DAKWAH ISLAMIYYAH
Oleh : Akhmad Arifin
PENDAHULUAN
Islam berkembang di Indonesia tidak lah lewat jalur politik,
melainkan lewat jalur sosial. Islam telah lebih dulu berkembang sebelum
berkuasa, arti nya dakwah lebih dahulu dilaksanakan di tengah
masyarakat popular, sebelum pada akhirnya bergerak pada bidang
siyasah.
Berbagai jejak sejarah membuktikan, dakwah islam memiliki jejak
yang dalam tradisi oral (lisan) Jawa. bahkan, dalam sejarah Jawa sendiri
sempat terdapat sebuah ungkapan Jowo nanggung londho durung, ketika
seorang Jawa berkonversi ke Kristen. Atau, sebuah ungkapan ilang jawa
ne, untuk menunjukkan bahwa tidak lah seseorang tidak disebut Jawa,
jika tidak beragama Islam. sehingga, Jawa sangat lekat dengan identitas
Keislaman.
Islam tidak hanya meresap pada wilayah ‘prasadar’ melainkan pada
sisi etika. Etika Jawa, yang terilhami oleh ajaran akhlaq islamiyyah,
bertebaran dalam berbagai serat dalam bahasa Jawa. Terdapat ribuan
manuskrip berbahasa Jawa, yang menunjukkan telah adanya inkulturasi
Islam kedalam kebudayaan Jawa yang telah berkembang sebagai ‘local
wisdom’ Jawa. Misalnya ungkapan Ojo Molimo, (jangan melakukan 5 M),
seperti maling, mendhem, madon, dst.
Melihat berbagai manuskrip dan tradisi oral di tengah orang Jawa,
memperlihatkan bahwa telah terjadinya inkulturasi. Inkulturasi
merupakan sebuah nilai-nilai agama yang masuk dalam sebuah
kebudayaan, tanpa merubah wajah luar budaya, melainkan merombaknya
dari dalam. Nilai-nilai keislaman bergerak di wilayah substansi,
sedangkan bagian luar, mengalir sesuai dengan kebutuhan pragmatis dan
kebutuhan rasa masyarakatnya.
Sehingga, dakwah seharusnya didasarkan atas pengetahuan akan
‘rasa’. Dalam kebudayaan Jawa, wilayah ‘rasa’ memiliki makna yang
begitu dalam. Dalam bahasa keseharian kehidupan orang Jawa, terdapat
satu kata yang sering diungkapkan, yaitu ‘roso’, suatu kata yang memiliki
banyak makna. Seperti ‘perasaan’, ‘makna’, ‘kedalaman hati’ dan sebagainya.
Tertanamnya nilai-nilai keislaman yang tertancap pada hati orang Jawa,
menunjukkan betapa para ulama terdahulu bisa ‘menundukkan’ orang
Jawa.
Permasalahan saat ini, ada kesenjangan antara islam dengan
kebudayaan. Islam diidentikkan dengan ‘dunia fiqih’, sedangkan budaya
identik dengan ‘dunia lama’. Dunia fiqh, identik dengan masjid,
sedangkan kebduayanaan identik dengan paguyuban. Bahkan oleh
sebagian kelompok ‘politis’ hal ini dimanfaatkan untuk membenturkan
antara agama dan kebudayaan. Ditambah lagi dengan ulah sebagian
oknum dari kalangan muslimin, (dalam kasus tertentu), bukannya
melakukan da’wah bil hikmah, melainkan melakukannya dengan jalan
kekerasan begitu melihat praktek-praktek ritual yang dianggap mereka
sebagai sesat.
Pengetahuan akan rasa yang dialami oleh kebanyakan orang sangat
penting dalam dakwah. Tetapi, selama ini, ‘rasa budaya’ seringkali
dilawankan dengan fiqh. Misalnya dalam suatu ayat dikatakan ‘jika engkau
ikuti kebanyakan orang, maka itu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah’. yang
terjadi adalah orang menggunakan ayat ini untuk menjustifikasi sikap
reaktif terhadap budaya. Yang terjadi selanjutnya, seseorang tidak
melakukan kreativitas berdakwah di tengah kultur, tetapi malah
mengambil jarak, dan memusuhi semua simbol-simbol kebudayaan.
Tulisan ini berusaha untuk memahami apa itu yang dinamakan
kebudayaan beserta karakternya, Bagaimana islam memandang budaya,
bagaimana ulama terdahulu menjalankan misi dakwahnya di tengah
kultur Jawa, dan bagaimana seharusnya ulama sekarang menjalankan
misi dakwahnya.
