Anda di halaman 1dari 10

INKULTURASI BUDAYA SEBAGAI SOLUSI

DAKWAH ISLAMIYYAH
Oleh : Akhmad Arifin

PENDAHULUAN
Islam berkembang di Indonesia tidak lah lewat jalur politik,
melainkan lewat jalur sosial. Islam telah lebih dulu berkembang sebelum
berkuasa, arti nya dakwah lebih dahulu dilaksanakan di tengah
masyarakat popular, sebelum pada akhirnya bergerak pada bidang
siyasah.
Berbagai jejak sejarah membuktikan, dakwah islam memiliki jejak
yang dalam tradisi oral (lisan) Jawa. bahkan, dalam sejarah Jawa sendiri
sempat terdapat sebuah ungkapan Jowo nanggung londho durung, ketika
seorang Jawa berkonversi ke Kristen. Atau, sebuah ungkapan ilang jawa
ne, untuk menunjukkan bahwa tidak lah seseorang tidak disebut Jawa,
jika tidak beragama Islam. sehingga, Jawa sangat lekat dengan identitas
Keislaman.
Islam tidak hanya meresap pada wilayah ‘prasadar’ melainkan pada
sisi etika. Etika Jawa, yang terilhami oleh ajaran akhlaq islamiyyah,
bertebaran dalam berbagai serat dalam bahasa Jawa. Terdapat ribuan
manuskrip berbahasa Jawa, yang menunjukkan telah adanya inkulturasi
Islam kedalam kebudayaan Jawa yang telah berkembang sebagai ‘local
wisdom’ Jawa. Misalnya ungkapan Ojo Molimo, (jangan melakukan 5 M),
seperti maling, mendhem, madon, dst.
Melihat berbagai manuskrip dan tradisi oral di tengah orang Jawa,
memperlihatkan bahwa telah terjadinya inkulturasi. Inkulturasi
merupakan sebuah nilai-nilai agama yang masuk dalam sebuah
kebudayaan, tanpa merubah wajah luar budaya, melainkan merombaknya
dari dalam. Nilai-nilai keislaman bergerak di wilayah substansi,
sedangkan bagian luar, mengalir sesuai dengan kebutuhan pragmatis dan
kebutuhan rasa masyarakatnya.
Sehingga, dakwah seharusnya didasarkan atas pengetahuan akan
‘rasa’. Dalam kebudayaan Jawa, wilayah ‘rasa’ memiliki makna yang
begitu dalam. Dalam bahasa keseharian kehidupan orang Jawa, terdapat
satu kata yang sering diungkapkan, yaitu ‘roso’, suatu kata yang memiliki
banyak makna. Seperti ‘perasaan’, ‘makna’, ‘kedalaman hati’ dan sebagainya.
Tertanamnya nilai-nilai keislaman yang tertancap pada hati orang Jawa,
menunjukkan betapa para ulama terdahulu bisa ‘menundukkan’ orang
Jawa.
Permasalahan saat ini, ada kesenjangan antara islam dengan
kebudayaan. Islam diidentikkan dengan ‘dunia fiqih’, sedangkan budaya
identik dengan ‘dunia lama’. Dunia fiqh, identik dengan masjid,
sedangkan kebduayanaan identik dengan paguyuban. Bahkan oleh
sebagian kelompok ‘politis’ hal ini dimanfaatkan untuk membenturkan
antara agama dan kebudayaan. Ditambah lagi dengan ulah sebagian
oknum dari kalangan muslimin, (dalam kasus tertentu), bukannya
melakukan da’wah bil hikmah, melainkan melakukannya dengan jalan
kekerasan begitu melihat praktek-praktek ritual yang dianggap mereka
sebagai sesat.
Pengetahuan akan rasa yang dialami oleh kebanyakan orang sangat
penting dalam dakwah. Tetapi, selama ini, ‘rasa budaya’ seringkali
dilawankan dengan fiqh. Misalnya dalam suatu ayat dikatakan ‘jika engkau
ikuti kebanyakan orang, maka itu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah’. yang
terjadi adalah orang menggunakan ayat ini untuk menjustifikasi sikap
reaktif terhadap budaya. Yang terjadi selanjutnya, seseorang tidak
melakukan kreativitas berdakwah di tengah kultur, tetapi malah
mengambil jarak, dan memusuhi semua simbol-simbol kebudayaan.
