Anda di halaman 1dari 12

SEMINAR NASIONAL

KHAZANAH INTELEKTUAL ULAMA NUSANTARA


DI TIMUR TENGAH (KAIRO, HARMAIN, TURKI):
10 ULAMA PALEMBANG YANG BERPENGARUH DI
TIMUR TENGAH

PALEMBANG 15 MARET 2016

ULAMA PALEMBANG ABAD KE-19 DALAM


JEJARING ISLAM NUSANTARA
Oleh: Zainul Milal Bizawie

Dialektika Sejarah Islam di Nusantara


Tradisi Islam Nusantara dengan beberapa karakteristiknya tentu
sangat berbeda dengan tradisi Islam di tempat lain meskipun
subtansinya sama. Karena tradisi merupakan domain Islam historis,
maka pelacakannya tidak hanya atas teks Kitab Suci, melainkan lebih
pada proses-proses pemahaman, penafsiran dan akhirnya penerapan
ajaran teks itu dalam sejarah yang telah membentuk suatu tradisi yang
bervarian. Karenanya diperlukan kesadaran bersahabat dengan budaya
lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan
kehidupan beragama Islam di negeri ini. Dalam gagasan
pribumisasinya, Gus Dur menegaskan bahwa yang dipribumikan
adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang
menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak
diperlukan Quran Batak dan Hadis Jawa. Islam tetap Islam, dimana
saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan bentukluarnya.
Yang menjadi agenda Gus Dur adalah berpikir tentang bagaimana
melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani
dan mewujudkan kepentingan seluruh bangsa. Karenanya, pribumisasi
tidaklah relevan dihadapkan dan dibedakan dengan proses inkulturasi,
akulturasi, konvergensi, ataupun kontekstualisasi, karena pribumisasi
dapat berupa proses-proses tersebut tergantung watak lokal masingmasing. Proses-proses perubahan kebudayaan tersebut tidak hanya
bersifat sinkronis, tapi juga diakronis. Maka sebuah proses inkulturasi
adalah upaya membuat seorang individu dapat mengintegrasikan
dirinya atau terpadu ke dalam kebudyaan sezaman dan setempat.
Inkulturasi mencapai hasil terbaik jika berjalan lancar, luwes dan
bebas. Pertimbangan harus menggabungkan tradisi dengan daya cipta
selexpression, supaya nilai-nilai diasimilir secara dinamis, terbuka bagi
peningkatan lebih lanjut. Warisan kebudayaan tidak dipartisipasikan
sebagai beban, melainkan sebagai pengkayaan modal individu. Di
sinilah letak perbedaan inkulturasi dengan indoktrinasi dan sosialisasi.
Dalam dua proses terakhir tidak peduli interiorisasi nilai, cukuplah
meniru secara lahiriah. Karena itulah untuk inkulturasi wajar harus
dihindarkan dari dua ekses itu.
Sementara sebuah proses akulturasi, mengambil definisi Linton
dan Herskovis menempatkan proses akulturasi berada di tengah dua
kutub yang saling bertentangan. Masing-masing adalah konfrontasi
fusi dan archaismefuturisme. Akulturasi berada di antara konfrontasi
dan fusi, yaitu situasi di mana dua kebudayaan saling berhadapan dan
bersaing sehingga terkadang terjadi konflik, dan situasi di mana
kebudayaan yang satu luluh sama sekali bersama kebudayaan yang
lain menjadi kebudayaan baru. Oleh karenanya, syarat-sarat yang

