Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENJAJAHAN JEPANG DI INDONESIA

A. Latar Belakang Jepang Bersifat Imperalis


Kurun waktu abad 15 hingga pertengahan abad 18 merupakan era penjelajahan
samudra atau the age of discovery. Bangsa Eropa melakukan aktifitas pelayaran,
perdagangan, hingga penjajahan ke benua lain. Mereka terdorong untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku dan daerah pemasaran industri, juga semangat
menyebar luaskan agama. Secara umum kegiataan tersebut dilatar belakangi oleh
semangat 3G (Gold, Glory, Gospel). Gold adalah upaya untuk memperoleh hasil
perdagangan, sumber daya yang besar dan menguntungkan. Glory dilakukan
dengan mencari koloni seluas-luasnya untuk kejayaan, kekuasaan, dan
mengharumkan bangsa. Gospel merupakan semangat menyebarluaskan Nasrani.
Jepang sebagai negara di kawasan Asia juga menjadi salah satu tujuan
kedatangan Spanyol, Portugis, Belanda dan lain lain. Mereka menjadikan Jepang
sebagai daerah tujuan perdagangan dan penyebaran Agama Kristen. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran apabila nantinya mereka akan melakukan interfensi
terhadap pemerintahan.
Sementara itu kondisi politik di dalam negeri terjadi persaingan antara
Shogun dan Daimyo. Para Daimyo sebagai tuan tanah atau penguasa dan
pengendali perekonomian mendapatkan kekuntungan yang besar dari kegiatan
perdagangan dengan bangsa-bangsa Eropa. Kondisi ini mengkhawtirkan Shogun,
karena sewaktu-waktu bisa mengancam kekuasaannya. Berdasarkan pertimbangan
tersebut Shogun Tokugawa pada tahun 1639 M melakukan politik Sakoku, yaitu
politik mengisolasi diri dari dunia luar.
Pada tanggal 31 Maret 1854 Ekspedisi Amerika Serikat dibawah pimpinan
Comodor Matthew C Perry berhasil mengalahkan Jepang dan memaksa untuk
menandatangani Perjajian Kanagawa. Melalui perjanjian itu, salah satunya
Jepang harus membuka semua pelabuhan bagi kapal-kapal asing yang akan
berdagang, dan harus menjamin kapal-kapal Amerika Serikat yang karam. Jepang
harus mendirikan kedutaan Amerika Serikat secara permanen.
2

Dibukanya semua pelabuhan ternyata berdampak cukup besar. Timbul


kesadaran nasional masyarakat bahwa ternyata Jepang jauh tertinggal dari bangsa-
bangsa pendatang. Masyarakat menjadi tidak percaya lagi pada Shogun, sehingga
muncul gerakan-gerakan anti Shogun dan menghendaki kekuasaan dikembalikan
pada Tenno / Kaisar. Rakyat menghendaki agar Jepang menjadi negara yang maju
setara dengan bangsa-bangsa Eropa.
Tenno Meiji kemudian melakukan kebijakan Restorasi Jepang, berupa
revolusi yang mengakhiri pemerintahan keshogunan dan mengembalikan
kekuasaan pada Tenno. Kebijakan Tenno Meiji dilanjutkan dengan melakukan
modernisasi Jepang.
Misi modernisasi Jepang diserahkan kepada Iwakura Shomomi yang
ditunjuk untuk merancang dan membentuk tiem. Mereka lalu melakukan
presentasi dan sosialisasi program tersebut ke berbagai pihak. Dijalin hubungan
diplomatik dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang lain. Inilah
yang kemudian dikenal dengan nama Misi Shomomi, dengan tujuan :
1. Mempresentasikan Restorasi Meiji ke negara-negara barat.
2. Melakuakan negosiasi ulang dengan Amerika Serikat tentang perjanjian
yang dianggap memberatkan Jepang.
3. Mengumpulkan bernagai macam informasi sosial, budaya, ekonomi,
pendidikan, militer dsb dari negara-negara barat yang berguna bagi
modernisasi Jepang.
Keberhasilan misi tersebut dilanjutkan dengan melakukan modernisasi
diberbagai bidang, yaitu : militer, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan politik.
1. Bidang Militer :
a. Wajib militer bagi penduduk laki-laki bermur 21 tahun selama 4 tahun.
b. Membentuk tentara nasional.
c. Membeli peralatan dan perlengkapan militer dari bangsa-bangsa barat.
2. Bidang Pendidikan :
a. Mengadakan wajib belajar untuk usia 6-14 tahun.
b. Memberi beasiswa bagi para pelajar yang mau menempuh pendidikan
di negara-negara barat.
3

c. Mendatangkan para Guru dan Konsultan pendidikan dari barat.


d. Menterjemahkan dan menyalin buku-buku pengetahuan dari barat ke
dalam bahasa dan huruf Jepang.
3. Bidang Ekonomi :
a. Membangun industri / pabrik-pabrik yang bisa mengolah sumber daya
alam Jepang.
b. Membangun sarana prasarana transportasi dan komunikasi.
c. Membangun pelabuhan-pelabuhan secara modern.
d. Mendirikan bank-bank untuk membantu permodalan.
4. Bidang Sosial Budaya :
a. Mengganti sistem feodalisme.
b. Mengganti sistem sosial dalam sistem kemasyarakatan Jepang.
5. Bidang Hukum :
a. Merubah hukum dan konstitusi di Jepang agar sesuai dengan yang
berlaku di negara-negara barat.
b. Menghapus kekuasaan feodal Daimyo/Tuan tanah menjadi sentralisasi,
mereka dijadikan pegawai negeri yang dibayar oleh pemerintah.
Keberhasilan restorasi Jepang dikemudian hari justru menimbulkan
permaslahan baru yang harus di selesaiakan oleh Jepang moderen, yaitu :
1. Munculnya kaum elite baru uaitu Gunbatsu dan Zeibatsu
2. Permaslahan sosial dan ledakan penduduk
3. Semanagat Hakko I ciu, kesatuan keluarga umat manusia, umat manusia
berasal dari satu keluarga.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong dan melegitimasi Jepang untuk muncul
sebagai negara Imperalis dan Kolonialis baru.
1. Perang Sino Jepang 1 1894-1895
2. Perang Rusia Jepang 1904-1905
3. Membentuk Pakta Tipartit/ Blok poros/ Axis
4. Menginvasi jajahan Prancis di Indocina 1941
4

Kehidupan bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya banyak diwarnai oleh


berbagai pengaruh dari luar. Di antara pengaruh tersebut, agama yang paling
terasa hingga saat ini. Sekitar 99 % bangsa Indonesia adalah umat beragama, dan
sebagian besar di antaranya adalah penganut Islam. Selain Islam beberapa agama
seperti Hindu, Budha, Kristen, Khonghuchu dan beberapa aliran kepercayaan juga
hidup dan berkembang di Indonesia, bahkan kemudian semua agama serta aliran
kepercayaan itu keberadaannya dijamin dalam konstitusi negara pasal 29 UUD
1945.1
Demikian juga dengan Agama Islam, perkembangannya sangat
mempengaruhi dan mewarnai perilaku kehidupan bangsa Indonesia. Agama Islam
dan perilaku keagamaan pemeluk yang menyertainya berupa Kebudayaan Islam
tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika masyarakat di Indonesia.
Agama dan kebudayaan Islam ternyata juga mampu menjadi Agama mayoritas

Alamsjah Ratu Prawiranegara. Pembinaan Kehidupan Beragama Di


1

Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia (Jakarta: PT. Karya Unipres,


