Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH HUBUNGAN LINTAS BUDAYA

KONFLIK AGAMA ISLAM DAN KRISTEN DI POSO

DOSEN MATA KULIAH


Lala Siti Sahara, S.Pd., M.Si.

DISUSUN OLEH :
Feby Layla Rizka
1409518054 – 2018 B

PERJALANAN WISATA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................1
BAB I.....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................................................1
BAB II....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................................................2
Latar Belakang.......................................................................................................................................2

Kronologi Kerusuhan Poso....................................................................................................................3

Dampak dari kerusuhan Poso..............................................................................................................7


Rumusan Masalah.................................................................................................................................9

Tujuan.................................................................................................................................................10

BAB III.................................................................................................................................................11
PENUTUP............................................................................................................................................11
Kesimpulan..........................................................................................................................................11

10 butir isi deklarasi Malino :.....................................................................................................12


DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................15

1
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara plural yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis, ras,
budaya, bahasa, agama dan golongan masyarakat. Keanekaragaman inilah yang justru
berdampak dan menjadi penyebab atau akar masalah pecahnya persatuan dan kesatuan
Indonesia sendiri. Tak dapat dihindari lagi, diferensiasi yang terjadi akibat kemajemukan
itulah yang menjadi penyebab ketegangan sosial di tengah kehidupan bangsa yang beragam
ini, seperti adanya perpecahan atau kerusuhan massal antar etnis suku bangsa, antar agama,
ras dan antar golongan (SARA). Sesuai seperti apa yang dikatakan oleh Najwan (2009:
196) dari keanekaragaman budaya, etnis, agama dan multi golongan ini dari satu sisi secara
teori multi budaya merupakan potensi budaya yang dapat mencerminkan jati diri bangsa
yang besar, akan tetapi dari sisi lain juga berpotensi menimbulkan konflik yang dapat
mengancam integrasi bangsa karena konflik antar budaya dapat menimbulkan pertikaian
antar etnis, antar agama, ras dan antar golongan (SARA) yang bersifat sensitif dan rapuh
yang menjurus kearah disintegrasi bangsa Indonesia.

Selain itu, konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia
sebagai makhluk sosial di dalam berkehidupan bermasyarakat. Manusia sebagai makhluk
individu sekaligus makhluk sosial dalam menjalin hubungan sosial dengan manusia lainnya
tidak bisa terlepas dari kepentingan satu sama lain. Selama manusia itu mempunyai
kepentingan yang berbeda maka konflik akan selalu menyertainya dimanapun manusia
berada. Perbedaan kepentingan juga menjadi salah satu faktor utama yang dapat
menimbulkan konflik sosial. Konflik sosial berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi-
aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Pruitt, 2011: 10).

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang
Kabupaten Poso adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia.
Kabupaten Poso menjadi tempat pertikaian antara umat Kristen dan umat Muslim. Poso
sebelum kerusuhan pada bulan Desember 1998, adalah suatu wilayah damai yang terletak
diantara teluk Tomini dan teluk Tolo, yang termasuk dalam Provinsi Sulawesi Tengah.
Sebagian masyarakatnya hidup di pesisir pantai dan pedalaman di sekitar danau Poso.
Sampai pada penghujung tahun 1998, mereka dikejutkan oleh konflik yang terjadi silih
berganti.
Semua berawal ketika Indonesia memasuki era Reformasi dengan ditandai jatuhnya
rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto melalui gerakan mahasiswa. Jatuhnya
pemerintahan Soeharto ini membuat rakyat Indonesia mengalami euforia kebebasan dalam
berpolitik, pola pemerintahan yang lebih demokratis, dan perubahan pola pemerintahan dari
sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah). Adanya efek euforia yang
berlebihan tersebut malah mendatangkan permasalahan baru yaitu adanya hasrat persaingan
di tingkat elit politik lokal daerah, untuk saling bersaing dan berkonflik mendapatkan jabatan
guna mencapai kepentingan politik di daerahnya. Dalam mencapai kepentingan politiknya
tersebut, para elit politik melakukannya dengan cara memobilisasi massa melalui isu sensitif
yaitu isu etnis dan agama. Sehingga konflik komunal pun dapat dengan mudah terjadi
melalui peran elit politik yang ikut membawa dan melibatkan perseteruan konflik antar etnis
dan agama sehingga membahayakan integrasi bangsa Indonesia.
Kerusuhan dan perang SARA tersebut telah menewaskan ratusan orang dan
menyebabkan lebih dari 5.000 rumah dan tempat ibadah hangus terbakar. Bahkan, menurut
data yang diumumkan oleh pemerintah, kerusuhan ini telah menyebabkan 577 orang tewas,
384 orang terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum rusak.