Tulisan ini berusaha untuk memahami apa itu yang dinamakan
kebudayaan beserta karakternya, Bagaimana islam memandang budaya,
bagaimana ulama terdahulu menjalankan misi dakwahnya di tengah
kultur Jawa, dan bagaimana seharusnya ulama sekarang menjalankan
misi dakwahnya.

KARAKTERISTIK KEBUDAYAAN
Kebudayaan itu adalah segala sesuatu yang dihasilkan cipta, rasa
dan Karsa, manusia. Cipta terdiri dari berbagai bentuk aktivitas manusia
yang disengaja untuk menghasilkan segala sesuatu yang bersifat fisik,
seperti bangunan, jembatan, gubuk, jalanan, dan sebagainya. Sedangkan
rasa, segala sesuatu yang dihasilkan oleh perasaan estetika (keindahan)
atau ekspressi kejiwaan seseorang, seperti seni, arsitektur, karya sastra,
dan sebagainya. Sedangkan, Karsa berkaitan dengan aktivitas kehendak
manusia, yang darinya menghasilkan ‘sarana’ seperti pengetahuan,
sistem, adat istiadat, kebiasaan, dan sebagainya.
Sehingga salah jika mengaitkan ‘kebudayaan’ hanya berupa
simbol-simbol masa lalu. Seperti keris, gamelan, gong, kebaya, blangkon,
dan sebagainya. Karena cakupan kebudayaan sangat luas sekali, sebesar
cakupan segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil gerak manusia,
dalam semua rentang ribuan tahun sejarah suatu masyarakat yang tinggal
di suatu daerah tertentu. Walau di sisi lainnya, ‘kebudayaan masa lampau’
bisa dijadikan simbol pembeda, sekaligus digunakan sebagai ‘simbol
pemersatu’ (identitas primordial) di tengah semakin derasnya nilai-nilai
yang masuk seiring dengan perkembangan globalisasi.
Kesalahpahaman yang lain terkait dengan kebudayaan adalah
adanya kepercayaan akan adanya ‘budaya asli’. Karena, sulit untuk
menentukan ‘keaslian budaya’ tertnetu, mana yang asli dan mana yang
import, karena kebudyaaan itu sangat dinamis, seiring dengan
perkembangan zaman. Kebudayaan akan mengalami perubahan secara
evolutif sesuai dengan adaptasi manusia terhadap lingkunannya lewat
proses difusi. Kebudayaan, dipastikan berasal dari manusia, yang
berpindah dari satu titik ke titik lainnya, atau diasalkan dari perjumpaan
dengan dengan manusia lainnya, menghasilkan kebudayaan yang baru.
Kebudayaan selalu mengambil unsur dari kebudayaan luar, untuk
‘memperkaya’ kebudayaannya. Hampir bisa dipastikan sebuah
kebudayaan memerlukan banyak interaksi dengan berbagai kebudayaan
lainnya untuk melangkah lebih maju menuju sebuah peradaban yang
lebih tinggi.
Orang dalam satu kebudayaan juga berbeda-beda dalam
menyikapi simbol-simbol kebudayaan. Misalnya makna keris pasti
berbeda antar orang dalam satu etnis, misalnya Jawa. Bagi tentara Jawa
pada jaman dulu, keris akan dianggap sebagai peralatan perang. Bagi
penganut kebatinan, keris memiliki unsur sakralitas yang didalamnya
mengandung kekuatan mistik. Bagi seorang kolektor, keris memiliki
makna historis yang memiliki nilai yang sangat tinggi secara estetika. Bagi
seorang sejarawan, keris memiliki makna ‘tanda’ yang menunjukkan masa
lalu. Bagi remaja alay, keris tidak memiliki makna apa-apa, atau bahkan
mungkin diidentikkan dengan permainan game online tertentu.
Asumsi bahwa ada keaslian budaya dan penyempitan makna
budaya hanya pada simbol-simbol elit kraton mataram (seperti tari-tarian,
wayang, busana jawa, dst), sangat bertentangan dengan karakteristik
budaya itu sendiri. Dalam tradisi ulama fiqh, sejak masa lampau sudah
mempercayai bahwa karakteristik dari budaya itu selalu berprogress dari
satu keadaan ke keadaan lainnya.