1981), hlm. 25-26.
5

masyarakat Indonesia, serta bisa berakulturasi dengan unsur-unsur kebudayaan


yang sudah ada sebelumnya, sehinga menjadi salah satu alat pemersatu bangsa.2
Kondisi ini bermula dari kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia
dalam melaksanakan aktivitas pelayaran dan perdagangan. Sebagai penduduk di
negara maritim, dengan letak geografis yang sangat strategis, yaitu di jalur
pelayaran yang menghubungkan antara dunia barat dan timur, menjadikan bangsa
Indonesia (Nusantara) banyak mendapat pengaruh dari luar.
Ditemukannya jalur laut yang menghubungkan antara Romawi, Cina, dan
India, serta adanya pola angin musim yang selalu berubah dalam setiap enam
bulan, menyebabkan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai.
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya kegiatan pelayaran dan
perdagangan di daerah-daerah yang dilalui, termasuk daerah Indonesia yang selalu
dilewati aktivitas tersebut.
Ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan di Nusantara yang
melibatkan para pedagang dari berbagai negara, juga disebabkan adanya hasil
bumi yang melimpah sebagai komoditas perdagangan. Selain itu sikap bangsa
Indonesia yang ramah, mudah serta suka bergaul dengan bangsa lain, juga ikut
melengkapi ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan di Nusantara.3
Melalui hubungan pelayaran dan perniagaan inilah, pengaruh Agama dan
Kebudayaan Islam masuk serta berkembang di Indonesia. Adapun mengenai
kapan waktu kedatangan Islam, hingga kini masih menjadi bahasan diskusi dan
perdebatan panjang di antara para ahli.
Sebagian ahli menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad
ke 7 sampai dengan abad ke 8 Masehi. Hal ini didasarkan pada berita dari Cina
zaman Dinasti T’ang yang menyebutkan adanya orang-orang Ta Shih (Arab dan
Persia) yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Ho Ling di bawah
pemerintahan Ratu Sima. Sebagian ahli yang lain menyatakan bahwa masuknya

Ibnu Suaedhi dan Rashad Herman. Atlas Sejarah Penyebaran Agama


2

Islam Di Indonesia (Surabaya: Karya Pembina Swajaya, 2007), hlm. 10-11.


Sri Mulyati. Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di
3

Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 5-8.


6

Islam ke Indonesia sekitar abad ke 13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada masa
runtuhnya Dinasti Abassiah di Bagdad (1258), dan juga didasarkan pada berita
dari Marco Polo (1292). Berita dari Ibnu Batuttah (abad ke 14) dan Batu Nisan
Sultan Malik al Saleh (1292) di Samudra Pasai. Pendapat tersebut juga diperkuat
dengan situasi pada saat itu yang merupakan masa penyebaran Tasawuf
(Thariqoh), sedangkan para Ulama pengembang Islam di Indonesia kebanyakan
adalah para penganut Thariqoh. Mereka datang dari berbagai daerah, ada yang
berasal dari Persia, India, dan Arab.4
Secara umum proses Islamisasi yang dilakukan oleh para Mubaligh dan
Kaum Sufi di Indonesia berjalan damai. Mereka berdakwah melalui saluran
perdagangan, perkawinan, pendidikan, dakwah, kesenian, dan tasawuf (thariqoh).
Dari berbagai saluran proses Islamisasi yang ada, keberadaan tasawuf yang secara
relatif diwujudkan dalam bentuk Thariqoh, merupakan media Islamisasi yang
sangat efektif pada waktu itu.
Abad 13 ketika para ahli tasawuf datang ke Indonesia dan saat masyarakat
Indonesia mulai menganut Agama Islam, inilah masa-masa penting di mana
perkembangan dan penyebaran tasawuf ke berbagai penjuru dunia sedang terjadi,
sehingga corak pemikiran Islam, termasuk yang terjadi di Indonesia saat itu
banyak diwarnai oleh perkembangan tasawuf, yaitu suatu ajaran atau cara untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ajaran ini dalam pelaksanaanya
dikemas dalam bentuk Thariqoh, yaitu madzhab, aliran, sistem, atau organisasi
yang digunakan sebagai media dalam perjalanan seseorang menuju Allah SWT
dengan cara mensucikan diri.
Melalui kegiatan Thariqoh inilah penduduk di Nusantara, saat itu mudah
untuk memeluk Agama Islam, apalagi para Ulama pada generasi pertama banyak
yang mengikuti Thariqoh, seperti Sunan Bonang, Syaikh Siti Jenar, Sunan

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan


4

Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indoesia (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), hlm. 1-51.
7

Panggung, Hamzah Fansyuri, Syamsudin as Sumartani, Nur al Din al Raniri,


Abdul al Rauf.5
Pesatnya perkembangan Thariqoh di Indonesia sebagai sarana Islamisasi
dan jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, kemunculannya
memang sebagai trend dan pola hidup sufistik dalam beragama. Perhatian
masyarakat yang cukup besar terhadap Tasawuf atau Thariqoh menandakan
bahwa Thariqoh sangat dipercaya baik dari segi ajaran maupun kemu’tabarohan.
Adapun Thariqoh yang ada di Indonesia dan tergolong Mu’tabaroh,
artinya sanad Thariqoh muttasil (tersambung) sampai kepada Rosululloh SAW
adalah: 1. Abbasiyyah, 2. Ahmadiyah, 3. Akbariyyah, 4. Alawiyah, 5.
Bairamiyyah, 6. Bakdasyiyyah, 7. Bakriyyah, 8. Bayumiyyah, 9. Buhuriyah, 10.
Dasuqiyyah, 11. Ghobiyyah, 12. Ghozaliyyah, 13. Haddadiyyah, 14.
Hamzawiyah, 15. Idrisiyyah, 16. Idusiyyah, 17. Isawiyyah, 18. Jalwatiyyah, 19.
Jusytiyyah, 20. Kalsyaniyyah, 21. Utsmaniyyah, 22. Khadiriyyah, 23.
Khalwaiyyah, 24. Khalidiyyah wa Naqsabandiyyah, 25. Qadariyah wa
Naqsabandiyah, 26. Matbuliyyah, 27. Malamiyyah, 28. Maulawiyyah, 29.
Kubrawiyyah, 30. Rifa’iyyah, 31. Rumiyyah, 32. Sa’diyyah, 33. Samaniyyah, 34.
Sunbuliyah, 35. Sa’baniyyah, 36. Syadzilliyah, 37. Syathariyyah, 38.
Yusrowiyyah, 39. Tijaniyah, 40. Umariyyah, 41. Usyaqiyyah, 42. Uwaisiyyah.
Sejumlah Thariqoh tersebut keberadannya adalah sebagai wadah dalam
pelaksanaan amaliyah Agama.6
Di antara Thariqoh yang ada, Thariqoh At-Tijaniyah merupakan suatu
Thariqoh yang mengalami perkembangan cukup pesat, salah satunya adalah di
daerah Jatibarang Kabupaten Brebes. Di daerah ini menurut keterangan G.H
Pijber dalam bukunya Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Tentang Islam di
Indonesia Abad ke 20, yang disunting oleh Sri Mulyati dalam penelitiannya
tentang Thariqoh – Thariqoh Muktabarah di Indonesia menyebutkan bahwa
Brebes terutama di Jatibarang pada sekitar tahun 1928 sudah menjadi salah satu

Sri Mulyati. Op. Cit, hlm. 7- 8.


5

A.Aziz Masyuri, Permasalahan Thariqoh Hasil Kesepakatan Muktamar


6

Dan Musyaawarah Besar Jam’iyah Ahlith Thariqoh Al-Mu’tabarah Nahdlatul


Ulama (1957-2005) (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 21-23.
8

pusat kajian dan perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di Pulau Jawa selain


daerah Cirebon, Pekalongan, Tasikmalaya, dan Ciamis.7
Jatibarang sebagai salah satu daerah kecamatan di Kabupaten Brebes,
letaknya kurang lebih 11 km di sebelah selatan kota Brebes. Penduduk di daerah
ini mayoritas beragama Islam. Mereka dalam pelaksanaan amaliyah
keagamaannya, kebanyakan menganut Thariqoh At Tijaniyah, yaitu suatu ajaran
keislaman yang sudah lama diajarakan oleh para Ulama di Jatibarang. Ajaran dan
metode-metode amaliah Thariqoh At Tijaniyah banyak diikuti oleh masyarakat.8
Kegiatan Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang memang sangat ramai
diminati oleh masyarakat. Mereka secara rutin belajar tentang Agama dan segala
bentuk amaliyahnya dengan bimbingan para Guru Thariqoh (Muqodam).
Beberapa kegiatan yang biasa diselengarakan umumnya berupa pengajian-
pengajian majelis ta’lim, pendidikan di madrasah-madrasah, dan halaqoh. Lokasi
yang digunakan sebagai tempat kegiatan antara lain di Masjid Jami Al Ittihad
Desa Jatibarang Lor, Masjid Darussalam Desa Jatibarang Kidul, Masjid
Baituttuqo Desa Kertasinduyasa, Masjid Al Azhar Desa Janegara, Mushola Baitu
Sa’adah Jatibarang Lor, Pondok Pesantren Darussalam, Zawiyah At Tijaniyah
Desa Kemiriamba, dan masih banyak lagi tempat-tempat lain yang tersebar di
desa-desa atau kampung-kampung di Kecamatan Jatibarang. Biasanya mereka
menempati Masjid, Mushola, Gedung Madrasah, bahkan rumah-rumah penduduk
anggota Jam’iyah Thariqoh At Tijaniyah yang dengan ikhlas hati meminta agar
rumahnya ditempati untuk kegiatan keagamaan tersebut.9
Padatnya kegiatan Thariqoh At Tijaniyah yang diselenggarakan di
beberapa tempat di bawah bimbingan para Muqodam At Tijani, sehingga hampir
setiap hari di Jatibarang bisa dijumpai adanya aktivitas pengajian Thariqoh. Oleh

7
Sri Mulyati. Op. Cit, hlm. 223-225.
8
Profil Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes (Arsip Kantor Kecamatan
Jatibarang, 2005).
9

Wawancara dengan Syaihk Soleh Muhamad Basalamah (Pengasuh


?