mendorong akulturasi adalah sarat persenyawaan, keseragaman,


fungsi dan seleksi.
Di Jawa misalnya, barangkali lebih cenderung bersifat inkulturasi
yang bersifat dialogis, sementara di Sumatera Barat lebih cenderung
akulturasi yang bersifat integralistk. Begitu pun tempat lain di
Nusantara ini terjadi suatu proses persinggungan yang berbeda-beda.
Proses-proses perubahan tersebut tidaklah bersifat pasif, tunggal,
searah ataupun monolitik. Proses inkulturasi dan akulturasi misalnya
merupakan proses timbal balik (feedback) yang produktif dan kreatif
yang juga melibatkan proses akomodasi, negoisasi, dialog, bahkan
resistensi. Benar, ada siasat yang dilakukan masing-masing entitas
ketika bertemu, tapi tidak selamanya harus diartikan sebagai bentuk
politisasi. Ketika kita memandang pribumisasi sebagai gerak politisasi,
kita akan terjebak pada kecurigaan untuk saling menindas dan
memolitisir agama. Pribumiasi Islam harus dilakukan dengan dialogis,
terbuka dan ramah, apalagi dalam konteks kekinian. Kalaupun
berbentuk resistensi, tetap mengambil bentuk perlawanan kultural,
tanpa harus terlibat dalam politisasi agama, sehingga akan dengan
mudah mengklaim entitas yang lain sebagai bentuk penyimpangan.
Kemampuan saling berdialektika tersebut memunculkan suatu
bentuk tradisi Islam yang kenyal-lentur dan moderat di Nusantara,
yakni kentalnya orientasi fiqih-sufistik yang manifestasinya terkadang
tidak menghilangkan tradisi tertentu. Dalam nalar sejarah Gus Dur,
gerak sejarah Nusantara secara keseluruhan melalui proses dialektika
dimana keagungan rohani yang sudah lestari, Islam dan kebangsaan
Indonesia berpadu di dalamnya. Dalam dialektika sejarah (berjalan
melalui proses challenge dan response) itu pada akhirnya nilai-nilai
luhur tetaplah tahan banting, liat, lestari dan melahirkan peradaban
baru. Karenanya, memahami sejarah masa lalu dengan bijak dan
jernih, kita akan menemukan nilai-nilai luhur tersebut. Meski tidak
banyak data sejarah yang tersedia, namun kita harus terus merabaraba masa lampau kita sendiri dengan cara pandang kita sendiri. Inilah
yang seharusnya kita lakukan, bukan lalu sekedar menghafal tahuntahun dan nama-nama dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah
kita. Kita bukannya mengingat-ingat tahun kejadian, melainkan
memahami sejarah sebagai sebuah proses.
Menurut Gus Dur, satu hal yang unik di Nusantara adalah,
sekalipun pertentangan terjadi berulang-ulang sejak masa nenek
moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa
yang tenang tetap dominan di tanah air kita. Prinsip Bhinneka Tunggal
Ika MpuTantular misalnya, telah mengilhami para penguasa Nusantara
dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini; dan Sunan Kalijaga yang
terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal mendidik para penguasa
pribumi tentang Islam yang damai, toleran dan spiritual. Melalui para
muridnya, antara lain Sultan Hadiwijaya, Juru Martani, dan Senopati ing
Alogo, Sunan Kalijaga berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilainilai luhur tersebut yang manfaatnya tetap bisa kita nikmati hingga
dewasa ini. Bahwa Islam tidak perlu dilaksanakan secara ideologis,
tetapi secara kultural, seperti jasa terbesar Sultan Agung Hanyokro
Kusumo yang memaralelkan kalender Jawa terhadap kalender Islam.

