Anda di halaman 1dari 14

Nama : Fianty S Ihalauw

NPM : 12175201210126
Kesadaran Historis “Eksplanasi Sejarah Sebagai Perekat Persaudaraan Masyarakat
Siri Sori Islam Dan Kristen”
(Karya Dr.Johan.Robert,M.A)
Agama-agama mengajarkan setiap pemeluknya untuk saling berelasi secara baik antar
sesama umat seagama dan berbeda agama. Suatu relasi antar manusia dikatakan baik, ketika
hubungan yang konstruktif diantara pemeluk agama dan antarpemeluk agama yang berbeda-
beda terjalin. Hubungan yang konstruktif menghasilkan sikap manusia yang saling percaya
dan bekerja sama dalam bentuk tindakan membangun kemanusiaan. Dalam kenyataan relasi
sosial atau hubungan antarsesama manusia kadang relasi tersebut berjalan tidak baik.
Penyebabnya adalah masyarakat atau kelompok mempunyai ideologi atau kepentingan
sendiri yang banyak diabaikan dalam komunitas masyarakat. Pengaruh perubahan sosial
membuat aspek-aspek persekutuan yang sudah terbentuk dan berakar dalam masyarakat
menjadi tergoyahkan. Hal ini menjadi nampak dalam konteks kehidupan masyarakat Siri
Sori, Masyarakat Siri Sori sendiri adalah masyarakat yang secara otonomi terbagi atas dua
pemerintahan dan dua agama yaitu: pemerintah Siri Sori Islam yang masyarakatnya
beragama Islam, dan pemerintahan Siri Sori Amalatu, yang masyarakatnya beragama Kristen.
Secara adat, masyarakat Siri-Sori Islam dikenal dengan kelompok adat yang mewarisi budaya
Pata Lima, sedangkan masyarakat Siri-Sori Kristen dikenal dengan kelompok adat yang
mewarisi budaya Pata Siwa.
Keragaman budaya Pata Siwa dan Pata Lima, tidak membuat hubungan kekerabatan
masyarakat Siri Sori menjadi retak tetapi semakin mempererat hubungan diantara mereka
secara kultural. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan bahwa mereka adalah orang Basudara
yang memiliki kesamaan famili (marga) seperti: Saimima, Sopamena, Sanakay,
Sopaheluwakan dan Pelupessy selain itu mereka memiliki pola hidup saling kerja sama,
membantu, dan tolong-menolong. Misalnya pada saat hajatan perkawinan yang terjadi
dikalangan marga Saimima di Siri Sori Islam, marga Saimima di Siri Sori Kristen turut hadir
di dalamnya. Selain itu, sejarah mencatat bahwa kesatuan masyarakat Siri-Sori sebelum
terpisah menjadi Masyarakat Islam dan Kristen terbangun dalam pola hidup masyarakat yang
konstruktif. Louhata adalah istilah yang di kenalkan kepada masyarakat Siri Sori, Louhata
mengandung arti mengumpulkan rakyat atau berkumpul untuk mendengar titah atau
penjelasan raja. Masyarakat Louhata dalam kehidupan sehari-hari, sering melakukan
pembagian tugas: ada yang harus kelaut dan ada yang harus ikut untuk mengolah atau
mengambil hasil hutan dan kebun. Terkikisnya nilai-nilai kekerabatan diantara Masyarakat
Louhata semenjak menjadi Siri-Sori mulai terasa, ketika mereka tidak lagi hidup di dalam
suasana berbagi satu dengan yang lain hal ini karena adanya hubungan kelompok yang sering
diutamakan pada saat masih menjadi masyarakat Louhata.1
Membangun relasi antar umat beragama merupakan tanggungjawab kemanusiaan
setiap orang untuk mewujudnyatakannya dalam kehidupan konkrit, agar relasi yang baik
antar manusia terbentuk. Maka upaya untuk meminimalisir konflik karena perbedaan agama
dapat ditempuh. Upaya ini bisa dapat dilakukan dengan upaya kooperatif dan kekeluargaan.
Pendekatan yang dapat diusulkan sebagai jalan mencegah konflik Islam Kristen di Siri Sori
dan membangun relasi yang kooperatif dan konstruktif antar keduanya yaitu pendekatan

1
Johan R Saimima, Historis (Eksplanasi Sejarah Sebagai Perekat Persaudaraan Mayaraka Siri Sori Islam dan
Kristen ), CV Grafika Indah Hal 1-5
sejarah yang menekankan pada kesadaran historis. Pendekatan ini secara khusus,
mengeksplanasi tantangan sejarah budaya yang berkontribusi bagi terjalinnya relasi antar
orang Islam dan Kristen di Siri Sori. Pendekatan ini dipandang relevan, karena bentuk
permasalahan yang memicu sampai terjadi konflik antar kedua masyarakat dapat dicari
solusinya dan diselesaikan bersama-sama dengan baik dari sisi budaya maupun agama.
1. Kultur atau Budaya
Pada hubungan kekerabatan orang Siri Sori Islam dan Kristen tergerus akibat
konflik maluku. Oleh karena itu, studi ini dilakukan untuk mencari nilai – nilai
kearifan lokal yang bisa diadakan revitalisasi terhadapnya guna merekontruksi
kekerabatan masyarakat yang beragam Islam dan Kristen di Siri Sori. Aspek yang
perlu dieksplorasi dari konteks ini adalah apakah orang Islam di Siri Sori ingin
kembali membangun kekerabatan mereka yang terganggu karena konflik?
2. Agama
Memberi perhatian pada aspek kebudayaan akan berkontribusi untuk
mempertajam spiritualitas orang Islam dan Kristen di Siri Sori secara iman, setiap
orang diajarkan untuk membangun hubungan yang baik dan penuh toleransi
dengan sesamanya. Konflik adalah sesuatu yang sangat mengganggu hubungan
antara pemeluk agama. Hubungan yang perlu dibangun adalah hidup yang saling
mengasihi dan bekerja sama antar umat beragama. Kesadaran historis mengambil
posisi refleksi mengenai semua yang diturunkan oleh tradisi. Kesadaran historis
tidak menjangkau suara masa lalu saja, melainkan merefleksikannya dan
memaknai masa lalu dalam konteks dimana ia berakar untuk melihat signifikansi
dan nilai relatif masa lalu yang sesuai. Bentuk refleksi terhadap tradisi ini disebut
interpretasi, yang memungkinkan teks memiliki satu atau makna lain. Interpretasi
digunakan untuk memahami sesuatu yang belum dipahami. Interpretasi tidak
hanya diterapkan pada teks dan tradisi verbal, melainkan juga terhadap segala
sesuatu yang diwariskan pada kita oleh sejarah. Interpretasi tidak hanya tentang
sebuah peiristiwa sejarah, tetapi juga interpretasi ekspresi spiritual, interpretasi
perilaku dan sebagainya.