2
Pada tahun 2002 dan 2003 pun masih terjadi beberapa kali saling serang antara kedua
kelompok berbeda agama yang bertikai bahkan masyarakat yang tidak paham akan konflik
tersebut pun ikut menjadi korban. Konflik ini pun telah membuat para perempuan, laki-laki,
orang tua, remaja, anak-anak, lanjut usia, dan masyarakat dari segala lapisan dan latar
belakang, tanpa terkecuali, terseret, dipaksa masuk dalam tepian dan pusaran konflik
kekerasaan berdarah yang berkepanjangan (Gogali, 2009: 21).
Bahkan di tahun 2005, kekerasan masih juga terjadi antara lain adanya peristiwa
pemenggalan kepala seorang siswa sekolah menengah keatas, juga sebelumnya terjadi
ledakan bom di Sintuwu Maroso (Poso). Berbagai tindakan itu telah menambah daftar
panjang korban kekerasan yang terjadi sejak pecah konflik tahun 1998. Berbagai kekerasan
masih saja terjadi di Poso, padahal antara kelompok masyarakat yang bertikai telah berdamai
dengan adanya kesepakatan Deklarasi Malino yang digelar pada tanggal 20 Desember
2001.
1.1 Kronologi
Secara umum, konflik Poso dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama dimulai pada 24
Desember 1998, fase kedua pada 16 April 2000, dan fase ketiga –yang paling kejam- terjadi
pada bulan Mei sampai Desember 2001. Fase ketiga pun bukan pula menjadi akhir atau
ujung konflik ini. Bahkan hingga tahun 2005, konflik ini masih berlanjut.
1. Fase Pertama

Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye
enam kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh
kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik
politik yang bertopeng kepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda
agama yakni, Islam dan Kristen.

Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan
1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras (minuman keras)
membuat keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu, pengurus
masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut
pergi meninggalkan area masjid.

Setelah lewat tengah malam, seorang pengurus masjid yang mengingatkan mereka
tadi, bernama Ahmad Ridwan, dikejar oleh seorang pemuda Kristen yang sedang
terpengaruh alkohol bernama Roy Runtu Bisalemba, lalu Ahmad Ridwan ditikam.

3
Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan sedang membangunkan sahur para warga
Muslim di Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke
sebuah masjid (dekat pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan
sempat berteriak minta tolong dan lari dengan meningalkan percikan darah di plafon
masjid. Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso bergerak untuk menghancurkan
setiap kedai/toko menjual miras. Mereka juga meminta Roy agar menyerahkan diri
kepada aparat yang berwajib.

Setelah kejadian tersebut, para pemuka agama dari kedua belah pihak bertemu untuk
berunding dan sepakat bahwa alkohol ialah sumber masalah tersebut.

Polres Poso akhirnya menyita alkohol yang ada untuk dimusnahkan. Dalam satu
kesempatan, para pemuda Kristen berusaha melindungi toko miras milik Tionghoa
Kristen yang hendak disegel oleh pemuda Muslim. Akhirnya konflik tidak bisa
dihindari karena kedua belah pihak bersikeras dengan pendirian masing-masing.

Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang berdasarkan


sentimen agama. Tidak hanya orang-orang Poso sendiri, tetapi juga sesama Muslim
di luar daerah mereka. Setelah didengungkannya konflik atas nama agama maka, isu
politik seakan tenggelam. Hal itu dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak
tersulut emosi yang seolah-seolah berusaha memperjuangkan martabat agamanya.

Hal ini bertepatan dengan pilkada yang akan segera dilakukan di Poso untuk memilih
bupati baru. Arief Patanga selaku bupati lama menyatakan bahwa ia tidak akan
mencalonkan diri kembali. Hal ini membuat para pengejar kekuasaan sebagai bupati
berlomba-lomba untuk mencalonkan diri.

