Anda di halaman 1dari 15

SATU SUKU DUA AGAMA

(Studi Dinamika Komunikasi Masyarakat Islam dan Kristen di Desa Palak


Bengkerung Kabupaten Bengkulu Selatan Propinsi Bengkulu)

Robeet Thadi, S.Sos., M.Si


Absatrak
Komunikasi antaragama yang melibatkan manusia sebagai pelakunya melibatkan dua
nilai yang saling terikat, yakni nilai agama dan nilai budaya. Kedua nilai ini akan
menentukan bagaimana pola komunikasi masyarakat berbeda agama. Kajian ini ingin
merunut sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam dan Kristen di desa Palak
Bengkerung kecamatan Air Nipis Bengkulu Selatan. Dari konteks komunikasi
mengungkap pola komunikasi antara masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak
Bengkerung kecamatan Air Nipis pada berbagai aspek kehidupan. Sementara secara
kognisi melalui persepsi, sikap dan tindakan memunculkan klasifikasi sikap penganut
agama. Kesemua itu bermuara kepada model komunikasi antar agama di desa Palak
Bengkerung.

Kata Kunci: Agama, Komunikasi, Interaksi.

Pendahuluan
Indonesia merupakan bangsa yang paling majemuk alih-alih pluarlitas di dunia ini,
fenomena ini merupakan suatu kenyataan yang tak terbantahkan karena hal tersebut telah
menjadi bagian dari sejarah panjang perjalanan hidup bangsa Indonesia. Dinamika hidup
berdampingan diantara perbedaan menjadi warna kehidupan tersendiri bagi perjalanan bangsa
ini. Bhineka Tunggal Ika barangkali inilah konsep ideal dalam mempersatukan bengsa Indonesia
dari berbagai sisi kehidupan dalam mengikat/penyatuan beragam bahasa, suku bangsa (etnis) dan
agama.
Sejarah panjang pluralitas kehidupan bernegara terutama suku/etnis dan agama di
Indonesia, sarat dengan dinamika. Pada masa pemerintahan Orde Baru misalnya, kehidupan
masyarakat berjalan apa adanya. Orang dengan suku, bahasa, budaya, kepercayaan dan agama
yang berbeda, pada umumnya bisa hidup berdampingan dengan penuh kerukunan. Meskipun
gesekan dan konflik kerap kali terjadi, namun tragedi itu dapat diantisipasi dengan cepat oleh

1
pemerintahan yang represif saat itu. Bentuk hubungan antar kelompok di masyarakat berubah
seiring dengan pergantian rezim, dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Orde Reformasi.
Dibukanya ‘kran’ kebebasan saat masa reformasi telah membuat konflik di tanah air
makin marak. Di antara konflik yang pernah terjadi adalah koflik Ketapang (Desember 1998),
Kupang (Desember, 1998), Ambon (1998-2004), Sampit (1999), Mataram (Januari, 2000), Poso
(2003-2004), dan Sulawesi Barat (2004). Pada umumnya, semua konflik di atas dilatar belakangi
oleh beberapa aspek, antara lain, faktor politik, ketegangan antar etnik, sentimen keagamaan,
kesenjangan budaya dan kesenjangan ekonomi. Meskipun tidak semua konflik yang muncul
berlatar belakang sentimen keagamaan, namun kebanyakan konflik yang terjadi selalu
melibatkan simbol dan atribut keagamaan. Tempat-tempat ibadah seperti gereja dan masjid
selalu menjadi sasaran pelampiasan kemarahan para perusuh. Bahkan simbol dan semboyan
keagamaan seperti perang jihad, misi suci, selalu digunakan untuk mengobarkan semangat dan
integritas perlawanan.
Konflik budaya (termasuk di dalamnya agama) adalah bentuk konflik baru yang akan
mewarnai perjalanan hidup masyarakat modern setelah berakhirnya masa perang dingin.
Setidaknya inilah yang termuat dari tesis kontroversial yang diberikan oleh Samuel Hantington
dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of Word Order. Menurut
Hantington (2003, 8-10), bahwa faktor ideologi, politik dan ekonomi tidak lagi menjadi faktor
fundamental penyebab terjadinya konflik, namun benturan peradaban akan mewarnai fenomena
kehidupan global. Lebih lanjut Hantintong mengatakan bahwa agama merupakan faktor utama
dalam perbedaan antara peradaban, yang juga berkaitan dengan sejarah, bahasa, budaya, dan
tradisi.
Idealnya agama memberikan kontribusi yang positif dalam kehidupan manusia keseluruhan di
dunia, di tengah semakin banyaknya persoalan dan tantangan yang muncul dalam kehidupan
kontemporer. Menurut Sugiharto (dalam Andito (ed), 1998: 29), minimal ada tiga tantangan
yang dihadapi oleh agama. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai
disorientasi nilai dan degradasi moralitas, maka agama ditantang untuk lebih tampil sebagai
suara moral yang otentik. Kedua, siap atau tidak, agama harus menghadapi kecenderungan
pluralisme, mengolahnya dalam kerangka teologi baru, dan mewujudkanya dalam aksi-aksi kerja
sama plural. Ketiga, bila agama ingin berperan penting dalam situasi kemelut posmodern ia
mesti tampil dengan cara apapun, sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan

2
dan ketidak adilan, termasuk “ketidakadilan kognitif,” yang biasanya diciptakan antara lain
justru oleh agama-agama itu sendiri.
Peran ideal agama di tengah beragamnya masalah kehidupan masyarakat tersebut masih susah
diwujudkan, karena disebabkan oleh beberapa faktor (Sugiharto dalam Andito, 1998: 31-32):
Pertama, kemelut dalam tubuh masing-masing agama sendiri sering kali memproyeksi keluar.
Sikap agresif berlebihan terhadap pemeluk agama lain sering kali merupakan ungkapan yang tak
disadari dari chaos dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri. Kedua, paham tentang
kemutlakan Tuhan –yang umumnya dianut oleh hampir semua agama besar- juga memudahkan
orang untuk mengidentikkan kemutlakan itu dengan kemutlakan agamanya. Keyakinan macam
ini, betapapun masuk akalnya, secara psikologis memudahkan orang untuk melegitimasi segala
tindakan kekerasannya sebagai “dikehendaki oleh Tuhan.” Ketiga, keyakinan bahwa segala
tindakan kekerasan terhadap agama lain akan diganjar pahala oleh Tuhan, tentu saja
menyebabkan kekerasan terhadap umat yang beragama lain akan menjadi bagian dari keutamaan
moral. Keempat, dengan naik daunnya posisi agama dalam konstelasi peradaban kini, agama pun
menjadi rawan untuk ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan kultural
kelompok-kelompok tertentu atau pribadi.
Realitas kehidupan beragama (termasuk hubungan di antara umat beragama) adalah suatu
fenomena yang selalu menarik untuk dikaji. Apalagi fenomena tersebut sarat dengan nuansa
yang ‘unik’ bila dibandingkan dengan fenomena (wilayah) lainnya. Hal inilah yang penulis lihat
di desa Palak Bengkerung Kecamatan Air Nipis (daerah yang digunakan sebagai lokasi kajian).
Desa Palak Bengkerung adalah satu-satunya desa di kecamatan Air Nipis (bahkan Kabupaten
Bengkulu selatan) yang didiami oleh dua komunitas agama yang berbeda (Islam dan Kristen),
namun mereka berasal dari suku yang sama, yaitu suku Serawai, bahkan ada dalam satu keluarga
memiliki agama yang berbeda (Islam dan Kristen). Dalam sejarah kehidupan mereka, hingga
akhir ini menunjukkan nuansa yang relatif damai ketimbang wilayah-wilayah yang memiliki
pluralitas agama di wilayah Indonesia lainnya.
Fenomena komunikasi dan interaksi yang terjadi antara komunitas Kristen dan Islam di suatu
desa di kecamatan Air Nipis kabupaten Bengkulu Selatan adalah suatu realitas hidup yang
menarik untuk dikaji. Setidaknya, dari kajian ini akan ditemukan bagaimana bentuk dan pola
komunikasi yang berlangsung di antara pemeluk agama (Islam dan Kristen), termasuk
bagaimana persepsi mereka tentang anggota masyarakat yang berlainan agama. Yang tidak kalah