Pondok Pesantren Darusalam, Muqodam At Tijaniyah Jatibarang), 8 Desember


2014.
9

karena itu, wajarlah kalau daerah Jatibarang kemudian dikenal sebagai salah satu
pusat kajian Thariqoh At Tijaniyah. Bahkan dalam perkembangannya berkat
dukungan dari semua pihak pada tahun 2008, bersamaan dengan peresmian
pemugaran dan pembangunan Masjid Al Itihad yang merupakan masjid terbesar
di Kabupaten Brebes, di Jatibarang diselenggarakan Halaqoh (pertemuan) Alim
Ulama Internasional yang dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Bapak
Muhammad Yusuf Kalla.10
Apabila menelusuri dan mengkaji kembali awal mula perkembangan
Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang, maka keberadaannya tidak lepas dari
peranserta tokoh KH. Abdul Wahab Sya’roni dan Syaikh Ali bin Ahmad
Basalamah. Mereka adalah Ulama kharismatik di Jatibarang yang pertama kali
merintis dan mengembangkan Thariqoh At Tijaniyah. Kedua Ulama ini dengan
dibantu oleh para muridnya selalu mengajarkan risalah keagamaan melalui
kegiatan Thariqoh At Tijaniyah.
Tidak diketahui secara pasti kapan Thariqoh At Tijaniyah masuk ke daerah
Jatibarang Brebes. Akan tetapi, menurut keterangan yang beredar di kalangan para
Ulama di Jatibarang dan berdasarkan hasil kajian penelitian Sri Mulyati berkaitan
erat dengan peristiwa kunjungan Syaikh Ali bin Abdullah At Thayyib seorang
Ulama Besar dari Madinah yang sengaja datang ke Indonesia sekitar tahun 1921.
Kedatangannya untuk mengunjungi berbagai daerah di pulau Jawa guna
menyebarkan Thariqoh At Tijaniyah, hingga kemudian beliau menetap di daerah
Tasikmalaya Jawa Barat.
Di beberapa daerah yang didatanginya Syaikh Ali bin Abdullah At
Thayyib selain untuk menyebarkan Thariqoh At Tijaniyah, beliau juga selalu
menyempatkan diri untuk berkunjung ke kediaman para Ulama yang dianggap
Wara (mengerti). Beberapa Ulama yang dikunjungi dan sempat memperoleh
ijazah Thariqoh At Tijaniyah dari beliau adalah:
1. K.H. Abdul Wahab Sya’roni dari Jatibarang Brebes
2. K.H. Nur bin Idris dari Cianjur

Wawancara dengan KH. Ahmad Said, KH. Ghozin, KH. Sadhali, dan
10

KH. Sahlan (para Muqodam At Tijaniyah), 14 Desember 2014.


10

3. K.H. Ahmad Sanusi bin Abdurahim dari Sukabumi


4. K.H. Ahmad Sujai dari Gudang Tasikmalaya
5. K.H. Abbas dari Buntet Cirebon
6. K.H. Anas dari Buntet Cirebon
7. K.H. Akhyas dari Buntet Cirebon
8. K.H. Usman Domiri dari Bandung
9. K.H. Badruzzaman dari Garut
Demikian juga yang dilakukannya ketika berkunjung ke Jatibarang, beliau
bersilaturahmi ke kediaman KH. Abdul Wahab Sya’roni di desa Jatibarang Lor.
Selama berada di Jatibarang guna memperkenalkan dan mengajarkan Thariqoh At
Tijaniyah kepada masyarakat setempat, Syaikh Ali bin Abdullah at Tayyib untuk
beberapa hari menginap di salah satu tokoh masyarakat setempat yaitu di rumah
R. Wangsa yang terletak di sebelah barat kediaman KH. Abdul Wahab Sya’roni.
Berkat kunjungan tersebut KH. Abdul Wahab Sya’roni mendapatkan
talqin (pengajaran) dan ijazah Thariqoh At Tijaniyah, hingga kemudian beliau
mengamalkan dan mengajarkannya kepada para santri dan masyarakat Jatibarang.
Pengajaran Thariqoh beliau lakukan secara rutin melalui pengajian yang tiap kali
diselenggarakan di Mushola Baitu Sa’adah maupun pengajian keliling.11
Adapun Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah yang juga seorang ulama
kharismatik di Jatibarang, mengambil sanad Thariqoh At Tijaniyah langsung dari
Syaikh Ali bin Abdullah at Tayyib Mufti Assyafi’iyyah di Madinah. Selain itu
beliau juga mengambil dari Syaikh Muhammad Al Hafidh At Tijani Mesir, dan
dari Sayyid Alawy bin Abbas Al Maliki dari Makkah Al Mukarromah serta dari
berbagai Masyayikh.
Sekembalinya ke Indonesia yaitu di Jatibarang, Syaikh Ali Basalamah
mengamalkan segala ilmu yang diperolehnya. Pada setiap hari terutama Senin
Pon, beliau mengajarkan ilmu agama kepada para santri dan masyarakat
Jatibarang dengan cara berthariqoh. Di Mushola dan rumahnya Dukuh Manaran

Wawancara dengan KH. Ahmad Said, KH. Ghozin, KH. Sadhali, dan
11

KH. Sahlan (para Muqodam At Tijaniyah), 14 Desember 2014.


11

Jatibarang Lor setiap hari selalu dikunjungi oleh masyarakat untuk belajar ilmu
agama dan mendapatkan nasehat-nasehatnya.12
Sekilas dari keterangan tersebut, Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang
ternyata sudah mengalami perkembangan yang cukup lama. Thariqoh At
Tijaniyah sudah menjadi bagian dan mewarnai kehidupan masyarakat Jatibarang.
Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat menelusuri lebih jauh
bagaimana perkembangan Thariqoh At-Tijaniyah, di Jatibarang Brebes, sehingga
hasilnya bisa bermanfaat bagi masyarakat Brebes, khususnya Jam’iyah Thariqoh
At Tijaniyah Jatibarang dan juga untuk memperkaya khasanah sejarah lokal di
Kabupaten Brebes.
Bertitik tolak dari itu, penelitian ini akan mengkaji beberapa permasalahan
yaitu :
1. Apa yang dimasud dengan Thariqoh At Tijaniyah?
2. Bagaimana proses perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang Brebes?
3. Bagaimana peranan KH. Abdul Wahab Sya’roni dan Syaikh Ali bin Ahmad
Basalamah dalam perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang Brebes?