Berkat adanya rasa tegang antara umat Kristiani dan Muslim terkait peristiwa
penikaman, banyak selebaran dan spanduk provokasi di jalanan yang menyebutkan
bahwa Yahya Patiro (sekretaris kabupaten beragama Protestan yang pada saat itu
mencalonkan diri sebagai bupati), serta Bupati Arief Patanga yang seorang Muslim
adalah orang dibalik kerusuhan antaragama. Hal ini membuat masyarakat dari kedua
belah pihak berang.

Pada akhirnya hanya terdapat tiga calon yang maju untuk menjadi bupati Poso, yaitu
Yahya Patiro dari golongan Kristen; Muin Pusadan seorang Muslim dari Partai
Golkar; dan seorang Muslim bernama Ismail Kasim. Partai Golkar banyak
memenangkan pemilu di berbagai daerah di Indonesia. Sama halnya dengan Poso,
Muin Pusadan dari Golkar akhirnya menjadi bupati, membuat masyarakat dari pihak
Muslim dan Kristiani kecewa.

4
2. Fase Kedua

Tepatnya pada 16-17 April 2000, massa dari pihak Kristen dan Islam sama-sama
memanggul senjata. Peristiwa itu terbukti dengan bebasnya orang menenteng senjata
di jalan umum. Memang senjata yang digunakan masih tradisional seperti, panah,
parang, dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena mengindikasikan
semangat yang membara untuk melanjutkan konflik. Kondisi tersebut berkembang
liar karena aparat keamanan tak dapat melerai perseturuan massal tersebut dengan
alasan kekurangan personel.

Setelah satu tahun masa tenang, ketegangan kembali terjadi, terutama dalam politik.
Desas-desus tentang korupsi uang rakyat serta ancaman bahwa jika mantan calon
bupati Damsik Ladjalani tidak terpilih menduduki bangku sekretaris wilayah akan
terjadi lebih banyak kekerasan, membuat kerusuhan dalam masyarakat Poso.

Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengklaim telah diserang oleh


sekelompok pemuda Kristen, dan menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti.
Pihak Islam membalas, dan pertarungan antara pemuda-pemuda dari kelurahan
mayoritas Kristen Lombogia dan para pemuda Islam dari kelurahan Kayamanya dan
Sayo meningkat menjadi kekerasan yang meluas. Selama beberapa hari berikutnya,
rumah-rumah yang dimiliki umat Kristen Poso di dekat terminal bus dan di
Lombogia dibakar. Peristiwa ini memaksa Kapolres Poso saat itu untuk
mendatangkan pasukan Brigade Mobil (BRIMOB) dari Palu.

Tanggal 17 April, BRIMOB tidak sengaja menembaki tiga orang hingga tewas dan
membuat tujuh orang luka-luka dari pihak Muslim. Tidak terima, Muslim yang
marah menyerang Lombogia dan membakar rumah-rumah serta gereja. Keesokan
harinya, Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan disambut oleh sekelompok
Muslim yang dipimpin oleh pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa Tompo.
Mereka menuntut agar Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus melawan
Agfar Patanga ditutup, agar Kapolres dipecat, dan agar pasukan BRIMOB dikirim
kembali ke Palu.

Human Rights Watch menilai tuntutan tersebut mencerminkan tema konflik yang
mendasar : persaingan politik, sistem peradilan yang dipolitisir, dan ketidakpuasan
terhadap para penegak hukum. BRIMOB akhirnya dikirim pulang, tetapi
pembakaran dan pembantaian yang dilakukan tidak berhenti. Lombogia dan
Kasintuwu hancur, pengecekan identitas –yang berhubungan dengan agama- mulai
dilakukan di daerah mayoritas Muslim. Beberapa orang Kristen dilaporkan dipaksa
keluar dari mobil dan dibunuh. Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet

5
Kirbiantoro di Makassar, Sulawesi Selatan, mengirim 600 tentara dan pertempuran
mereda. Masyarakat Kristen Poso, yang banyak di antaranya telah melarikan diri ke
Tentena atau bukit-bukit di sekitar kota Poso. Polisi resmi mengumumkan bahwa
fase kedua selesai pada tanggal 3 Mei 2000. Pada fase ini kedua belah pihak
menggunakan ikat kepala berwarna dan ban lengan untuk menunjukkan identitas diri.
Para pejuang Kristen dikenal sebagai kelompok merah dan para pejuang Muslim
dikenal sebagai kelompok putih.