Kesadaran historis tertarik untuk mengetahui bukan bagaimana manusia, orang, atau
negara, menjadi berkembang secara umum, tetapi justru sebaliknya, bagaimana manusia,
orang, atau suatu keadilan menjadi sebagaimana adanya. Kesadaran historis mengarahkan
orang untuk menempatkan diri dalam hubungan refleksi dengan dirinya sendiri dan dengan
tradisi. Kesadaran historis adalah mode kesadaran diri. Kesadaran historis mengarahkan
manusia untuk menganggap dirinya sebagai fenomena sejarah yang esensial. Namun,
kesadaran sebagai kesadaran historis merupakan verbalisasi belaka, selama kesadaran historis
belum diaktualisasikan. Seluruh pengetahuan diri berangkat dari apa yang secara historis
telah ditentukan sebelumnya. Dalam paparan historis, masyarakat mengemukakan apa yang
mereka “pikirkan” tentang diri, etos, dan tujuan mereka.
Kesadaran sejarah (historis) menekankan bagaimana sesuatu terjadi (proses) dan buka
menanyakan bagaiman sesuatu itu ada saja. Bagaimana yang partikular itu berproses dari
awal sampai akhir. Aspek pemahaman penting dalam hal ini. Menurut Suhartono, Gadamer
berpendapat tentang pemahaman mempunyai hubungan sirkuler antara keseluruhan (whole)
dan bagian-bagian (parts) yang disebutnya “lingkaran hermeneutik”. Makna dari suatu
keseluruhan dapat dipahami melalui bagian-bagiannya dan sebaliknya bagian-bagian itu juga
dapat menerangi keseluruhan. Interpretasi mempunyai peran penting untuk memahami
sesuatu. Dalam melakukan interpretasi terbentuklah hubungan antara teks dan interpreter.
Teks (atau situasi) mentransmisikan kebenaran (truth). Haryatmoko berpandangan bahawa
interpretasi ini merupakan ciri dasariah dari keberadaaan manusia di dunia sejarawi.
Selanjutnya, Kaelan mengungkapkan bahwa untuk mengerti suatu teks, maka pra-pengertian
tentang teks tersebut harus dimiliki. Namun, pada pihak lain dengan membaca teks itu pra-
pengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh.
Kesadaran historis (sejarah) yang dikemukakan Gadamer menjadi tool untuk
menjelaskan tentang historisitas masyarakat yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori.
Interpretasi terhadap sejarah masyarakat Siri Soti akan dilakukan untuk menemukan makna
guna memperkokoh hubbungan persaudaraan masyarakat Siri Sori Islam dan Kristen
pascakonflik. Selanjutnya, proses rekontruksi historis akan dilakukan daripadanya sebagai
hasil atas pemahaman (verstehen) akan afinitas hermeneuse, harapan manusia, serta
keseimbangan realitas obyektif dan subyektif. Proses studi yang dilakukan sedemikian
berupaya untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi terciptanya hubungan antara umat
beragama yang terbuka (inklusif), khususnya di kalangan masyarakat yang beragama Islam
dan Kristen di Siri Sori, yang berbasis pada kesadaran historis. Kondisi inklusivitas antar
umat beragama memberi ruang pada bagi para tokoh agama dan masyarakat untuk berdialog
bagi pencapaian rekonsiliasi pasca konflik.
Wismoady wahono berpandangan mengenai dialog antarumat Islam dan Kristen yang
kooperatif. Hal ini berorientasi pada persoalan kemanusiaan dan pro hidup. Dialog ini
bertujuan untuk menciptakan kehidupan bersama antarumat beragama yang solid dan
menghilangkan konflik antar umat beragama yang cenderung membuat agama-agama
kehilangan identitas religiusitasnya yang hakiki.2 Proyek ini akan terwujud secara baik,
apabila partisipasi masyarakat, para tokoh agama, serta para tokoh masyarakat yang bergama
Islam dan Kristen di Siri Sori terbangun dengan penuh kesadaran, serta proaktif
mengonsilidasi umat untuk berdialog secara komunikatif dan proeksistensial.
Dialog yang proeksistensial bertujuan untuk mempertemukan umat beragama untuk
menemukan dasar dan motivasi yang kokoh untuk saling mendekatkan diri satu dengan yang
lain. Bahkan, selanjutnya, persaudaraan yang sejati juga dibangun melalui kegiatan-kegiatan
yang dilakukan secara bersama-sama dan atau kerja sama. Melalui proses sedemikian,
niscaya keretakan dan kerenggangan hubungan antar umat beragama dapat disikapi atau
diatasi.
Dialog yang pro hidup selaras dengan misi agama-agama yang mencintai hidup.
Agama-agama mempunyai ajaran yang selalu mengajak para penganutnya untuk membina
kebersamaan antar umat beragama. Agama-agama sebagai unsur kenyakinan telah
memberikan suatu bentuk kehidupan bahwa dengan beragama, manusia dapat eksis sebagai
makhluk yang berbudi dan berintelektual mulia. Agama-agama sebagai unsur keyakinan akan
menjadi bermakna, apabila umat manusia hidup di dalam ruang lingkup sosial. Kehidupan
manusia tidak hanya bersifat individualis, melainkan lebih berimplikasi sosial, yang secara
filsafat dapat mengubah realitas sosial menjadi lebih manusiawi. Manusia pada hakekatnya
adlaha makhluk sosial yang tidak hanya dapat hidup dalam kesendirian, tetapi juga selalu
berusaha untuk mewujudkan dirinya dalam ketergantungan dengan orang lain. Oleh karena
itu, relasi sosial antar sesama manusia melampaui sekat-sekat keagamaan adalah suatu
keniscayaan.
Agama-agama mempunyai ajaran yang selalu mengajak para penganutnya untuk
membina kebersamaan antarumat bergama. Agama juga sebagai unsur keyakinan telah
memberikan suatu bentuk kehidupan bahwa dengan beragama, manusia dapat dikatakan
2
Johan R Saimima, Historis (Eksplanasi Sejarah Sebagai Perekat Persaudaraan Mayaraka Siri Sori Islam dan
Kristen ), CV Grafika Indah , Hal 11-12
sebagai makhluk yang berbudi dan berintelektual mulia. Ada beberapa tokoh yang
membicarakan tentang hal ini, antaranya : S. Takdir Alisjahbana mengungkapkan bahwa
dalam membangun hubungan sosial, masing-masing subjek saling berinteraksi dan
mempengaruhi. Suatu hubungan sosial yang teratur secara konsisten mungkin terjadi hanya
apabila, interaksi sosial antara para pesertanya dalam hubungan yang memenuhi kepentingan
atau nilai masing-masing pesertanya.3 Biasanya dalam relasi sosial, sering terjadi kompetisi
antara orang yang melakukan relasi tersebut. Kompetisi dalam relasi sosial jika tidak
dikendalikan dapat berkembang menjadi oposisi atau pertentangan, jika oposisi diantara
orang-perorangan dengan perorangan atau kelompok dengan kelompok menjadi tegang, maka
biasanya akan terjadi konflik atau pertikaian. Menurut Wismoady, konflik antara masyarakat
yang beragama Islam dan Kristen harus dicegah dengan melakukan dialog antar umat
beragama. Dialog semacam ini, peka terhadap persoalan kemanusiaan dan pro hidup.4
Dialog antar umat beragama tidak untuk mempertentangkan doktrin dan dogma atau
ajaran masing-masing, tetapi dalam dialog antar agama hal ini dapat terhindar. Hal ini juga
dikemukakan oleh Paul F Knitter bahwa yang penting untuk dibicarakan dalam dialog
tersebut, yakni: mencari solusi terhadap pengalaman keagamaan yang dipenuhi dengan
masalah-masalah kemanusiaan, penderitaan dan ketidakadilan yang terjadi baik dikalangan
umat beragama Islam maupun Kristen.5 Loanes Rakhmat pun berpandangan bahwa dialog
semacam itu haruslah merupakan suatu gerakan segenap manusia, laki-laki dan perempuan.