B. Ruang Lingkup
Suatu kegiatan penelitian termasuk pada penelitian sejarah perlu adanya
pembatasan ruang lingkup. Hal ini diperlukan untuk menentukan langkah-langkah
penelitian agar terarah dan fokus. Pembatasan ruang lingkup dalam penelitian
sejarah menjadikan penelitian lebih mudah untuk dilakukan secara empiris,
metodologis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ruang lingkup
penelitian ini mencakup ruang lingkup temporal, ruang lingkup spasial dan ruang
lingkup keilmuan.
Ruang Lingkup Temporal
Ruang Lingkup Temporal adalah batasan waktu yang dipilih dalam penelitian
sejarah. Pada penelitian ini, berusaha untuk mengungkap peranan KH. Abdul

Wawancara dengan Syaihk Soleh Muhamad Basalamah (Pengasuh


12

Pondok Pesantren Darusalam, Muqodam At Tijaniyah Jatibarang), 8 Desember


2014.
12

Wahab Sya’roni dan Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah sebagai peletak dasar
perkembangan Thariqoh At-Tijaniyah di Jatibarang Brebes. Penggunaan kurun
waktu tahun 1921–2005 karena pada masa ini sangat penting bagi keberadaan
Thariqoh At Tijaniyah terutama di Jatibarang Brebes. Berdasarkan laporan G.H.
Pijper yang dikutip oleh Sri Mulyati di dalam bukunya Mengenal dan Memahami
Thariqoh - Thariqoh Muktabarah di Indonesia, dapat diketahui bahwa proses
masuknya Thariqoh At Tijaniyah dikaitkan dengan kehadiran Syaikh Ali bin
Abdullah at Tayyib dari Madinah ke beberapa tempat di Pulau Jawa di antaranya
Jatibarang Brebes, maka Thariqoh At Tijaniyah diperkirakan masuk sekitar awal
abad ke 20 (1921-1928 M).
Pijper juga menyampaikan sebelum tahun 1928 Thariqoh At Tijaniyah
belum mempunyai pengikut di Pulau Jawa. Cirebon tepatnya di Pesantren Buntet
Desa Mertapada Kulon, merupakan daerah pertama kali diketahui adanya gerakan
Thariqoh At Tijaniyah. Pada bulan maret 1928 pemerintah kolonial Belanda
mendapat laporan bahwa ada gerakan keagamaan berupa Thariqoh baru yang
dibawa oleh Guru Agama (Kyai). Gerakan ini dikhawatirkan akan merekrut
anggota yang cukup besar, karena sebelumnya Thariqoh ini belum pernah populer
dimata pemerintah. Namun demikian, walaupun baru diketahui pemerintah tahun
1928, tetapi pengajaran Thariqoh At Tijaniyah sebenarnya sudah dimulai sejak
beberapa tahun sebelumnya.
Dengan menggunakan sistem pengkaderan kepada para santri, dari Buntet
Cirebon Thariqoh At Tijaniyah kemudian menyebar secara luas ke berbagai
daerah di Pulau Jawa. Penyebarannya melalui murid – murid dari Pesantren
Buntet ini. Diketahui pula selain dari Cirebon, penyebaran Thariqoh At Tijaniyah
juga berasal dari Brebes (Jatibarang), Tasikmalaya, dan Ciamis. Sejak tahun 1928
di luar Cirebon telah dikenal pusat-pusat penyebaran Thariqoh At Thijaniyah,
yaitu di Brebes (Jatibarang), Pekalongan, Tasikmalaya, dan Ciamis.13
Perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang Brebes mencapai
puncaknya pada tahun 2005 ketika Jatibarang dipercaya sebagai tempat Halaqoh
para Alim Ulama Internasional dan Idul Khotmi At Tijani yang di hadiri oleh para

13
Sri Mulyati. Op. Cit., hlm. 224-225.
13

Alim Ulama baik nasional maupun internasional. Wakil Presiden Republik


Indonesia Muhammad Yusuf Kalla dan masih masih banyak lagi kaum muslimin
yang menghadiri acara tersebut.14

Ruang Lingkup Spasial


Ruang lingkup spasial yang digunakan sebagai batasan kesatuan wilayah
geografis pada penelitian ini adalah Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes.
Daerah Jatibarang merupakan salah satu pusat kajian dan perkembangan Thariqoh
At Tijaniyah. Pada suatu kesempatan Syaikh Soleh Muhammad Basalamah ketika
mengomentari kegiatan penelitian tentang Peranan KH. Abdul Wahab Sya’roni
dan Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah dalam perkembangan Thariqoh At-
Tijaniyah di Jatibarang Brebes, mengatakan bahwa Thariqoh At-Tijaniyah
mengalami perkembangaan dan persebaran yang sangat pesat. Kegiatan majelis-
majelis Thariqoh yang rutin diselenggarakan di beberapa tempat dan di rumah-
rumah penduduk secara bergiliran selalu ramai dihadiri oleh jamaah. Keadaan ini
juga terjadi di daerah-daerah pedesaan di wilayah Jatibarang. Menurut mereka, hal
ini dikarenakan Thariqoh At-Tijaniyah benar-benar membawa kedamaian,
kesejukan dan kebahagiaan bagi para pengamalnya. Mereka merasa bahwa
Thariqoh At-Tijaniyah benar - benar mengemban amanat Rahmatan lil Alamin
serta sangat mudah untuk dipelajari dan diikuti.15
Pada awalnya, Thariqoh ini di Jatibarang diperkenalkan oleh dua tokoh
Ulama kharismatik yang sangat dihormati oleh masyarakat Jatibarang, yaitu KH.
Abdul Wahab Sya’roni dan Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah. Mereka dianggap
memiliki kharisma dan sikap keteladanan, kesederhanaan, dan keluhuran budi
serta istiqomah.16 Dengan bekal ilmu agama yang tinggi, mereka mendidik dan

14
Arsip Panitia Idul Khotmi Lil Qutbil Maktum Syaihk Ahmad At Tijani,
(Jatibarang: Cetakan, 2005).
Wawancara dengan Syaihk Soleh Muhamad Basalamah (Pengasuh
15

Pondok Pesantren Darusalam, Muqodam At Tijaniyah Jatibarang), 8 Desember


2014.
Istiqomah adalah sikap teguh pendirian dan selalu kosekuen. Tim
16

Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
14

membina masyarakat Jatibarang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.


Majelis Thariqoh atau Jam’iyah Thariqoh sebagai wahana pendidikan dan
pengajaran yang mereka wariskan masih berkembang hingga saat ini dan bahkan
mampu melahirkan sarana - sarana pendidikan yang baru, baik yang besifat
formal maupun non formal.
Pada saat ini Thariqoh At-Tijaniyah berada di bawah bimbingan dan
pembinaan KH. Rosidi Malawi Sya’roni dan Syaikh Soleh Muhammad
Basalamah, yang merupakan generasi ketiga dari KH. Abdul Wahab Sya’roni dan
Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah. Pengelolaannya dibantu oleh para Guru
Thariqoh (Muqodam) yang lain, seperti K.H. Ahmad Said Basalamah, K.H.
Ghosin, K.H. Sadhali yang terus mengabdikan diri untuk melanjutkan
perjuangannya. Peran para Muqodam yang dibantu oleh para Ikhwan yaitu santri
pengikut Thariqoh, Muhibin (pencinta, simpatisan) At Tijani serta jamaah
masyarakat Jatibarang,17 juga sering kali menjadikan daerah ini dipakai sebagai
tempat kegiatan halaqah atau pertemuan para alim ulama dan kegiatan Idul
Khotmi At-Tijani, baik dalam skala nasional maupun internasional.18

Ruang Lingkup Keilmuan


Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian
sejarah sosial dengan pembahasan mengenai tokoh ulama Thariqoh dan Jam’iyah
Thariqohnya yaitu Jam’iyah Thariqoh At Tijaniyah.
Penelitian ini mendalami dan menguraikan tentang perkembangan
Thariqoh At Tijaniyah di Indonesia, terutama di daerah Jatibarang Brebes yang

Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 552.


