Anda di halaman 1dari 8

TRAGEDI SAMPIT, SUKU DAYAK VS MADURA

Tragedi Sampit adalah konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan
bikin geger bangsa Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan suku
Dayak dengan orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang
Dayak yang didiuga tewas dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis
Dayak.
Warga Madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan
orang Dayak selaku tuan rumah. Akibat bentrok dua suku ini ratusan orang
dikabarkan meninggal dunia. Bahkan banyak di antaranya mengalami pemenggalan
kepala oleh suku Dayak yang kalap dengan ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan
kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku Dayak demi memertahankan wilayah mereka
yang waktu itu mulai dikuasai warga Madura.
Konflik Antara Masyarakat Jawa dan Lampung

Konflik ini terjadi di desa Bandar agung. Konflik ini terjadi karena adanya rasa
etnosentrisme masyarakat jawa dan lampung terhadap budayanya masing-masing.
Serta dipicu oleh permasalahan ekonomi antar masyarakat yang memberikan anggapan bahwa
adanya kesenjangan antara masyarakat pendatang.
Dengan masyarakat pribumi, dan kurangnya perilaku masyarakat pendatang yang
seharusnya beradaptasi dengan masyarakat pribumi.
Sehingga masyarakat pribumi kurang menerima kedatangan masyarakat pendatang.
Masyarakat pendatang disini ialah masyarakat jawa sedangkan masyarakat pribumi
sendiri ialah masyarakat lampung.
KONFLIK SITUBONDO (ISLAM VS KRISTEN)

Pada bulan Oktober, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1996 terjadi sebuah kerusuhan
yang tidak mudah dilupakan oleh masyarakat Kabupaten Situbondo. Kerusuhan tersebut berawal
ketika massa tidak puas dengan keputusan hakim terhadap terdakwa Saleh yang melakukan
penghinaan agama. Kerusuhan tersebut kemudian berlanjut dengan pengrusakan serta
pembakaran gedung Pengadilan Negeri Situbondo, gereja Bethel Indonesia Bukit Sion serta
gereja-gereja lain di Besuki, Penarukan, Asembagus dan Banyuputih. Kerusuhan tersebut
merupakan rekayasa politik demi melemahkan organisasi NU Situbondo menjelang Pemilu
1997, namun hal itu perlu diteliti kembali demi mendapatkan kebenarannya. Rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu bagaimana kondisi pemerintahan Indonesia pada masa Orde baru
sebelum terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo, bagaimana terjadinya kerusuhan
10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo, serta bagaimana hasil analisis kerusuhan 10 Oktober
1996 di Kabupaten Situbondo. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi
pemerintahan Indonesia pada masa Orde baru sebelum terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di
Situbondo, terjadinya kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo, serta hasil analisis
kerusuhan 10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo. Hasil penelitian diharapkan dapat
bermanfaat bagi pembaca, agar kerusuhan serupa tidak terjadi kembali di masa depan. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari (1) heuristik; (2) kritik; (3)
intrepretasi; (4) historiografi untuk mengungkapkan kebenaran dalam kerusuhan 10 Oktober
1996 di Situbondo.Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kerusuhan
pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 1996 di Kabupaten Situbondo merupakan kerusuhan hasil
rekayasa politik dari oknum partai politik tertentu untuk melemahkan organisasi NU menjelang
pemilu 1997. Hal tersebut terbukti dari temuan tentang kejanggalan-kejanggalan saat kerusuhan
berlangsung. Kejanggalan- kejanggalan tersebut antara lain yaitu kasus Saleh tidak memiliki
kaitan apa pun dengan umat Kristen, logat bicara massa perusuh bukan logat khas masyarakat
Situbondo, selama kerusuhan berlangsung massa sering meneriakkan yel-yel yang berkaitan
dengan NU, kerusuhan tersebut terjadi pukul l0.30 WIB tetapi aparat keamanan baru terlihat
berdatangan sekitar 16.00 WIB, serta KH Zaini Abdul Aziz yang dianggap memiliki kaitan
langsung dengan kerusuhan tidak pernah dimintai keterangan oleh pihak aparat. Kesimpulan dari
hasil penelitian ini yaitu Kondisi pemerintahan Orde Baru sebelum terjadinya kerusuhan 10
Oktober 1996 di Situbondo sangatlah memprihatinkan. Dalam bidang politik, masyarakat tidak
mendapatkan kebebasan berpolitik secara luas. Hal tersebut karena adanya kekangan pemerintah
Orde Baru yang membatasi kebebasan dalam berpolitik dengan alasan menjaga kepentingan
nasional. Kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo terjadi sekitar pukul 10.30 WIB. Kerusuhan
tersebut berawal dari persidangan Saleh sebagai tersangka kasus pencemaran agama yang
kemudian akhirnya terjadi pembakaran-pembakaran di gedung Pengadilan Negeri Situbondo
serta gereja-geraja kawasan Kabupaten Situbondo. Dari hasil analisis kerusuhan yang terjadi di
Situbondo, dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa kerusuhan 10 Oktober 1996 di Situbondo
memiliki kaitan dengan suatu politik menjelang pemilu 1997 demi melemahkan PPP di
Kabupaten Situbondo yang merupakan basis NU terbesar di Jawa Timur. Saran penulis kepada
pembaca, sebaiknya kita sebagai generasi penerus bangsa tidak mudah terhasut serta mudah
terpancing emosi dalam menanggapi suatu permasalahan.
KONFLIK TOLIKARA (ISLAM VS NASRANI)

Komnas HAM telah menerima pengaduan langsung maupun informasi dari media massa terkait
dengan kerusuhan yang terjadi di Karubaga, Kab. Tolikara, Papua pada saat perayaan Hari Raya
Idul Fitri tanggal 17 Juli 2015. Akibat dari kerusuhan tersebut, 1 (satu) anak tewas tertembak di
tempat, 1 (satu) buah mushala, beberapa rumah dan ruko warga dibakar massa.