Dialog tidak memisahkkan tetapi mempersatukan. Dialog mempersatukan tetapi tidak
menghendaki peleburan. Akhirnya, dialog berpulang kepada semua orang sebagai makhluk
sosial religius, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain dan Tuhan. 6 Menurut Viktor Tanja,
adalah dialog yang lebih mendasar pada kekuatan untuk membangun hubungan yang
harmonis di Indonesia.7Menyangkut hubungan antarumat beragama, Weinata Sairin
berpandangan bahwa agama-agama mesti mengonsolidasikan diri, membarui diri,
membangun kebersamaan yang solid, membebaskan diri dari lamunan masa lampau, dan
menatap ke masa depan.
Hal ini tentunya harus diperhatikan, sikap eksklusif dan introvert harus ditinggalkan,
sedangkan sikap concern dan kepedulian sosial perlu ditumbuhkan sebagai respons terhadap
kasih Allah. Sikap apriori, curiga, prasangka, beban sejarah, majority complex, minority
complex, dan isu negatif yang berkonotasi agama sudah seharusnya menjadi kelampauan
kita.8 Khususnya dalam kalangan masyarakt Siri Sori Islam dan Kristen, dialog antarumat
beragama dapat berlangsung dengan baik dan berorientasi pada dialog yang pro hidup ketika
berdiri daiatas fondasi kesadaran historis sebagai orang Siri Sori. Kearifan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat Siri Sori mampu menjadi pilihan yang tepat dan memiliki potensi untuk
menjadi alat perekat yang ampuh untuk membangun sinergi dan kebersamaan, serta mampu
menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi di tempat masing-masing. Kearifan lokal yang
3
S. Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 1995), Hal. 95-96
4
Wismoady Wahono, Pro Eksistensi, op.cit
5
Paul F. Knitter, Religious Imagination and Intereligious Dialogue, (Artikel dalam Robert Masson, WCC, Juni
1985), Hal. 65
5

6
Loanes Rakhmat, “Pluralisme Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani”, dalam Soetarman, Weinata Sairin,
Loanes Rakhmat (Peny), Fundamentalisme Agama-agama dan Teknologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996),
Hal 92
7
Viktor Tanja, “Mulim Cristian Dialogue”: From Law anda Politics To Man And Theology”, dalam majalah
Current Dialogue, WCC,June 1985, Hal 45
8
Weinata Sairin, “Agama-Agama di Indonesia Memasuki Era Baru”, dalam Soetarman, Weinata Sairin, Loanes
Rakhmat (Peny.), Fundamentalisme Agama-Agama dan Teknologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), Hal 105
dimiliki oleh masyarakat Siri Sori, seperti: pela gandong, famili, makan patita bersama,
masohi atau kerja sama, kesenian-kesenian di kota Ambon dan untuk Maluku Tengah, serta
adat Larvul Ngabal, Ain ni ain, maren atau kerja sama. Upaya ini jika diefektifkan dengan
dialog yang pro hidup dan memperkokoh persaudaraan umat Islam-Kristen di Maluku yang
berbasis pada kesadaran historis, akan berkontribusi besar bagi pengembangan persekutuan
masyarakat yang saling peduli dan membangun.
Terbentuknya Negeri Siri Sori, berawal dari para pendirinya. Konon dikabarkan pada
akhir abad-15 di Onin, ada seorang raja yang memiliki 5 adik laki-laki dan 4 adik perempuan.
Ia juga memiliki 3 orang anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Ketika ia mulai memasuki
masa tuanya dalam memerintah, ia memberikan takhtanya untuk anak laki-lakinya yaitu
Pusan, namun hal ini ditentang olaeh adik-adiknya, karena merasa mereka yang berhak
memiliki takhta tersebut. Setelah hal ini diperdebatkan, Pusan kemudian diangkat sebagai
raja, ditengah kepemimpinanya ia mendapati bahwa saudara ayahnya memfitnah dia beserta
adik perempuannya. Adik perempuannya dikabarkan hamil, namun kenyataannya adalah
pada saat Pusan memerintah, adik perempuannya ini mengalami sakit bahkan perubahan pada
bentuk tubuhnya yang seperti orang hamil, sehingga hal ini menjadi fitnah bagi dirinya
bahwa ialah yang menghamili saudara perempuannya tersebut. Hal ini menjadi ketegangan
dan kemarahan di antara saudara ayahnya dan juga saudara lelakinya, mereka kemudian
membuat siasat untuk membunuh Pusan beserta adik perempuannya, namun hal ini didengar
oleh Hahosan, kepala urusan rumah tangga raja dan ia memberitahukannya kepada Pusan.
Mereka kemudian bersiasat untuk melarikan diri, karena seisi kerajaan Rombati telah
memihak kepada kedua saudara laki-laki Pusan, kecuali Lakesa. Setelah itu, Pusan, beserta
adik perempuannya yang dipanggil Ikuollo beserta Hahosan dan Lakesa melarikan diri
dengan sebuah perahu. Tujuan mereka yaitu pergi ke Tanah Iha.
Awalnya pelayaran mereka berjalan dengan baik, akan tetapi ditengah perjalanan
mereka terdampar di pantai Banda, dan bertemu dengan seorang anak laki-laki bernama
Beyala. Merekapun mengajak anak itu sebagai penunjuk arah, akan tetapi mereka malah
terdampar lagi di pulau seram, sehingga Pusan memberi gelar kepada Beyala yaitu
Sopahelawakan yang artinya penunjuk arah yang salah. Di Pantai Huamul, mereka bertemu
lagi dengan seorang anak laki-laki yang bernama Nuolloh, bersama dengan anak ini
kemudian mereka sampai dengan selamat di Tanah Iha, sehingga Pusan memberi gelar yaitu
Sopamena Soa Honimua yang artinya penunjuk arah yang tepat. Di Tanah Iha, Pusan
bersama orang-orangnya berjumpa dengan para pengembara dari pulau seram yang terlebih
dahulu berada di pulau itu. Orang-orang ini terbagi dalam dua kelompok yang saling
bermusuhan, yaitu Pata Siwa da n Pata Lima. Tempat yang mereka diami disebut Paillo
Somoikillo Haillo. Kelompok Pata Siwa jauh lebih besar dibanding kelompok Pata Lima.
