Anda di halaman 1dari 3

Sejarah seringkali dihubungkan dengan adanya peristiwa-peristiwa pada masa lampau.

Namun tidak semua peristiwa pada masa lampau dapat disebut sejarah. Peristiwa pada masa
lampau dapat disebut sejarah apabila memenuhi beberapa syarat antara lain bila peristiwa itu
dapat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik, berpengaruh dalam waktu yang
cukup panjang serta jangkauan tempat yang cukup luas. Sejarah sebagai suatu tulisan masa
lampau merupakan sarana pengingat (memory devices). Oleh karena itu sejarah dituntut juga
untuk mampu melihat aneka memori kolektif (collective memory). Peran memori sangat
penting bukan hanya semata-mata sebagai fragmen realitas yang terawat dari masa lampau,
melainkan juga pembentuk kesadaran sejarah (historical conciousness) dan kesadaran sosial
(social conciousness) bagi kehidupan manusia, baik secara individual maupun kolektif.
Tulisan sejarah (historiografi) sebagai bentuk rekonstruksi dari peristiwa pada masa lampau
sekaligus memori kolektif, harus diakui tidak hanya merupakan milik para sejarawan
profesional (historian by profession) atau sejarawan akademik (academic historian), tetapi
juga milik para sejarawan informal (informal historian) bahkan dari kalangan masyarakat
luas.

Sejarah dan ilmu politik mungkin tampak seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Meskipun kedua
pilihan cenderung membahas implikasi filosofis dan praktis dari keputusan politik dan gerakan
budaya, apa perbedaan antara sejarah dan ilmu politik dalam praktiknya? Ada beberapa perbedaan
yang mencolok di antara keduanya. Sejarah berkontribusi pada pemahaman mendalam tentang
konteks budaya dan sejarah dari keputusan politik, gerakan sosial, dan pergeseran budaya dari waktu
ke waktu. Di sisi lain, ilmu politik berfokus terutama pada peristiwa masa lalu dan terkini melalui
kacamata politik.

Jika proses Islamisasi Samudra-Pasai mendapat dukungan yang kuat dari berbagai sumber sejarah
yang otentik maka Islamisasi dari daerah atau kerajaan lain biasa sekali lebih dulu direkam dalam
tradisi lisan masing-masing. Hanya saja sebagian dari tradisi lisan, yang boleh juga dikatakan the
mirage of reality, sebagaimana Jan Vansina menyebutkannya, telah disalin atau mungkin juga diolah
ke dalam apa yang disebut sebagai historiografi tradisional. Hampir tanpa kecuali tradisi lisan, yang
telah ditulis ini, berkisah tentang betapa seseorang atau sekelompok orang yang datang dari daerah
lain di Nusantara berhasil membujuk sang penguasa setempat untuk masuk Islam. Para mubaligh ini
mungkin juga dikirim oleh kerajaan lain. Jadi bisalah dipahami juga bahwa ketika telah tertulis proses
Islamisasi inipun dengan begitu saja telah berfungsi tidak lagi semata-mata sebagai cacatan
kesejarahan, tetapi menjadi cultural accountability—pertanggungjawaban kultural—atas perubahan
fundamental yang telah terjadi. Maka dengan begini pula semacam mata-rantai ingatan— kolektif,
networks of collective memories— telah tercipta.

Jika saja berbagai kisah proses Islamisasi yang terekam dalam ingatan kolektif suatu daerah
saling dipertemukan maka kelihatanlah keterkaitan historis dari daerah-daerah itu. Dalam tradisi lisan
atau kenangan kolektif dari sebagian besar daerah di wilayah Nusantara ini biasa sekali peristiwa
Islamisasi yang dialami dikaitkan dengan kedatangan sang penyebar Islam, entah mubaligh, entah
pedagamg atau malah bisa advonturir, dari daerah lain. Seandainya berbagai ingatan kolektif lokal
yang terpencar-pencar itu dipertemukan maka tampaklah pula betapa proses Islamisasi bisa berfungsi
sebagai pengikat kultural antar-daerah. Jadi mestikah diherankan kalau banyak juga tokoh-tokoh yang
mengatakan bahwa Islam adalah landasan historis dari kesatuan Indonesia?
Perkembangan peradaban Islam Indonesia berkaitan erat dengan dinamika Islam di belahan
dunia lain. Sejarah peradaban Islam Indonesia menampilkan ciri dan karakter yang khas, relative
berbeda dengan perkembangan peradaban Islam di wilayah-wilayah lainnya, seperti Afrika, Eropa dan
Amerika.Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai dengan pendekatan lebih inklusif dan
akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya lokal. Menyebut Wali Songo dalam penyebaran Islam
di negeri ini tentu merujuk pada bagaimana Islam masuk sebagai sesuatu yang diakrabi masyarakat.
Sunan Kalijaga misalnya melakukan penyebaran Islam melalui medium wayang kulit. Yang pada saat
itu bahkan masih memuat cerita Pandawa dan Kurawa yang bicara tentang kebaikan dan keburukan.
Perjalanan penyebaran Islam ini kemudian bergeliat dengan kebudayaan lokal, sebut saja tatkala
munculnya Pakem Pewayangan Baru berupa adanya unsur ajaran Islam. Lakon Jimat Kalimasodo
misalnya atau yang lebih banyak terjadi adalah dengan menyelipkan cerita-cerita Islam pada epos
pewayangan. Islam menjadi begitu bersahabat karena datang lewat sebuah keseharian masyarakat.
Masyarakat yang menonton wayang kemudian dapat menerima langsung ajaran Islam dengan
sukarela. Beragam medium penyebaran Islam itu sedang mengirim sebuah pesan bahwa spirit
keuniversalan pokok ajaran Islam tetap membuka ruang keunikan dan tidak menafikan kekhasan
peradaban muslim ketika berjumpa dan berhadapan dengan realitas sejarah dan sosial budaya
masyarakat.
Oleh karena itu dapat dimengerti peradaban Islam Indonesia menampilkan ciri dan karakter yang
relative berbeda dengan peradaban Islam di wilayah-wilayah peradaban muslim lainnya. Kekhasan ini
memiliki kecenderungan kuat untuk lebih akomodatif dan inklusif terhadap tradisi dan praktek-
praktek kebudayaan lokal. Sejarah peradaban Islam juga tak bisa dilepaskan dari aspek kebangsaan
kita. Islam memberi kontribusi terhadap terbentuknya integrasi bangsa.Yang menjadi penting adalah
peran Islam sebagai pembentuk jaringan kolektif bangsa melalui ikatan ukhuwah dan silaturahmi para
ulama di Nusantara. Jaringan ingatan dan pengalaman bersama ini pada akhirnya menumbuhkan rasa
kesatuan dan solidaritas (ummatan wahidatan) sehingga melahirkan perasaan sebangsa dan setanah
air. Perjalanan peran Islam di Indonesia adalah penting untuk menjadi sebuah pelajaran. Buku ini
berikhtiar untuk melakukan hal tersebut, bukan hanya sebagai sebuah catatan sejarah namun juga
menjadi pesan bagi kita sebagai sebuah bangsa. Tentu catatan sejarah ini penting bukan hanya untuk
mengenang apa yang lampau, tapi juga untuk mengetahui dimana posisi kita berdiri saat ini. Dari situ,
kita bisa menentukan langkah kedepan. Sebab setiap zaman akan memiliki tantangan yang berbeda-
beda. Islam Indonesia saat ini tentu memiliki tantangan yang jauh berbeda disbanding berabad-abad
lalu. Tantangan yang berbeda ini juga harus di sikapi dengan cara yang berbeda pula. Islam sebagai
Rahmatan Lil Alamin, mengajarkan kedamaian bagi kita dengan cara yang beradab seperti apa yang
Rasulullah ajarkan. Peran tersebut masih sangat relevan saat ini dan juga untuk masa-masa kedepan.
Yang bisa kita lakukan saat ini adalah dengan memberikan keteladanan. Keteladanan para pemimpin
untuk bersilaturahmi menjadi amat penting sebagai pesan bahwa Islam ikut menjaga tenun
kebangsaan negeri ini. Tantangan Islam di Indonesia harus kita jawab bersama

Di negara Indonesia yang masih muda, otoritas lokal lama seperti kesultanan telah menegaskan
kembali diri mereka. Munculnya kembali otoritas lokal tidak serta merta bertentangan dengan
pembangunan bangsa. Penelitian survei terhadap sampel orang dewasa (N = 399) di kesultanan
tetangga Yogyakarta dan Surakarta menemukan bahwa representasi sosial dari sejarah terlibat dalam
hubungan antara monarki dan identitas nasional. Di Yogyakarta (tetapi tidak di Surakarta), ditemukan
titik temu yang positif antara representasi sejarah lokal dan nasional: peristiwa dan orang-orang yang
terkait dengan kesultanan juga dianggap berperan penting dalam kelahiran bangsa. Di Yogyakarta,
dukungan terhadap kesultanan lebih tinggi dibandingkan di Surakarta: responden berpendapat bahwa
Yogyakarta memiliki budaya dan sejarah yang diperlukan untuk membenarkan status sebagai daerah
otonomi khusus. Di Yogyakarta, tetapi tidak di Surakarta, monarki berhubungan positif dengan
identitas nasional dan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik demokrasi nasional.
Persimpangan antara representasi sejarah lokal dan nasional, khususnya mengenai peran monarki
lokal dalam melahirkan bangsa di Yogyakarta, menciptakan kesinambungan sejarah/interseksionalitas
positif dimana bangsa superordinat dan monarki lokal berjejaring dalam suatu sistem kekuasaan dan
makna. yang memberikan kepercayaan pada institusi demokrasi dari monarki, dan memperkuat
identitas nasional.

Anda mungkin juga menyukai