3
pentingnya adalah bagaimana perasaan dan pengalaman yang mereka rasakan selama hidup
berdampingan. Lebih jauh lagi, kajian ini ingin mengetahui bagaimana kontribusi aspek budaya
sosial (budaya suku/etnis) yang sama-sama dianut oleh mereka (budaya Serawai) terhadap corak
interaksi yang berlangsung.
Fokus masalah dalam kajian ini adalah bagaimana dinamika komunikasi antara
masyarakat Islam dan masyarakat Kristen di kecamatan Air Nipis. Untuk mengetahui tentang hal
tersebut, sekaligus agar lebih sistimatisnya kajian ini, berikut akan diurutkan beberapa
permasalahan kajian. Pertama, bagaimana sejarah hubungan antaragama (Islam dan Kristen) di
Desa Palak Bengkerung kecamatan Air Nipis kabupaten Bengkulu Selatan? Kedua, bagaimana
pola interaksi/komunikasi sosial antara masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung
kecamatan Air Nipis kabupaten Bengkulu Selatan? Ketiga, bagaimana kognisi (pemahaman)
masyarakat Islam dan Kristen Palak Bengkerung mengenai ajaran agamanya dan pandangannya
terhadap agama dan pemeluk agama lain?
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan kajian ini berupaya untuk melakukan tiga hal.
Pertama, Sesi sejarah, diharapkan dapat merunut sejarah masuk dan berkembangnya agama
Islam dan Kristen di kecamatan Air Nipis khususnya desa Palak Bengkerung. Kedua, konteks
interaksi sosial/komunikasi sosial, kajian ini diharapkan dapat mengungkap fenomena
hubungan/komunikasi antara masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung kecamatan
Air Nipis pada berbagai aspek kehidupan. Ketiga, dapat menggali kognisi (pemahaman) masing-
masing pemeluk agama (Islam dan Kristen) mengenai ajaran agamanya (terutama yang berkaitan
dengan konsep hubungan antaragama). Yang lebih penting dari kajian ini adalah ingin
mengetahui bagaimana pandangan masing-masing pemeluk agama terhadap agama dan umat
agama lainnya.
Meskipun kajian ini menggunakan umat beragama sebagai subyek kajian, namun studi ini
tidak masuk pada wilayah teologis dari masing-masing agama (Islam dan Kristen). Kajian ini
hanya pada wilayah sosial, dimana kedua komunitas agama tersebut berinteraksi. Sedangkan
kajian/wawancara yang mendalam terhadap masing-masing pemeluk agama, hanya untuk
mendapatkan informasi tentang pemahaman dan perasaan serta sikap mereka terhadap komunitas
dan agama yang lainnya (khususnya dalam konteks sosial).
Pendekatan Sejarah Dalam Kajian Agama

4
Para ahli sejarah memberikan definisi tentang sejarah menurut berbagai sudut pandang
dan cenderung berdasarkan keahlian mereka dalam bidang sejarah tertentu. Di antara para ahli
itu, yang relatif memberikan definisi lebih menyeluruh akan makna sejarah, ialah W. Bauer 1928
(dalam Abdurahman, 2007). Menurutnya, bahwa sejarah adalah salah satu ilmu pengetahuan
yang berikhtiar melukiskan dan menjelaskan fenomena kehidupan sepanjang terjadinya
perubahan karena adanya hubungan antara manusia terhadap masyarakatnya. Melihat
dampaknya pada masa-masa berikutnya atau yang berhubungana dengan kualitas mereka yang
khas dan berkonsentrasi pada perubahan-perubahan yang temporer dan di dalam hubungan
terhadap yang tidak dapat diproduksikan kembali.
Oleh karena itu penekanan pada arti sejarah sebagai ilmu pengetahuan, sesungguhnya ia
merupakan “pengetahuan tentang peristiwa masa lalu umat manusia, di dalam perubahan-
perubahannya yang unik, dan peristiwa itu berdampak pada masa-masa sesudahnya.” Jadi
kekhasan masa lalu itu dapat diinterpretasikan karena dipandang memberikan pengaruh unik
pada masa kini dan masa mendatang.
Dalam pendekatan histori tentang keberadaan agama di suatu wilayah, penting diberikan
batasa-batasan terlebih dahulu tentang makna agama. Seperti disebutkan Keith A Roberts, bahwa
agama dapat dilihat dalam definisinya secara substantif, fungsional, dan simbolik. Secara
substantif berarti agama dilihat dari substansi atau esensinya yang seringkali dipahami sebagai
suatu kepercayaan, sehingga mengukur religiositas masyarakat dengan berpegang pada tingkat
orthodoksi penduduk dan ritual keagamaan, bahkan lebih berpusat pada bentuk-bentuk agama
tradisional.
Lain halnya dengan definisi fungsional, dalam hal ini agama dilihat dari segi-segi
perannya. Fungsi yang diperankan merupakan kriteria untuk mengidentifikasikan dan
mengklasifikasikan suatu fenomena, atau fenomena sosio-kultural yang diobservasi, diklasifikasi
dan diidentifikasikan berdasarkan fungsi yang diperankannya. Pada umumnya fungsi tersebut
biasa dikategorikan menjadi fungsi manifest, yaitu fungsi yang disadari dan dikehendaki oleh
sesuatu pola sosial atau lembaga; dan fungsi laten, yaitu yang tidak disadari dan tidak
dikehendaki.
Adapun definisi simbolik tentang agama, bahwa agama dilihat dalam realitas simbol,
yaitu benda yang menggambarkan atau mengingatkan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap
sentral dalam agama. Simbol bisa berupa objek, perilaku, mitos, legenda dan lain-lain.