17
Muqodam adalah sebutan untuk guru thariqoh At-Tijaniyah. Ikhwan
adalah sebutan bagi para pengikut thariqoh At-Tijaniyah yang sudah di bai’at.
Muhibin adalah para pencita, simpatisan thariqoh At-Tijaniyah yang belum di
bai’at. Blogspot. Tijani pangandaran, Jum’at 18 Januari 2003.
18
Wawancara dengan KH. Sadhali, (Muqodam At Tijaniyah) di sela-sela
acara Idul Khotmi Syaihk Ahmad At Tijani di Pondok Pesantren Darusalam
Jatibarang Kidul, 14 Desember 2014.
15

tergolong sebagai salah satu daerah pertama masuknya pengaruh Thariqoh At


Tijaniyah di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini juga mengkaji peran para
Muqodam atau Guru Thariqoh At Tijaniyah yaitu KH. Abdul Wahab Sya’roni dan
Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah dalam meletakan dasar-dasar dan membangun
serta mengembangkan Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang Brebes, hingga
menjadikan daerah ini sebagai salah satu pusat perkembangan dan kajian
Thariqoh At Tijanyah di Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunakan sejumlah pustaka yang membantu menambah dan
memperdalam pengetahuan serta pemahaman tentang subjek yang akan dikaji.
Penelitian ataupun penulisan tentang sejarah Thariqoh di Indonesia telah banyak
dilakukan oleh para ahli. Namun penelitian mengenai Thariqoh di Brebes belum
pernah dilakukan oleh para sejarawan. Oleh karena itu, pustaka-pustaka yang
ditelaah dan digunakan dalam penelitian ini diseleksi terkait dengan objek yang
diteliti dalam penelitian ini.
Buku pertama yang perlu ditinjau berjudul Antologi NU Sejarah Istilah
Amaliah Uswah, karangan dari Suleman Fadli dan Muhammad Subhan, dengan
kata pengantar oleh KH. Abdul Muchith Muzadi. Buku ini pertama kali
diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTNU Jawa Timur) 19 yang bekerja
sama dengan Khalista Surabaya pada bulan Juni tahun 2007.
Dalam karyanya Suleman Fadli dan Muhammad Subhan mengulas secara
lengkap dan detail berbagai hal yang ada pada Nahdlatul Ulama, mulai dari latar
belakang sejarah, manhaj pemikiran dan dasar amaliyah, serta tradisi hidup kaum

Lajnah adalah perangkat orgaanisasi untuk melaksanakan program yang


19

memerlukan penanganan khusus. Lajnah dibentuk sesuai kebutuhan, dan tidak


semua tingkatan mempunyai Lajnah. Berdasarkan hasil keputusan Muktamar ke
31 di Donohudan Solo pada tahun 2004, NU mempunyai dua Lajnah yaitu :
a.Lajnah Falakiyah yang bertugas mengurus masalah hisab dan rukyah, serta
pengembangan ilmu falak, b.Laajnah Ta’lif Wan Nasyr bertugas mengembangkan
penulisan, penerjemahan dan penerbitan kitab, buku serta media informasi
menurut faham Ahlussunnah Waljamaah. Soeleiman fadeli dan Muhammad
Subhan, Antalogi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah, (Surabaya: Khalista, 2012),
hlm. 72-73.
16

Nahdliyin, sampai pada para tokohnya, sehingga terasa lebih lengkap dibanding
buku keNUan yang lain. Buku ini menjadi semacam ensiklopedi Nahdlatul
Ulama.
Karya ini juga menjadi sangat menarik karena berbagai tradisi hidup yang
biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, khususnya pada kaum Nahdliyin
berusaha dijelaskan secara rinci. Kegiatan Thariqoh sebagai amaliyah keagamaan
yang sudah mentradisi dijelaskan secara lugas. Begitu juga dijelaskan tentang
pembacaaan Manaqib, yaitu semacam pembacaan kitab yang memuat sejarah
Syaikh pendiri Thariqoh, sifat-sifat baik, etika dan moral yang menyertainya
secara gamblang.20
Adapun secara umum buku ini terdiri dari dua jilid. Pada jilid I terdiri dari
empat bab, yang secara garis besar pada bab satu dan bab dua mengulas tentang
perjalanan sejarah NU dan istilah-istilah dalam keorganisasian NU yang selalu
memberikan kontribusi besar kepada bangsa dan negara Indonesia. Bab tiga
membahas tentang budaya dan amaliyah yang biasa dilakukan oleh warga
Nahdliyin, termasuk di dalamnya tentang tradisi berthariqoh, sedangkan bab
empat mengulas sejarah singkat empat puluh sembilan orang tokoh Nahdlatul
Ulama.
Jilid II meliputi empat bab, di mana pada bab satu mengulas tentang sikap
dasar Nahdlatul Ulama dalam beragama dan berbangsa seperti Qanun Asasi,
Khittah, Penerimaan Asas Pancasila, Pedoman berpolitik, Metode pengambilan
hukum, Lingkungan hidup. Pada bab dua mengulas istilah-istilah dalam
organisasi. Bab tiga mengenai budaya dan amaliyah NU seperti berthariqoh,
pembacaan manaqib dan lain sebagainya, dan terahir bab empat tentang profil
tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama.
Buku kedua adalah karya Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam
di Indonesia, berisi 480 halaman dan diterbitkan oleh Kencana Prenada Media
Group Jakarta pada bulan Januari tahun 2013.

20
Soeleman Fadeli dan Muhammad Subhan, Op Cit, hlm. 131-132.
17

Secara keseluruhaan buku ini terdiri dari lima bab. Karya ini sangat
menarik karena mengkaji secara komprehensif tentang proses masuknya Islam ke
Indonesia melalui jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Secara kritis juga
mengkaji sumber-sumber pemikiran, khususnya tentang bagaimana gagasan dan
pemikiran Islam yang berupa Tasawuf (Thariqoh). Gagasan atau Ide-ide dalam
amaliyah Agama yang dikemas dalam bentuk ajaran Tasawuf dan diformulasikan
dalam bentuk Thariqoh, mereka transmisikan melalui jaringan ulama yang ada,
sehingga melalui Tasawuf (Thariqoh) Islam bisa dengan mudah tersebar ke
seluruh Nusantara. Gagasan yang ditransmisikan itu mempengaruhi perjalanan
historis Islam di Nusantara. Lebih jauh ketika jaringan keilmuan itu sedikit
disinggung, kajian-kajian yang ada lebih berpusat pada aspek organisasional
jaringan ulama di Timur Tengah dengan mereka yang datang dari bagian-bagian
yang lain Dunia Muslim. Kajian tentang aspek intelektual ini sangat penting untuk
mengetahui bentuk gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan
ulama.
Pada buku ini juga membahas tentang bagaimana jaringan keilmuan
terbentuk di antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu Indonesia.
Sifat dan karakteristiknya, serta ajaran dan tendensi intelektual yang berkembang
dalam jaringan. Membahas pula peran ulama Melayu Indonesia dalam transmisi
kandungan intelektual jaringan ulama di Nusantara, dan modusnya serta dampak
lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara. Oleh
karena itu buku ini sangat membantu dalam penelitian, terutama untuk
mengungkap bagaimana proses masuknya Thariqoh At Tijaniyah Indonesia,
terutama ke daerah Jatibarang Brebes.
Buku ketiga adalah Jejak Sufi Membangun Moral Berbasis Spiritual,
disusun oleh Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 RADEN (Refleksi Anak Muda
Pesantren) Madrasah Hidayatul Mubtadi-en Pon.Pes Lirboyo Kediri dengan kata
pengantar oleh KH. Sahal Mahfudz dan KH. Said Aqil Siraj, berisi 297 halaman
dan diterbitkan oleh Lirboyo Press Kediri pada bulan Juni 2011. Buku ini terdiri
dari tujuh belas bab yang di dalamnya mengulas tentang Ilmu Tasawuf sebagai
inti dari Thariqoh.
18

Buku ini lebih menekankan pada aspek ilmu Tasawuf, di jelaskan bahwa
pada tataran ilmu, Tasawuf adalah suatu disiplin ilmu yang sama dengan ilmu-
ilmu yang lain, sehingga Tasawuf sangat layak untuk mendapatkan perhatian.
Sedangkan pada tataran amaliyah Tasawuf bersifat personal dan subyektif.
Penyajian karya ini menjadi menarik karena di dalamnya menguraikan
bahwa urgensi Tasawuf bukan terletak pada penguasaan ilmunya, tetapi lebih
pada amaliyahnya. Keberhasilan seseorang mempelajari Tasawuf bukan diukur
dari keluasan pengetahuan seseorang akan ilmu Tasawuf, melainkan dari sejauh
mana seseorang itu berperilaku Tasawuf.21
Dengan demikian penulis pada buku ini mengajak umat Islam agar
selayaknya menyadari tentang urgensi pendalaman ilmu tasawuf pada saat ini.
Sebuah pengetahuan yang mengenalkan trilogi, Syariah, Thariqoh, dan Haqiqah
dalam ajarannya.
Buku keempat adalah Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat
Muktabarah di Indonesia, karangan dari Sri Mulyati, berisi 415 halaman dan
diterbitkan pertama kali oleh Kencana Prenada Media Group Jakarta pada bulan
Desember tahun 2004. Secara umum buku ini menghadirkan segala apa yang
perlu diketahui oleh mereka yang tertarik memasuki dunia Thariqoh yang
merupakan sarana pendahulu mendalami Tasawuf.
Buku ini bersifat rangkuman membahas tentang Thariqoh mulai dari
sejarah, konsep dasar, dan silsilah tiap Thariqoh, termasuk di dalamnya Thariqoh
At Tijaniyah. Kajian yang dirangkum dalam buku ini adalah pengetahuan
komprehensif22 bagi para pencari Thariqoh, agar dari memilih, dan kemudian
memahami serta menghayati Thariqoh, sehingga Thariqoh yang dipilih benar
adanya.