Pata Siwa dipimpin oleh Liklikwatil dan Pata Lima dipimpin oleh Salatalohy. Penduduk Soa
Honimua ketiika melihat Pusan, seorang yang bertubuh tinggi dan besar sangat tekejut dan
melarikan diri karena ketakutan. Melihat keadaan ini Ikuollo menganjurkan kepada Pusan
untuk melakukan Louhatta. Dengan perjuangan Masbait Pusan mengumpulkan kedua
kelompok ini dan memberikan penjelasan mengenai kedatangannya. Hal ini kemudian
diterima oleh kedua kelompok ini dan mereka kemudian menjalin hubungan persahabatan,
namun tidak berarti membuat permusuhan diantara mereka berakhir. Namun seiring
berjalannya waktu, Pusan berhasil menyadarkan kedua kelompok ini bahwa mereka yang
mendiami tempat ini adalah orang-orang yang senasib dalam mempertahankan hidup. Nasihat
ini kemudian didengar oleh kelompok Patasiwa dan Patalima, dan karena kewibawaan yang
ditampilkan oleh Pusan, akhirnya kedua kelompok ini mengangkatnya sebagai pemimpin
mereka.
Dalam kehidupan kedua kelompok ini, mereka tidak lagi membeda-bedakan asal-usul,
karena sering diadakan Louhata, melalui kebiasaan inilah masyarakat yang mendiami Soa
Honimua disebut Louhata. Sejak saat itu kehidupam masyarakat Louhata saling
berdampingan dan saling membantu satu dengan yang lainnya. Hasil-hasil hutan dan juga
hasil kebun dibagi rata untuk semua kelompok yang tinggal di tiap Paparisa. Hutan-hutan
yang berada ditempat ini bukan hanya digunakan sebagai mata pencaharian tetapi juga
digunakan sebagai tempat persembunyian bagi mereka ketika tidak sanggup menghadapi para
musuh dari jalur laut.9Pada permulaan abad ke-16, agama Islam mulai masuk melalui
banyaknya orang Ternate yang datang ke Henalatu “Negeri raja”. Pada masa pemerintahan
Latu Lahakela, anak dari Latu Masbait Pusan, ia menerima agama Islam dan sangat taat pada
agama barunya ini, sehingga saat itu bagi siapapun yang ingin menjadi Latu maka harus
mengikuti serta memenuhi persyaratan agama Islam. Latu-Kesa-Aulia merupakan gelar untuk
seorang raja, untuk urusan rumah tangga raja dari keturunan Hahosan disebut Saimima yang
artinya “tuan rumah”. Penasehat raja dan pemerintahan dari keturunan Lakesa disebut
Atihuta. Pada abad ke-16 agama Katolik dibawa masuk oleh Portugis dan berkembang di
Henalatu. Hal ini menyebabkan Latu-Kesia-Aulia beserta keluarganya dan masyarakat pindah
dari Henalatu ke Amahai, di Pulau Seram. Kemudian pada tahun 1621, Patiluwa menjadi
Raja Elhau dan menganut agama Kristen Protestan. Agama Kristen pun makin berkembang
namun ada pula masyarakat yang masih memeluk agama Islam yang diterima sebelumnya
(yang adalah kelompok Pata Lima).10
Hubungan persaudaraan kemudian mulai mengalami keretakan karena idiologi agama
yang membedakan, yang menunjukan bahwa agama rapuh untuk menangkis pengaruh yang
merusak hubungan persaudaraan anatarumat beragama. Masyarakat Siri Sori merupakan
suatu kesatuan berdasarkan asal para pendirinya. Mereka memiliki nilai-nilai kultural yang
sama sebagai perekat. Nilai-nilai ini kemudian mengalami goncangan ketika terjadi konflik
agama sebagai penandanya. Konflik Siri Sori menghasilkan dampak yang buruk bagi relasi
antarorang Islam dan Kristen di Siri Sori. Konflik ini membuat perubahan kultural terhadap
tradisi masyarakat yang hidup bersama secara rukun dan saling membangun silahturami tidak
dapat diaktualisasikan dalam tindakan nyata sehari-hari. Masyarakat lebih mengedepankan
emosional dari pada berfikir rasional. Rasa persaudaraan hilang dikarenakan pemikiran
negatif menguasi diri mereka, yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya mereka bisa
saling mengalahkan dan saling menyerang satu dengan yang lainnya demi memuskan rasa
kebencian mereka.
Dikalangan masyarakat Siri Sori Islam, mereka menganggap bahwa orang Siri Sori
Kristen sebagai musuh yang harus diperang dan dilawan bahkan sebaliknya orang Siri Sori
Kristen menganggap orang Siri Sori Islam sebagai musuh yang harus diperangi. Namun,
konflik yang terjadi diantara mereka mencapai titik puncak kesadaran kultural, mereka
menganggap bahwa konflik yang terjadi diantara mereka sebenarnya tidak membawa
keuntungan yang baik bagi kedua pihak, akan tetapi sebaliknya. Banyak korban yang
bermunculan dimana-mana, baik korban jiwa, material, maupun psikologis diantara
masyarakat Siri Sori itu sendiri. Konflik yang terjadi telah meretakan relasi persaudaraan
antarmereka yang telah hidup sejak zaman nenek moyang. Dalam hal ini, peran Tokoh
Agama, Tokoh Masyarakat dan juga Masyrakat itu sendiri dalam penyelesaian konflik untuk
membangun relasi antarumat beragama Islam dan Kristen di Siri Sori, sudah bergerak dalam
membangun perdamaian antarorang Islam dan Kristen. Konflik berlabel agama Islam-Kristen
9
Data tentang Sejarah Negeri Siri Sori diambil dari Sumber Tertulis yang dihasilkan Oleh A. J. Kesaulija, J. E.
Lokollo, Masyarakat Louhata: Bentuk dan Perkembangnnya (Ambon, Universitas Pattimura, 1989), Hal. 3-22
10
Johan R Saimima, Historis (Eksplanasi Sejarah Sebagai Perekat Persaudaraan Mayaraka Siri Sori Islam dan
Kristen ), CV Grafika Indah , Hal 28-29
di Siri Sori disadari telah memperkokoh jurang pemisah diantara mereka. Agama sangat
berperan penting dalam menyelesaikan konflik, karena ajaran agama mengajarkan umat
untuk berbuat baik, agama menyadarkan masyarakat supaya tidak lagi membangun konflik,
agama berfungsi mengajak umat untuk saling membangun kerjasama sebagai bentuk
solidaritas. Hasil dari peran dan fungsi agama bagi masyarakat siri sori Islam-Kristen adalah
kedua kelompok ini sudah berhasil membangun sebuah gedung gereja dan dinamai dengan
sebutan Louhata. Nama yang mengingatkan orang Siri Sori Islam maupun Kristen sebagai
satu kesatuan. Peranan tokoh masyarakat juga tidak kalah penting, mereka berkontribusi
untuk meningkatkan kesadaran masyarakatnya untuk memahami diri sebagai orang Siri Sori,
orang basudara, yang nenek moyang mereka hidup bersama di Louhata. Upaya membangun
perdamaian masyarakkat Siri Sori Islam dan Kristen tidak hanya dilakukan oleh para tokoh
agama dan Tokoh Masyarakat. Masyarakat sendiripun rindu untuk memulihkan hubungan
persaudaraan mereka. Mereka menyatakan sikap mereka agar tidak terjadinya konflik.
Membangun hubungan yang rukun dan harmonis adalah cita-cita masyarakat Islam dan
Kristen di Siri Sori, mereka tidak ingin terjadinya konflik yang menciptakan kehancuran
hidup bagi mereka bersama. Keterlibatan seluruh komponen masyarakat, baik tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan masyarakat (akar rumpun) sangatlah penting. Peran
positif dari tiap komponen di Siri Sori berpengaruh untuk menyadarkan masyarakat guna
memahami keberadaan mereka sebagai orang basudara atau gandong.