5
Pembatasan akan arti agama memang dapat ditentukan berdasarkan berbagai sudut
pandang pula. Secara sosiologis misalnya, agama dipahami sebagai sesuatu jenis sistem sosial
yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang
dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat
luar umumnya. Unsur-unsur yang terangkum dalam definisi ini, antara lain : 1) agama disebut
jenis sistem sosial, yang meliputi suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, dan
suatu kompleks kaidah yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu, 2)
agama sebagai kekuatan-kekuatan nonempiris, yakni agama itu khas berurusan dengan kekuatan-
kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan mnusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-
roh dan Roh Tertinggi; 3) agama didayagunakan untuk kepentingan sendiri dan masyarakat
sekitarnya, yakni kepentingan dalam arti keselamatan di dunia dan sesudah kematian.
Komunikasi Antaragama dalam Pendekatan Komunikasi
Salah satu fokus dalam kajian ini adalah komunikasi antaragama. Komunikasi
antaragama ini dimaksudkan pada komunikasi antara kelompok agama yang berbeda.
Penggunaan istilah “komunikasi antaragama” diambil dari Andrik Purwasito (2003: 153) dan
juga Alo Liliweri (2001: 257). Dalam kajian ini, penulis mengkaji kajian komunikasi antaragama
dalam perspektif komunikasi antarbudaya. Hal ini untuk mempermudah bahwa agama
merupakan salah satu faktor pembeda dan ciri dalam kebudayaan. Sementara, penulis sendiri
beranggapan bahwa agama merupakan pememberi nyawa kepada kebudayaan, yang keberadaan
keduanya sulit dipisahkan.
Interaksi simbolik dalam persepektif Komunikasi
Untuk membuat kajian ini lebih komprehensif, kajian ini menggunakan suatu persepektif
atau kerangka konseptual yang dikenal dengan nama Interaksionisme Simbolik. Perspektif ini
berusaha untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Manusia bertindak
hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka
sendirilah yang menentukan perilaku mereka.
George Ritzer sebagaimana dikutip oleh Mulyana (2004: 73) menformulasikan beberapa
prinsip yang menjadi inti dari teori interaksi simbolik, sebagai berikut: Pertama, manusia tidak
seperti hewan, karena manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir. Kedua, kemampuan
berpikir manusia dibentuk oleh interaksi sosial. Ketiga, dalam interaksi sosial orang belajar

6
makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan berpikirnya yang
merupakan kemampuan khas manusia. Keempat, makna dan simbol memungkinkan orang
melanjutkan tindakan dan interaksinya yang khas. Kelima, manusia mampu memodifikasi atau
mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan
interaksi mereka atas situasi. Keenam, kemampuan melakukan modifikasi dan perubahan itu
disebabkan oleh kemampuan individu berinteraksi dengan dirinya sendiri lewat berbagai
selektivitas hingga proses pemilihan sikap. Ketujuh, pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-
menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.
Berkaitan dengan sumbangsih interaksi individu dalam membentuk masyarakat, Holstein
dan Gubrium mengungkapkan (dalam Miller, 2001: 51) bahwa Interaksi simbolik berorientasi
pada suatu prinsip dimana setiap individu saling merespon atas suatu makna yang mereka
bangun dalam setiap interaksi yang mereka lakukan. Setiap individu secara aktif berhubungan
dalam dunia sosialnya sehingga terjadi proses interaksi atau pertukaran sosial budaya di antara
mereka. Di samping itu Individu juga dapat dilihat sebagai instrumen terciptanya masyarakat dan
budayanya.
Teori interaksi simbolik yang dipelopori oleh Goerge Herbert Mead (1863-1931) ini
memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok, dimana individu-
individu tersebut berinteraksi secara tatap muka (face to face) dengan menggunakan sign, yang
di dalamnya berisi icons, index, dan symbols (Sobur, 2004: 158). Pemikiran simbolik ini pada
dasarnya akan membebaskan kita dari pembatasan pengalaman manusia hanya atas apa yang
betul-betul kita lihat, dengar atau rasakan. Teori membuat kita terus menerus memikirkan objek
secara simbolik (Soeprapto, 2002: 68-70).
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif interaksionisme simbolik dengan jenis
(tradisi) kajian studi kasus (case study). Creswell (1998: 61) dan Yin (1981: 23) menjelaskan
bahwa studi kasus merupakan kajian empiris yang menyelidiki dan menguraikan fenomena
kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, ketika batasan antara fenomena dan konteks tidak
terbukti secara jelas, dengan menggunakan berbagai sumber termasuk observasi, wawancara,
materi audio-visual, dan dokumen atau laporan. Dalam hal ini, kajian studi kasus berupaya
menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti melalui sumber-sumber tersebut.
Ada tiga teknik yang digunakan untuk mengungkap masalah dalam kajian ini yakni:
Pertama, observasi atau pengamatan berperan serta (participant observation) sebagai

