memberitakan bahwa dalam Taurat yang ada setelah (‘Isa) al-Masih as terdapat hukm (ajaran
bijak) Allah…Hal itu menunjukkan bahwa dalam Taurat yang ada sesudah (‘Isa) al-Masih terdapat
hukm yang diturunkan Allah, yang mereka diperintahkan untuk berhukum dengan hukm itu.
Demikian pula dapat dikatakan berkenaan dengan Injil (Yaitu bahwa di dalamnya terdapat hukm
Allah)…Karena itu madzhab sebagian besar kaum salaf dan para imam ialah bahwa syara’ kaum
sebelum kita adalah juga syara’ bagi kita selama tidak terdapat syara’ kita yang berbeda. (Ibn
Taymiyyah, Al-Jawâb al-Shahîh li man Baddal Dîn al-Masîh, 4 jilid (Beirut: Mathabi’ al-Majd al-
Tijariyyah, t.th., jil. 1, h. 271-275). Dan kitab-kitab Injil yang ada di tangan kaum Nasrani sama
dengan hal itu, karena itu mereka (kaum Nasrani) diperintahkan untuk menjalankan hukm yang
ada di dalamnya. Sebab di dalamnya terdapat berbagai hukm Allah, dan sebagian besar hukm-
hukm yang ada di dalamnya itu lafalnya tidak diubah, tetapi yang diubah ialah sebagian lafal-lafal
berita dan sebagian makna dari perintah-perintah…(Ibid., jil. 2, h. 18)
14
Ayatullah Khumaini, Ta’lîqât ‘alâ Syarh Fushûs al-Hikam wa Mishbâh al-`Uns (Qum: Padar-é
Islam, 1410 H.), h. 184
16

seorang ulama yang berpandangan luas dan mendalam, karena penguasaannya


kepada sumber-sumber keilmuan Islam yang luar biasa. Dalam sebuah kitabnya,
yang ditulis dalam bahasa Arab, berjudul al-Mu’în al-Mubîn, ia menguraikannya
pandangannya cukup panjang lebar, yang menyanggah pendapat suatu kelompok
di kalangan umat Islam yang menganggap bahwa kaum penganut kitab suci (Ahl
al-Kitab) seperti Yahudi dan Kristen, adalah kaum musyrik. Akibatnya, bagi
mereka yang berpendapat serupa itu, seorang Muslim (lelaki) tidak dibenarkan
kawin dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Terhadap pendapat itu, Abdul
Hamid Hakim melakukan sanggahan panjang lebar, yang kutipan dari beberapa
bagiannya berikut ini:
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita-
wanita musyrik dalam ayat (al-Qur`an, al-Baqarah:221) ialah wanita-wanita musyrik
Arab yang tidak mempunyai kitab suci. Itulah kebiasaan al-Qur`an dalam menamakan
orang musyrik, sebab Islam mempunyai politik khusus berkenaan dengan orang-orang
arab dan negeri mereka, yaitu hendaknya Jazirah arabia merupakan tanah suci Islam yang
terlindungi dari jantung Islam yang dari situ memancar zat kehidupan (agama) ke semua
penjuru, dan perlindungan baginya yang ia dapat kembali ke sana pada waktu musuh
menyulitkannya. Karena itulah dari orang-orang musyrik Jazirah Arabia tidak diterima
jizyah (pajak pribadi non-Muslim), sehingga tidak ada lagi di sana tersisa seorang
musyrik pun. Bahkan Nabi berwasiat agar di sana tidak ada dua agama…
Pokoknya, makna ayat tersebut ialah bahwa mereka kaum musyrik itu ialah
orang-orang yang antara kamu sekalian dan mereka itu terdapat perpautan dan perbedaan
yang terjauh dalam keyakinan. Kamu tidak diperkenankan berhubungan dengan mereka
melalui tali perkawinan, tidak de3ngan mengawinkan seseorang dengan mereka dan tidak
dengan kawin dengan mereka. Sedangkan wanita Ahl al-Kitab, maka antara ia dan orang
beriman tidak ada perbedaan yang besar. Sebab ia (wanita Ahl al-Kitab) itu beriman
kepada Allah dan menyembah-Nya serta beriman kepada para nabi, kepada hari akhirat
dan kepada adanya balasan (atas amal manusia) di sana, dan menganut paham bahwa
berbuat baik adalah wajib sedangkan berbuat jahat adalah terlarang. 15