Revitalisasi budaya atas dasar kesadaran historis perlu digerakan seperti badati atau
tanggungan bersama. Kesadaran ini kembali dihidupkan oleh segenap tokoh masyarakat,
tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat. Orang Siri Sori Islam dan Kristen melakukan aksi
bersama pasca konflik melalui kerjasama secara fisik, seperti pembangunan gereja, masjid
dan sekolah. Mereka juga mempraktikan budaya badati; yakni memberikan sumbangan uang
dan bahan untuk pembangun gereja di Siri Sori Kristen yang terbakar karena konflik. Maano
sebagai budaya saling membantu, saling menolong dan saling memberi tanggungan atas suatu
pekerjaan sesuai kesepakatan bersama harus dihidupkan kembali. Mereka juga ingin makan
patita memberi makna sebagai harapan untuk memperkuat kebersamaan Islam dan Kristen di
Siri Sori harus dilakukan kembali. Orang Siri Sori Islam dan Kristen yang saling tolong
menolong atau bekerjasama untuk membangun gedung gereja Siri Sori Kristen pasca konflik
merupakan hasil sadar mereka terhadap keberadaan atau eksistensi orang basudara.
Membangun perdamaian di Siri Sori tidaklah mudah. Institusi sosial (Social Instution) yang
biasanya disebut sebagai lembaga kemasyarakatan, menunjuk pada suatu bentuk, sekaligus
juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan
tertentu yang menjadi ciri dari pada lembaga tersebut. Norma-norma tersebut apabila
diwujudkan dalam hubungan antarmanusia dinamakan organisasi sosial. Norma-norma ini
kemudian dikelompokan menurut keperluan pokok manusia seperti kebutuhan hidup
kekerabatan yang menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan: keluarga batih, masohi
atau gotong royong, dan sebagainya. Sumner, sebagaimana dikutip oleh Soerjono,
mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan
kebudayaan, yang mempunyai sikap kekal yang bertujuan untuk memenuhi pelbagai
kebutuhan masyarakat bagi terciptanya keteraturan dan integrasi dalam masyarakat dalam
keterkaitan dengan keteraturan dan terintegrasinya suatu masyarakat, maka lembaga
kemasyarakatan atau institusi sosial harus diperhatikan secara baik.11
Institusi sosial dapat digunakan sebagai kekuatan perekat atas hubungan persaudaraan
antar orang yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori yang hancur karena konflik.
Melalui aktifitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari maka institusi sosial harus
termanifestasi dengan baik. Institusi sosial yang dimaksud seperti kearifan lokal (local
11
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 1987), Hal 177-178
wisdom) yang dimiliki oleh orang Siri Sori Islam Kristen meliputi masohi atau gotong
royong, badati, dan Maano. Budaya yang dimiliki oleh masyarakat Siri Sori sebagai orang
basudara, satu nasib, dan satu perjuangan bersama untuk hidup, merupakan suatu kearifan
lokal yang berfungsi sebagai budaya pemersatu masyarakat Siri Sori. Oleh karena itu,
revitalisasi kearifan lokal sebagai bentuk dari institusi sosial merupakan tindakan yang
penting untuk membangun kohesi masyarakat yang beragama Islam maupun Kristen di Siri
Sori. Berdasarkan pandangan orang Siri Sori Islam Kristen mengenai kearifan lokal yang
dimiliki ini, dapat dipastikan mampu memperkokoh hubungan sebagai orang basudara
antarorang Siri Sori Islam dan Kristen dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Gandong
Gandong adalah suatu ikatan kekerabatan yang lahir berdasarkan ikatan janji.
Persahabatan dan persaudaraan itu membentuk kesadaran bersama dari setiap orang untuk
saling melindungi dan membantu dalam ungkapan “darah satu darah samua, hidup satu
hidup samua” yang pengertiannya adalah darah kamu adalah juga darahku dan darah kita
semua. Orang Siri Sori membangun ikatan persaudaraan berdasarkan pada asal usul
nenek moyang mereka sebagai kakak beradik. Ikatan gandong ini bukan hanya diterapkan
bagi orang Siri Sori saja melainkan juga bagi nenek moyang Negri Siri Sori (Silaloi)
bersama dengan saudara-saudaranya (Imanole/Tamilou, dan Simanole/Hutumuri) yang
berjumpa di Elhau dan membangun suatu ikatan gandong. Dalam taradisi ini mereka
saling menjunjung kerjasama antar negeri gandong. Jika ada salah satu negeri yang tidak
membantu negeri saudaranya dalam kerja sosial, negeri tersebut akan menanggung malu.
Mereka memandang hal ini merupakan sebuah kesalahan dan aib yang besar bila ada
hajatan sosial suadara mereka dan tidak membantu, hal ini akan sampai kepada sumpah
dan laknat nenek moyang jika tidak terlibat membantu saudaranya. Oleh karena itu,
aktivitas sosial bersama sebagai perwujudan dari makan gandong yang dibangun oleh
masyrakat Siri Sori Islam dan Kristen terekam dalam memori histori mereka bahwa pada
tahun 1800, gereja Siri Sori Kristen dibangun oleh masyarakat Siri Sori Islam yang
berprofesi sebagai tukang. Selain itu, orang Siri Sori Islam pun membantu orang Siri Sori
Kristen membangun rumah baileo. Sebaliknya, orang Siri Sori Kristen berpartisipasi
bersama orang Siri Sori Islam dalam mengerjakan masjid dan baileo mereka. Kerjasama
sebagai orang basudara ini kembali dihidupkan lewat partisipasi Siri Sori Islam ketika
membangun gedung gereja Siri Sori Kristen yang terbakar akibat konflik di Maluku.

2. Masohi, Badati dan Maano


Dalam hubungan kerjasama sosial dan ekonomi,a masyarakat Siri Sori mengenal
beberapa istilah seperti, Masohi, Badati, dan Maano. Ketiga istilah tersebut memiliki
makna yang hampir sama yakni kerjasama, meskipun terdapat kekhasan dari ketiga istilah
tersebut. Misalnya, masohi adalah kerjasama yang dilakukan secara bersama tanpa
bermaksud untuk mencari keuntungan materi, melainkan merupakan wujud
tanggungjawab kedua negeri untuk saling membantu. Tidak ada sanksi sosial bila
sesorang tidak mengikuti kegiatan ini. Demikian pula tidak ada komandan atau nasihat
formal dari tua-tua adat setempat, melainkan kesadaran yang terparti dalam setiap benak
warga untuk saling memberi bantuan. Meskipun tidak ada sanksi sosial, mereka yang
tidak datang membantu untuk bekerjasama biasanya merasa bersalah secara pribadi.
Bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan dalam bentuk fisik yakni, masohi membangun
gedung gereja, masjid, sekolah, dan sebagainya. Biasanya pekerjaan fisik yang dilakukan
secara masohi membutuhkan tenaga dalam jumlah yang banyak. Badati juga bermakna
kerjasama yang saling membantu dalam setiap urusan pekerjaan, serta ada tanggujawab
bersama secara material untuk memperlancar suatu pekerjaan yang dilakukan. Hal ini
dibuktikan ketika gedung gereja Siri Sori dikerjakan oleh Orang Siri Sori Islam dengan
memberikan tanggunan dalam bentuk sumbangan berupa uang. Sebaliknya, orang Siri
Sori Kristen memberikan tanggungan dalam bentuk uang dan bahan berupa bambu untuk
pekerjaan pembangunan masjid masyarakat Siri Sori Islam. Tradisi badati dilakukan
untuk kegiatan-kegiatan besar lainnya, yang membutuhkan keterlibatan masyarakat
secara luas. Maano, mengandung makna kerjasama bagi hasil. Maano merupakan
tindakan yang saling membantu dan memberi tanggungan atau suatu pekerjaan yang
dihasilkan kemudian dibagi bersama. Maano adalah tradisi masyarakat yang bersifat
ekonomis. Mereka yang terlibat maano adalah mereka yang bersepakat atas suatu
pekerjaan yang hasilnya akan dibagi bersama. Kerjasama dalam maano bersifat temporare
dan dilaksanakan sesuai kebutuhan bersama oleh mereka yang berkepentingan. Hal ini
dilakukan oleh masyarakat Siri Sori Islam dan Kristen, ketika ada kesepakatan bersama
yang dibuat misalnya, pada musim cengkeh. Ketika panen cengkeh tiba, orang Siri Sori
Islam dan Kristen membuat maano untuk memetik cengkeh dan hasilnya dibagi bersama
sesuai kesepakatan yang dibuat. Pada saat musim panen cengkeh, orang-orang dari Siri
Sori Islam maupun Kristen biasanya saling berdatangan mereka melakukan maano untuk
melakukan panen cengkeh. Maano biasanya dilakukan dalam bentuk lainnya, misalnya,
orang Siri Sori Kristen memberikan lahannya untuk dikerjakan oleh orang Siri Sori Islam
dan sebaliknya. Selanjutnya, hasil kebun dibagi bersama. Demikian juga dengan orang
Siri Sori Islam maupun Kristen, saling memberi kuasa untuk memelihara dan menjaga
dusun masing-masing.

3. Makan Patita
Orang Siri Sori juga memiliki tradisi makan patita (makan masal). Makan patita
biasanya dilakukan pada moment-moment tertentu untuk menunjukan rasa syukur atau
gembira atau suatu kondisi ideal. Misalnya, makan patita untuk menyambut pelantikan
raja. Dalam acara makan patita, pihak yang terlibat tidak dituntut bayarannya. Dalam
tradisi makan patita ini, pesan yang dapat ditangkap adalah upaya untuk menggalangkan
suatu persatuan, kebersamaan, dan solidaritas orang basudaraa antara orang Siri Sori
Islam maupun Kristen. Pihak yang terlibat dalam acara makan patita bukan hanya tokoh
masyarakat atau tokoh agama, tetapi masyarakat biasa juga terlibat di dalamnya. Biasanya
dalam acara makan patita meja panjang dibuat dan dihidangkan berbagai macam
makanan. Selain itu semua orang bebas untuk memilih makanan yang dihidangkan
dengan sesukanya.

Bentuk-bentuk kerjasama antar orang yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori
yang dibangun berdasarkan pada kearifan lokal bertujuan untuk memenuhi panggilan
kemanusiaan bersama yaitu pengembangan sikap dan perilaku manusia. Penciptaan kondisi
untuk mencapai tujuan yang dimaksud dapat dilakukan melalui beberapa agenda antara lain :
1. Perlu adanya pertemuan secara bersama yang konstruktif antar tokoh agama dari orang
yang beragama Kristen dan Islam di Siri Sori secara rutin dan periodik. Tujuannya adalah
untuk membangun persepsi bersama bagi pembinaan umat yang dapat menciptakan
hubungan persaudaraan diantara orang Siri Sori Islam dan Kristen.
2. Menciptakan pertemuan bersama antar pemudi yang beragama Islam dan Kristen di Siri
Sori untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepemudaan. Misalnya,
olahraga dan kesenian. Kegiatan ini dilakukan untuk menciptakan persekutuan diantara
para pemuda-pemudi Islam dan Kristen di Siri Sori, sehingga mereka bisa memaknai
hubungan persaudaraan atau kekerabatan antar orang basudara. Dengan demikian, hal-hal
yang berkaitan dengan pertengkaran atau perkelahian antara anak muda dapat dicegah.
3. Meningkatkan kapasitas pemimpin umat, baik yang beragama Islam maupun Kristen,
melalui latihan kepemimpinan dalam bentuk training of traners (TOT). tujuan yang ingin
dicapai dari kegiatan ini ialah menciptakan pemimpin-pemimpin umat yang memiliki
kualitas memimpin umat untuk menjadi problem solver (pemecahan masalah) selain itu,
TOT dapat membentuk karakter pemimpin umat yang dinamis untuk mendinamiskan
hubungan yang baik antara umat beragama dan menciptakan pemimpin umat yang
menjalankan proses kepemimpinan secara progresif.
4. Pengkajian ulang tentang materi-materi tentang pembinaan umat, khususnya generasi
muda, sehingga lebih mengarah kepada pembentukan sikap dan perilaku kemanusiaan
yang saling menunjang antar pemuda-pemudi yang beragama Islam maupun Kristen di
Siri Sori. Tujuan yang hendak diperoleh dari pendekatan ini ialah membentuk pola
pembinaan umat yang setara dalam hal membentuk karakteristik generasi muda yang
saling menghargai budaya, tolong menolong, dan saling menunjung tinggi kerjasama
dengan orang basudara. Selain membangun hubungan antara masyarakat beragama di Siri
Sori melalui bentuk-bentuk kerjasama, dialog antar orang yang beragama Kristen dan
Islam dapat dijadikan sebagai jalan perdamaian. Dialog tersebut dilakukan dalam kaitan
dengan memperkuat pengetahuan bersama sebagai orang basudara. Dialog antar umat
beragama Islam dan Kristen di Siri Sori hendaknya melibatkan unsur masyarakat
kalangan bawah, menengah , dan atas. Dialog komprehensif yang dilakukan mesti
menghindari persoalan doktrin masing-masing agama. Oleh karena itu, dialog dimaksud
untuk lebih tertuju membahas bersama isu-isu sosial, ketidakadilan, kemanusiaan dan
kemiskinan yang dihadapi oleh kedua kelompok masyrakat.

Dari dialog tersebut diharapkan ada kesepakatan bersama yang dapat membentuk
sikap solidaritas bersama antaraorang basudara yang beragama, seperasaan, senasib, dan
seperjuangan diantara masyarakat yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori. Selain itu,
kesadaran bersama juga terbentuk untuk mengatasi dan memberantas ketidakadilan, serta
memperjuangkan hak-hak sosial masyaarakat demi memenuhi kesejahteraan masyarakat.
Dialog ini dapat dilakukan oleh masyarakat Siri Sori Islam dan Kristen dengan fokus pada
dialog yang Pro eksistensi. Kata kunci pro eksistensi adalah hidup. Hidup dan kehidupan
adalah given bukan sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau makhluk lain. Semua tindakan
yang melalui hidup dan kehidupan adalah tindakan yang melawan pemberi hidup dan
kehidupan itu.