Dialektika tersebut berlanjut hingga proses kelahiran dan tumbuhnya


kesadaran kebangsaan. Pertentangan-pertentangan yang terjembatani
lewat proses dialog, yakni antara Islam dan nasionalisme, berhasil
melahirkan suatu konsep negara yang bukan berbentuk Negara Islam
dan bukan sama sekali menghilangkan arti Islam sendiri. Dialektika
sejarah terbukti telah membentuk pencapaian kesadaran bersama
yang lebih tinggi. Gagasan negara bangsa ini adalah buah dari pahit
getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri.1 Kesatuan kita sebagai
bangsa, bukanlah sesuatu yang tumbuh begitu saja, melainkan
merupakan pengalaman demi pengalaman yang kita alami sebagai
bangsa di masa lampau, akumulasi pengalaman ratusan tahun yang
dialami bangsa itu dalam membentuk sebuah negara yang kuat.
Dalam dialektika sejarah yang sebagian diwarnai oleh tragedi
demi tragedi (perang, pengkhianatan, pemberontakan, pembunuhan,
dan lain-lain), kita akan menemukan insight (wawasan) atau semacam
wahyu, yang kemudian dapat kita gunakan untuk memproyeksikan
bagi kehidupan masa depan. Karenanya, perjalanan sejarah masa
depan atau historicaltrajectory harus dibimbing oleh suatu insight itu
agar tragedi demi tragedi serupa tak berulang, dan sekaligus misi
masa depan (demokrasi dan kesejahteraan rakyat) dapat dicapai.
Insight itu berupa pentingnya sikap berperhitungan alias sikap
rasional, yang tidak membuang spiritualitas dan menggunakannya di
samping rasio. (Spiritualitas yang berpijak pada bumi nyata) hanya
sekedar pengarah hidup dalam menjalani kehidupan yang serba sulit
ini. Kita harus bersatu dalam spiritual seperti ini. 2
Oleh karenanya, dalam melakukan pribumisasi Islam, langkah
yang dapat ditempuh antara lain, mendudukkan secara paralel antara
tradisi kultural Arab dan tradisi lokal; antara agama Islam dengan
agama lain sebagai sebuah entitas yang saling menggeluti pemaknaan
hidup, sehingga memungkinkan dialektika antar tradisi dan melahirkan
tradisi baru atau bentuk keberagamaan yang baru. Jika perlu langkah
ini mengajak kita untuk mendekonstruksi sebuah teks dan tradisi
dalam rangka merekonstruksi tradisi baru yang lebih relevan pada
konteks zaman dan pembumian saat sekarang. Dengan demikian,
pribumisasi Islam itu sendiri tidak merupakan bentuk statis, melainkan
sebuah proses terus-menerus pembumian pesan-pesan ajaran Islam
yang memungkinkan proses-proses koreksi.
Langkah ini mengajak kita untuk melakukan pendekatan analisa
sejarah dan ideologis. Dengan pendekatan ini akan mengembalikan
watak kesejarahan dari tradisi, yakni dengan menempatkannya dalam
konteks sosial, politik, kultural dan ideologisnya. Hal ini diharapkan
agar dapat menguasai dan memaknai secara rasional tradisi atau
suatu pemikiran tertentu secara keseluruhan, mulai dari aspek teologi,
bahasa, fiqh, hingga filsafat dan tradisi mistisnya. Setelah itu baru
kemudian menimba relevansi dan kegunaan fungsional tradisi bagi
kehidupan kekinian.
Selain itu, kita selayaknhya terlepas dari pandangan orientalis,
para peneliti barat atau cendekiawan pribumi yang berperspektif
seperti mereka, bahwa Islam di Nusantara sebagai periferal, singkretis,
pinggiran, dan Islam yang jauh dari bentuk asli yang terdapat dan

berkembang di pusatnya di Timur Tengah. Justru dalam perjalanan


sejarah, Islam Nusantara teruji telah tahan banting dan sanggup
mengemban Islam rahmatan lil alamin dan untuk kepentingan
kemaslahatan ummat. Islam Nusantara sudah selayaknya dijadikan
model dan suatu cara pandang membangun dan mengkaji berbagai
persoalan di dunia.
Dalam konteks inilah, menarasikan jejak Islam di Nusantara dalam
perspektif kita sendiri, di mana narasi-narasi lokal perlu kita
komunikasikan secara terus menerus untuk menemukan (invention)
episteme,
meramifikasi,
merekonsiliasi,
mengkomunikasikan,
menganyam dan menghasilkan konstuksi-konstruksi baru (inovation).
Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaharuan secara total
atau kembali ke tradisi masa lalu secara total, melainkan bisa saja
hanya pembaharuan terbatas. Sebuah invensi tidak dimaksudkan
menemukan tradisi atau autentitas secara literal, mengkopi apa yang
pernah dilakukan, melainkan bagaimana tradisi lokal itu menjadi suatu
yang dapat dimodifikasi ulang sehingga dalam konteks kekinian jadi
relevan dan kontekstual. Dengan demikian, Islam Nusantara
merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan tidak berhenti dalam
menemukan bentuk dan manhaj berfikir dan bertindak dalam
keberislaman yang selalu mengkontekstualisasikan dalam gerak
sejarah.

Tradisi Intelektual Pasca runtuhnya Kesultanan


Palembang
Kedatangan orang-orang Arab seperti ditunjukkan LWC. van den
Berg bahwa orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke
Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke-18, sedangkan
kedatangan mereka di Pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian
mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana kemudian sebagian
menyebar ke Palembang dan Pontianak.3 Sejak abad yang lalu, di Pulau
Sumatera koloni Arab yang besar hanya ada di Aceh dan Palembang.
Koloni Arab yang ada di Palembang dianggap yang paling menarik,
baik dari sudut pandang sosial maupun dari sudut pandang ekonomi
perdagangan. Pada awal abad ke-19, Sultan Palembang, Sultan
Mahmud Badaruddin, memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada
bangsa Arab untuk menetap di ibukota negerinya.( Van de Berg, 1989:
77)
Ketika Kesultanan Palembang jatuh, Sultan Muhammad Badruddin
II beserta keluarganya dan pengikut pengikutnya yang setia berjumlah
seluruhnya 142 orang diangkut dengan kapal perang Belanda dalam
rangka dibuang ke Ternate. Diantara pembantunya yang setia adalah
Habib Syarif Syarif Umar Assegaf yang bertindak sebagai
penasehat/mentri Sultan dan juga sebagai menantu Sultan dari