Tim Penyusun Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 RADEN Releksi Anak
21

Muda Pesantren, Jejak Sufi Membangun Moral Berbasis Spiritual (Lirboyo:


Madrasah Hidayatul Mubtadi-en Pon.Pes Lirboyo Kediri, 2011), hlm. vii.
Komprehensif adalah memperlihatkan wawasan yang luas, dan lengkap.
22

Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia ( Bandung; Yrama Widya, 2007), hlm.
249.
19

Pada buku ini terdiri dari dua bab, dimana bab pertama berisi pengantar,
mengulas tentang latar belakang lahirnya Tasawuf-Thariqoh di dunia, pengertian
Thariqoh, dan proses masuknya Thoriqoh ke Indonesia. Bab dua menjelaskan
tentang berbagai Thariqoh yang berkembang di Indonesia, termasuk bagaimana
sejarah Thariqoh At-Tjaniyah di Indonesia, serta kriteria suatu Thariqoh bersifat
Mu’tabaroh atau Sanad, silsilahnya bersambung pada Rosulullah SAW atau tidak.
Buku kelima adalah Tijaniyah Menjawab Dengan Kitab Dan Sunnah,
ditulis oleh Soleh Muhammad Basalamah. Syaikh, KH dan Misbahul Anam.
Syaikh, KH, berisi 195 halaman dan diterbitkan oleh Tim Putra Bumi Tangerang
pada bulan Desember 2011. Buku ini adalah karya putra daerah, tetapi
diperuntukan sebagai pedoman pengetahuan bagi siapa saja yang akan
mempelajari dan mengetahui Thariqoh At Tijaniyah.
Secara garis besar buku ini membahas tentang berbagai persoalan tentang
Thariqoh At Tijaniyah dalam nuansa keilmuan. Tinjauan keilmuan merupakan
aspek yang diutamakan dalam buku ini. Kehadiran pustaka ini juga untuk
melengkapi karya-karya pustaka At Tijani Indonesia. Di dalamnya menjelaskan
secara mudah dan sederhana tentang Thariqoh At Tijaniyah, khususnya bagi para
pemerhati dan pencinta Thariqoh. Oleh karena itu penulis yang juga seorang
Muqodam atau Guru Thariqoh At Tijani memformulasikan buku ini agar terasa
enak dan mudah dipelajari oleh semua lapisan masyarakat. Melalui karya ini
diharapkan para pencinta Thariqoh At Tijaniyah selain bisa mempelajari dengan
mudah, juga menjadi yakin terhadap Thariqoh pilihannya. Hal ini seperti yang
diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa perbedaan di antara umatku
adalah rahmat.23
Buku keenam adalah Thariqoh Tijaniyah Mengemban Amanat Raahmatan
lil’Alamin, karya ini ditulis oleh Fauzan Adhiman Fathullah.A, berisi 236 halaman
yang diterbitkan oleh Yayasan Al-Anshari Banjarmasin pada bulan Maret 2007
dan terdiri dari tiga puluh satu bab.

Soleh Muhammad dan Misbahul Anam, Tijaniyah Menjawab Dengan


23

Kitab Dan Sunnah, (Tangerang : Putra Bumi, 2011), hlm. 7-14.


20

Pustaka ini sangat menarik dan sangat penting dalam mendukung


penelitian ini, karena di dalamnya membahas secara lengkap tentang sejarah
Islam, Thariqoh, dasar hukum dan seluk beluk tentang Thariqoh At Tijaniyah.
Khusus mengenai Thariqoh At Tijaniyah, pada buku ini berusaha mengulas secara
rinci semua permasalahan yang berkaitan dengan Thariqoh tersebut.

D. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana peranan KH. Abdul Wahab Sya’roni
dan Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah dalam perkembangan Thariqoh At
Tijaniyah di Jatibarang Brebes pada tahun 1921 - 2005. Oleh karena itu, dalam
kajiannya ingin diperjelas tentang Iman, Islam, Ihsan, Tasawuf, Thariqoh,
Ahlussunnah Wal Jamaah, dan Kyai.
Ditengah suasana modernitas dunia, dimana materi selalu dijadikan tolak
ukur keberhasilan, kesuksesan dan kebahagiaan hidup, ternyata masih
menimbulkan kebosanan, bahkan tidak sedikit ada yang membawa bencana, dan
semakin melebarnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat.
Kondisi ini menjadikan manusia mulai merasakan adanya kerinduan
terhadap nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai ilahiyah yang dapat menuntun manusia
kembali pada fitrahnya.24 Mereka mulai mencari nilai-nilai rohaniyah, dan nilai-
nilai itu hanya bisa dijumpai pada agama. Karena itu mereka banyak yang
mempelajari dan mengikuti kegiatan agama serta berusaha mengamalkannya.
Pada dasarnya agama dan kehidupan beragama yang tercermin dalam
perilaku keagamaan merupakan unsur-unsur yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan dan budaya umat manusia. Kesemuanya telah menggejala, memberikan
corak, dan bentuk tersendiri dalam setiap perilaku budaya di setiap lini kehidupan.
Semua tumbuh dan berkembang seiring dengan ketergantungan manusia terhadap
sesuatu yang gaib (supranatural) yang mereka anggap sebagai sumber kehidupan,
tempat untuk meminta pertolongan dan bantuan, perlindungan agar bisa hidup
aman, selamat, dan sejahtera.25

24
Sri Mulyati, Op. Cit, hlm. 5.
21

Di dalam agama Islam, secara konseptual (dasar) terdapat tiga hal yang
menjadi sendi utama agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiganya secara
keilmuan merupakan satu kesatuan, tetapi dalam perkembangannya para ulama
mengadakan pemisahan dan mengalami elaborasi,26 sehingga menjadi bagian-
bagian ilmu tersendiri.
Iman merupakan bentuk kata kerja amana yu’minu yaitu percaya, aman,
setia, melindungi dan menempatkan sesuatu pada tempat yang aman.27 Diuraikan
dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Iman
adalah engkau percaya kepada Allah SWT, Malaikat-malaikatNya, Kitab-
kitabNya, para RasulNya, Hari kebangkitan dan Qada (peraturan) dan Qadar
(kuasa) Nya.28 Keenam perkara tersebut disebut Rukun Iman. Setiap mukalaf yaitu
orang Islam yang sudah dewasa dan sehat akalnya wajib meyakininya. Orang
yang beriman disebut Mu’min dan sebaliknya yang mengingkari disebut kafir.
Iman merupakan kunci pokok keislaman seseorang yang dalam perwujudannya
disimbolkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (persaksian bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah).29 Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu
Tauhid atau ilmu Kalam.
Islam berasal dari kata aslama, yuslimu, islam yaitu melepaskan diri dari
segala penyakit lahir dan batin. Diartikan pula sebagai kedamaian dan keamanan,
serta ketaatan dan kepatuhan. Islam merupakan agama samawi (langit) yang
diturunkan oleh Allah SWT melalui utusannya Nabi Muhammada SAW, yang

25
Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 Refleksi Anak Muda Pesantren, Op
Cit, hlm. 3.
Elaborasi adalah penggarapan secara tekun dan cermat, Tim Penyusun
26

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op Cit, hlm. 362.


