Anda di halaman 1dari 6

Solidaritas Sosial Masyarakat Di Daerah Sekitar Industri Interelasi Kelompok Dalam Masyarakat 20 07 2008

MODEL INTERAKSI SOSIAL ANTARUMAT AGAMA*)


Posted by: Rudi, in Sosial

*) atas jasa baik sahabatku Yusar I. PENDAHULUAN Dalam masyarakat plural, seperti Indonesia, perbincangan mengenai relasi antara agama, demokrasi, dan multikulturalisme merupakan tema yang selalu menarik dan tak ada habishabisnya untuk didiskusikan (Suparlan, 2001). Cita-cita mewujudkan demokrasi hampir selalu menyinggung agama dan keragaman budaya, karena demokrasi tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa menempatkan agama secara benar dan memberikan apresiasi terhadap keragaman budaya . Jika tidak dikelola dengan baik, bukan mustahil persinggungan agama-agama akan mendatangkan masalah bagi stabilitas demokrasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kita kerap dihadapkan pada kenyataan banyaknya konflik dan ketegangan yang dipicu oleh sentimen keagamaan. Demikian juga keragaman kultural belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya. Alihalih sebagai kekuatan pendorong dinamika kehidupan berbangsa, keragaman kultural justru menambah panjang daftar percekcokan di kalangan masyarakat akar rumput. Dalam teori sosial, penggunaan wacana multikulturalisme sebenarnya masih membingungkan. Namun, dari wacana yang berkembang di Indonesia, multikulturalisme rupanya hendak dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Secara normatif-doktriner, setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta-kasih dan kerukunan. Akan tetapi, dalam kenyataan sosiologis, agama justru sering memperlihatkan wajah konflik yang tak kunjung reda, ketegangan dan kerusuhan. Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi baru-baru ini di beberapa daerah di Indonesia seperti di Sambas, Aceh, Kupang, Ambon dan beberapa daerah lainnya, yang mengakibatkan kerugian yang besar baik berupa material maupun nyawa, moral dan immaterial yang dipicu oleh komunitas antarumat beragama. Dalam peristiwa ini nampak bahwa manusia ingin menarik batas yang tegas antara kami ( yang satu daerah, satu kebudayaan, satu etnis, dan satu sistem kepercayaan) dan mereka (yang berbeda daerah, kebudayaan, etnis, dan sistem kepercayaan) (Sairin, 2002). Realitas di atas memang tidak mencerminkan kehidupan keberagamaan secara keseluruhan. Kehidupan beragama di wilayah Kota Bandung kondisi keberagaman dapat dirasakan terutama di daerah yang heterogenitas religinya tinggi. Kondisi masyarakat Bandung tergolong masyarakat urban, terbuka, dan heterogen secara etnis maupun religi. Heterogenitas ini muncul diakibatkan laju urbanisasi, tersedianya pelayanan pendidikan, pekerjaan, dan ditambah dengan masuknya etnis Tionghoa baik dari Daratan Cina maupun dari Taiwan pasca revolusi di Cina. Kehidupan masyarakat Kota Bandung pada awalnya berpedoman kepada sistem nilai-nilai