DA’WAH SYARIAT & DA’WAH HAKEKAT


Dalam tradisi khazanah ummat Islam, terdapat Syariat dan hakikat.
Syariah dikaji dalam ilmu fikih, sedangkan hakikat dikaji lewat ilmu
tasawuf. Ada kala nya, dakwah mendahulukan aspek fikihnya tetapi
melupakan syariatnya. Ada kalanya, mendahalukan aspek tasawufnya,
tetapi ketinggalan aspek syariatnya.
Pada zaman lampau sudah tentu berbeda keadaannya dengan
masa sekarang, termasuk pada bidang dakwah. Pada masa sekarang,
dakwah pasti selalu menyentuh aspek fikih. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan kehidupan, selalu dihubungkan salah satu dari lima
istilah berikut : halal, wajib, sunnah, makruh, atau haram. Yang terjadi,
adanya perasaan kering jika mengkaji sebuah agama, karena
berkurangnya unsur tasawufnya.
Sebaliknya, pada zaman lampau tasawufnya sangat kuat, tetapi
tidak diimbangi dengan aspek kajian fikih. Yang terjadi adalah sebuah
bentuk komuntas yang berisi kekayaan kearifan lokal yang sangat tinggi,
tetapi tidak diikuti dengan tata cara peribadatan yang benar sesuai hukum
syariat. Pada masyarakat Samin, misalnya, walaupun didaftarkan sebagai
aliran kepercayaan yang dianggap lepas dari agama islam, tetapi jejak
keislaman sebenarnya ditemukan dalam kepercayaan orang Samin, yaitu
betapa mereka memuliakan dua sosok muslim, yaitu Sunan Kalijaga dan
Nabi Khidzir.
Dakwah merupakan suatu proses yang sangat panjang, dan di
antara satu titik historis tersebut, tidak seharusnya kita mengambil jarak
dengannya, kemudian ‘menghukuminya’. Dalam diri tiap orang
(termasuk diri kita sendiri) juga tidak mengalami sempurna. Begitu juga
keluarga dan masyarakat kita, pasti terdapat ‘kontradiksi’ yang terjadi,
atau adanya gap antara hukum Allah yang ideal, dengan realitas yang
terjadi. Pada sisi ini lah, kita bisa mengandaikan adanya suatu masyarakat
yang bisa saling memberikan wasiyat (tawashoub).
Dalam praktek yang terjadi di Jawa, memang ditemukan banyak
hal yang tidak sesuai dengan praktek syariat Islam. Tetapi, hal ini tidak
berarti harus memberikan penilaian negatif terhadapnya. Karena dalam
banyak hal, sesuatu tidak harus dijawab dengan ‘rumusan fiqh’,
melainkan harus dijawab dengan sikap. Di antara banyak pilihan sikap
tersebut, para ulama Jawa terdahulu bersikap akomodatif terhadap
kebudayaan yang telah berkembang di Jawa.
Pada zaman dahulu misalnya, praktek slametan berkaitan dengan
upaya meminta perlindungan kepada tunggon (penunggu tempat tertentu
yang dianggap angker). Islam datang, praktek seperti ini tidak lah diubah,
melainkan diberikan makna yang lebih baru, sehingga tidak bertentangan
dengan aqidah. Jika sebelumnya, seseorang harus ‘tunduk’ kepada Jin,
pada praktek yang dikembangkan setelahnya, slametan dimaknai sebagai
praktek hubungan yang ‘setara’ antara seseorang dengan jin. Sehingga,
bentuk sajen bukan lah ditujukan sebagai maksud sesembahan kepada
kekuatan supranatural, melainkan sebagai wujud keharmonisan
(muamalah) antara manusia, jin, dan alam.
Dalam upacara slametan, punya makna tersendiri dalam budaya
Jawa. Dimana banyak orang berkumpul, bersosialisasi satu dengan
lainnya, mengadakan kegiatan syukuran. Dalam syukuran, seseorang
bersedia menyisakan bagian dari rizqi yang dianugerahkan kepadanya,
untuk dishodaqohkan kepada orang lain, dalam jamuan bersama. Ketika
sesudah acara dilaksanakan, ditutup lah dengan doa yang dipimpin oleh
ustadz setempat. Sehingga, tidak ada satu pun yang menyalahi aspek
aspek syariah.