Pada tahap kedua inilah munculnya Fabianus Tibo bersama 13 orang temannya.
Tepatnya pada tanggal 22 Mei 2000, sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo
bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso Kota bersama pasukannya. Dia
tidak segan-segan menghadapi musuh-musuh yang menghalanginya dengan sekali
tebas. Jagal dari Poso tersebut dikenal sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam,
yang disebut sebagai pasukan Kristen. Walaupun sesungguhnya Tibo dan kawan-
kawan bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik Poso. Namun,
mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis menghabisi nyawa
musuhnya.

3. Fase Ketiga

Fase ketiga dimulai tiga minggu semenjak fase kedua berakhir. Fase ini didominasi
oleh serangan balas dendam dari pasukan merah Kristen terhadap warga Muslim.

Pada awal bulan Mei, muncul desas-desus bahwa para pemuda Kristen yang lari
menyelamatkan diri berkumpul di sebuah kamp pelatihan di Kelei. Pasukan Kristen
yang beroperasi dalam fase ini disebut ‘kelelawar merah’ dan ‘kelelawar hitam’.
Dua ‘kelelawar’ yang bertindak sebagai ninja ini dipimpin oleh Fabianus Tibo
(imigran dari Flores) dan menargetkan pemuda-pemuda Muslim yang dalam fase
sebelumnya menghancurkan Lombogia.

Pagi hari pada tanggal 23 Mei, kelompok bertopeng bak ninja pimpinan Tibo
membunuh seorang polisi dan dua warga sipil Muslim. Kelompok ini bersembunyi
dalam gereja Katholik di Kelurahan Moengko. Warga Muslim mulai berkumpul di
depan gereja, membuat kelompok pimpinan Tibo melarikan diri ke bukit di belakang
gereja. Pukul 10 pagi gereja dibakar, dan pertarungan pecah di kota.

Tanggal 28 Mei serangan meluas, salah satu peristiwa yang paling terkenal ialah
penyerangan terhadap Pesantren Walisongo—di mana banyak warga Muslim
dibunuh dengan senjata api dan parang, tidak peduli mereka menyerah atau tidak.
Sebuah sumber menyatakan ada sekitar 191 korban mati dalam peristiwa tersebut,
dan mayatnya dilempar begitu saja ke Sungai Poso.

6
7
1.2 Dampak dari Konflik Poso
Untuk mengetahui kondisi sebuah tempat dimana konflik terus berlangsung tentunya
kita mengacu kepada kondisi masyarakat tersebut. Kerusuhan yang terjadi di Poso
memberikan dampak sosial yang cukup besar jika di liat dari kerugian yang di akibatkan
konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis bendampak
besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu. Dampak psikologis tidak akan hilang
dalam waktu yang singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhan Poso bukan suatu
kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang
sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap
penduduk muslim kota Poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman kabupaten Poso
yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota Poso.

Dampak dari kerusuhan Poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :


1. Dampak Budaya :
a. Dianutnya kembali budaya “pengayau” dari masyarakat pedalaman (suku pamona
dan suku mori). Pengayau adalah tradisi kebudayaan leluhur atau nenek moyang
mereka yang turun temurun dilaksanakan. Dimana kepala manusia merupakan sesaji
utama yang mesti hadir, karena mereka beranggapan makin banyak tengkorak kepala
yang mereka dapat maka akan memberikan tambahan semangat jiwa dari
sebelumnya, sehingga bisa mendatangkan keberkatan dan kemakmuran bagi dirinya
juga seluruh kampung. Berawal dari sisnilah kebiasaan mengayau kepala tersebut
terus terjadi secara turun temurun antar suku disamping karena motivasi diatas
adanya perluasan wilayah kekuasaan, urusan ekonomi dan lain sebagainya
menjadikan salah satu alasan terjadinya perang antar suku yang berakhir pada
pengayauan atau pemenggalan kepala. Dimana kepala hasil perburuan dijadikan
sebagai persembahan.
b. Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai
tujuan politiknya.
c. Runtuhnya nilai – nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi bingkai
dalam hubungan sosial masyarakat Poso yang pluralis.

8
9
2. Dampak hukum sosial
a. Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitu
kelompok merah dan kelompok putih.
b. Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan
terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap
anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
c. Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di masyarakat
kabupaten Poso.
d. Muculnya perasaan dendam dari korban – korban kerusuhan terhadap pelaku
kerusuhan.