7
teknik/metode kajian utama. Kedua, wawancara mendalam (in-depth interview). Ketiga, studi
dokumentasi. Metode ini diperlukan untuk melacak sejarah masuk, perkembangan, dan dinamika
kehidupan beragama di Kecamatan Air Nipis. Namun hal yang paling utama dari teknik
pengumpulan data ini adalah penulis sebagai instrumen. Peran penulis sangat menentukan dalam
setiap proses penjaringan data.
Analisis data dilakukan dengan mengkomparatifkan beberapa data yang ada dan
dikaitkan dengan teori dan pendapat dari beberapa pakar yang terkait dan yang telah dipublikasi
dalam beberapa karya ilmiah. Untuk mempertinggi tingkat keabsahan data, maka langkah
selanjutnya adalah dengan mengadakan analisis terhadap wawancara. Menurut Huberman dan
Miles (1992: 16) bahwa analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun
ke dalam teks yang diperluas.
Gambaran Umum Desa Palak Bengkerung dan Informan
Secara Geografis desa Palak Bengkerung terletak di kecamatan Air Nipis kabupaten
Bengkulu Selatan. Sebelum terjadi pemekaran kecamatan di kabupaten Bengkulu Selatan, desa
Palak Bengkerung masuk dalam wilayah kecamatan Seginim dan menyatu dengan desa Suka
Negeri, sejak tahun 2004 Palak Bengkerung menjadi sebuah desa definisif.
Secara administratif desa Palak Bengkerung memiliki batas wilayah sebelah timur:
Sungai Bengkenang Besar, sebelah Selatan: Desa Tanjung Beringin, sebelah Barat: Hutan
Lindung Bukit Ghiri dan sebelah Utara: Jembatan Air Nipis. Luas wilayah yang dijadikan tempat
pemukiman penduduk kurang lebih seluas 3 km2, dengan profesi dominan penduduk adalah
petani.
Sementara secara demografis penduduk yang mendiami desa Palak Bengkerung sebanyak
527 kepala keluarga (KK) dengan 2497 jiwa. Sebaran tempat tinggal antara masyarakat Islam
dan Kristen tidak petak-petak tetapi membaur satu dengan yang lainnya. Secara lebih rinci
sebaran penduduk desa Palak Bengkerung menurut agama yang dianut meliputi: Islam (laki-laki:
983, perempuan: 11670 dan Kristen (laki-laki; 162 dan perempuan: 185).
Masyarakat Islam dan Kristen yang menjadi subyek kajian dalam studi ini sebanyak 10 orang.
Mereka masing-masing memiliki latar belakang dan sejarah hidup yang berbeda. Keragaman
latar belakang itulah dan diyakini mampu memberikan informasi tentang kajian yang dilakukan.
Kesepuluh informan tersebut secara purposif telah mampu mengungkap data-data yang
dibutuhkan dalam kajian.

8
Tidak semua masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung dijadikan sebagai
informan kajian, melainkan mereka yang menurut penulis dipandang mampu untuk
mengungkapkan dan menguraikan kebutuhan data kajian. Informan yang terpilih dalam kajian
ini adalah informan yang memiliki ciri-ciri, untuk menggali sejarah maka dipilih tokoh agama,
tokoh masyarakat dan aparat pemerintah desa, sementara untuk menggali kognisi pemeluk
agama, penulis memilih penduduk yang dalam satu rumah dihuni oleh dua agama yang berbeda.
Sejarah Islam dan Kristen di Palak Bengkerung
Secara historis penduduk desa Palak Bengkerung merupakan perpindahan penduduk dari
Masat dan Pino, perpindahan penduduk itu sebelum Indonesia merdeka, tujuan perpindahan
tersebut pada awalnya untuk mengembangkan wilayah pertanian masyarakat. Ini tidak terlepas
dari sifat masyarakat pada waktu itu yang selalu berpindah-pindah, dan yang tidak kalah
pentingnya Seginim termasuk di dalamnya Palak Bengkerung dari dahulu bahkan sampai
sekarang dikenal sebagai daerah penghasil beras untuk wilayah Bengkulu Selatan, masyarakat
Pino dan Masat yang hijrah ke Palak Bengkerung adalah penganut Islam.
Masuknya agama Kristen di Palak Bengkerung pasca Gerakan 30 S PKI. Pasca G 30 S
PKI ini penduduk mengalami semakin menipisnya pemahaman tentang agama, ditambah lagi
dengan datangnya musim kemarau panjang oleh masyarakat setempat dikenal dengan musim
‘pecaklik,’ menjadikan agama seperti jualan yang mampu digantikan oleh paket mei instant dan
alat pertanian.
Dinamika hubungan antar agama di desa Palak Bengkerung mengalami pasang surut.
Walau sekarang hubungan antar agama dirasakan semakin rukun dan toleransi antar agama
berjalan begitu baik. Hubungan antar agama Islam dan Kristen pernah mengalami tragedi, ini
sebagai bentuk akumulasi kemarahan masyarakat Islam karena pola ‘penginjilan’ yang dilakukan
dengan terang-terangan kepeda masyarakat yang beragama. Puncak dari kemarahan masyarakat
Islam Palak Bengkerung terjadi pada akhir tahun 1966 dimana perkembangan Kristen alih-alih
masyarakat Islam berpindah ke agama Kristen sangat pesat. Terjadilah keributan antar agama
yang ditandai dengan dibakarnya Gereja Kristen oleh Masyarakat Islam.
Fenomena sejarah hubungan antaragama di atas menggambarkan grafik hubungan
antaragama yang memiliki trand positif dari tahun ketahun. Meskipun pernah terjadi keributan
antar agama diakhir tahun 1966, tapi itu menjadi estapet tumbuhnya toleransi hubungan
antaragama Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung. trend positif ini berkembang, tidak bisa