putranya Raden Ayu Azimah. Ikut juga anak dan Istri habib Syarif Umar
ini dibuang ke Ternate. Mula-mula rombongan ini mampir ke Betawi
sebelum ke Ternate. Rombongan Sultan Mahmud Badruddin II yang
dibuang ini ternyata diperjalanan oleh Belanda dipecah-pecah dimana
ada yang diturunkan di Makassar/Sulawesi, ada yang Manado, ada
yang di Rora, ada yang di Timor Kupang dan ada yang di Banyuwangi.
Diantara keturunannya di Banyuwangi yang cukup gigih dalam
perlawanan terhadap Kolonial Belanda adalah KH SALEH LATENG
BANYUWANGI, seorang pendekar sakti keturunan Kesultanan
Palembang Sumatera, santri Syekh Kholil Bangkalan. Kakek Kiai Saleh,
Ki agus Abdurrahman adalah bangsawan kesultanan Sultan Palembang
era Najamuddin yang dibuang oleh Belanda ke Banda Aceh. Ki Agus
Abdurrahman ini kemudian menetap di Sumenep dan menikah dengan
seorang perempuan setempat bernama Najihah. Salah satu anaknya
yang meneruskan keturunannya adalah Ki Agus Abdul Hadi, ayah Kiai
Saleh, yang kemudian pindah dan menetap di Banyuwangi.
Setelah runtuhnya Kesultanan Palembang, beberapa masjid
didirikan oleh ulama yang kaya dengan mendapat dukungan dari
masyarakat.4 Kesultanan Palembang dihapus oleh Belanda pada
tanggal 7 Oktober 1823. Mulai saat itu Palembang menjadi daerah
administrasi Hindia Belanda dengan Joan Cornelis Reijnst sebagai
residen. Pada tahun 1825, I.I. van Sevenhoeven ditempatkan sebagai
Residen Palembang.5 Sejak jatuhnya Kesultanan Palembang kalangan
sayyid mulai mendapatkan tempat yang penting. Kehidupan beragama
pada paruh pertama abad ke-19 di Palembang berdasarkan Laporan
Tahunan Residen Palembang dari tahun 1834 dan 1835, menyatakan
bahwa di Palembang pada waktu itu golongan ulama (priesterstand)
cukup besar, tetapi mereka tidak bersikap keras terhadap pemerintah
kolonial.6 Kenyataan ini menyebabkan penguasa kolonial tidak
menganggap Islam sebagai ancaman terhadap status quo mereka.
Akan tetapi, mulai pertengahan abad ke-19 pendapat penguasa
kolonial tentang Islam di Palembang mengalami perubahan yang
mendasar. Pada 1850, penduduk kota justru sangat shaleh, dan taat
memenuhi kewajiban agama mereka, meski belum dianggap fanatik
oleh penguasa Belanda.
Perubahan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran para
ulama-ulama Palembang baik yang berada di tanah air maupun di
Haramayn. Seperti halnya Syekh Nawawi Banten, Syekh Zainuddin
Sumbawa menulis Shiraj al-Huda sebagai sebuah komentar atas Umm
al Barahain karya Sanusi, dan Minhaj al-Salam, Kiai Rifai Kalisalak
dengan Tarajumahnya, di Palembang Sumatera Selatan, transmisi
Islam mengambil bentuk penerjemahan kitab-kitab Arab ke dalam
bahasa Melayu. Seperti ditunjukkan Fathurrahman (2002), para ulama
Palembang abad ke-18 dan 19 terlibat aktif dalam menyediakan
terjemahan bahasa Melayu atas kitab-kitab standar berbahasa Arab
kepada Muslim di Sumatera Selatan, khususnya di Kesultanan
Palembang. Syekh Shihabuddin, menulis Syarh Aqidah al-Iman, sebuah
terjemahan dari Jauhar al-Tauhid karya Ibrahim al-Laqanni (Abdullah