3. Dampak politik sosial


a. Terhentinya roda pemerintahan.
b. Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.
c. Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat
masing– masing kelompok kepentingan.
d. Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian
tujuannya.

4. Dampak Ekonomi sosial


a. Lepas dan hilangnya faktor sumber produksi ekonomi masyarakat seperti; sawah,
tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain
sebagainya.
b. Eksodus besar – besaran penduduk muslim Poso.
c. Munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja.

10
1.3 Rumusan Masalah
Konflik Poso merupakan pertikaian antara pemeluk agama islam dan kristen sehingga
dapat disebut sebagai konflik agama. Peristiwa kerusuhan ini diawali dengan pertikaian
antara dua pemuda yang berbeda dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan yang
melibatkan orang banyak. Implikasi – implikasi kepentingan elite politik nasional, elite lokal
dan militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizontal sehingga sulit mencari titik
temu penyelesaian yang tepat, bahkan pihak keamanan terkesan lamban dalam menangani
konflik ini, seolah-olah membiarkan konflik ini berkelanjutan karena sulitnya mendamaikan,
hingga konflik berlangsung lama, bertahun-tahun, hingga memakan ratusan korban jiwa dan
merugikan banyak pihak. Kurangnya rasa kepercayaan antara sesama penduduk,
kecemburuan sosial, provokasi yang menyentuh pada sentimen antar agama, merupaka
rentetan faktor-faktor yang sangat berpengaruh sehingga menyebabkan konflik di Poso
begitu sulit untuk diselesaikan.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran diatas, dalam makalah ini terdapat permasalahan


utama yang menjadi pertanyaan yaitu, mengapa konflik antara masyarakat beragama Islam
dengan Kristen di Poso berlanjut hingga beberapa tahun setelah adanya perjanjian damai?

Permasalahan tersebut dikembangkan menjadi empat pertanyaan rumusan


masalah yaitu:
1. Apa yang menjadi penyebab akar masalah terjadinya konflik di Poso? Apakah
kerusuhan Poso dipicu oleh sentimen keagamaan sebagai satu-satunya faktor
---seperti diklaim berbagai kalangan--- ataukah terdapat faktor lain yang
melanggengkan konflik di wilayah tersebut?
2. Bagaimana fase/dinamika terjadinya konflik di Poso tahun 1998-2001?
3. Bagaimana peranan pemerintah dan tokoh masyarakat dalam penyelesaian
konflik di Poso?
4. Bagaimana dampak konflik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Poso?

11
1.4 Tujuan
Berdasarkan rumusan dan pembatasan masalah yang telah dibahas pada poin
sebelumnya, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi penyebab akar masalah terjadinya konflik di
poso.
2. Memaparkan dinamika terjadinya konflik Poso tahun 1998-2001.
3. Menganalisis peranan pemerintah dan tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik
Poso.
4. Mengungkapkan dampak konflik terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat di Poso.
5. Menambah pengetahuan mengenai kondisi daerah di Poso tahun 1998-2001 ditinjau
dalam kondisi politik, sosial, ekonomi dan Agama.

12
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Konflik Poso adalah serangkaian konflik yang berkelanjutan dan sangat sulit
untuk menemui titiktemu yang tepat, karena konflik Poso merupakan konflik agama,
suku, dan ras. Dimana dengan perbedaan yang begitu banyak sangat mudah terjadinya
konflik-konflik lain. Konflik Poso menitik beratkan pada agama, karena suku yang
bertikai adalah suku-suku yang berbeda keyakinan. Mereka tidak memandang sanak
saudaranya sendiri, hanya dengan dalih berbeda agama, dengan sesama saudara bisa
bertikai bahkan saling membunuh.
Konflik Poso sebenarnya merupakan konflik yang realistik yaitu perebutan
kekuasaan politik antar elit politik lokal di Poso yang kemudian massa dilibatkan
dengan identitas agama dan etnis dengan tujuan untuk memobilisasi massa dalam
memperoleh kekuasaan. Ketika konflik menyentuh ranah agama membuat pertikaian
menjadi konflik non realistik bernuansa SARA dan menjadikan konflik terjadi
berkepanjangan. Mudahnya massa termobilisasi dalam konflik komunal di Poso,
dipengaruhi juga oleh permasalahan historis yang dimanfaatkan oleh elit politik lokal
melalui isu berupa kecemburuan sosial-ekonomi dan sosial-politik antara penduduk
pribumi yaitu etnis Pamona, Mori dan Lore (mayoritas beragama Kristen) yang
merasa termarjinalkan terhadap kehadiran dari etnis Jawa, Bugis dan Makassar
(mayoritas beragama Islam). Penduduk pendatang ini yang menguasai perekonomian
di Poso dan mendomininasi jabatan-jabatan politik di Pemerintahan Kabupaten Poso.
Ketika ideologis agama dijadikan isu utama sebagai perekat kelompok membuat
konflik yang awalnya berupa tawuran antar pemuda kemudian berubah menjadi
perang saudara bernuansa SARA.
Terjadinya konflik Poso ini sangat berdampak dan merugikan tatanan bidang
ekonomi, politik dan sosial budaya serta meninggalkan beban trauma psikologis
karena hilang atau meninggalnya salah satu anggota keluarga. Mereka juga harus
kehilangan harta benda dan mata pencaharian yang berakibat pengangguran dan
bertambahnya kemiskinan di Poso.