Dengan demikian, untuk membangun relasi antar orang Siri Sori Islam dan Kristen
melalui dialog yang pro eksistensi, maka dialog itu harus diupayakan fokus untuk
membicarakan tentang keamanann dari kedua desa yang bertetangga dan basudara ini.
Membicarakan hubungan masyrakat secara bersama dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan
pendidikan, serta membicarakan tentang fenomena-fenomena sosial yang terjadi ditengah
masyrakat yang juga menyangkut masalah pembangunan bagi masa depan mereka. Dialog ini
mengarahkan antarumat beragama untuk membangun hidup bersama dan kebaikan bersama
dengan lebih santun dan damai.
Membangun hubungan persaudraan antarumat manusia, bahkan dengan sesama
makhluk lain di alam semesta adalah tanggungjawab manusia yang esensial. Dengan
melakukan itu, maka manusia telah menyatakan citra dirinya sebagai makhluk sosial dan
makhluk beragama. Manusia sebagai makhluk sosial yang membangun relasi dengan sesama,
harus memahami bahwa aktualisasi relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat bukan
merupakan suatu imperatif, tetapi relasi itu mestinya dipahami sebagai suatu tanggungjawab
sosial. Relasi persaudaraan antar manusia tidak terbatas antar ruang dan waktu. Oleh karena
itu, relasi persaudaraan mencakup semua lini kehidupan manusia yang beranekaragam, adat
istiadat, suku, agama dan sebagainya. Relasi persaudaraan yang baik adalah relasi yang
terjadi bukan hanya untuk suatu kalangan yang terintegrasi dalam suatu masyarakat, tetapi
melampaui masyarakat itu. Artinya, relasi persaudaraan harus menjangkau manusia atau
orang-orang yang berada diluar kelompok, termaksud agama lain.
Relasi antar orang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori yang telah terbina sejak
leluhur atau pendiri negeri Siri Sori adalah relasi yang menunjukan manisnya persekutuan
sebagai orang bersaudara. Rasa kekeluargaan mereka begitu kuat sebagai sumber kebaikan
tertinggi dai leluhur yang mengalir kebijakan-kebijakan atau adat yang membingkai tatanan
kehidupan bermasyarakat Islam dan Kristen di Siri Sori dalam suatu totalitas yang harmonis
dan utuh. Adat yang mengatur hubungan persaudaraan orang Siri Sori Islam dan Kristen
bersumber dari leluhur adalah pengetahuan yang muncul dari dalam komunitas sehingga
muncul sikap saling percaya dan kesetaraan sebagai inti persaudaraan atau gandong. Makna
kata gandong dan memberlakukannya dalam aktifitas hidup bersama sehari-hari diantara
orang yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori memperkokoh rasa kasih sayang sebagai
orang basudara. Rasa kasih sayang tersebut memperkuat hubungan gandong, sehingga sikap
kasih, tolong menolong, saling membantu, dan bekerjasama yang terbentuk akan
mewujudkan komunitas masyarakat yang aman dan tentram.
Perilaku kerjasma dan tolong menolong sebagai orang basudara jika dimaknai dan
diaktualisasikan secara baik oleh orang Siri Sori Islam dan Kristen, maka keutuhan
masyarakat akan semakin baik. Budaya kerjasama dan tolong menolong yang tercipta antara
orang Siri Sori Islam dan Kristen sejak zaman dahulu menjadi modal pemersatu masyarakat,
sekaligus modal pembangunan kesejahteraan masyarakat. Budaya yang berkontribusi bagi
kemajuan masyarakat tersebut, seperti yang terungkap dalam pandangan Robert Bellah
tentang budaya jepang dalam religi tokugawa, menurut Bellah masyarakat jepang merupakan
masyrakat yang kuat dalam memegang tradisinya, sehingga telah ikut membantu jepang
sebagai satu-satunya bangsa non-barat yang berhasil mentransformasikan dirinya menjadi
bangsa industri yang modern dengan tetap melihat kesetiaan kelompok disatu pihak dan
pencapaian individual serta kolektif di pihak lain. 12 Dengan konteks orang Siri Sori yang
memakai budaya kerjasama secara kolektif untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat.
Tradisi kerjasama atau gotong royong, saling berbagi, dan tolong menolong sebagai orang
basudara adalah kearifan lokal yang dimiliki sebagai tradisi yang dapat membangun dan
mengembangkan hubungan persaudaraan orang Siri Sori Islam dan Kristen. Melalui tradisi
tersebut, masyarakat dapat mengamalkan dan menghayati, serta mengakktualisasikan
maknanya dalam kehidupan masa kini untuk mensejahterakan hidup sesama manusia.
Suasana yang harmonis dan penuh dengan kasih sayang, serta membantu dan memelihara,
yang terbentuk di kalangan orang Siri Sori sejak zaman leluhur, merupakann manifestasi
hidup orang basudara. Secara faktual, peran tokoh agama harus menjadi penengah yang
mendamaikan umat beragama dengan menanam benih-benih saling mengasihi dan
menghormati diantara umat beragama. Tokoh masyarakat berperan sebagai pengontrol dan
pengaman situasi, ketika masyarakat tidak dapat mengendalikan emosi mereka dalam
berkonflik. Tokoh masyarakat atau pemerintah desa berperan menyuarakan suara-suara
perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Hubungan dengan konteks masyarakat yang
beragama Islam dan Kristen di Siri Sori, maka paradigma gandong menjadi sarana konsiliasi
dan memperbaiki relasi orang yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori pascakonflik.
Konflik yang melanda orang Siri Sori Islam dan Kristen telah mencoreng identitas
orang basudara. Konflik tersebut mengakibatkan hubungan antarorang basudara menjadi
12
Robert N. Bellah, Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), Hal. 1-14
retak. Rasa persaudaraan dan saling perhatian diantara orang Siri Sori, yang dulunya berjalan
dengan baik tiba-tiba berubah dengan sikap kebencian, dendam, dan permusuhan. Akibat
konflik, banyak penduduk yang beragama Islam dan Kristen Siri Sori telah menjadi korban
perang dan mengalami trauma, kebencian, dendam, serta rasa kehilangan sesuatu di masa lalu
dan keputusasaan hidup. Selain itu, konflik tersebut juga memunculkan sikap kehati-hatian
dan saling mencurigai sebagai akibat dari rasa takut dan dendam yang semakin membungkam
aktivitas masyarakat Siri Sori Islam maupun Kristen.Dialog yang dilakukan oleh masyarakat
yang beragama Islam dan Kristen, melihat pada persoalan kemanusiaan dan prohidup, bukan
pada doktrin atau ajaran agama yang membedakan iman masing-masing. Dialog dapat
dilakukan dengan melibatkan masyarakat, sekaligus masyarakat didorong untuk merespon
persoalan kemanusiaan yang dihadapi oleh komunitas kedua agama ini, seperti memberantas
kemiskinan dan kebodohan. Selanjutnya, dialog mendorong masyarakat meningkatkan
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi secara bersama.