Meskipun demikian, praktek slametan tidak harus ‘disakralkan’
sedemikian rupa seolah-olah ia adalah ritual yang tidak bisa diubah
kedalam bentuk lainnya. misalnya dalam sedekah laut, tidak harus
mengorbankan ‘kepala kerbau’. Karena dalam tradisi sedekah laut, yang
terpenting adalah terjaganya hubungan antara manusia, lingkungan alam,
biota laut, dengan Allah, sebagai pencipta jagad. Seorang bisa
menggantinya dengan kegiatan yang lebih substantif, misalnya dengan
penanaman tumbuhan bakau, atau dalam bentuk lainnya. Apalagi,
perkembangan trend masa kini mengalami pergeseran, sehingga tidak
mungkin mempertahankan trend kebudayaan masa lampau.
Terdapat banyak hal yang memang perlu diubah dalam praktek
kebudayaan Jawa. Misalnya hubungan antara manusia dengan benda-
benda di sekitarnya (alam). Terkait dengan alam, selama ini orang Jawa
berhadapan dengan orang yang mengambil dua sikap ekstrim. Kelompok
pertama begitu mengagungkan betapa keramatnya benda-benda di
sekitar mereka, sehingga kita harus tunduk dan memberikan sesajen
kepadanya. Benda-benda seperti pohon beringin dikeramatkan, sehingga
kita seolah jadi budak pohon beringin. Di sisi lainnya, terdapat orang dari
kelompok puritan dan kelompok komunis yang bersikap sebaliknya,
terlalu menganggap remeh alam. Dalam islam puritan, alam takluk di
bawah manusia sebagai khilafah. Sedangkan dalam komunis, alam takluk
di bawah hakekat kerja manusia. sedangkan dalam kapitalis, alam
dipandang hanya sebagai potensi ekonomi yang dapat dieksploitasi untuk
memenuhi kebutuhan pasar.
Terdapat suatu cerita yang agak unik dalam sebuah cerita tentang
Haji Misbah. Seorang aktivis Muhammadiyah, yang pada akhirnya
bergabung dengan Partai Komunis di Kota Surakarta. Ketika melihat
aktivitas sore hari yang dilakukan oleh santri-santrinya menyapu halaman
yang selalu dikotori oleh dedaunan pohon di tempat tinggalnya, maka ia
segera mengambil langkah ‘efektif’, yaitu menebangin pohon, agar tidak
perlu lagi membersihkan halaman dari dedaunan. Watak gebyah uyah
bukan lah watak seorang muslim, karena sikap gebyah uyah selalu berfikir
dari satu sisi saja. Model berfikir harus lah dengan mengandalkan rasa.
Dalam ketiadaan pohon, maka terik matahari akan semakin menyengat,
lingkungan tempat tinggal terlihat gersang, dan tiadanya tempat berteduh
di siang hari. Suasana seperti ini tidak lah dapat dinilai dengan uang.
Hubungan manusia dan alam dalam agama islam agak ‘unik’. Di
satu sisi, alam merupakan sumber ketersediaan makanan (kuluu mimmaa
fil ardhi halalan thoyyiba), di sisi lainnya, alam merupakan ayat-ayat
kauniyah. Alam juga tidak boleh dirusak oleh manusia, baik dengan
tindakannya berbuat zhalim (yang mendatangkan murka Allah), atau
dengan merusaknya secara langsung. Perilaku merusak ini disebut
dengan nama mufsid. Sehingga, dalam praktek orang Jawa pada masa
lampau, seseorang pantang mengambil bagian dari hutan, kecuali jika ia
menggantinya. Terdapat perilaku tertentu yang menunjukkan kedekatan
orang Jawa dengan nilai-nilai keislaman.