budaya Sunda, dengan Islam sebagai agamanya. Seperti kelompok-kelompok masyarakat kota besar, sistem perkawinan adat, sistem kepemimpinan tradisional, pola pemukiman tradisional dan sistem kemasyarakatan sudah memudar namun sikap toleransi antarumat beragama masih menjadi landasan sosial bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Bandung. Di Kota Bandung terdapat berbagai kelompok suku bangsa diantaranya adalah : Suku bangsa Sunda, Jawa, Batak, Minang, Palembang, dan etnis Tionghoa. Suku Sunda, Jawa, Minang, dan Palembang mayoritas beragama Islam. Sementara suku bangsa Batak kebanyakan beragama Protestan yang terhimpun dalam Huria Kristen Batak Protestan. Etnis Tionghoa banyak yang meninggalkan ajaran Kong Hu Chu dan lebih memilih masuk menjadi penganut agama Kristiani, baik Katolik maupun Protestan (BPS, 2003). Mengacu pada Geertz (1960) seluruh komponen masyarakat tersebut tercakup dalam kelompok sosial yang relatif sama, memegang banyak nilai yang sama, dan bagaimanapun juga tidak mudah untuk didefinisikan sebagai kesatuan sosial. Hal ini terlihat dari praktek-praktek keagamaan mereka. Kehidupan keagamaan masyarakat Kota Bandung, terdiri dari: Agama Islam, Katolik, Kristen-Protestan, dan Tionghoa yang memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi. Merujuk pada Keesing (1992), agama memiliki fungsi untuk menambah intensitas pengalaman bersama dan intensitas pergaulan sosial. Agama-agama yang dianut oleh penduduk Kota Bandung hidup berdampingan secara damai. Sebagai contoh, pada penyelenggaraan Tahun Baru Imlek . Perayaan Tahun Baru Cina ini menampilkan atraksi Barongsai yang menarik perhatian dan menjadi bahan tontonan masyarakat Bandung karena atraksi Barongsai yang akrobatik, unik, dan menghibur. Sebagian orang berpendapat bahwa Tahun baru Imlek adalah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Tionghoa namun sebagaian lainnya menyatakan bahwa Tahun baru Cina adalah rangkaian ritus keagamaan Kong Hu Chu, karena di dalamnya terdapat simbolisasi permohonan dari manusia kepada Tuhannya berupa kemakmuran atau kesejahteraan. Perbedaan dan heterogenitas agama yang ada di Kota Bandung sebenarnya menyimpan potensi konflik berbau SARA. Hal ini pernah terjadi di pertengahan tahun 1970an, melibatkan kaum pribumi dengan etnis Tionghoa. Dalam konteks kekinian konflik berbau sara di Kota Bandungdapat diredam secara efektif walaupun tidak dapat dihilangkan sama sekali. II. IDENTIFIKASI MASALAH Tidaklah berlebihan bila wacana tentang model landasan sosial antarumat beragama dalam memelihara ketahanan dan ketertiban masyarakat pada daerah urban yang heterogen ini sangat urgen untuk dilakukan. Pada umumnya masyarakat Kota Bandung yang beragama Islam masih berpedoman kepada nilai-nilai agama secara turun temurun dalam kehidupan sehari-hari. Di lain sisi, etnis Tionghoa dengan pemahaman Kong Hu Chu nya berhadapan dengan lingkungan masyarakat yang mayoritas Islam yang justeru dalam tataran tertentu memiliki sikap stereotipe terhadap mereka. Solidaritas masyarakat berdasarkan perbedaan agama yang tumbuh di lingkungan perkotaan Bandung, bersifat pada tataran sosial, bukan pada tataran religius. Artinya bahwa solidaritas muncul pada aktivitas-aktivitas duniawi bukan pada permasalahan pelaksanaan ibadah keagamaan. Dalam permasalahan peribadatan, masing-masing golongan agama melakukan ritualnya sendiri-sendiri dan tidak bercampur baur dengan golongan agama lain. Solidaritas ini mencerminkan adanya suatu integrasi sosial yang unsur-unsurnya saling berhubungan. Geertz (1957 dalam Keesing, 1992) menyatakan bahwa integrasi sistem sosial bersifat struktural-fungsional, dalam arti pengkaitan lembaga-lembaga dan cara-cara untuk mendefinisikan hubungan-hubungan sosial. Berdasarkan dasar pemikiran di atas, penulis memfokuskan pada permasalahan faktor-faktor melatarbelakangi landasan interaksi sosial antarumat beragama dalam memelihara ketahanan

dan ketertiban masyarakat perkotaan Bandung dan bagaimana menggali, menemukan landasan interaksi sosial antarumat beragama dalam memelihara ketahanan dan ketertiban masyarakat urban. Makalah ini ini diarahkan dalam tiga tujuan, yaitu: 1] Mengidentifikasikan dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi landasan interaksi sosial antarumat beragama dalam memelihara ketahanan dan ketertiban masyarakat Kota Bandung. 2] Menggali dan menemukan landasan interaksi sosial antarumat beragama dalam memelihara ketahanan dan ketertiban masyarakat Kota Bandung 3] Merumuskan dan menemukan model landasan interaksi sosial antarumat beragama dalam memelihara ketahanan dan ketertiban masyarakat Kota Bandung. III. SOLIDARITAS ANTARUMAT ISLAM DAN TIONGHOA BANDUNG 3.1. Latar Belakang Interaksi dan Solidaritas Sosial Antarumat Beragama Interaksi sosial antarumat beragama di Kota Bandung dilatarbelakangi oleh faktor pola pemukiman. Pola pemukiman di Kota Bandung pada umumnya bersifat gabungan antara linear dan sentifugal (memusat). Pola ini memungkinkan setiap rumah untuk saling berhadapan dengan rumah di depannya dan berjejer secara rata dengan rumah di sampingnya. Letak rumah demikian memungkinkan warga kota untuk saling bertemu dan mengenali bahwa seseorang itu adalah tetangganya. Pola pemukiman perkotaan di Bandung merupakan kesatuan teritorial yang heterogen. Dalam relung-relung kota belum nampak adanya enklave suatu golongan masyarakat yang beretnis dan beragama tertentu yang mendiami seputaran wilayah tersebut. Pada daerah permukiman tua/tradisionil kota Bandung, misalkan sekitar Jalan Cibadak, Lengkong, Pasirkaliki, Pasar Baru, ataupun Kacapiring, heterogenitas masyarakat perkotaan lebih dapat dilihat dengan jelas. Di wilayah Jalan Cibadak khususnya, daerah ini memiliki penduduk Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar dan beberapa Kelenteng (rumah ibadat golongan Kong Hu Chu). Warga asli daerah setempat sudah sukar diidentifikasi karena etnis Tionghoa pun merasa sebagai warga asli daerah tersebut. Keberagaman religi yang terdapat di daerah ini terbagi paling tidak atas 4 (empat) golongan, yaitu Islam, Katolik, Protestan, dan Kong Hu Chu. Etnis Tionghoa dapat masuk dalam ke-empat religi tadi, artinya mereka ada yang menganut Islam, Katolik, Protestan, dan Kong Hu Chu. Secara kategoris, penduduk non Tionghoa adalah beragama Islam, sementara penduduk Tionghoa terbagi atas Kristiani dan Tionghoa. Secara jumlah, etnis Tionghoa kebanyakan menganut agama Kristiani. Di wilayah Cibadak ini pula dapat kita temukan tiga jenis rumah peribadatan yang berbeda dalam satu area RW (Rukun Warga). Tiga jenis rumah peribadatan tersebut adalah mesjid, gereja, dan kelenteng. Kecuali kelenteng, mesjid dan gereja memiliki waktu ibadat yang rutin, yaitu hari Jumat bagi mesjid dan hari Minggu bagi gereja. Kelenteng hanya ramai pada harihari tertentu saja, misalkan pada perayaan Tahun Baru Imlek. Pada Tahun baru Imlek di daerah Cibadak, digelar pertunjukan Barongsai. Sekitar 10-15 orang personel Barongsai melakukan atraksi dimulai dari kelenteng tempat penyelenggara Tahun Baru Imlek kemudian menyusuri jalanan hingga Jalan Jendral Sudirman lalu masuk ke Jalan Kelenteng di mana kelenteng terbesar berada. Arak-arakan Barongsai diiringi musik perkusi a la Cina ini mendapat perhatian dan menjadi tontonan bagi warga sekitar. Mereka ingin menyaksikan atraksi akrobatik yang dilakukan oleh Barongsai-barongsai itu yang dilakukan secara lincah. Para pemain Barongsai adalah pemuda setempat. Mereka berasal dari gabungan agama-agama yang ada di daerah Cibadak, bahkan pemain Barongsai kebanyakan adalah beragama Islam. Di daerah ini terdapat sekolah Barongsai yang dimiliki oleh seorang Sunda yang menganut agama Islam. Pelatih-pelatih Barongsai berasal dari pemuda-pemuda setempat, kebanyakan dari umat Islam, sisanya dari umat non-Islam. Penonton Barongsai tidak hanya umat Tionghoa, melainkan umat Islam yang berada di tempat

itu juga. Mereka berbaur untuk menyaksikan arak-arakan Barongsai sambil bersendagurau diantara penduduk yang berbeda agama tersebut tanpa ada rasa canggung karena perbedaan agama. Kenyataan itulah yang sehari-hari ditemui di daerah Jalan Cibadak. Stereotip tentang Tionghoa tidak nampak kecuali karena perbedaan bentuk ragawi. Dalam kesehariannya, warga yang berbeda agama nampak akrab. Warung kopi atau kios menjadi media yang ampuh dalam mewujudkan integrasi antarumat dan efektif sebagai peredam konflik. Pada warung-warung kopi atau kios seperti ini dapat terlihat bagaimana warga Muslim dan non Muslim yang berusia dewasa duduk bersama berkomunikasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan permukiman mereka atau isu-isu nasional seperti kepemimpinan pemerintahan ataupun bencana yang melanda suatu daerah. Bagi kaum muda, rental permainan PS (Play Station) adalah sarana mereka untuk melakukan interaksi antar umat beragama. Hal ini senada dengan apa yang pernah di tulis oleh Yusar (2004) tentang Warung dan Rental PS sebagai sarana integrasi sosial di wilayah pusat kota. Bagi anak-anak, sekolah, jalan, trotoar, dan halaman rumah merupakan sarana mereka untuk melakukan interaksi sosial antarumat. Kegiatan ibu-ibu pun seperti arisan memiliki fungsi yang sama. Anggota perkumpulan arisan diikuti oleh seluruh golongan agama. Pada masyarakat di daerah Jalan Cibadak tercipta suatu model interaksi antarumat yang berbeda agama yang menunju kearah tercapainya solidaritas dan integrasi sosial. Secara natural namun berproses, masyarakat di tempat ini telah melakukan suatu operasionalisasi atas konsep multikulturalisme yang menempatkan persamaan derajat antara indiviidu, golongan masyarakat, kebudayaan, dan agama yang mereka anut. 3.2. Konsepsi Multikulturalisme Sebagai Landasan Interaksi Sosial Antarumat Beragama dalam Perayaan Tahun Baru Imlek Acuan utama bagi terwujudnya solidaritas keberagaman religi masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakatmasyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsepkonsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002). Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli

harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Perlu kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial. (Suparlan, 2002). 3.2 Model Interaksi Sosial Antarumat Beragama Masyarakat Kota Bandung tergolong masyarakat urban industri yang masih periferi. Masyarakat hidup membaur dalam pluralitas etnis suku bangsa, sosial dan agama. Secara historis kehidupan masyarakat ini pernah mengalami konflik antarumat beragama namun tidak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan, para penganut agama yang berbeda tidak pernah mempersoalkan masalah perbedaan baik masalah sosial, ekonomi maupun agama. Oleh karena itu, fenomena suasana kebersamaan dalam umat beragama tersebut tampak dalam beberapa aktivitas, antara lain: a] Kerjasama sosial yang melibatkan antarumat beragama, seperti dalam upacara perkawinan, upacara kematian, pembangunan sarana dan prasana umum. b] Saling kunjung para tokoh agama baik ke gereja ataupun ke masjid, seperti dalam acara pertemuan masyarakat. Berdasarkan fenomena itu, sebenarnya terwujudnya interaksi sosial antarumat beragama tersebut didorong oleh beberapa faktor, yaitu: 1] Faktor lokasi permukiman, yang ada sejak revolusi Komunis Cina 2] sifat pembauran yang telah berjalan sekira 50 tahun 3] adanya keinginan dari etnis Tionghoa yang bukan Islam untuk menghormati kebudayaan Islam setempat (tidak menjual daging babi secara terang-terangan misalnya). 4] Ada persepsi antarumat agama, bahwa perbedaan agama merupakan masalah yang lazim dan harus diterima. 5] Tidak adanya provokasi yang menimbulkan perpecahan, baik oleh masyarakat, tokoh dan pemimpin maupun pihak ketiga. 6] Tingkat kemakmuran yang relatif selisihnya tidak besar. FA IV. PENUTUP Atas uraian makalah di atas, penulis menyimpulkan bahwa faktor yang melatarbelakangi penyelesaian sengketa tersebut melalui pranata-pranata yang tersedia di daerah setempat. Kehidupan umat-umat beragama di bandung memiliki nilai-nilai kebudayaannya yang terumuskan ke dalam struktur sosial dan organisasi sosial yang berkaitan dengan identifikasi masyarakat. Dengan mengkaji struktur sosial dan organisasi sosial tersebut, penulis dapat mengamati peristiwa-peristiwa khusus mengenai proses integrasi dan solidaritas sosial secara suka rela. Peristiwa-peristiwa khusus itu bukan sengketa, sehingga dapat mengungkap perilaku sesuai dan merupakan acuan normatif yang digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai kesamaan derajat antarumat beragama. Karena itu, dapat dipahami bahwa sistem kemasyarakatan yang berlaku dalam masyarakat Bandung adalah mengacu pada konsep multikulturalisme yang mengakui perbedaan-perbedaan namun memiliki derajat yang sama. Penyamaan derajat ini diberlakukan untuk semua orang yang menetap di lokasi setempat secara alamiah dan spontan. Kondisi dan suasana kehidupan antarumat beragama di Kota Bandung terlihat baik dan tidak ada konflik. Bentuk kerukunan ini termanifestasi dalam ketaatan pada keseimbangan sosial dan secara tidak sadar menjalankan prisnsip-prinsip yang terkandung dalam teori StrukturalFungsional yang kongkrit dalam hubungan sosial dan kemanusiaan misalnya, pada pelaksanaan acara keagamaan, perkawinan, upacara kematian, pembangunan sarana umum dan lain sebagainya. Dengan demikian, tampak jelas bahwa pranata perdamaian yang tersedia itu digunakan untuk memelihara ketertiban dan ketahanan untuk menciptakan integrasi antarumat beragama.

Demikian juga tampak jelas bahwa kehidupan masyarakat Kota Bandung memiliki semacam arena sosial yang bersifat terbatas (semi outomous social field), di mana interaksi antara umat beragama mereka ciptakan sendiri, tanpa campuran tangan dari negara atau organisasi politik ynag lebih tinggi otoritasnya. DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik, 2003, Demografi Kota Bandung, Bandung: BPS. Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell Geertz, Clifford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terj), Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya Jary, David dan Julia Jary, 1991, Multiculturalism. Hal.319. Dictionary of Sociology. New York: Harper. Keesing, Roger M., 1992, Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer, Jakarta: Penerbit Erlangga. Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin. Rex, John, 1985, The Concept of Multicultural Society. Occassional Paper in Ethnic Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic Relations (CRER). Suparlan, Parsudi, 2001a, Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? makalah disampaikan dalam Seminar Menuju Indonesia Baru. Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001. _________ , 2001b, Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme . Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001. _________ , 2002a, Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6, hal. 1-12. Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press

Anda mungkin juga menyukai