9
dilepaskan oleh keterlibatan masyarakat Islam dan Kristen dalam membina hubungan toleransi
antaragama, juga keterlibatan pemerintah dalam hal ini pemerintah desa dalam memformulasi
pola hubungan antaragama Islam dan Kristen di Palak Bengkerung.

Pola Komunikasi Masyarakat Islam dan Kristen di Palak Bengkerung


Proses komunikasi sosial antara masyarakat Kristen dan Islam melibatkan proses-proses
sosial yang beraneka ragam, yang menyusun unsur-unsur dinamis dari masyarakat, yaitu pikiran,
diri, masyarakat, terkait di dalamnya persepsi, sikap, tindakan, proses tingkah laku dan struktur
sosial yang ada. Proses komunikasi antaragama dapat terjadi di mana saja, di jalan, warung,
dalam rapat, atau di rumah masing-masing pemeluk agama dari masyarakat tersebut.
Dalam kajian ini, ada beberapa pola komunikasi antaragama yang sering muncul yakni:
komunikasi melalui hubungan kerjasama, komunikasi melalui dominasi agama tertentu,
komunikasi peran tokoh agama dan komunikasi melalui peran pemerintah. Kemudian dari pola
komunikasi yang sering muncul terutama melalui pendekatan kognisi sikap penganut agama dari
hasil wawancara yang dilakukan ditemukan klasifikasi sikap penganut agama di desa Palak
Bengkerung sebagai berikut: Penganut Agama Toleran, Penganut Agama Fanatik dan Penganut
Agama Pragmatis.
Pertema, Penganut Agama Toleran. Konsepsi yang masuk dalam konstuk penganut
agama toleran, dalam pertemuan atau komunikasi yang dilakukan antar pemeluk agama, agama
tidak menjadi topik perbincangan antar mereka. Umumnya yang menjadi topik pembicaraan
adalah tentang sosial kemasyarakatan.
Kognisi penganut antara gama yang toleran ini umumnya diangkat dari sikap masyarakat
baik dari masyarakat Islam maupun yang Kristen yang membedakan antara wilayah keagamaan
dan masalah kemasyarakatan. Memang agama merupakan bagian dari kehidupan yang tidak
terlepas dari masyarakat, akan tetapi mereka cenderung memisahkan diri mereka dengan orang
yang beragama lain atas dasar agama pada batas-batas tertentu. Selain itu, pola ini umumnya
berdasarkan pada sikap atau perilaku masyarakat baik Islam maupun Kristen yang menganggap
agama terkadang bukan berarti menjadi penghalang bagi persahabatan dan kerjasama antara
mereka. Masing-masing umat beragama biasanya menganggap bahwa urusan agama merupakan
urusan pribadi dan Tuhan. Orang lain tidak berhak untuk ikut campur. Selain itu, mereka