Sudah tentu kedekatan dengan nilai-nilai keislaman tersebut,
sebelum pihak Belanda, dengan sengaja ‘menampilkan’ kembali kejayaan
Hindhu-Budha di tengah masyarakat. Pada perkembangan berikutnya,
hasil-hasil studi kejawaan yang diprakarsai oleh Belanda, memasukkan
istilah-istilah, seperti Brahman-Atman (Makrokosmos-Mikrokosmos),
moksha, menggantikan istilah-istilah yang digunakan sebelumnya, dan
menggantikan kosakata bahasa Jawa yang dipakai sebelumnya untuk
menyebut kata manunggaling kawulo gusti. Sebelumnya konsep ini punya
makna maqomat kasyf al hijab, dimana dirasakan kedekatan seorang
hamba dengan Allah, karena tiadanya tirai pembatas, diganti dengan
konsep moksha. Beberapa istilah lain juga diorbitkan seperti Bodhi (darinya
muncul istilah akal budi, budi luhur, kebudayaan, dst). Istilah esoteris,
yang sebelumnya diwarnai dengan kosakata bahasa arab (seperti kolbu,
nepsu, angkoro, lair-batin, dst ), bergeser diwarnai dengan istilah-istilah dari
kesusastraan hindhu.
Di sisi lainnya, sesuai dengan iklim politik kebangkitan nasional,
mulai menggeser orientasi dakwahnya, dari dakwah kultural menjadi
dakwah politik, sehingga menggeser sisi esoterisnya. Berkembangnya
praktek kebatinan di Jawa, tidak dapat dilepaskan dari tertanggalnya
pendekatan tasawuf dalam aspek keislaman. ketika islam hanya dipahami
hanya sebagai fikih, maka bidang lain tidak tergarap. Dalam hal ini adalah
pada wilayah batin. Ketika bidang ini belum digarap, maka beberapa
muslim Jawa, harus beralih mencari kepuasan pada bentuk-bentuk tarekat
kebatinan di masa lalu. Sehingga tidak mengherankan, jika para pengikut
kebatinan (seperti Sumarah), banyak berasal dari kalangan santri. Pada
masa sekarang juga dirasakan kebutuhan yang sama, tetapi mereka tidak
lari ke bentuk tarekat, tetapi pada bentuk lain yang lebih ngetrend, yaitu
pada praktek Yoga.
Di sini lah, maka konsep Islam Nusantara, diharapkan dapat
mengisi pos-pos yang tidak bisa digarap oleh kelompok di luar Nahdliyin.
Karena kelompok Nahdliyin adalah kelompok yang sangat kaya akan
khazanah kitab-kitab tasawuf dan thariqat mu’tabarah, dengan jumlah
jama’ah sampai puluhan juta orang. Tetapi, konsep IsNus akan terancam
mengalami kegagalan, jika konsepsi ini terjebak pada urusan politik
belaka, atau sekedar memberikan pelabelan terhadap kelompok lainnya
dengan sebutan radikal atau anti NKRI. Dengan akar tradisi yang kuat,
dengan jumlah jama’ah berlimpah, tidak lah pantas hanya ngurusin
beberapa orang ekstrim yang jumlahnya hanya berkisar puluhan ribu
orang saja.

INKULTURASI DA’WAH ISLAMIYAH


Inkulturasi merupakan istilah khas kekristenan, walaupun secara
akar kata, seharusnya memiliki cakupan yang jauh lebih luas. Tetapi
istilah ini tidak ditemukan dalam istilah-istilah tentang hubungan antar
kebudayaan. Dalam anthropologi kita temukan beberapa istilah seperti
difusi, akulturasi, asosiasi, asimilasi dan sebagainya. Inkulturasi sendiri
dalam beberapa pengertian dari bahasa inggris adalah metode pelayanan
misionaris dengan beradaptasi dengan budaya setempat. Tetapi, dalam
perkembangan berikutnya, istilah ini sering ‘bertukar makna’ dengan
istilah indigeounisasi atau pribumisasi. Sehingga makna nya berubah
menjadi meresapnya nilai-nilai keagamaan, yang menjiwai ekspressi luar
kebudayaan tertentu. Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di atas,
menjiwai dakwah islamiyyah pada awal perkembangannya di tanah Jawa.
Da’wah bukan berada pada tataran atas ke bawah, atau orang yang
lebih suci yang memberikan peringatan kepada orang yang tidak lebih
suci. Tetapi harus mengasumsikan bahwa keduanya (baik da’i maupun
mad’u) harus didudukkan sebagai sesama manusia yang sangat rendah di
hadapan Allah. Pada posisi seperti ini, maka seseorang merasa
‘dimuliakan’. Karena esensi dari da’wah adalah mengangkat derajat
seseorang ke derajat yang lebih tinggi lagi. Dalam konteks Jawa, dapat
kita temukan dalam istilah ‘nguwongke’.
