Anda di halaman 1dari 11

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM MEMBANGUN

HARMONISASI DAN MEMINIMALISIR DISHARMONISASI (KONFLIK)


DI BALI DENGAN BERLANDASKAN MODERASI BERAGAMA

Oleh :
Ida Ayu Chandra Surya Pratiwi
2007011919

FALKUTAS ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
UNIVERSITAS HINDU INDONESIA
DENPASAR
2022
I. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah bangsa yang majemuk secara etnis, bahasa, dan agama,
khusus menyangkut aspek agama. Si Indonesia terdapat berbagai agama yang di akui
keberadaannya secara sah oleh pemerintah dan dipeluk oleh penduduk bangsa
Indonesia, yaitu Islam, Keristen Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Dengan
adanya kemajemukan agama ini, hubungan harmonis antarumat beragama sangat
penting, demi teciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Perlu diketahui bersama
bahwa masyarakat tidak hidup berkelompok hanya dengan ras, suku dan agama yang
sama saja. Dengan berkembangnya dunia globalisasi dan pertumbuhan penduduk,
ditambah dengan adanya faktor-faktor mobilitas sosial, maka tentu saja pada sebuah
tempat bisa lebih dari satu ras atau agama yang dianutnya. Misalnya saja pada provinsi
kecil di Pulau Bali. Penduduknya mayoritas adalah masyarakat beragama hindu, sesuai
sejarah menyebutkan Dhang Hyang Dwijendra berlayar menyebarkan agama hindu
hingga sampai ke Bali. Itulah sebabnya Bali identik dengan masyarakat beragama
hindu dengan adat dan tradisi yang masih dianut dengan keharmonisan. Namun,
tahukah bahwa di pulau bali yang identik dengan hindu juga dibangun masjid, gereja,
konco dan tempat ibadah lainnya? Bahkan di sebuah desa, dua tempat ibadah dibangun
berdekatan. Disinilah letak wujud nyata dimana Indonesia sangat beragam dan
masyarakatnya hidup dalam keharmonisan.
Dalam rangka menjaga keharmonisan agama di Indonesia, pemerintah pada
tanggal 30 Nopember 1967 menyelenggarakan “ Musyawarah Antar Agama” di
Jakarta. Pemerintah sejak jaman dulu sudah sangat mendukung dan menginginkan
adanya keharmonisan umat beragama dalam berkehidupan yang harmonis, sehingga
hal ini sangat penting untuk dilakukan, khususnya menjaga kerukunan masyarakat dari
oknum-oknum yang bisa saja dengan sengaja memecah keharmonisan masyarakat
yang sudah hidup berdampingan sehak dulu. Namun pada saat Reformasi, justru terjadi
beberapa peristiwa dan masalah yang lebih krusial yang berdampak pada kehidupan
sosial beragama. Oknum-oknum yang menginginkan perpecahan dan
menenggelamkan umat beragama tertentu mulai berani melakukan kejahatan-
kejatahan demi memuaskan maksud mereka. Peristiwa di atas dampaknya dirasakan di
Denpasar Bali dengan terjadinya dua kali peristiwa Bom. Peristiwa lain, seperti konflik
warga, konflik desa adat, yang lebih bersifat lokal, tetapi tetap mempengaruhi
kehidupan beragama. Dalam kehidupan beragama masyarakat multikultural di bali,
bisa hidup berdampingan , namun di balik itu kadang kadang terjadi gesekan antara
satu agama dengan agama lain antara satu suku dengan suku dan antara adat dan suku
yang lain.
Untuk mencegah hal tersebut, maka Pemerintah Kota Denpasar membentuk
wadah yang di sebut Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) Denpasar.
Dengan adanya forum ini diharapkan harmonisasi umat beragama dapat menjadi
teladan bagi generasi kedepannya dan membantu menyelesaikan permasalahan yang
terjadi, tanpa perlu melihat adanya pertumpahan darah, aksi bom atau perang senjata
dan yang lainnya.