1999:28). Syekh Kemas Fachruddin juga menulis Kitab Mukhtasar,


terjemahan atas Risalah fi al-Tauhid karya Wali Raslan al-Damashqi.
Mereka melanjutkan Sykeh Abussamad al-Palimbani yang menulis
masterpiece-nya, Hidayah al-Salikin dan Sayr al-Salikin ditulis
didasarkan pada karya al-Ghazali Bidayah al-Hidayah dan Ihya Ulum
al-Din (Azra 2004: 131; Jajat 2012: 132).
Selain itu, ulama Nusantara juga terlibat aktif dalam persoalan
persoalan agama dan sosial di Tanah Air dengan meminta fatwa para
mufti Mekkah. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas Jawi selain
menuntut ilmu keislaman (thalab al-ilmi) dari ulama Mekkah, juga
terlibat dalam memintakan fatwa (istifta) untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan agama dan sosial yang diperdebatkan di
Nusantara, seperti kitab Muhimmah al-Nafais (Kaptein 1997a; 1995:
141-160), sebuah contoh kumpulan fatwa yang berkaitan dengan Islam
di Hindia Belanda pada abad ke-19 yang dikeluarkan mufti Mekkah dari
mazhab Syafii, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan (1817-1886). Terdapat
tujuh kitab karyanya yang beredar di pesantren diidentifikasi sebagai
karyanya (van Bruinessen 1995b: 236). Karya lain Ibnu Hajar, Tuhfah
al-Muhtaj, adalah salah satu kitab yang sangat bergengsi yang
dipelajari di pesantren-pesantren. Tuhfah menjadi referensi utama
pengikut mazhab Syafii, yang dirujuk oleh ulama Hindia Belanda untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang sulit (van Bruinessen 1995b: 244245: Jajat 2012: 134).
Tradisi dan transmisi intelektual tersebut tidak terlepas dari jasa
Syekh Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Guru utamanya antara lain
adalah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani(w.
1190 H/1776 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul
Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi dari Jakarta, mereka
membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di
Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad alSamman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud AlFatani dari Patani, Thailand Selatan.Selama belajar pada Syekh
Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar murid-murid
Al-Sammani yang asli orang Arab. Al-Palimbani rnemantapkan karirnya
di Haramayn (Mekkah dan Madinah) dan mencurahkan waktunya untuk
menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian
yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di negeri asalnya. Di
Haramayn ia terlibat dalam komunitas Jawi yang membuatnya tetap
tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di
Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya
dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisantulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisme tetapi
juga menghimbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan
kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia.
Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal
Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui
karya-karyanya.
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan
pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di
kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada

umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme


Barat. Karya terkenalnya adalah Tuhfah al-Ragibin fi Sayan Haqfqah
Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Drewes
rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan
Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab
itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada
waktu itu untuk menulis kitab tersebut.Mengenai kolonialisme Barat,
Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mumin
fi Fadail Jihad fi Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah
semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh
pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda,
baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang
Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.
Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani.
Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan
Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan
Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin
negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram
melawan Belanda.Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui
dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun
1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga
ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203
H/1788 M). Argumen mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya
dan jika dia masih hidup sampai 1788 M kemungkinan dia masih tetap
aktif menulis. Al-Baythar seperti dikutip Azyumardi Azra
menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi
Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah
menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.
Penerus Abdu Shomad dari Palembang antara lain Kiai
Muhammad Maruf Palembang, murid Syekh Ahmad Khatib Sambas
yang merupakan murid Syekh Abdus Shimad. Salah satu karya Syekh
Ahmad Khatib Sambas pada tahun 1870, Fath al-arifin (KemenanganKemenangan Kaum Berilmu) telah disalin oleh muridnya dari
Palembang, Kiai Muhammad Maruf. (Laffan 2015, 70). Para penerus
Kiai Maruf antara lain Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul
Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syekh Ahmad
Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru
Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jember Jawa Timur, Habib
Ali al Attas Bungur, Habib Umar bin Muhammad bin Hud Al Attas
Cipayung, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib
Abu Bakar Kwitang, Habib Abdullah bin Muhsin dan para habaib dan
ulama dari berbagai daerah lainnya di Nusantara (Ubaidillah 2012: 4042).
Selain itu, ulama Palembang juga menyebar ke daerah lainnya
seperti Jambi, antara lain Sayid Ali bin Abdurrahman Al Massawa.
Sayyid Ali ini mendirikan perkumpulan sosial pengajaran Islam yang
dinamakan Tsamratul Insan yang mendirikan beberapa madrasah,
Madrasah Nurul Islam dikampung Tanjung Pasir, kota jambi, Madrasah
Nurul Iman di kampung Tengah, kota jambi, Madrasah Sahadatul Daran
di Kampung Tahtul Yaman, tanjung Johor, Jambi, Madrasah Al Djauharen