Hubungan persaudaraan masyarakat yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori
menjadi retak karena konflik yang melanda kehidupan mereka. Konflik tersebut dipengaruhi
oleh pihak ketiga atau provokator yang mempengaruhi emosi mereka untuk saling membenci
dan bermusuhan atas dasar perbedaan agama. Konflik itu telah mengakibatkan hubungan
persaudaraan antar orang Siri Sori Islam dan Kristen yang telah terbangun dari zaman leluhur
menjadi retak. Suasan hidup sebagai orang basudara yang saling peduli, bekerja sama,
tolong-menolong, dan hidup berbagi satu dengan yang lain berubah menjadi tidak
harmonis.Ditengan kondisi hidup orang basudara yang terkoyak karena konflik, para tokoh
agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan masyarakat (akar rumput) berperan penting untuk
membangun renkonsiliasi antar orang Islam dan Kristen di Siri Sori. Sumber penyelesaian
konflik yang dieksplorasi dan dikembangkan untuk mendamaikan masyarakat Islam dan
Kristen di Siri Sori adalah revitalisasi kearifan lokal. Tradisi kultural yang dimiliki dan
dipratikkan oleh orang Siri Sori sejak zaman dahulu oleh para leluhur, seperti: masohi,
maano, badati dan makan patita kembali dihidupkan untuk memperat hubungan orang
basudara di Siri Sori. Tidak terlalu sulit untuk mempersatukan masyarakat Siri Sori Islam
dan Kristen, ketika konflik melanda mereka karena fondasi persaudaraan sudah ditanamkan
oleh para leluhur lewat hidup saling membantu, tolong-menolong, dan bekerja sama. Fondasi
persaudaraan tersebut kembali dihidupkan melalui kesadaran.
Pendekatan rekonsiliasi berbasis kesadaran historis memberi kontribusi besar bagi
perdamaian antar orang yang beragama Islam dan Kristen di Siri Sori pasca konflik. Bertolak
pada kesadaran sejarah orang Siri Sori sebagai orang basudara, maka kontruksi perdamaian
bersifat persuasif dan kooperatif. Konflik kekerasan yang berlangsung antar orang yang
beragama Islam dan Kristen di Siri Sori dihentikan dengan jalan diplomasi yang tidak hanya
melibatkan elit-elit masyarakat, tetapi juga turut melibatkan partisipasi masyarakat kedua
komunitas. Untuk membangun perdamaian antar masyarakat yang berbeda agama ini, maka
pembicaraan tentang konflik tidak mengarah pada siapa yang benar dan siapa yang salah
tetapi fokus pada persoalan kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat secara
bersama.
Dalam spirit orang basudara, hubungan dialogis yang komunikatif dan
proeksistensial perlu dibangun di antara masyarakat yang beragama Islam dan Kristen di Siri
Sori untuk menumbuhkan toleransi, menghargai perbedaan, membingkai masalah imaji,
prasangka, dan ilusi konflik, mendekontruksi wacana koflik antar agama yang sudah
membeku sehingga tidak mengkristal menjadi konflik keagamaan. Tindakan sedemikian
dilakukan untuk mengubah persepsi, sikap, kepercayaan, pandangan, imajinasi, dan
prasangka buruk dari setiap orang dalam dua komunitas masyarakat yang beragama Islam
dan Kristen di Siri Sori. Dengan mengarahkan fokus pada pengelolaan hubungan
persaudaraan orang Siri Sori yang terbentuk pada zaman leluhur, maka kebersamaan yang
harmonis di kalangan masyarakat niscaya dapat terpenuhi.
Berdasarkan pada kesadaran historis orang Siri Sori sebagai orang basudara membuat
revitalisasi kearifan lokal yang berorientasi pada pengembangan hubungan kekerabatan antar
orang Islam dan Kristen di Siri Sori dapat diterapkan. Adapun bentuk-bentuk kearifan lokal
yang perlu dilakukan revitalisasi untuk memperkokoh persaudaraan orang Islam dan Kristen
di Siri Sori, yakni: pertama gandong, bahwa orang yang beragama Islam dan Kristen di Siri
Sori merupakan orang basudara. Leluhur mereka hidup pada suatu tempat dan kebersamaan
yang dibangun oleh para leluhur penuh dengan kehidupan yang berbagi satu dengan yang
lain. Kedua, masohi yakni pola hidup dalam bentuk kerja sama dan saling membantu diantara
sesama warnga untuk menyelesaikan suatu pekerjaan di dalam masyarakat. Ketiga, badati
yang menekankan pada kerja sama dan saling membantu dalam suatu urusan pekerjaan yang
harus dikerjakan secara bersama-sama dengan tanggungan bersama. Misalnya, dalam proses
pembangunan masjid dan gereja, masyarakat Siri Sori Islam dan Kristen secara sadar
memberikan sumbangan dalam bentuk material, baik barang maupun uang. Keempat, maano
yaitu kerja sama dengan saling berbagi hasil dan membantu untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan, yang hasilnya kemudia dibagi bersama mereka yang bersepakat. Kebiasaan seperti
ini sering terjadi di saat musim-musim panen cengkih atau pembagian hasil kebun. Kelima,
makan patita untuk menyambut upacara pelantikan raja. Kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat Siri Sori sedemikian merupakan kekuatan kultural yang berguna untuk
memperkokoh hubungan persaudaraan yang harmonis.

Tanggapan
Dalam kaitan dengan buku yang telah dibaca oleh penulis diatas maka penulis
mencoba memberikan tanggapan penulis mengenainya. Persaudaraan yang dibentuk oleh
masyarakat Islam dan Kristen di Siri Sori pada dasarnya terbentuk dari ikatan yang telah ada
dari leluhur mereka sejak Zaman dahulu. Sejak masuknya agama masyarakat Siri Sori
kemudian di pisahkan menjadi dua kelompok yaitu Pata Siwa (Kristen) dan Pata Lima
(Islam), walaupun mereka berbeda dalam unsur kepercayaan mereka tetap menjadi satu,
karena memiliki kesamaan Famili (Marga) mereka menyadari bahwa mereka adalah orang
Basudara. Ketika terjadi konflik kemanusiaan yang terjadi di Maluku yang dilatar belakangi
oleh unsur agama, menjadikan adanya segregasi (ruang pemisah) antara masyarakat Siri Sori
Islam dan Kristen. Setelah konflik telah berakhir masyarakat Siri Sore kemudian menyadari
bahwa pentingnya hubungan persaudaraan diantara mereka maka di upayakanlah untuk
memperbaiki hubungan persaudaraan itu dengan memakai beberapa pendekatan budaya yang
sebenarnya telah ada dan bahkan telah di terapkan juga oleh para leluhur mereka, budaya
yang dipakai anatara lain : 1.Gandong, 2. Masohi, Badati, Maano, 3. Makan Patita (Makan
Masal). Pendekatan-pendekatan budaya tersebut diharapkan mampu unutuk mengembalikan
rasa kesatuan yang dimiliki oleh masyarakat Siri Sori karena ketika dilihat kembali dari segi
sejarah mareka adalah satu kesatuan persaudaraan yang tidak terpisahkan dengan isu apapun
bahkan isu agama sekalipun. Catatan : dalam memperbaiki hubungan yang ada maka harus
dihindari unsur-unsur keagaamaan seperti doktrin agama, dogma agama yang bisa saja
menjadi salah diartikann oleh para memeluk agama.

Anda mungkin juga menyukai