II. PEMBAHASAN
Indonesia dengan keberagamannya tentu sangat indah bila seluruh
masyarakatnya memiliki toleransi dan rasa saling menyayangi dengan sesama
masyarakat Indonesia. Namun, di balik keberagaman Indonesia yang kaya akan tradisi
dan adat yang berbeda-beda dari berbagai suku, ras, dan agama, ternyata menimbulkan
dua dampak yang sangat signifikan. Berikut akan dijabarkan dua hal terkait contoh
harmonisasi umat beragama dan contoh konfik atau biasa disebut disharmonisasi umat
beragama yang pada kesempatan ini penulis mengambil studi kasus di wilayah Bali.
A. CONTOH HARMONISASI
Hubungan sosial antar umat beragama khususnya di kota Denpasar Bali
didasari dari kependudukan yang sangat heterogen, baik dilihat dari segi agama
etnis, bahasa, karakter, adat Istiadat maupun jumlah para Intelektualnya. Suasana
kehidupan umat beragama, walaupun saling berbeda, mereka dapat hidup
berdampingan satu sama lainnya. Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan bahwa
salah satu penyebab mereka bisa berdampingan karena adanya hubungan
kekerabatan melalui perkawinan antarumat berbeda agama. Dampak adanya
kedekatan lebih lanjut menjadikan jumlah penganut masing masing Agama secara
tidak disadari di satu pihak bisa berkurang dan di lain pihak bisa bertambah.
Hubungan antar umat beragama di Denpasar Bali dapat dilihat dari kesadaran
masyarakat mengenai eksistensinya sebagai masyarakat multikultural yang
memiliki perbedaan serta memiliki persamaan hakikat, bahwa manusia berasal dari
satu asal yaitu Tuhan Yang Maha Esa, manusia adalah makhluk individu sekaligus
makhluk sosial yang memerlukan kebersamaan dan ketergantungan. Interaksi sosial
kemasyarakatan berjalan sebagaimana yang ada di tempat lain. Karena semua pihak
saling menerima, saling menghormati dan saling menghargai perbedaan, karena
menerima perbedaan berarti ingin hidup bersama, berdampingan dalam
kebersamaan dan kesejajaran

Keberhasilan Kerukunan Umat Beragama di Denpasar Bali, masih tetap terjaga


harmonisasinya karena umat beragama menyadari eksistensinya sebagai masyarakat
multikultural yang memiliki perbedaan. Disamping itu juga memiliki persamaan
hakikat, bahwa manusia berasal dari satu asal yaitu Tuhan Yang Maha Esa, manusia
adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang memerlukan kebersamaan
dan ketergantungan. Interaksi sosial kemasyarakatan berjalan sebagaimana yang
ada di tempat lain. Adanya kesalahfahaman, ketersinggungan yang muncul di
masyarakat Denpasar tidak sampai memicu konflik Sara sebagaimana yang lazim
terjadi. Fenomena tersebut ketika menghadapi Hari Raya keagamaan seperti, Hari
Raya Nyepi, bertepatan dengan hari jumat, di satu sisi umat Hindu menghendaki
agar tidak melakukan aktifitas di luar rumah (menyepi di rumah) sementara umat
Islam melaksanakan shalat Jumat harus keluar rumah menuju ke Mesjid. Hal seperti
itu, karena semua pihak saling menerima, saling menghormati dan saling
menghargai perbedaan, karena menerima perbedaan berarti ingin hidup bersama dan
berdampingan dalam kebersamaan dan kesejajaran.
Fenomena yang menarik tentang harmonisasi umat beragama khsuusnya di
denpasar bali adalah pembangunan 5 tempat suci di Mandala Nusa Dua Bali, di
bangun atas Prakarsa Presiden Soeharto di atas areal yang sama di pelataran bukit
Kampial Nusa Dua, atas bantuan Presiden dan swadaya masyarakat. Bangunan
tersebut tampa sekat pemisah, ini menunjukkan sebuah gambaran miniatur
kerukunan hidup antar umat beragama, yang keberadaannya bukan sebatas simbol
kaku tetapi cerminan dari Kebhinnekaan Tunggal Ika. Walaupun dalam proses
pembangunannya sulit mendapatkan izin, karena alasan tidak memenuhi syarat
pendirian bangunan rumah ibadat, yang harus mempunyai 500 kepala keluarga
(KK) akhirnya mendapat izin dari Menteri Agama, didukung dengan rasa toleransi
masyarakat yang mereka telah bina selama ini.