27
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 208.
28
Hadits Riwayat Ahmad nomor 16851 dari Abi Malik
Muhyiddin Abdusshomad,
29
Hujah NU Akidah-Amaliah-Tradisi,
(Surabaya; Khalista, 2012), hlm. 1-3.
22

ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci Al- Qur’an dan Sunah dalam bentuk
perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk untuk kebaikan manusia, baik
di dunia maupun di akherat.
Islam diturunkan sebagai pedoman agar manusia dapat menentukan mana
yang baik dan mana yang buruk serta yang hak dan yang batil. Sejak awal
penciptaan manusia Allah SWT telah menurunkan agama pada manusia, yang
dibawa oleh para Nabi dan Rosul pada setiap masa tertentu dan bangsa tertentu.
Hal itu terus berlangsung hingga datangnya Nabiyullah Muhammad SAW, Nabi
dan Rosul terakhir yang diutus untuk membawa agama bagi seluruh umat manusia
sepanjang zaman.30
Islam dibangun (ditegakkan) atas lima perkara, yaitu persaksian tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan sholat,
membayar zakat, melaksanakan Haji, dan siam bulan Ramadhan.31 Kelima perkara
tersebut adalah pokok-pokok ibadah atau rukun Islam. Setiap mukalaf (orang
Islam yang sudah dewasa dan berakal sehat) wajib untuk melaksanakannya.
Perhatian terhadap Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu
Fikih atau Ilmu Hukum Islam.
Ihsan berasal dari akar kata ahsana-yuhsinu-ihsan yang artinya berbuat
baik. Ihsan ada dua macam, yakni Ihsan kepada Allah dan Ihsan kepada sesama
manusia. Ihsan kepada Allah berarti keadaan seseorang yang dalam beribadah
kepada Allah SWT seakan-akan melihatNya (dengan mata hati). Jika tidak bisa
melihatNya, maka ia yakin bahwa sesungguhnya Allah SWT melihatnya.32
Dengan demikian ihsan, berarti suasana hati dan prilaku seseorang untuk
senantiasa merasa dekat dengan Tuhan, sehingga tindakannya sesuai dengan
aturan dan hukum Allah SWT. Ibadah seperti inilah yang akan dapat
mempengaruhi kepribadiannya menjadi manusia yang berakhlak mulia. Adapun

30
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Op Cit, hlm 246-247.
31
Hadits Riwayat Bukhari nomor 8 dari Ibnu Umar.
32
Hadits Riwayat Bukhari nomor 48 dari Abu Hurairah.
23

ihsan terhadap sesama manusia ialah berbuat yang lebih baik (dari semestinya)
sesuai petunjuk Islam. Perhatian dan penelitian seseorang terhadap dimensi Ihsan
akan melahirkan Ilmu Tasawuf (Thariqoh).
Namun demikian, dalam tataran pengamalan kehidupan beragama ketiga
hal itu harus diterapkan secara bersamaan, tanpa melakukan perbedaan atau
mementingkan salah satu darinya. Meninggalkan salah satunya akan
mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam beragama. Sebagai contoh orang yang
sedang beribadah sholat, dia harus mengesakan Allah disertai keyakinan hanya
Dia yang wajib disembah (Iman), dia juga harus memenuhi syarat dan rukunya
shalat (Islam), serta shalat harus dilakukan dengan khusyu dan penuh penghayatan
(Ihsan).33
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa beragama harus disertai dengan
sikap pasrah kepada Tuhan. Hal inilah yang juga menjadi inti atau aspek
terpenting dalam ajaran Tasawuf. Tasawuf atau Sufisme, yaitu tunduk, patuh dan
berserah diri kepada semua perintah Allah SWT. Melalui keimanan dan sikap
penyerahan diri secara total tersebut, jiwa akan menjadi bersih dan bisa
meningkatkan kualitas spiritual serta kerohanian untuk menciptakan sosok
manusia yang sempurna (insan kamil). Jalan seperti inilah yang dalam dunia
Tasawuf dikenal dengan istilah Thariqoh, 34 yaitu jalan, cara, metode, sistem,
madzab, aliran dan haluan. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, Thariqoh adalah
perjalanan seseorang menuju Allah SWT dengan cara mensucikan diri.
Dalam perjalanannya Thariqoh yang semula adalah metode - metode
bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju
kedekatan diri dengan Tuhan, kemudian berkembang menjadi persaudaraan kaum

33
Muhyiddin Abdusshomad, Op Cit, hlm. 1-4.
Thariqoh adalah perjalanan seorang saleh (pengikut thariqoh) menuju
34

Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh
seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Tim Penyusun
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi IslamJilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002), hlm. 66.
24

sufi (mystical broterhood), yang ditandai dengaan adanya lembaga formal seperti
zawiyah, ribath, atau khanaqah.35
Sebagai salah satu dari amaliyah keagamaan, Thariqoh sebenarnya sudah
ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW, bahkan perilaku kehidupan Beliau
dalam keseharian adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama
oleh para Sufi atau pengamal Thariqoh dari generasi ke generasi hingga sekarang
ini. Thariqoh di dalamnya berisi amalan zikir untuk membersihkan hati dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sehingga wajib bagi setiap mu’min
(muslim), setelah mengetahui aqidatul awam (lima puluh sifat wajib, mustahil,
dan jaiz bagi Allah SWT serta para Rasul-Nya) dan pekerjaan-pekerjaan harian
yang disyariatkan Allah SWT, berupa sholat (yang meliputi syarat-syarat, rukun-
rukun dan hal-hal yang membatalkannya), zakat, puasa, dan haji. Maka untuk
meningkatkan diri memasuki Thariqoh, zikir dengan cara khusus atau tertentu
agar bisa mencapai tingkat keislaman yang sempurna (Kaffah), sebagaimana
disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi.36
Berdasarkan pemaparan di atas, maka bisa digambarkan adanya
kemungkinan banyak jalan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sehingga para sufi menyatakan, “Aturuk biadadi anfasil mahluk,” yang artinya
jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, beraneka ragam dan bermacam
macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah
berhati-hati, karena dinyatakan pula, “Faminha mardudah waminha maqbulah,”
yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah,
ada yang diterima dan ada yang tidak diterima, yang dalam istilah ahli thariqoh
lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh Wa ghoiru Mu’tabaroh.
Dijelaskan, awalnya Thariqoh itu berasal dari Nabi Muhammad SAW
yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Sehingga semua

35
Zawiyah adalah majelis atau tempat para sufi mengamalkan suluk, zikir,
wirid thariqoh. Ribath adalah tempat tinggal para sufi, Khanaqah adalah tempat
para sufi berkumpul, latihan, pendidikan, dan kegiatan spiritual. Tim Karya Ilmiah
Purna Siswa 2011 Refleksi Anak Muda Pesantren, Op Cit, hlm. 160-162.
36
Muhyiddin Abdusshomad, Op Cit, hlm. 104.
25

Thariqoh yang Mu’tabaroh itu, sanad atau silsilahnya muttashil (bersambung)


sampai kepada Rosulullah SAW. Kalau suatu Thariqoh sanadnya tidak muttashil
sampai kepada Nabi, bisa disebut Thariqoh itu tidak (ghoiru) Mu’tabaroh.
Barometer lain untuk menentukan ke-mu’tabaroh-an suatu Thariqoh adalah
pelaksanaan syariat. Pada semua Thariqoh Mu’tabaroh syariat harus dilaksanakan
secara benar dan ketat.37
Oleh karena itu, guna menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus
yang diletakkan para Sufi terdahulu dan memberikan rambu-rambu kepada
masyarakat tentang Thariqoh yang mu’tabaroh dan ghoiru mu’tabaroh, Nahdlatul
Ulama melalui Jam’iyah Ahlit Thariqoh Al Mu’tabaroh An Nadliyah (JATMAN)
meletakkan dasar-dasar tasawuf sesuai dengan khittah ahlissunnah waljamaah.
Dalam hal ini, Nahdlatul Ulama membina keselarasan tasawuf Al-Ghazali dengan
tauhid Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, serta hukum fikih sesuai dengan salah satu
dari empat mazhab sunni (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali).
Pedoman yang berisi tentang ketentuan bagaimana seseorang bermadzab
dan berthariqoh termuat dalam faham Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja). Secara
umum pengertian Ahlussunah Wal Jamaah berasal dari istilah Ahl artinya
keluarga, golongan, atau pengikut. Al-Sunnah yaitu segala sesuatu yang telah
diajarkan Nabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan
Nabi Muhammad SAW. Al-Jama’ah yaitu apa yang telah disepakati oleh para
Sahabat Rosulullah pada masa Khulafaur Rasyidin ( Khalifah Abu Bakar. RA,
Khalifah Umar bin Al Khaththab. RA, Khalifah Utsman bin Affan. RA, dan
Khalifah Ali bin Abi Thalib. KW).38
Ahlussunnah Wal Jama’ah yaitu suatu golongan atau pengikut Nabi
Muhamad SAW yang melaksanakan semua ajaran-ajaranNya, baik berupa
perkataan, perbuatan, dan pembenaran Rosulullah SAW, serta yang telah