Orang Jawa itu takluk jika dipangku, merupakan kalimat yang sangat
lazim ditemukan dalam tulisan yang membahas etnologi Jawa. Karena
struktur sosial patron klien sangat melekat dalam sosiologis Jawa. Dalam
sistem seperti ini, terdapat seorang yang dituakan, yang bisa
mengarahkan dan membimbing banyak orang. Orang bisa dijadikan
pamong, jika ia bisa menjawab kebutuhan masyarakat, dengan pola
kepemimpinan yang riil. Dalam istilah yang digunakan oleh Antonio
Gramsci, sebagai intelektual organik, yaitu intelektual yang memiliki ilmu
yang didasarkan pengalaman langsung terjun dalam masyarakat, yang
dengan ilmu tersebut, ia dapat menjawab kebutuhan langsung yang
dirasakan oleh masyarakatnya tersebut.
Jika melihat sejarah, kita akan temukan intelektual organik ini pada
diri Sunan Kalijaga. Sebuah nama yang namanya paling banyak disebut
oleh orang Jawa, hingga pada masa sekarang. Ia seorang ulama, yang
memiliki ketrampilan dalam hal apapun, termasuk dalam hal
menciptakan lagu, gamelan, menguasai kesusastraan, dan sebagainya.
Dalam Babad Demak, bahkan diceritakan, ia terjun langsung memberikan
pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan. Meskipun dalam
babad tersebut dibumbui mitologi (sebagaimana layaknya khas
kesusastraan kuno), tetapi hal ini menunjukkan bahwa ia terlibat dan
berinteraksi langsung di tengah komunitas masyarakat Jawa waktu itu. Ini
menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sebenarnya lebih membutuhkan
figur ulama yang berinteraksi langsung di tengah orang dan mampu
menjawab permasalahan sosial, daripada ulama yang berdiam di tengah
masjid atau pesantren.
Untuk terjun aktif di tengah masyarakat dan menjawab persoalan
masyarakat membutuhkan ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan
diajarkan agar manusia bisa mempraktekannya di tengah komunitas
sosial. Ilmu pertanian, untuk menjawab persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan pengetahuan pra tanam, metode cocok tanam, serta
distribusi hasil pertanian. Kedokteran, untuk menjawab persoalan
kesehatan di tengah masyarakat. teknik sipil, berkaitan dengan kebutuhan
manusia untuk pembangunan rumah dan infrastruktur yang kuat, dan
sebagainya. Tetapi seiring dengan tumbuhnya kapitalisasi di bidang
pendidikan, pengetahuan tersebut di-akumulasikan sedemikian rupa,
untuk profit oriented. Dan nalar kaum muslimin, yang banyak ‘terjebak’
pada lingkaran setan ini.
Setelah lulus dari sekolah, yang ada dalam benak mereka hanya,
“ilmu yang saya dapatkan ini, digunakan untuk melamar di perusahaan apa?”.
Sehingga, dalam konteks dakwah kultural, harus diubah mindsetnya
menjadi “Ilmu yang saya dapatkan, digunakan untuk masyarakat yang mana?”.
Karena pengetahuan pada asalnya untuk menjawab kebutuhan manusia,
maka pengetahuan itu harus segera dikembalikan ke tempat ‘asal’nya,
yaitu untuk menjawab kebutuhan masyarakat. dan tugas seorang muslim,
mereka harus bisa menjadi seorang ‘imam’, tidak harus di dalam masjid,
melainkan di tengah masyarakat. Dalam mindset seperti ini, masjid tidak
hanya diartikan dengan ‘bangunan’, melainkan tempat yang luas, dimana
seorang muslim itu berkarya.
Begitu banyak nash, baik dari al Qur’an dan Hadits, yang
menganjurkan seseorang tersebut untuk melakukan praktek tindakan
nyata. Berapa banyak kata yang digunakan oleh al Qur’an dalam
menyebut istilah ihsan, ma’ruf (‘urf), khair, salh, dan sebagainya, yang
menujukkan aktivitas kebaikan? Dalam al Qur’an sendiri, kata ‘amanu’
selalu diikuti dengan kata amila ash shalihati, menunjukkan keterkaitan
sangat erat, antara iman dengan praktek perbuatan nyata. Ditambah
dengan hadits shahih, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang
paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Dengan mengubah mindset kapitalisme menjadi islamis, maka
banyak sekali manfaat, termasuk masalah duniawi. Dalam dunia kapitalis
sendiri, puluhan ribu orang bergelar sarjana harus mengantri untuk
mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Jika mereka tidak diterima di
manapun, atau diterima di pekerjaan yang tidak sesuai dengan basis
pendidikan mereka, mereka akan berfikir bahwa pengetahuan yang ia
serap tidak ada manfaatnya. Dengan logika seperti ini, menunjukkan
betapa dangkalnya falsafah pengetahuan yang dimilikinya. Karena
masyarakat lebih membutuhkan pengetahuan yang didapatkan dari
lembaga pendidikan, daripada perusahaan.
Dengan banyaknya sumebrdaya manusia yang dimiliki oleh
muslim, maka perlu adanya manajemen distribusi SDM. Pada jaman
dahulu, walisongo yang ditugaskan dalam dakwah, menunjukkan tentang
manajemen distribusi ini. Mereka berkoordinasi antara satu dengan
lainnya, terkait dengan ‘tugas’ mereka di tengah komunitas masyarakat.
dengan semakin kompleksnya institusi sosial sebagaimana sekarang ini,
maka distribusi SDM tersebut tidak hanya pada tempat, melainkan juga
skill yang dimiliki, dan ditempatkan di daerah mana. Seorang muslim
yang ahli di bidang pertanian, ditempatkan di wilayah yang secara
pertaniannya kurang berkembang lebih baik. Orang yang memiliki
keahlian di bidang kedokteran atau pengobatan, ditempatkan di daerah
yang mengalami permasalahan di bidang kesehatan. Dengan cara seperti
ini, maka da’wah tidak hanya menjawab kebutuhan dahaga spiritual
belaka, melainkan menjawab kebutuhan konkret masyarakat.
Strategi dakwah para wali ini tidak dilakukan oleh kaum muslimin
Jawa, justru dilakukan oleh para misionaris Kristen. Mereka aktif
melakukan pemberdayaan, dengan terjun langsung mengurusi kegiatan
sehari-hari masyarakat. dari tindakan bantuan yang paling ‘sepele’ seperti
mengantarkan orang ke puskesmas, hingga membahas rembug tani,
sampai pengadaan gotongroyong kampung. Kegiatan misi jelas berbeda
dengan gambaran yang ada dalam benak kaum muslimin, seolah-olah
mereka melakukan cara misi murahan dengan iming-iming supermie
selama ini. Yang mereka lakukan tidak lah untuk merubah keyakinan,
tetapi agar masyarakat dapat merasakan secara langsung arti hadirnya
‘kristus’ di tengah masyarakat. Meski secara keyakinan berbeda dengan
saudara dari umat Katholik tersebut, tetapi terdapat begitu banyak
pelajaran yang bisa diambil dari mereka.

KESIMPULAN
Sifat dari kebudayaan selalu berkembang, berubah-ubah, berbeda-
beda antara satu orang dengan lainnya, sehingga kebudayaan merupakan
kompleksitas dari berbagai hal yang dihasilkan oleh manusia. Tiap
kebudayaan memang berbeda-beda antara satu dengan kebudayaan
lainnya, tetapi bukan berarti ada unsur ‘asli’ atau ‘import’ dalam suatu
kebudayaan. Karena kebudayaan, merupakan resultansi dari segala
sesuatu yang dihasilkan dari dalam maupun dari luar dalam proses yang
sangat panjang. Hal ini sebagaimana juga pandangan ulama, yang
meyakini akan adanya perubahan (taghyiir) pada urf (kebiasaan yang
berkemabng dalam masyarakat).

Tulisan ini berusaha untuk memahami apa itu yang dinamakan


kebudayaan beserta karakternya, Bagaimana islam memandang budaya,
bagaimana ulama terdahulu menjalankan misi dakwahnya di tengah
kultur Jawa, dan bagaimana seharusnya ulama sekarang menjalankan
misi dakwahnya.

Anda mungkin juga menyukai