Upaya dalam menjaga harmonisasi umat beragama

Untuk menghindari konflik yang berfotensi akan muncul, maka melalui forum
Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) masalah kemanusiaan akan dapat
diungkap secara lebih mendalam antara pendalaman iman di satu sisi dengan
pergumulan kemanusiaan yang dihadapi di sisi lain. Dalam hal ini di butuhkan
orientasi baru untuk membangun budaya baru dari semua agama yang ada di
Denpasar. Dengan membangun orientasi kemanusiaan melalui budaya aksi untuk
kepentingan bersama, walaupun ada perbedaan keyakinan.

B. CONTOH DISHARMONISASI ATAU KONFLIK


Indonesia telah mengalami serangan terorisme yang brutal sejak tahun 2000.
Empat serangan teror terbesar yang pernah dialami Indonesia antara lain bom Bali
2002, bom di hotel J.W Marriot Jakarta 2003, kemudian bom di Kedutaan Besar
Australia di Jakarta 2004, dan bom bunuh diri kedua di Bali 2005. Dari keempat
serangan bom tersebut, menimbulkan kurang lebih 240 korban jiwa. Dari
penyelidikan Kepolisian Indonesia kemudian memunculkan satu nama organisasi
yang dianggap sebagai dalang semua serang teror di Indonesia, yaitu Jamaah
Islamiyah (JI).

Pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002, terjadi peristiwa pengeboman oleh
teroris di Bali, tepatnya di Sari Club dan Paddy’s Cafe di Jalan Legian, Kuta, Bali
yang mengakibatkan 202 orang tewas, 164 orang warga asing dari 24 negara, dan 38
orang lainnya warga Indonesia, serta 209 orang mengalami luka-luka. Bom berjenis
TNT seberat 1 kg dan bom RDX berbobot antara 50-150 kg tersebut dilakukan oleh
Ali Ghufron alias Mukhlas, Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra dan kawan-kawan
(liputan6.com/2014). Dari penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap para
pelaku, kemudian memunculkan organisasi Jamaah Islamiyah (JI) yang disebut
sebagai dalang dibalik bom Bali tersebut. JI diduga berafiliasi dengan organisasi
teroris paling diburu di dunia, yaitu Al Qaeda, dengan munculnya keterlibatan
Hambali, Komandan Operasi Militer JI, dengan Khalid Sheikh Mohammed, anggota
Al Qaeda dan juga otak pelaku bom 11 September (Hoffman, 2006:274). Bom Bali
yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal semakin menyudutkan Islam setelah
sebelumnya mendapatkan citra buruk oleh tragedi 11 September. Apalagi dengan
pengakuan para tersangka bom Bali tersebut yang mengakui bahwa tindakan
melakukan pengeboman tersebut dilatarbelakangi oleh agama. Dalam pengakuannya
dengan stasiun berita luar negeri dalam program Inside the Mind of a Terrorist! Bali
Bombers 2002, baik Ali Ghufron, Amrozi, dan Imam Samudra mengakui bahwa
tindakan mereka didorong oleh motivasi agama. Sebagai bentuk qisas atau
pembalasan terhadap Amerika Serikat dan sekutunya, seperti Inggris dan Australia
yang dianggap telah melakukan pembantaian terhadap saudara sesama Muslim di
Afghanistan, Palestina, Moro (Filipina) dan Bosnia (www.youtube.com).

Upaya dalam mencegah disharmonisasi umat beragama (mengurangi konflik)

Eksekusi mati terhadap trio pelaku bom Bali (Mukhlas, Amrozi, dan Imam
Samudera) pada 8 November 2008 lalu menjadi tanda ketegasan pemerintah
Indonesia dalam menanggulangi aksi terorisme. Pasalnya, pasca eksekusi mati
tersebut, Densus 88 Antiteror juga berhasil melumpuhkan salah seorang gembong
teroris terkenal Asia Tenggara, Noordin M. Top pada 17 September 2009 di Solo,
Jawa Tengah (bbc.com/2010). Sebelumnya, pada 9 September 2005, gembong
teroris lain, Dr. Azahari, juga berhasil dilumpuhkan oleh Densus 88 di Batu, Malang,
Jawa Timur (tempo.co/2005). Selain kedua nama tersebut, gembong teroris Hambali
telah terlebih dahulu tertangkap oleh CIA (Central Intelligence Agency), di Thailand
pada tahun 2003 (liputan6.com/2003) dan Umar Patek yang berhasil ditangkap di
Pakistan pada 2011 (dw.com/2012). Praktis, kematian dan ditangkapnya tokoh-tokoh
yang dianggap sebagai gembong teroris yang terlibat dalam serangkaian bom di
Indonesia, menyebabkan melemahnya gerakan terorisme di Indonesia. Hal itu
terbukti dengan mulai surutnya aksi-aksi terorisme sejak kematian Noordin M. Top
pada tahun 2009 hingga 2010.

Dampak dari peristiwa disharmonisasi umat beragama

Menurut hukum sebab-akibat, suatu tindakan pasti memiliki akibat atau akibat
yang terjadi, terlepas dari apakah orang yang melakukan tindakan itu atau orang lain
yang menerima akibatnya. Dalam kasus Bom Bali itu sendiri tentu berdampak,
apalagi tragedi seperti Bom Bali sudah menjadi peristiwa nasional dan internasional
karena korbannya juga berasal dari luar Indonesia. Bom Bali memiliki dampak
langsung dan tidak langsung. Kematian dan luka-luka, adanya korban yang
mendapat perawatan, dan kerusakan infrastruktur dan fasilitas umum merupakan
akibat langsung dari bom Bali. Sementara itu, baik wisatawan domestik maupun
mancanegara secara tidak langsung terkena imbas dari keberangkatan besar-besaran
dari Bali. Selain itu, dampak penurunan wisman ke Bali mulai terasa. Pencegahan
dan pemberantasan terorisme di Indonesia bukan hanya masalah hukum dan
penegakannya, tetapi juga masalah sosial, budaya dan ekonomi yang terkait dengan
ketahanan negara, sehingga kebijakan dan tindakan pencegahan dan pemberantasan
juga harus bertujuan untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
C. PERSPEKTIF HINDU DALAM MENGUATKAN HARMONISASI
(MODERASI BERAGAMA)

Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan


kerukunan, baik ditingkat lokal, nasional, maupung lobal. Pilihan pada moderasi
dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci
keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan
cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara
terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi


bukan pilihan, melainkan keharusan. Gerakan moderasi beragama yang diusung oleh
kementerian agama pada akhirnya menemukan momentumnya. Framming moderasi
beragama penting dalam mengelola kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia
yang plural dan multikultural. Menariknya, ternyata semua agama yang diakui di
Indonesia juga mengenal ajaran moderasi beragama.

Khususnya dalam tradisi Hindu, akar ruh moderasi beragama, atau jalan tengah,
dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang. Periode itu terdiri dari gabungan
empat Yuga yang dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga.
Dalam setiap Yuga umat Hindu mengadaptasikan ajaran-ajarannya sebagai bentuk
moderasi. Untuk mengatasi kemelut zaman dan menyesuaikan irama ajaran agama
dengan watak zaman, moderasi tidak bisa dihindari dan menjadi keharusan sejarah.

Praktik agama yang dilaksanakan umat Hindu Indonesia pada zaman modern
seperti sekarang ini adalah Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah. Keduanya menjadi
poros utama pembangunan peradaban Hindu Indonesia sejak terbentuknya Parisadha
di tahun 1960an. Praktik kedua teologi ini berkelindan dengan banyak praktik agama
Hindu lain. Seni dan ritual menjadi penunjang yang menyemarakkan Puja Tri Sandhya
dan Panca Sembah.
Berkaitan dengan moderasi beragama, ajaran agama Hindu yang terpenting
adalah susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara sesama
manusia, yang menjadi salah satu dari tiga penyebab kesejahteraan. Kasih sayang
adalah hal yang utama dalam moderasi di semua agama. Hal ini termuat dalam ajaran
agama hindu yang disebut Tri Hita Karana.

Tri hita karana berasal dari bahasa sanskerta yang terbentuk dari tiga kata,
yaitu Tri artinya tiga, Hita artinya kebahagiaan atau sejahtera dan Karana artinya sebab
atau penyebab. Pada hakikatnya falsafah ini mengandung pengertian tiga penyebab
kebahagiaan itu bersumber pada keharmonisan tiga hubungan itu. Yang mengajarkan
bagaimana agar manusia mencapai keseimbangan dan keselarasan hidup. Konsep ini
menggambarkan keseimbangan dan keselarasan hidup akan tercapai jika manusia
menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, menjalin hubungan baik dengan sesama
manusia, dan menjalin hubungan baik dengan lingkungan atau alam.

Tri Hita Karana terdiri dari 3 bagian yaitu :

1. Parhyangan (Hubungan Manusia Dengan Tuhan) Parhyangan merupakan hubungan


Manusia dengan Tuhan, yang menegaskan bahwa kita harus selalu sujud bakti kepada
Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya.

2. Palemahan (Hubungan Manusia Dengan Alam) Palemahan merupakan hubungan


manusia dengan lingkungan/alam. Lingkungan/alam ini mencangkup tumbuh-
tumbuhan, binatang dan hal-hal lain.

3. Pawongan (Hubungan Manusia Dengan Manusia) Pawongan merupakan hubungan


manusia dengan sesamanya, manusia diharuskan membentuk hubungan yang selaras
dengan manusia lainnya. Hubungan yang selaras tersebut dapat diwujudkan dalam
hubungan dalam keluarga, hubungan dalam persahabatan, dan hubungan dalam
pekerjaan. Pawongan mempunyai makna kita harus bisa menjaga keharmonisan
hubungan dengan keluarga, teman dan masyarakat.
III. KESIMPULAN

Dengan berkembangnya dunia globalisasi dan pertumbuhan penduduk,


ditambah dengan adanya faktor-faktor mobilitas sosial, maka tentu saja pada sebuah
tempat bisa lebih dari satu ras atau agama yang dianutnya. Dengan keberagaman yang
ada pada setiap wilayah terutama keyakinan dalam beragama, maka tentu saja untuk
menciptakan sebuah negara yang harmonis dan toleran ada beberapa upaya yang patut
dilakukan diantaranya:

1) Upaya dalam menjaga harmonisasi umat beragama yang bertujuan untuk


menghindari konflik yang berpotensi akan muncul, maka melalui forum Kerukunan
Antar Umat Beragama masalah kemanusiaan akan dapat diungkap secara lebih
mendalam antara pendalaman iman di satu sisi dengan pergumulan kemanusiaan
yang dihadapi di sisi lain.
2) Upaya dalam mencegah disharmonisasi umat beragama khususnya dalam kasus ini
adalah peristiwa Bom bali yaitu Eksekusi mati terhadap trio pelaku bom Bali pada
8 November 2008 lalu menjadi tanda ketegasan pemerintah Indonesia dalam
menanggulangi aksi terorisme. Dalam kasus Bom Bali itu sendiri tentu berdampak,
apalagi tragedi seperti Bom Bali sudah menjadi peristiwa nasional dan internasional
karena korbannya juga berasal dari luar Indonesia.
3) Selain upaya hukum dan pemerintah, terdapat juga upaya dalam sudut pandang
agama khususnya agama hindu yang mana menunjukkan bahwa dalam moderasi
beragama kita hendaknya berpatokan juga pada ajaran agama hindu “susila” yang
memiliki arti berprilaku yang baik, juga tidak lupa menjaga keharmonisan antar
umat beragama yang tercantum dalam Tri Hita Karana yang menyebutkan
Phawongan.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Dewi, and Siti Suhartinah. "Toleransi Antar Umat Beragama Perspektif
KH. Ali Mustafa Yaqub." Jurnal Studi Al-Qur'an 14.1 (2018): 59-77.
Anwar, Moh Khoiril. "Dialog Antar Umat Beragama di Indonesia: Perspektif A. Mukti
Ali." Jurnal Dakwah 19.1 (2018): 89-107.
Gunawijaya, I. Wayan Titra. "Moderasi Beragama: Meningkatkan Kerukunan dalam
Perspektif Susastra Hindu." Caraka: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 2.1
(2022): 63-68.
Mutiarani, Azizah Tri. "KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERISTIWA BOM BALI."
Pratama, Wayan Nanda Khrisna. Faktor-Faktor Ketangguhan Kawasan Akibat
Perstiwa Bom Bali di Kelurahan Kuta. Diss. Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
2017.
Saleh, Syamsudduha. "Kerukunan umat beragama di denpasar Bali." Jurnal
Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam 17.1 (2013): 167-175.

Anda mungkin juga menyukai