di daerah pasar, dekat Masjid kota jambi. Ayah Sayid Ali yaitu Sayid
Abdurrahman bin Sayid Ali bin Agil Al Masawa yang juga kelahiran
Palembang mempunyai anak dua orang, Sayid Ali dan Sayid Ahmad di
Palembang. Sedangkan Sayid Ali bin Agil Al Masawa adalah menantu
dan pembantu Sultan Palembang yang ikut dalam pertempuran
melawan Belanda hingga tewas tertembak, dan dimakamkan di Kebon
Gede, 35 Ilir Palembang. Ketika ayahnya gugur, Sayid Abdurrahman
mengembara di daerah Deli Serdang, dekat Medan. Sayid
Abdurrahman Al Massawa mengajar dan mendirikan masjid hingga
wafatnya di daerah ini, yang kemudian dimakamkan di samping Masjid
Deli.
Keluarga emigran al Jufri di Sumatera tersebut datang dari
Hadramaut wilayah tengah, dan menetap di Palembang koloni Arab
terkaya dan terbesar kedua di pulau itu (setelah Aceh), dengan
populasi dua ribu jiwa pada 1885. Walaupun pendatang baru, mereka
termasuk dalam lingkaran terkaya di koloni Palembang itu. 7 Keluarga
mereka punya ikatan dengan daerah-daerah tetangga, bendahara
Petapahan di Siak adalah seorang klan al Jufri (Sayyid atau Muhammad
bin Aloui al Juffri), dan kerabat mereka adalah salah satu kelompok
paling berpengaruh di Singapura.8
Kebangkitan Jejaring Ulama Palembang
Tahun 1881 merupakan titik balik citra Islam di mata kolonial
dimana istilah fanatik baru pertama kali muncul dalam wacana kolonial
mengenai Palembang. Penangkapan Syarif Abdullah Al Segaf
dipandang sebagai bukti keterlibatan Alawiyin dalam propaganda PanIslamistis. Sebenarnya sebagian besar Sayyid tidak turut campur. Akan
tetapi, ide bahwa jaringan orang Turki dan Arab secara rahasia terlibat
dalam persiapan perang suci, sudah tertanam di benak penguasa
kolonial. Selama hari-hari pertama kepanikan, berita menggemparkan
dari Sumatera ditafsirkan begitu rupa oleh Batavia, sehingga orang
mengganggap telah ditemukan komplotan para pemimpin Arab di
Palembang, meskipun pendapat ini segera dikoreksi, pemerintah
kolonial tetap menganggap Palembang sebagai pusat perlawanan
terhadap negara kolonial, berkat semangat fanatik yang dimiliki
penduduk kota.9Sayid Abdullah Al Segaf kemudian diasingkan ke
Tondano. Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung Jawa Tondano telah
mempengaruhi budaya kampung Jawa Tondano dan berhasil
mengakulturasi budaya Arab-Sumatra dengan budaya Jawa dan
melahirkan budaya jaton generasi ketiga.
Kebangkitan Islam di Palembang mulai terlihat tanda-tandanya
antara tahun 1913 dan 1916. Pada bulan November 1913, di
Palembang didirikan cabang Syarekat Islam (SI), yang dengan cepat
merambat ke pedalaman. Selama tiga tahun, SI amat berhasil di
Sumatera Selatan, dan dalam waktu singkat, pimpinan gerakan
memobilisir rakyat pedesaan untuk memakai lambang agama
meskipun tidak berlangsung lama. Namun, pada tahun 1907, beberapa
keluarga Arab telah mengembangkan prakarsa baru di bidang
pendidikan dengan mendirikan suatu perkumpulan Arab yang bernama
Al-Ihsan. Perkumpulan Al-Ihsan kemudian mendirikan sekolah dengan

nama sama demi kepentingan pendidikan kaum sayid.10 Selain sekolah


Al-Ihsan, pada tahun 1914 didirikan Madrasah Arabiyah di Kampung 13
Ulu, tempat tinggal marga Al-Munawar, yang termasuk sayid kelas
tinggi.11 Di bagian Ulu kota, prakarsa Al-Ihsan diambil alih oleh Sayid
Muhammad Al-Munawar, yang pada tahun yang sama mengadakan
reorganisai di Madrasah Arabiyah dengan mendatangkan guru dari
Jamiat Al-Khair di Betawi. Dalam era ini pernah terjadi polemic antara
Syekh Khatib Minangkabawi dengan Sayyid Usman Betawi dan
beberapa ulama yang berasal dari Palembang serta ulama-ulama
Betawi lainnya terkait mendirikan masjid untuk solat Jumaat.
Sementara itu, di Haramayn muncul SYEKH MUHSIN AL
MUSAWWA. Ia adalah putra dari Syekh Ali bin Abdurrahman al
Musawwa, seorang ulama Yaman yang ke Palembang pada akhir abad
19. Dilahirkan pada 18 Muharram 1323 H/22 Maret 1905 di Palembang
dan wafat 10 Jumadil tsani 1354 H / 28 September 1935 M. Setelah
belajar kepada ayahnya, Syekh Muhsin belajar di Madrasah Nur al al
Islam dan Pesantren Saadatul al Darain Jambi. Ia juga belajar kepada
Kiai Idrus dan KH Syamsuddin di Palembang. Pada 1922 ke Mekkah dan
bergabung dalam komunitas al Jawa serta belajar di Madrasah
Shaulatiyah selama 6 tahun. Di antara gurunya di Madrasah tersebut
adalah Syekh Hasan bin Muhammad al Masysyath, Syekh Dawud ad
Dahlan al Makki, Syekh Abdullah bin Hasan al Kuhi, Syekh Habibullah al
Syinqithi dan Syekh Mahmud bin Abdurrahman Zuhdi al Bankuki al
Makki. (Amirul Ulum, 2015: 119)
Syekh Muhsin juga menimba ilmu di Yaman tempat ayahnya
berasal. Tiga bulan kemudian ia kembali ke Mekkah dan mengajar di
Madrasah Shaulatiyah. Selain itu ia juga berguru kepada Syekh Umar
bin Abi Bakar Bajunaid al Makki, Syekh Sain bin Muhammad al Yamani,
Syekh Muhammad Ali bin Husain al Maliki al Makki, Syekh Khalifah bin
Hamad an Nabani, Syekh Abdullah bin Muhammad al Ghazi al Makki,
Syekh Abdul Baqi al Lukmawi dan sebagainya. Selain itu ia juga aktif
terlibat dalam diskusi terkait masa depan kolonial Belanda di
Jawi/Nusantara bersama Syekh Zubair bin Ahmad al Filfulani, Syekh
Muhaimain bin Abdul Aziz al Lasemi, dan Syekh Ahman Mansuri dan
ulama-ulama lainnya. Dari diskusi-diskusi tersebutlah akhirnya lahir
Madrasah Dar al Ulum al Diniyah pada 16 Syawal 1353 dan Syekh
Muhsin menjadi Kepala Madrasah.Diantara karyanya an Nafatu al
tsaniyah syarh Tuhfatu al Tsaniyah, Wamadkhalu al Wushul ila Ilmil
Ushul, Nahju al tafsir Syarh Mandzumah al Zamzami, dan Jamau
Tsamar Taliqu ala Mandzumati Manazilil Qamar. Tentang catatan sanad
keilmuannya dibukukan oleh Syekh Yasin dalam kitan Fadl al Muhaimin
di tarjamahwa Asanid al Sayyid Muhsin.
Sedangkan di Palembang sendiri, pesantren-pesantren atau
madrasah-madrasah di Palembang banyak bermunculan semenjak
berkembangnya agama Islam. Yang termasyhur di antaranya Madrasah
Al-Quraniah yang didirikan oleh Kamas Kiai H. Muhd. Yunus pada tahun
1920, Sekolah Ahliah Diniah yang didirikan oleh Kiai Masagus H.
Nanang Misri pada tahun 1920, Madrasah Nurul Falah yang didirikan
KH. Abu Bakar Al-Bastari pada tahun 1934, dan Madrasah Darul Funun