Peristiwa tersebut bermula dari kedatangan sekelompok orang yang diduga berasal dari umat
Gereja Injili di Indonesia (GIDI) ke Mushala Baitul Mustaqin di Tolikara, Papua, saat umat
Islam menggelar shalat Id pada Jumat pagi (17/7). Mereka melakukan protes lantaran pengeras
suara jemaah mengganggu acara yang juga tengah digelar umat GIDI (Kompas). Menurut Ketua
Persekutuan Gereja dan Lembaga Injil di Indonesia (PGLII) Roni

Mandang, kedatangan umat GIDI ke umat Islam dengan cara baik-baik. Namun tembakan aparat
ke arah umat mereka membuat situasi menjadi kacau. Apalagi saat diketahui satu orang tewas
akibat rentetan tembakan itu. Umat pun membakar kios di sekitar lokasi. Namun, api merembet
ke mushala yang dijadikan tempat shalat Id.

Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Suharsono menegaskan, tembakan ke arah umat GIDI
dilakukan karena mereka tak mengindahkan halauan petugas untuk pergi dari sekitar mushala.
Polisi telah menghalau massa yang meneriakan pernyataan bernada provokatif. Namun massa
tidak menurut. Pukul 07.05 WIT massa mulai melempari mushala dengan batu. Pukul 07.10 WIT
massa merusak dan membakar kios. Peristiwa tersebut menyebabkan kurang lebih 400 orang
mengungsi akibat kehilangan tempat tinggal yang diantaranya 153 orang menyebar di 2 (dua)
titik pengungsian dan sisanya kembali ke daerah asal, 1 mushola dan 63 unit ruko terbakar.
Selain itu, 1 (satu) orang dinyatakan meninggal dunia dan 11 orang lainnya mengalami luka-
luka.
Konflik Antar Golongan Agama (Ahmadiyah dan Syiah) (2000-an)

Indonesia memiliki banyak sekali golongan-golongan dalam sebuah agama. Misal Islam ada yang
memposisikan sebagai NU, Muhammadiyah, hingga Ahamdiyah. Sayangnya, ada beberapa golongan
yang dianggap menyimpang hingga akhirnya dimusuhi oleh golongan lain yang jauh lebih dominan.
Konflik yang paling nampak terlihat dari golongan Ahmadiyah yang mengalami banyak sekali
tekanan dari kelompok mayoritas di wilayahnya.

Mereka dianggap menyimpang hingga akhirnya diusir, rumah ibadah dan warga dibakar hingga aksi
kekerasan lainnya. Jemaah dari Ahmadiyah dipaksa kembali ke ajaran asli dan meninggalkan ajaran
lamanya.

Selanjutnya ada kelompok lagi bernama Syiah yang juga ditekan di Indonesia. Kelompok ini
dianggap sesat dan harus diwaspadai dengan serius. Sayangnya, masyarakat terlalu ekstrem hingga
banyak melakukan kekerasan pada kelompok ini mulai dai pembakaran rumah ibadah hingga
pesantren. Hal ini dilakukan dengan dalih agar Islam di Indonesia tidak tercemar oleh ajaran pengikut
Syiah.
KONFLIK ANTARA ETNIS (1998)

Kerusuhan yang terjadi di penghujung Orde Baru 1998 awalnya dipicu oleh krisis
moneter yang membuat banyak sektor di Indonesia runtuh. Namun lambat laun kerusuhan
menjadi semakin mengerikan hingga berujung pada konflik antara etnis pribumi dan etnis
Tionghoa. Kerusuhan melebar dan menyebabkan banyak aset-aset miliki etnis Tionghoa dijarah
dan juga dibakar karena kemarahan.
Selain menjarah dan membakar banyak hal penting dari etnis Tionghoa. Mereka juga
melakukan tindak kekerasan kepada para wanita dari etnis ini. Kasus pelecehan seksual banyak
dilaporkan hingga kasus pembunuhan pun tak bisa dihindari. Konflik antar etnis yang terjadi di
Indonesia benar-benar membuat negeri ini menjadi lautan darah.
Konflik Sosial Lampung dan Bali

Konflik sosial terjadi di Provinsi Lampung. Bagian paling selatan


pulau Sumatera tersebut, juga pernah mengalami konflik sosial, yang
terjadi antara Suku Lampung sendiri dengan Suku Bali. Hal yang
melatar belakangi terjadinya kasus ini adalah adanya kesenjangan sosial
terutama dari segi ekonomi, singkatnya kasus ini terjadi antara
masyarakat asli dan masyarakat pendatang.

Anda mungkin juga menyukai