Kemudian, Abdul Hamid Hakim, dengan mengutip suatu jawaban Sayyid


Muhammad Rasyid Ridha atas sebuah pertanyaan tentang masalah serupa,
mengatakan bahwa yang termasuk pengertian Ahli Kitab itu tidak hanya orang-
orang Yahudi, Kristen dan Majusi saja, melainkan juga orang-orang Hindu,
Buddha, para penganut agama Cina, Jepang dan lain-lain. Karena, menurut Abdul
Hamid Hakim, mereka itu adalah penganut suatu jenis kitab suci yang memuat
ajaran dasar tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, sampai sekarang. Demikian
pernyataannya:
15
Abd al-Hamid Hakim, al-Mu’in al-Mubin, 4 jilid, (Bukittinggi: Nusantara, 1955 M./1374 H.), jil.
4, h. 45-6
17

Wanita musyrik yang oleh Allah diharamkan (atas lelaki Muslim) menikahi
mereka dalam ayat di surah al-Baqarah itu ialah para wanita musyrik Arab. Pendapat
inilah yang dipilih, kemudian diunggulkan oleh tokoh terkemuka para ahli tafsir, Ibn Jarir
al-Thabari. Dan bahwa kaum Majusi, Sabian, para penyembah berhala dari kalangan
orang India, Cina dan Jepang adalah pengikut kitab-kitab yang mengandung tauhid
sampai sekarang.16

Memang benar bahwa mereka kemudian menyimpangkan dari tauhid itu,


dan terjadi perubahan dalam bagian-bagian tertentu kitab suci mereka, namun
Abdul Hamid Hakim mengisyaratkan bahwa hal itu tidak perlu mengherankan,
sebab hal serupa juga terjadi pada kaum Yahudi dan Kristen, padahal munculnya
agama-agama ini lebih belakangan dari agama-agama India dan Cina itu. Yang
penting untuk digaris bawahi adalah jika memang seperti dikatakan oleh Abdul
Hamid Hakim bahwa antara kaum beriman dan kaum Ahli Kitab tidak ada
perbedaan yang terlalu jauh, maka sesungguhnya antara mereka itu dapat saling
belajar. Kaum Muslim hendaknya mempelajari dan menarik hikmah dari kitab-
kitab suci lama, dan kaum Ahli Kitab juga mempelajari al-Qur`an dan memetik
himah darinya.
Berdasarkan keterangan Rasyid Ridha, Ibn Taymiyyah dan Abdul Hamid
Hakim ini, konsep Ahli Kitab memiliki kemajuan luar biasa dalam sejarah agama-
agama sepanjang zaman. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keunggulan
konsep-konsep al-Qur`an dan Sunnah perlu dipahami secara komprehensif dan
dalam kaitan sistemiknya yang lengkap. Sebagaimana halnya dengan ajaran
prinsipil lainnya yang selalu memerlukan penjabaran operasional dan praktis
dalam konteks ruang dan waktu, maka konsep Ahli Kitab menurut al-Qur`an dan
Sunnah juga perlu dijabarkan dalam konteks zaman guna memberi respons yang
tepat.

G. Pengakuan Atas Eksistensi Agama-agama


Pengakuan al-Qur`an terhadap para pemeluk agama lain, yang berarti
diakuinya agama-agama mereka, antara lain tercantum dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan
orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari
kemudian, dan beramal saleh, meraka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
16
Abd al-Hamid Hakim, al-Mu’in al-Mubin, Ibid., h. 48
18

tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati
(Q.S. Al-Baqarah: 62).
1. Pandangan Tafsir Klasik
Pada dasarnya ayat diatas berbicara tentang empat kelompok: alladzîna
âmanû (menunjuk kepada umat Islam), alladzîna hâdû (umat Yahudi), al-nashârâ
(umat Kristen), dan al-shâbi’în. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan
ayat ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan
keselamatan oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad kesepuluh yang
banyak memberikan inspirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat bahwa
jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man âmana), percaya pada
hari kemudian, dan berbuat baik. Syarat beriman itu termasuk, beriman kepada
Allah dan Muhammad saw. Dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah
mereka yang telah memeluk Islam.17
Sementara itu, Fakhr al-Din al-Razi, pakar tafsir abad kedua belas, sambil
memperkuat pendapat al-Thabari, menyatakan bahwa katiga syarat yang
dikemukakan dalam ayat tersebut tak lain adalah esensi ajaran Islam. Tak berbeda
dengan al-Zamakhsyari, pakar tafsir yang juga hidup pada abad kedua belas, ia
tidak saja membatasi pada ketiga syarat diatas. Bahkan, lebih jauh lagi, ia
menekankan bahwa dari kelompok pertama (umat Islam) juga ada yang belum
memenuhi syarat tersebut. Sebab, di antara mereka ada yang beriman di mulut
saja (munafik). Ibn Katsir, yang hidup dua abad kemudian, lain lagi pendapatnya.
Ia seolah setuju dengan sebuah hadits yang diriwayatkan Ibn Abbas yang
menyatakan bahwa ayat tersebut telah di-naskh (diganti) dengan turunnya ayat ke-
85 Surah al-Baqarah itu: Hanya Islam yang diterima Tuhan sebagai agama yang
diridhai-Nya.18
2. Penafsiran Modern
Penafsiran-penafsiran modern juga menunjukkan keragaman pandangan.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada
Allah, tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya,
Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui
bahwa keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan di luar Islam yang
17
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Ibid., h. 79
18
Ibid.
19

dibawa Nabi Muhammad Saw. – mungkin yang ia maksud adalah orang-orang


terdahulu yang beriman kepada Allah sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw.
Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada
agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung
dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan itu
akan terpenuhi.19
Pendapat Thabathabai ini juga dapat dirasakan pada tulisan-tulisan Fazlur
Rahman dan yang sejalan dengannya, khususnya, mereka yang berusaha untuk
menunjukkan semangat inklusivisme Islam. Jelas, para pakar tafsir terdahulu lebih
menekankan pandangan yang bersifat eksklusivistik dan hati-hati. Karena itu,
mereka membatasi hanya Islam sebagai satu-satunya agama yang akan mendapat
jaminan keselamatan.20
Bagaimanapun terjadi keragaman pendapat para mufassir-yang tidak
mutlak kebenaran atau kekeliruan penafsirannya-, satu hal yang pantas dicatat dan
diingat dengan baik adalah adanya pengakuan Allah terhadap eksistensi agama-
agama yang ada di muka bumi ini, dengan tidak membedakan kelompok, ras dan
suku bangsa. Pengakuan ini sangat jelas dan tegas. Tak ada kata-kata Allah dalam
surah al-Baqarah ayat 62 ini bahwa beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal
shaleh menurut versi Islam. Karenanya, Wahbah al-Zuhaili, seorang mufassir
kontemporer, menafsirkan ayat ini dengan menyatakan, “Setiap orang yang
beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh serta memegang teguh
agamanya (apapun agamanya), maka mereka termasuk orang-orang yang
beruntung.”21 Karenanya, yang sangat perlu diperhatikan dan digarisbawahi
adalah amal maslahat atau amal shaleh dari tiap-tiap umat beragama. Para
penganut agama yang berbeda ditantang untuk selalu aktif, kreatif dan
berkompetisi secara sehat, sportif dan konstruktif dalam menciptakan kebaikan-
kebaikan pada kehidupan nyata.

19
Ibid., h. 80
20
Ibid.
21
Wahbah al-Zuhail, Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Juz I, h. 178
20

H. Teladan Nabi Saw


Model pluralisme yang baik sesungguhnya telah dicontohkan Rasulullah
Saw, baik dalam tuturan maupun tindakan. Dalam meneladani beliau, tentu saja
kita diharapkan tidak terpaku pada formalitas lahiriah, apalagi bila karena itu
lantas melupakan esensi ajarannya.
Jauh sebelum model pluralisme harmonis yang dipraktekkan umat Islam
Spanyol,22 Nabi Muhammad sendiri dan para sahabatnya di Madinah sudah
menunjukkan sikap toleran dan penghargaan yang tinggi terhadap kaum Nashrani
dan Yahudi. Prof H. Abu Bakar Aceh dalam karya klasiknya, Toleransi Nabi
Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya (1966), menjelaskan secara gamblang
kemuliaan akhlak Nabi dan para pengikutnya terhadap para penganut agama lain
yang berbeda. Terhadap mereka, Nabi sendiri dan juga yang selalu diajarkannya
kepada kaum Muslim Madinah, senantiasa bersikap santun, toleran, pemaaf,
senang menghormati mereka, dan tidak pernah mengkhianati perjanjian yang
sudah disepakati. Nabi juga selalu mengajarkan untuk menjaga kehormatan, harta
benda, dan keluarga mereka yang hidup damai (dzimmiy) dengan umat Islam.23
Bahkan, ketika para pendeta dan delegasi Kristen Najran, yang menjadi
tamu Nabi dan kaum Muslim, hendak melakukan sembahyang pada hari Minggu
namun tak terdapat Gereja di Madinah, dengan lapang dada Nabi mempersilahkan
masjid Nabawi dipakai untuk kebaktian mereka. Demikian seperti diungkap
sejarawan Muslim ‘Auf Ibn Burhanuddin al-Halaby al-Syafi’i dalam bukunya al-
Sîrah.24
Sebaliknya, pada saat-saat kritis perjuangan Nabi di Makkah, Raja
Abissynia atau Ethiopia, yaitu Raja Najasyi atau Negus—yang beragama Kristen
—melindungi umat Islam. Sampai-sampai ketika wakil masyarakat Arab Jahiliyah
memintanya untuk mengekstradisi pengikut Nabi ke Makkah, Negus menolak. Ia
berkata, “Apakah engkau meminta aku menyerahkan pengikut Muhammad,
seseorang yang telah didatangi malaikat Jibril? Demi Tuhan, ia (Muhammad)
benar, dan ia akan mengalahkan musuh-musuhnya.”
22
Dalam buku-buku sejarah umat Islam di Spanyol, banyak sekali diungkapkan hubungan yang
sangat harmonis antara kaum Muslim dan kaum Nashrani-Yahudi. Para sejarawan, baik Muslim
mapun non-Muslim (orientalis), dengan jujur dan haru senantiasa merujuk hubungan komunitas
tiga agama ini sebagai hubungan yang sangat ideal dalam sejarah peradaban umat manusia
23
Abu Bakar Aceh, Toleransi Nabi Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya, 1966, h. 28-30
24
Lihat juga Abu Bakar Aceh, Toleransi Nabi Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya, 1966, h. 31
21

Bahkan, ayat 199 surat Ali Imran yang berbunyi, “Dan sesungguhnya
diantara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepadamu (Muhammad) dan yang diturunkan kepada mereka...mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya”. Diturunkan karena peristiwa kematian raja Najasyi.
Diceritakan, ketika datang berita kematian Najasyi, Rasulullah bersabda, “Mari
kita shalatkan”. Para sahabat bertanya, “Apakah kita menyalatkan seorang hamba
Habasyi?”, maka turunlah ayat di atas sebagai penegasan bahwa ia (Najasyi)
adalah seorang yang beriman.25
Saat Nabi Muhammad Saw menjadi penguasa di Madinah, beliau
berpesan, “Siapa yang mengganggu umat agama samawi, maka ia telah
menggangguku.”
Lebih lanjut, Syed Ameer Ali dalam karya klasiknya, The Spirit of Islam:
A History of The Evolution and Ideals of Islam (1932), memaparkan sebuah
dokumen maha penting menyangkut hubungan Nabi saw dengan gereja St.
Catherine, sebuah gereja yang terletak dekat gunung Sinai. Saat itu, Nabi dan para
biarawan serta tokoh agama Kristen membuat sebuah piagam (charter) yang
ditandatangani bersama dan disahkan sebagai monumen yang paling berharga
tentang toleransi beragama yang pernah ada di dunia. Pokok-pokok isi piagam itu
antara lain:
(1) Nabi memberi jaminan rasa aman kepada orang-orang Kristen dan
memberi kebebasan untuk menjalankan keyakinannya, juga
mendeklarasikan bahwa setiap kekerasan dan penyimpangan yang
dilakukan (kedua belah pihak) harus dipandang sebagai pelanggaran
terhadap ajaran Tuhan, yang berarti juga telah menodai imannya.
(2) Nabi dan para pengikutnya (umat Islam) melindungi orang-orang Kristen,
membentengi gereja mereka juga mengamankan kediaman para pendeta
dan menjaga mereka dari segala gangguan.
(3) Kaum Kristiani tidak diwajibkan membayar pajak yang diberlakukan
secara tidak adil. Tidak boleh ada uskup yang diusir dari keuskupan; tidak
boleh ada orang Kristen yang dipaksa keluar dari agamanya; tidak boleh
25
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur`an: Surat al-Baqarah-an-Nas,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), h. 116
22

ada rahib atau biarawan yang diusir dari lembaga kerahiban; tidak boleh
ada orang Kristen yang dilarang untuk berziarah (di tempat-tempat yang
dianggap suci di situ) atau menjadikan mereka tawanan di tempat ziarah.
(4) (juga) Tidak dibolehkan meruntuhkan gereja atau rumah-rumah orang
Kristen untuk dibangun diatasnya rumah bagi kaum Muslim.
(5) Wanita Kristen yang menikah dengan laki-laki Muslim dibiarkan
menikmati keyakinan agamanya, dan tidak boleh diganggu atau dipaksa
(hingga ia jengkel) untuk masuk Islam.
(6) Jika orang-orang Kristen meminta bantuan untuk memperbaiki gereja atau
rumah mereka, maka kaum Muslim wajib membantu mereka dengan tanpa
perhitungan; dengan tidak melihat agama atau keyakinan mereka namun
semata-semata karena mereka memang membutuhkan uluran tangan.26
Dari beberapa butir pokok piagam yang disepakati bersama itu, tampak
kaum Kristen banyak menikmati keuntungan, terutama secara psikis, untuk
menikmati hidup secara nyaman dan bebas menjalankan keyakinan agamanya.
Dan Nabi saw sendiri tidak merasa dirugikan atau kalah dengan poin-poin yang
telah disepakati itu. Nabi saw ingin menunjukkan bahwa Islam adalah agama
rahmat bagi semesta alam yang berkewajiban memberi kedamaian bagi
kelompok-kelompok minoritas yang hidup bersama kaum Muslim. Dengan
strategi ini dapat pula dikatakan bahwa Nabi saw-secara implisit- sesungguhnya
telah melakukan dakwah bil hikmah (arif-bijaksana) untuk menarik simpati non-
Muslim terhadap ajaran-ajaran Islam yang inklusif. Namun, menurut Ameer Ali
lebih lanjut, ada saja sekelompok kaum Muslim yang melawan Nabi dan enggan
mematuhi piagam ini serta memperlakukan kaum Kristiani dengan penuh
perhitungan.27
Agar teladan Nabi berdampak pada kehidupan keagamaan kita, ada dua
hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, kita harus mampu mensosialisasikan
semangat ajaran serta keteladanan Nabi. Toleransi dan moderasi yang beliau
ajarkan harus senantiasa menjadi acuan dan pedoman dalam ber-interaksi. Kedua,
kita semua sebagai bangsa harus mampu memahami kepekaan masing-masing

26
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: A History of The Evolution and Ideals of Islam (London:
Christophers, 1932), h. 84
27
Ibid., h.85
23

menyangkut kecintaan serta ikatan batin dengan panutannya. Umat Islam,


demikian pula umat agama lain, seyogyanya tidak terpengaruh oleh sejarah
konflik yang pernah terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri kita.

I. Epilog
Pluralisme agama adalah fenomena yang mustahil dihindari. Manusia
menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan penganutnya masing-
masing. Dalam suasana yang majemuk ini, ditambah klaim kebenaran (truth
claim) dan watak misioner dari tiap-tiap agama, membuat umat beragama menjadi
kelompok sosial yang amat rentan dengan konflik. Dalam kenyataan Indonesia,
perpecahan dan konflik yang berlatar belakang keagamaan sangat mudah terjadi,
dan kadang hanya karena persoalan yang amat sepele. Bahkan hampir setiap tahun
terjadi ketegangan dan kerusuhan yang brutal akibat sentimen antar dan intra umat
beragama. Kondisi ini tentu sangat merugikan jiwa dan raga serta bangunan kultur
hubungan antar umat beragama, yang ujungnya juga dapat mengancam integritas
bangsa.
Pandangan-pandangan Islam yang inklusif mengenai pluralisme agama tak
bisa dihindari lagi-apalagi ditolak-untuk segera dibumikan dalam tiap sanubari
dan langkah umat Islam dan umat beragama umumnya. Sejarah konflik antar umat
beragama di manapun, yang telah membuahkan kesalahpahaman, rasa curiga, dan
bahkan permusuhan mesti dibuang jauh-jauh dari bumi kita. Para pemeluk agama
benar-benar dituntut untuk memperdalam, mempererat dan mewujudkan
semangat persaudaraan universal dalam kehidupan yang konkret. Wa Allâh A’lam
bi al-Shawâb.

Anda mungkin juga menyukai