13
Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi
banyak pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras
untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah Jusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra
pada kabinet Megawati pada kala itu. Jalan penyelesaian ditempuh dengan
ditandatanganinya Deklarasi Malino tanggal 20 Desember 2001.

Inilah 10 butir isi deklarasi Malino :

1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.

2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung


pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.

3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.

4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan


darurat sipil serta campur tangan pihak asing.

5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan


menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi
terciptanya kerukunan hidup bersama.

6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia.Karena itu, setiap warga
negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan
menghormati adat istiadat setempat.

7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah


sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.

8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.

9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi


secara menyeluruh.

10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling
menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam
bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.

14
Tapi, deklarasi itu tampaknya memang bukanlah lampu aladdin yang sanggup
menyulap Poso dalam damai, Poso yang lepas dari teror dan kekerasan. Dalam waktu
yang tak terlalu lama, deklarasi itu seperti mengalami proses deregulasi. Dihancurkan
sendi-sendinya dan konflik kembali mengharu-biru hingga Agustus 2003. Dilanjutkan
pada Jum’at, 10 Maret 2006 pukul 07.45 WITA, ledakan bom terjadi lagi, kini di
kompleks Pura Agung Jagadnata, Kelurahan Toini Kecamatan Poso Pesisir Utara,
Sulawesi tengah. Komando Pemulihan Keamanan (Koopkam) Poso yang sudah
beberapa waktu lalu dibentuk tak bisa melakukan antisipasi dini sehingga bom tetap
meletus.
David Bloomfield dan Ben Reilly melakukan penelitian atas berbagai konflik
horizontal yang terjadi di Negara-negara Dunia Ketiga. Menurutnya, ada dua elemen
kuat yang menjadi pemicu terjadinya konflik berkepanjangan. Pertama adalah elemen
identitas, yaitu mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang
didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa, dan lainnya. Kedua adalah elemen
distribusi, yakni cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial dan politik dalam
sebuah masyarakat.
Kita dapat menerapkan kedua elemen tersebut pada konflik Poso. Konflik
yang terjadi Poso berakar dari distribusi baik ekonomi, sosial dan politik yang tidak
adil berkenaan dengan perbedaan identitas. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan
sosial sudah representatif untuk menyulut konflik yang massive dan berkepanjangan.
Konflik Poso sangat dipengaruhi oleh isu identitas (etnis dan agama) dan isu
distribusi. Adanya perbuatan dari kelompok etnis/agama tertentu yang menyinggung
harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas lainnya. Selain itu, penguasaan
lapangan kerja yang berpindah alih turut menjadi salah satu faktor terjadinya konflik.
Konflik berdasarkan identitas bersinggungan dengan pendistribusian sumber
daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya.
Hal tersebut menciptakan kesempatan bagi para oportunis untuk memperpanjang
konflik. Masyarakat sangat mudah terprovokasi dan belum terbiasa dengan
keterbukaan. Sehingga hal tersebut menjadi faktor penunggu yang potensial terhadap
munculnya konflik.