10
memang mampu berkerjasama, selalu berusaha memahami perbedaan yang ada, dan juga
memahami simbol-simbol agama orang lain.
Dalam kategori ini, baik masyarakat Islam maupun Kristen dalam berinteraksi lebih
mengembangkan konsep dirinya pada keterbukaan dan saling menghargai serta menerima
keberadaan agama lain. Makna toleran di sini adalah adanya saling menghargai dan saling
membuka diri dalam menerima keberadaan agama lain. Klasifikasi kognisi pemahaman agama
dalam masyarakat Islam dan Kristen di Palak Bengkerung yang telah diuraikan pada bagian ini,
dalam kajian ini dimasukkan pada kategori ‘penganut agama toleran.’
Kedua: Penganut Agama Fanatik. Dalam kategori ini, dari hasil wawancara dengan
informan, penulis menemukan bahwa dalam komunikasi/interaksi antara masyarakat Islam dan
Kristen, ada saja dominasi agama yang menjadi batas dalam sebuah interaksi. Kekuatan suatu
agama ikut bermain dalam diri seseorang yang bersifat subjektif dalam menjalin hubungan
interaksi antar masyarakat, terutama menyakut tradisi suatu agama.
Pola penganut agama fanatik cenderung menghindar dan bahkan menutup diri terhadap
pergaulan dengan orang yang berbeda agama (Kristen), sepertinya sikap ini juga bisa ditemukan
pada masyarakat Kristen, ini terkait dengan “orang Islam membatasi kebebasan orang Kristen
untuk hal-hal tertentu.” Sikap dari masing-masing penganut agama umumnya dicirikan dengan
sikap keras terhadap orang yang berbeda agama, sebagian dari masyarakat Islam umpamanya,
yang digolongkan kepada pola ini umumnya mengatakan agama membatasi pergaulan terhadap
orang Kristen. Sebagian besar juga mengatakan bahwa ajaran agama mereka, Kristen, sudah
disimpangkan dari yang sebenarnya dan Islam bukan agama yang benar. Dan sikap masyarakat
ini secara umum diikuti dengan rasa ketakutan, sikap paling benar, dan perilaku yang didasarkan
pada penafsiran tindakan orang-orang Kristen/Islam yang seolah-olah berusaha untuk
mempengaruhi mereka.
Dari ungkapan di atas, ada makna yang terkandung bahwa fanatisme agama juga menjadi
penentu keeratan hubungan komunikasi antar masyarakat Islam dan Kristen. Jadi fanatik di sini
dipahami bahwa kekuatan agama memberi ruang tersendiri dalam sebuah interaksi antar agama,
yang memegang teguh ajaran sebuah agama. Kesadaran diri yang terbangun dalam sebuah
hubungan merupakan kesadaran diri yang terkonstruk oleh ajaran-ajaran ketuhan yang
dipisahkan pada wilayah sosial.

11
Ketiga: Penganut Agama Pragmatis. Konsepsi pragmatis di sini dipahami sebagai sebuah
konstruk dari sebuah realitas, bahwa dinamika komunikasi masyarakat yang berbeda agama lebih
menekankan pada interaksi yang bersifat hedonis. Dengan ungkapan selama tidak mengganggu
sah-sah saja, selama itu menguntungkan ikuti saja.
Pada sisi yang lain hubungan pragmatis, juga berlangsung dengan mengikuti kebiasaan
dan kelaziman sebuah agama dominan dengan tujuan untuk dapat diterima dalam sebuah
pertemanan dalam kesadaran diri informan. Salah satu informan yaitu Indri Jaya, dia sering
mengucapkan salam Islam ketika berkunjung ke masyarkat muslim dan juga sering
mengucapkan Insya Allah, dan itu biasa agar dapat bisa diterima secara total oleh teman-teman
muslim. Walaupun ada bagi masyarakat Islam tertentu, menurut dia yang terkesan sangat fanatik
terhadap ajaran-ajaran Islami, dan menurut dia mereka kurang bisa menerapkan sesuai dengan
konteks realitas.
Pendapat yang lain yang masuk dalam kategori Penganut Agama Pragmatis, disamping
konsep diri masyarakat Islam dan Kristen, untuk membangun harmonisasi hubungan antar agama
tidak jarang melibatkan instansi pemerintah, misalnya dalam acara natal pemerintah mulai dari
desa hingga kabupaten biasanya menghadiri acara misa natal. Dan pada perayaan hari besar
keagamaan, baik Islam maupun Kristen melakukan kunjungan kerumah-rumah untuk
memberikan ucapan selamat, selamat natal bagi agama Kristen dan selamat idul fitri/hari raya
kurban bagi agama Islam.
Dalam konstruk yang ketiga ini bahwa interaksi antar agama dalam konsep pemahaman,
lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat pragmatis semata selama itu menguntungkan dan
tidak saling mengganggu. Tidakan yang merupakan inti dasar dalam interaksi simbolik juga
menjadi wacana dalam menarik sebuah konstruk. Maka dengan alasan ini pulalah peneliti
mengemukakan bahwa sebuah konstruk interaksi hubungan antar antar agaman Islam/Kristen
merupakan pengembangan konsep hubungan yang bersifat pragmatis.
Berdasarkan argumentasi menyangk pola komunikasi masyarakat Islam dan Kristen di
Palak Bengkerung dan klasifikasi sikap penganut agama di desa Palak Bengkerung di atas. Maka
model komunikasi antar agama yang terjadi di desa Palak Bengkerung dikategorisasikan
berdasarkan keterbukaan hati (sikap) mereka dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat
agama yang berbeda, menjadi tiga model yakni: model komunikasi toleran, model komunikasi
fanatik dan model komunikasi pragmatis.