37
Sri Mulyati, Op Cit, hlm. 9-12.
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Risalah Ahlussunnah Wal
38

Jama’ah Dari Pembiasaan Menuju Pemahaman Dan Pembelaan Akidah Akidah


NU, (Surabaya: Khalista, 2012), hlm. 1-6.
26

disepakati oleh para Sahabat Nabi,39 atau Khulafaur Rosyidin atau para pengikut
yang berpegang teguh kepada Al Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas. Doktrin
Ahlussunnah Wal Jama’ah berpangkal pada tiga panutan :
1. Mengikuti faham Al Asy’ari dan Al Maturidi dalam bertauhid
2. Mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat (Hanafi, Maliki,
Hambali, dan Syafi’i) dalam beribadah
3. Mengikuti cara yang ditetapkan Al Junaidi Al Baghdadi dan Al
Ghazali dalam berthariqoh.40
Walaupun sudah ada istilah atau sebutan tersendiri untuk para Guru atau
pemimpin Thariqoh (Muqodam, Mursid dan lain sebagainya) sesuai dengan istilah
masing-masing yang dipakai dalam Thariqoh, tetapi Umat Islam di Indonesia
sangat akrab dengan istilah Kyai untuk menyebut mereka.
Sebutan Kyai sudah sangat populer di kalangan umat Islam Indonesia
terutama pada kaum Nahdliyin. Di lingkungan Pondok Pesantren Kyai merupakan
figur yang paling esensial dan sangat dihormati sebagai personifikasi orang yang
menguasai ilmu agama Islam dalam bidang tauhid, fikih, dan ahli tasawuf, atau
berarti sarjana muslim, dan tidak jauh beda dengan ulama.
Namun banyak pula orang alim yang cukup berpengaruh di tengah
masyarakat, meskipun tidak memimpin pondok pesantren, mereka mendapatkan
sebutan Kyai. Beberapa sifat yang ada pada diri seorang Kyai adalah berilmu
tinggi, zuhud dan qona’ah, ikhlas, tawakal, tinggi rasa sosialnya, mempunyai
kesanggupan menegakkan kebenaran. Di dalam bahasa Jawa kata Kyai
mempunyai tiga makna, yakni :
1. Gelar kehormatan bagi benda-benda yang dianggap keramat.
2. Gelar Kehormatan bagi orang tua pada umumnya
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam, juga sering disebut alim ulama, atau ulama.41

39
Muhyiddin Abdussomad, Op Cit, hlm. 4.
Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi NU Sejarah Istilah
40

Amaliah Uswah, (Surabaya: Khalista, 2012), hlm. 31.


41
Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Op Cit, hlm. 127-128.
27

E. Metode Penelitian dan Penggunaan Sumber


Sejarah adalah rekontruksi kejadian pada masa lampau, sehingga untuk
menghasilkan tulisaan sejarah yang baik diperlukan metode sejarah yang meliputi
heuristik, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interprestasi, dan
historiografi
Heuristik merupakan upaya penelitian yang mendalam guna menghimpun
berbagai jejak sejarah atau upaya mengumpulkan berbagai dokumen agar dapat
mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian-kejadian bersejarah di masa
lampau. Segala dokumen dan jejak-jejak sejarah yang berhasil dihimpun itu
merupakan data yang sangat penting sehingga dapat dijadikan dasar untuk
menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau.42
Penelitian ini memfokuskan pada peranan Kyai Thariqoh At Tijaniyah
yaitu KH. Abdul Wahab Sya’roni dan Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah di
kalangan masyarakat Jatibarang, sehingga sumber primer yang diperlukan adalah
sumber tertulis dan sumber lesan. Sumber tertulis di peroleh dari para Kyai atau
Muqodam, para Ikhwan At Tijaniyah di Jatibarang Brebes, baik yang ditulis
sendiri maupun yang berupa koleksi perpustakaan pribadi maupun koleksi
perpustakaan Pondok Pesantren. Beberapa buku penting yang mendukung
penulisan ini dan merupakan koleksi karya sendiri dari Syaikh Soleh Muhammad
Ali Basalamah Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Jatibarang adalah
Tijaniyah Menjawab Dengan Kitab Dan Sunnah, buku ini membahas berbagai hal
tentang Thariqoh At Tijaniyah berikut dalil-dalil yang menjadi rujukannya. Buku
kedua Syaikh Ahmad At Tijani RA Keturunan Rosulullah Yang Mirip Rosulullah
SAW. Berisi sejarah singkat, tata cara mengikuti Thariqoh At Tijaniyah,
Karomah, dan wirid-wirid, zikir-zikir.
Sumber lisan berupa hasil wawancara dengan para saksi yang pada
masanya melihat, meyaksikan atau mengalami langsung, sehingga dapat
digunakan untuk mendukung dan melengkapi penulisan ini. Beberapa saksi yang

42
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jogyakarta: Tiara Wacana,
2013), hlm. 1-14.
28

melihat, menyaksikan, bahkan mengetahui, karena masih termasuk kerabat,


bertempat tinggal yang dekat, atau ada yang pernah menjadi murid-muridnya
seperti KH. Rosidi Malawi, KH.Ahmad Said Basalamah, KH.Soleh Basalamah,
KH. Hozin, KH. Sadhali, Drs.H.Asmuni Abdul Aziz.
Adapun sumber sekunder diperoleh melalui studi pustaka, seperti pada
perpustakaan Pondok Pesantren Darussalam Jatibarang, Perpustakaan Daerah
Brebes, Perpustakaan Arsip Daerah Brebes, Perpustakaan Jurusan Sejarah
Universitas Diponegoro, Perpustakaan Nahdlatul Ulama Brebes. Setelah berhasil
mengumpulkan berbagai sumber, maka selanjutnya dilakukan verifikasi, yaitu
kritik, pengujian atau penelitian baik secara intern untuk mendapatkan kredibilitas
sumber maupun kritik secara ekstern guna mendapatkan keaslian sumber.
Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa keaslian berbagai sumber dalam penelitian
adalah benar.
Berikutnya dilakukan interprestasi, pada tahap ini dilakukan penafsiran
terhadap sumber-sumber yang terpilih sebagai bukti penelitian. Sehingga apa yang
tersirat dan tersurat dalam peninggalan tersebut dapat dikomunikasikan.
Tahap terahir adalah historigrafi yaitu melakukan penyusunan kisah
sejarah sesuai dengan norma-norma dalam disiplin ilmu sejarah. Kegiatan
rekontruksi masa lampau ini didasarkan pada data yang diperoleh melalui proses
pengujian. Hal ini dimaksudkan untuk menyusun fakta-fakta yang ada secara
sistematis, dan menjadi sejarah tentang tokoh dan organisasinya.

F. Sistematika Penulisan
Secara lengkap dan urut penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai
berikut. Bab I berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang dan
permaslahan, ruang lingkup baik ruang lingkup temporal, ruang lingkup spasial,
maupun ruang lingkup keilmuan, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode
dan penggunaan sumber, dan yang terahir adalah sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang sejarah perkembangan gerakan Thariqoh dalam
Islam meliputi pengertian Thariqoh, perkembangan gerakan Thariqoh di dunia,
dan gerakan Thariqoh di Indonesia.
29

Bab III membahas tentang sejarah Thariqoh At Tijaniyah yang meliputi


arus perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di Indonesia, perkembangan Thariqoh
At Tijaniyah di Jatibarang Brebes, dan tata cara pada Thariqoh At Tijaniyah.
Bab IV berisi tentang KH. Abdul Wahab Sya’roni dan Syaikh Ali bin
Ahmad Basalamah dalam proses perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di
Jatibarang Brebes. Terdiri dari Profil KH. Abdul Wahab Sya’roni dan Profil
Syaikh Ali bin Ahmad Basalamah. Peranan KH. Abdul Wahab Sya’roni dalam
perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang. Peranan Syaikh Ali bin
Ahmad Basalamah dalam perkembangan Thariqoh At Tijaniyah di Jatibarang.
Bab V merupakan bab terakhir, berisi tentang simpulan atas keseluruhan
pembahasan penelitian. Simpulan ini diharapkan dapat menjadi kejelasan bagi
pembahasan-pembahasan dalam tesis ini, sehingga dapat menjawab semua
permasalahan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai