Anda di halaman 1dari 7

TEOLOGI

PAUL F
AGAMA-AGAMA
KNITTER

YUSUF MAULANA
53050180028
Paul F. Knitter lahir pada 25 Februari 1939 di Chicago. Pada usianya
yang ke-13, ia mulai menjalani kehidupan kependetaan Katolik. Pada
tahun 1958 setelah empat tahun belajar di seminari ditambah dua
tahun novisit, Knitter resmi menjadi anggota “Divine Word

A. Riwayat Missionaries” (SDV, singkatan dari Societas Verbi Divini) sebagai


seorang misionaris. Hal tersebut merupakan fase awal dari
kehidupannya yang dipengaruhi oleh keberadaan agama lain

Hidup terutama setelah ia mempelajari “adaptasi misioner”, yaitu proses


mencari titik persamaan agama Kristen dengan agama lain sebagai
langkah awal misi pertobatan. Setelah meraih gelar sarjana muda
filsafat dari Divine Word Seminary pada 1962, ia mulai merasakan
bahwa model Kristen yang eksklusif sebagai terang dan agama lain
sebagai kegelapan tidak sesuai dengan kenyataannya.

Knitter melanjutkan studinya di Pontifical Gregorian University, Roma, pada 1962, bertepatan dengan
diselenggarakannya Konsili Vatikan II 11 Oktober 1962. Pada 1965 Karl Rahner menjadi guru besar tamu di
Universitas Gregorian tempat Knitter menuntut ilmu. Melalui gagasan-gagasan Rahner, sikap teologis
Knitter terhadap agama lain mulai bergeser dari eksklusivisme menjadi lebih terbuka terhadap agama lain,
inklusivisme. Setelah memperoleh gelar lisensiat bidang teologi di Roma (1968), ia melanjutkan studi ke
Universitas Münster, Jerman (1972) dibawah bimbingan Karl Rahner.Pada tahun 1972 Knitter mulai
mengajar mata kuliah teologi agama-agama di Teologi Union Katolik (Catholic Theological Union), Chicago,
sebagai asisten profesor studi doktrinal.
Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agama-
agama dan teologi pembebasan yang ia sebut sebagai teologi korelasional
yang bertanggung jawab secara global. Hal ini membuat Harvey Cox
memberikan apresiasi penuh terhadap langkah Knitter dalam menyatukan
teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa keprihatinan terhadap mereka
yang menderita (Suffering Others) dan terhadap mereka yang berkeyakinan
lain (religious Others) merupakan keprihatinan bersama, keduanya saling
membutuhkan dan akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya
ditiadakan.
Hal tersebut mempengaruhi tulisannya, Toward a Liberation Theology of
Religions, dalam buku yang ditulis Knitter bersama John Hick dan beberapa
teolog untuk melihat sejauh mana pengaruh pluralisme di antara para teolog
Kristen dengan judul The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic
Theology of Religions (1987).
Pada 1991 Knitter mengunjungi India. Di sana ia menemukan bahwa dialog dan pembebasan harus
merupakan dua segi dariagenda yang sama. Hal ini telah berlangsung di India, diantara umat Hindu,
Wedan
Kristen Create
MuslimQuality Professional
yang bersatu memerangi penindasan selama berabad-abad. Disamping hal tersebut, ia
jugaPPT Presentation
belajar bahwa penderitan bukan hanya meliputi manusia, tetapi semua makhluk lainnya termasuk
bumi. Senada dengan Hans Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi suatu dialog harus
dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata lain, dialog antar-agama harus
memasukkan masalah etis di balik penderitaan manusia dan bumi sebagai agenda yang paling mendesak.
Pandangan Paul F. Knitter
Terhadap Agama-Agama Lain
TEOLOGI Perspektif teologi agama-agama Paul F. Knitter,
teologi korelasional dan bertanggung jawab secara
KORELASIONAL global, menolak klaim-klaim kebenaran dan
keselamatanyang hanya dimiliki satu agama
DAN TANGGUNG (eksklusivisme), klaim bahwa Kristus merupakan kata
akhir dari semua agama (inklusivisme), bahkan
JAWAB GLOBAL melampaui pluralisme yang menyatakan banyak
agama yang benar karena agama-agama merupakan
manifestasi Tuhan di dunia dalam berbagai tingkat
cakrawala pikiran manusia sehingga semua agama
relatif.

Bagi Knitter biarlah agama-agama tetap berbeda tanpa melepaskan keunikan masing-
masing. Namun tetap menerima dan menghargai kebenaran dalam setiap agama.
Walaupun ia sangat berhati-hati dengan pengakuan adanya nilai kebenaran dalam suatu
agama. Hal ini dilakukannya untuk menghindari penyalahgunaan agama demi
kepentingan suatu kelompok tertentu.
Cara pandang Knitter dengan penekanan terhadap diversitas agama-agama, tapi juga mengkritik
absolusitas dan normativitas Kristus yang telah mapan dalam doktrin Kristen,untuk
menghilangkaneksklusivisme dan inklusivisme dalam Kristen. Namun tetap mempertahankan keunikan
Kristus sebagai sesuatu yang unik dalam agama Kristen, keunikan Kristus sebagai sesuatu yang unik
dalam agama Kristen. keunikan yang dimaksud Knitter dalam setiap agama adalah sesuatu yang
membuat agama tersebut spesial, khusus dan berbeda dari agama-agama lain ̶seperti Kristus dan
Kerajaan Allah dalam Kristen, Gaotama dan Sunyata dalam Buddha ̶ bukan yang menyebabkan suatu
agama menjadi absolut, normatif dan final.

Dengan demikian, pandangan Knitter terhadap agama-agama lain terbuka terhadap kemungkinan
bahwa, secara filosofis, ada banyak agama yang benar dan menyelamatkan, karena merupakan
manifestsi dari Tuhan yang satu, dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana
Allah menyentuh dan merubah dunia, namun tetap menekankan diversitas agama-agama. Selain
mengakui eksistensi agama lain, umat Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara
Kristen dan agama lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini doktrin
agama mereka masing-masing namun tetap terbuka terhadap perbedaan tersebut. Selanjutnya
untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui dialog yang korelasional, dimana
setiap agama memiliki hak yang sama dalam berdialog, tidak ada yang mendominasi agama lain.
Dialog Korelasional
dan Tanggung Jawab
Global
Ada dua kata kunci penting di sini. Pertama, kata korelasional, yang berarti hubungan dialogis dua arah
dan dilakukan dalam suatu komunitas yang egaliter dan bukan hierarkis. Tidak boleh ada pihak yang
lebih unggul (kelemahan dasar eksklusivisme), apalagi yang menjadi "norma" (kelemahan dasar
inklusivisme yang bersandar pada Kristus sebagai norma).
Dengan demikian, dialog semacam ini berupaya melaksanakan suatu dialog yang benar-benar
korelasioanal antar agama, suatu dialog di mana semua pihak bisasaling mendengar dan menantang,
suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh timbal-balik di antara komunitas-komunitas agama di
dunia.
Kedua, tanggung jawab global. Bagi Knitter, tanggung jawab global harus merupakan konteks, basis, titik
berangkat, atau sasaran semua praktek dialog antar-agama. Melaksanakan suatu dialog antar-agama
yang soteriosentris yang memiliki tanggungjawab global sebagai konteksnya, titik berangkatnya, dan
tujuannya adalah mengusulkan suatu dialog di mana praksis memainkan peranan penting. Mitra dialog
tidak boleh hanya berbicara tentang tradisi religius mereka masing-masing tetapi juga tentang
bagaimana tradisi itu bisa dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer kita.
Dialog selalu merupakan langkah kedua, setelah praksis pembebasan, sepertiapa yang
dikatakan oleh para teolog pembebasan (teologi selalu merupakan langkah kedua).
Melihat pembahasan sebelumnya, Knitter sangat menekankan praksis dalam teologi
agama-agama, dan ini berdampak pada dialog yang juga harus didasarkan pada praksis.
Di dalam metode yang liberatif atau yang bertanggungjawab secara global, roda
hermeneutik berputar dengan empat jari-jari yang terus-menerus saling mengajak dan
membantu. Semua kata yang menggambarkan empat jari-jari ini mulai dengan awalan
atau preposisi cum (“with”) yang diinggriskan: com-passion (belas kasih), conversion
(pertaubatan), col-laboration, (kolaborasi), com-prehension (pemahaman).
Dengan demikian, keempat komponen tersebut ̶ compassion, conversion, collaboration,
comprehension ̶ dapat menghasilkan penegakan keadilan, dan tidak hanya itu, komunikasi
dan saling pengertian di antara berbagai agama akan semakin terjalin dengan baik.
Menurut Knitter, agama-agama di dunia ini harus bersekutu (bersatu), bukan untuk
membentuk suatu agama tunggal (absolut), tetapi suatu komunitas dialogis dari berbagai
komunitas.

Anda mungkin juga menyukai