12
Penutup
Berdasarkan beberapa informasi, dan beberapa temuan-temuan yang nyata di lapangan
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Secara historial sejarah masuknya Islam
dan Kristen melalui studi dokumentasi dan wawancara tokoh, memiliki fase sendiri-sendiri.
Islam masuk ke desa Palak Bengkerung sebelum Indonesia merdeka, berbarengan dengan
perpindahan penduduk dari Pino dan Masat yang menetap di desa Palak Bengkerung untuk
mengembangkan wilayah pertanian terutama persawahan yang secara keyakinan menganut
Agama Islam. Sementara Kristen masuk ke desa Palak Bengkerung setelah G 30 S PKI atau
masyarakat di sana lebih sering menyebutnya setelah GESTAPU melalui pendeta Tobing.
Hubungan Islam dan Kristen sempat memburuk pada tahun 1966 akhir, sebagai akumulasi
kemarahan masyarakat Islam atas pola kristenisasi yang dijalankan oleh misionaris melalui pola
penginjilannya. Pasca keributan tahun 1966 akhir sampai saat ini, hubungan antar agama di desa
Palak Bengkerung berjalan rukun. Kerukunan antar umat beragama ini didasari adanya sikap
toleransi antar agama yang dikembangkan.
Kedua, melalui konstruksi bentuk hubungan komunikasi/interaksi masyarakat Islam dan
Kristen di desa Palak Bengkerung memunculkan dan menciptakan adanya pola komunikasi
masyarakat tersebut sesuai ciri-ciri yang ada. Pola-pola komunikasi tersebut dapat ditemukan
dalam bentuk komunikasi melalui kerjasama, dominasi agama tertentu, peran tokoh agama, dan
peran aparat pemerintahan. Ketiga, bentuk kognisi/paham keagamaan masyarakat melalui proses
mempersepsi, sikap, tindakan-tindakan kedua kelompok masyarakat di desa Palak Bengkerung,
ditemukan tiga klasifikasi sikap penganut agama di desa Palak Bengkerung yakni penganut
agama toleran, penganut agama fanatik dan penganut agama pragmatis.
Terkait dengan sejarah, pola dan kognisi dalam mempersepsi, sikap dan tindakan
masyarakat kedua kelompok agama, kajian ini juga menemukan tiga model komunikasi
antaragama yang ada pada masyarakat Islam dan Kristen di desa Palak Bengkerung. Ketiga
model konstruksi komunikasi antar agama yang ditemukan yakni model komunikasi toleran,
model komunikasi fanatik, dan model komunikasi pragmatis.

Rekomendasi

13
Walaupun saat ini dinamika hubungan antaragama di desa Palak Bengkerung berjalan
rukun melalui sikap toleransi yang dijunjung tinggi, namun masyarakat harus tetap menyadari
peran mereka masing-masing untuk menjaga suatu kehidupan bermasyarakat yang saling
berkomunikasi tanpa adanya rasa curiga, cemooh, kesalahpahaman dan lain sebagainya. Bagi
tokoh-tokoh agama, baik dari kalangan masyarakat Islam dan Kristen sudah selayaknya dapat
memerankan kepemimpinan mereka untuk membangun akan kesadaran mental dan spiritual
masing-masing jemaahnya. Ketokohan yang dimiliki bukan untuk memotivasi masyarakat awam
untuk membenci agama orang lain. Kegiatan komunikasi, dialog dan pembicaraan tentang
pemecahan masalah kemasyarakatan sudah selayaknya dilakukan lebih intensif oleh masing-
masing pemimpin agama yang ada.
Pemerintah, sudah semestinya menggunakan wewenang yang dimiliki bukan untuk
membangun masyarakat yang mayoritas saja, melainkan bagi seluruh kelompok agama, etnis dan
suku yang lain. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh legislatif dan yang dilaksanakan oleh
eksekutif sudah selayaknya dapat mengayomi dan tidak mendiskriminasikan kelompok agama
manapun, yang bisa membuat kecemburuan bagi kelomok agama yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurhaman, Dudung. 2007. Pendekatan Sejarah dalam Kajian Agama. From: http://uin-
suka.info/ejurnal/index.php?option
Andito (ed). 1998. Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Cresswell, John, W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five
Tradition. California: Sage Publication.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Penj. Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta:
Kanisius.
Huberman, A. Michael & Miles B. Matthew. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penj. Rohendi
Rohidi. Jakarta: UI Press.

Huntington, Samuel P. 2003. Konflik Peradaban; Paradigma Dunia Pasca perang


Dingin. Yogyakarta: IRCiSoD.

14
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miles, Mathew B., & Huberman, A Micheal, 1992, Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru, Penerj. Tjetjep Rohendi Rohidi, UI Press, Jakarta.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Kajian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2001. Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosda.
Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama; Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik; Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodelogi Kajian Sosial-Agama. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

15

Anda mungkin juga menyukai