10

yang didirikan oleh Kiai H. Ibrahim pada tahun 1938 Kitab-kitab yang
dipakai di pesantren-pesantren Sumatera Selatan hampir sama dengan
kitab-kitab yang dipakai pesantren-pesantren di Jawa. 12
Kesamaan kitab-kitab yang diajarkan dengan pesantren di Jawa ini
cukup beralasan karena terdapat ulama-ulama yang pernah nyantri di
Jawa seperti Pesantren Tebuireng Jombang. Salah satunya adalah KH
Muhammad Zen Syukri. Ia adalah santri Tebuireng yang
menghubungkan jejaring ulama Jawa dengan Sumatera seperti KH
Ibrahim bin Abbul Majid Jambi. KHMuhammad Zen Syukri, meneruskan
ulama-ulama besar palembang antara lain Faqih Jalaluddin,
Syihabuddin Abdullah, Syekh Muhyiddin lalu Syekh Kiemas
Muhammad, dan yang paling terkenal hingga sekarang dan ajarannya
masih terus diamalkan adalah Syaikh Abdushomad Al Palimbani (17041775). Kiai Zen Syukri dilahirkan pada 10 Oktober 1919/ 12 Rabiul
Awwal dan wafat pada 23 Maret 2012. Atas saran gurunya yakni Syekh
Muhamamad Salim Alkaf, seorang Rois Suriyah NU dan salah seorang
pendiri NU Palembang, ia nyantri ke Pesantren Tebuireng Jombang.
Sebelumnya, karena kehabisan perbekalan, ia belajar di Tegal selama
satu tahun yakni 1936, menjadi khadam Kiai. Begitupun ketika di
Tebuireng, ia mengabdi kepada Kiai Hasyim Asyari sebagai khodam
(pelayan) yang mengurus rumah tangga dan menyiapkan pengajian
kiai. Ia selalu diajak sang Guru untuk melakukan pengajian keliling di
sekitar Jombang, sebagai pembawa kitab, serta membantu semua
keperluan gurunya. Selain itu ia juga berguru kepada kiai-kiai yang lain
yaitu Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Sansuri. Pada tahun 1939
kembali ke Palembang, dan bergabung dengan organisasi NU di
Palembang, sehingga pada tahun 1943 ia dipilih sebagai Ketua
Tanfidziyah NU Cabang Palembang. Pada saat inilah Kiai Zen Syukri
aktif dalam perang kemerdekaan dengan membentuk dan
menggembleng Laskarr Hizbullah untuk turut berjuang di medan
pertempuran. Selain Kiai Zen Syukri, ulama Palembang yang turut
berjuang dalam perang kemerdekaan adalah Kiai Muhammad Thoyib,
dan Syekh Hatmar Rasyid (Kiai Bake). Keduanya bahkan
menghubungkan jejaring ulama santri dengan kepulauan Bangka
Belitung bersama Syekh Abdurrahman Siddiq al Banjari yang orang
tuanya berada di Bangka.

11

1 Abdurrahman Wahid (ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta:
the wahid institute, 2009) h. 14-15. Nurul huda cukup reflektif dalam membahas hal ini dalam artikelnya
filsafat sejarah spekulatif abdurrahman wahid, di gusdurian.net

2Abdurrahman Wahid, Bersatu Dalam Penderitaan, proaksi, 25 januari 2005, Diulas kembali oleh Nuruh
Huda dalam artikel Masa Lalu-Masa Kini-Masa Depan: Kiai Abdurrahman Wahid Tentang Sejarah, 05 maret
2015, Gusdurian.net

3L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (Jakarta:
INIS, 1989), hlm. 74.

4 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 1999), hlm. 3.

5Bambang Budi Utomo et al., Kota Palembang: dari Wabua Sriwijaya menuju Palembang Modern (Palembang:
Paguyuban Masyarkat Peduli Musi, 2005).

6Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997),
hlm. 6; Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang, 261 Tahun Masjid Agung dan Perkembangan Islam di
Sumatera Selatan (Palembang: Yayasan Masjid Agung Palembang, 2001), hlm. 7.

7LWC van den Berg, Le Hadramouth el les colonies Arabes dans Iarchipel Indoen (Batavia: Imprimerie du
gouvernement, 1886), h 226

8JCM Peeters, Kaum Tua en kaum muda in de residentie Palembang: 1925-1934, (Tesis MA, Universitas
Leiden, 1988), h. 14-31

9Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997).
10ARA, Memorie van Overgave Van de Velde: 23
11Pertja Selatan 18, 11 Februari 1928: 2.
12Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hlm. 211.

Anda mungkin juga menyukai