KARAKTERISTIK KEBUDAYAAN
Kebudayaan itu adalah segala sesuatu yang dihasilkan cipta, rasa
dan Karsa, manusia. Cipta terdiri dari berbagai bentuk aktivitas manusia
yang disengaja untuk menghasilkan segala sesuatu yang bersifat fisik,
seperti bangunan, jembatan, gubuk, jalanan, dan sebagainya. Sedangkan
rasa, segala sesuatu yang dihasilkan oleh perasaan estetika (keindahan)
atau ekspressi kejiwaan seseorang, seperti seni, arsitektur, karya sastra,
dan sebagainya. Sedangkan, Karsa berkaitan dengan aktivitas kehendak
manusia, yang darinya menghasilkan ‘sarana’ seperti pengetahuan,
sistem, adat istiadat, kebiasaan, dan sebagainya.
Sehingga salah jika mengaitkan ‘kebudayaan’ hanya berupa
simbol-simbol masa lalu. Seperti keris, gamelan, gong, kebaya, blangkon,
dan sebagainya. Karena cakupan kebudayaan sangat luas sekali, sebesar
cakupan segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil gerak manusia,
dalam semua rentang ribuan tahun sejarah suatu masyarakat yang tinggal
di suatu daerah tertentu. Walau di sisi lainnya, ‘kebudayaan masa lampau’
bisa dijadikan simbol pembeda, sekaligus digunakan sebagai ‘simbol
pemersatu’ (identitas primordial) di tengah semakin derasnya nilai-nilai
yang masuk seiring dengan perkembangan globalisasi.
Kesalahpahaman yang lain terkait dengan kebudayaan adalah
adanya kepercayaan akan adanya ‘budaya asli’. Karena, sulit untuk
menentukan ‘keaslian budaya’ tertnetu, mana yang asli dan mana yang
import, karena kebudyaaan itu sangat dinamis, seiring dengan
perkembangan zaman. Kebudayaan akan mengalami perubahan secara
evolutif sesuai dengan adaptasi manusia terhadap lingkunannya lewat
proses difusi. Kebudayaan, dipastikan berasal dari manusia, yang
berpindah dari satu titik ke titik lainnya, atau diasalkan dari perjumpaan
dengan dengan manusia lainnya, menghasilkan kebudayaan yang baru.
Kebudayaan selalu mengambil unsur dari kebudayaan luar, untuk
‘memperkaya’ kebudayaannya. Hampir bisa dipastikan sebuah
kebudayaan memerlukan banyak interaksi dengan berbagai kebudayaan
lainnya untuk melangkah lebih maju menuju sebuah peradaban yang
lebih tinggi.
Orang dalam satu kebudayaan juga berbeda-beda dalam
menyikapi simbol-simbol kebudayaan. Misalnya makna keris pasti
berbeda antar orang dalam satu etnis, misalnya Jawa. Bagi tentara Jawa
pada jaman dulu, keris akan dianggap sebagai peralatan perang. Bagi
penganut kebatinan, keris memiliki unsur sakralitas yang didalamnya
mengandung kekuatan mistik. Bagi seorang kolektor, keris memiliki
makna historis yang memiliki nilai yang sangat tinggi secara estetika. Bagi
seorang sejarawan, keris memiliki makna ‘tanda’ yang menunjukkan masa
lalu. Bagi remaja alay, keris tidak memiliki makna apa-apa, atau bahkan
mungkin diidentikkan dengan permainan game online tertentu.
Asumsi bahwa ada keaslian budaya dan penyempitan makna
budaya hanya pada simbol-simbol elit kraton mataram (seperti tari-tarian,
wayang, busana jawa, dst), sangat bertentangan dengan karakteristik
budaya itu sendiri. Dalam tradisi ulama fiqh, sejak masa lampau sudah
mempercayai bahwa karakteristik dari budaya itu selalu berprogress dari
satu keadaan ke keadaan lainnya.
KESIMPULAN
Sifat dari kebudayaan selalu berkembang, berubah-ubah, berbeda-
beda antara satu orang dengan lainnya, sehingga kebudayaan merupakan
kompleksitas dari berbagai hal yang dihasilkan oleh manusia. Tiap
kebudayaan memang berbeda-beda antara satu dengan kebudayaan
lainnya, tetapi bukan berarti ada unsur ‘asli’ atau ‘import’ dalam suatu
kebudayaan. Karena kebudayaan, merupakan resultansi dari segala
sesuatu yang dihasilkan dari dalam maupun dari luar dalam proses yang
sangat panjang. Hal ini sebagaimana juga pandangan ulama, yang
meyakini akan adanya perubahan (taghyiir) pada urf (kebiasaan yang
berkemabng dalam masyarakat).