15
Seperti yang sudah dipahami, melalui kajian tentang konflik Poso ini dapat
memberikan pembelajaran bahwa konflik atau peperangan sebenarnya hanya akan
merugikan bangsa Indonesia yang merusak nilai-nilai persatuan dan perdamaian.
Perang yang terjadi antara agama Islam dan Kristen di Poso sebenarnya tidak
dibenarkan karena masing-masing agama sesungguhnya mengajarkan untuk saling
bertoleransi antar umat beragama, saling berbuat baik kepada satu sama lain. Konflik
ini sulit diselesaikan karena belum adanya saling kepercayaan terhadap sesama yang
berbeda keyakinan. Terus mencoba untuk merundingakan pemimpin dari kelompok
yang bertikai dan usaha memberikan pengarahan melalui pendidikan adalah sebuah
jalan yang tepat untuk dilakukan.
Berdasarkan contoh upaya perdamaian atas inisiatif dari elit sosial masyarakat
yang berhasil dalam pengelolaan konflik di daerahnya, maka dapat dijadikan rujukan
bahwa peran elit sosial seperti tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemimpin
masyarakat setempat juga sangatlah berperan penting untuk dilibatkan dalam menjalin
perdamaian dan penyelesaian konflik.

Pendapat :
Konflik Poso menyisakan luka yang mendalam karena kedamaian telah
direnggut oleh hawa nafsu manusia yang haus darah. Tentunya konflik tersebut
berbuah dendam yang membara dan sewaktu-waktu bisa meledak apabila disulut
kembali oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. Tapi, kita tetap harus optimis
bahwa Poso tidak akan lagi berdarah. Masih ada hati dalam sanubari manusia sebagai
makhluk Tuhan. Perbedaan agama bukanlah penghalang menciptakan kerukunan. Hal
itu dikarenakan rakyat Poso mempunyai semboyan pengikat persatuan yakni, sintuwu
maroso (bersatu kita kuat).
Selain itu, kebijakan otonomi daerah dewasa ini diharapkan dapat menciptakan
keadilan bagi setiap daerah. Jadi, diharapkan tidak ada lagi kesenjangan sosial akibat
sistem yang sentralistik. Janganlah menyusupkan kepentingan pribadi sehingga
menghalalkan darah saudaranya sendiri.

16
Ciptakanlah kedamaian di negeri yang pluralistik. Ditambah lagi pendidikan
berbasis budaya yang digali dari kearifan lokal, selain untuk memberi pengertian akan
pluralisnya negeri ini, dapat menumbuhkan kesadaran untuk mengurangi hawa
nafsu, untuk tidak berlaku emosionil, tidak gampang terhasut atau tersulut, dan
belajar untuk mengendalikan diri sendiri. Intinya, tidak berlaku egois dan selalu
melihat atau berfikir kedepan, atas apa yang akan kita lakukan.

17
DAFTAR PUSTAKA
Alganih, Igneus (2014). Konflik Poso : Kajian Historis 1998 – 2001. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia.

Amidhan. et al. (2005). Poso, Kekerasaan yang Tak Kunjung Usai: Refleksi 7 Tahun
Konflik Poso. Jakarta: Komnas HAM.

Aragon, L.V. (2007). “Persaingan Elit di Sulawesi Tengah”, dalam Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Awaludin, H. (2009). Perdamaian Ala JK: Poso Tenang, Ambon Damai. Jakarta:
Grasindo.

Basoeki Soeropranoto. H. Rachmat. Jangan Lupakan Poso. Mantan Napol Kasus


Peledakan BCA 1984.

Hasrullah. (2009). Dendam Konflik Poso. Jakarta: Gramedia.


Karnavian, M.T. (2008). Indonesian Top Secret Membongkar Konflik Poso. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Purwanto, W. (2007). Menggapai Damai di Poso. Jakarta: CBM Press.

Sangaji, Arianto. Mengapa Poso Kembali Memanas? Direktur Pelaksana Yayasan


Tanah Merdeka, Palu. Kompas, 9-10-2006.
Sianturi S.Si, Eddy MT. Konflik Poso dan Resolusinya. Puslitbang Strahan Balitbang
Dephan.

Susan, N. (2010). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

http://akupunmenulis.wordpress.com/2009/07/22/pendekatan-budaya-sebagai-
sarana-penyelesaian-konflik-di-poso/
http://konflikposo.blogspot.com/2009/03/konflik-poso.html
http://www.bookoopedia.com/daftar-buku/pid-27909/dendam-konflik-poso-
konflik-poso-dari-perspektif-komunikasi-politik.html
http://sofwat88ugm.dagdigdug.com/2010/03/05/asal-usul-tradisi-mengayau-
headhunting/

18

Anda mungkin juga menyukai