putranya Raden Ayu Azimah. Ikut juga anak dan Istri habib Syarif Umar
ini dibuang ke Ternate. Mula-mula rombongan ini mampir ke Betawi
sebelum ke Ternate. Rombongan Sultan Mahmud Badruddin II yang
dibuang ini ternyata diperjalanan oleh Belanda dipecah-pecah dimana
ada yang diturunkan di Makassar/Sulawesi, ada yang Manado, ada
yang di Rora, ada yang di Timor Kupang dan ada yang di Banyuwangi.
Diantara keturunannya di Banyuwangi yang cukup gigih dalam
perlawanan terhadap Kolonial Belanda adalah KH SALEH LATENG
BANYUWANGI, seorang pendekar sakti keturunan Kesultanan
Palembang Sumatera, santri Syekh Kholil Bangkalan. Kakek Kiai Saleh,
Ki agus Abdurrahman adalah bangsawan kesultanan Sultan Palembang
era Najamuddin yang dibuang oleh Belanda ke Banda Aceh. Ki Agus
Abdurrahman ini kemudian menetap di Sumenep dan menikah dengan
seorang perempuan setempat bernama Najihah. Salah satu anaknya
yang meneruskan keturunannya adalah Ki Agus Abdul Hadi, ayah Kiai
Saleh, yang kemudian pindah dan menetap di Banyuwangi.
Setelah runtuhnya Kesultanan Palembang, beberapa masjid
didirikan oleh ulama yang kaya dengan mendapat dukungan dari
masyarakat.4 Kesultanan Palembang dihapus oleh Belanda pada
tanggal 7 Oktober 1823. Mulai saat itu Palembang menjadi daerah
administrasi Hindia Belanda dengan Joan Cornelis Reijnst sebagai
residen. Pada tahun 1825, I.I. van Sevenhoeven ditempatkan sebagai
Residen Palembang.5 Sejak jatuhnya Kesultanan Palembang kalangan
sayyid mulai mendapatkan tempat yang penting. Kehidupan beragama
pada paruh pertama abad ke-19 di Palembang berdasarkan Laporan
Tahunan Residen Palembang dari tahun 1834 dan 1835, menyatakan
bahwa di Palembang pada waktu itu golongan ulama (priesterstand)
cukup besar, tetapi mereka tidak bersikap keras terhadap pemerintah
kolonial.6 Kenyataan ini menyebabkan penguasa kolonial tidak
menganggap Islam sebagai ancaman terhadap status quo mereka.
Akan tetapi, mulai pertengahan abad ke-19 pendapat penguasa
kolonial tentang Islam di Palembang mengalami perubahan yang
mendasar. Pada 1850, penduduk kota justru sangat shaleh, dan taat
memenuhi kewajiban agama mereka, meski belum dianggap fanatik
oleh penguasa Belanda.
Perubahan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran para
ulama-ulama Palembang baik yang berada di tanah air maupun di
Haramayn. Seperti halnya Syekh Nawawi Banten, Syekh Zainuddin
Sumbawa menulis Shiraj al-Huda sebagai sebuah komentar atas Umm
al Barahain karya Sanusi, dan Minhaj al-Salam, Kiai Rifai Kalisalak
dengan Tarajumahnya, di Palembang Sumatera Selatan, transmisi
Islam mengambil bentuk penerjemahan kitab-kitab Arab ke dalam
bahasa Melayu. Seperti ditunjukkan Fathurrahman (2002), para ulama
Palembang abad ke-18 dan 19 terlibat aktif dalam menyediakan
terjemahan bahasa Melayu atas kitab-kitab standar berbahasa Arab
kepada Muslim di Sumatera Selatan, khususnya di Kesultanan
Palembang. Syekh Shihabuddin, menulis Syarh Aqidah al-Iman, sebuah
terjemahan dari Jauhar al-Tauhid karya Ibrahim al-Laqanni (Abdullah
di daerah pasar, dekat Masjid kota jambi. Ayah Sayid Ali yaitu Sayid
Abdurrahman bin Sayid Ali bin Agil Al Masawa yang juga kelahiran
Palembang mempunyai anak dua orang, Sayid Ali dan Sayid Ahmad di
Palembang. Sedangkan Sayid Ali bin Agil Al Masawa adalah menantu
dan pembantu Sultan Palembang yang ikut dalam pertempuran
melawan Belanda hingga tewas tertembak, dan dimakamkan di Kebon
Gede, 35 Ilir Palembang. Ketika ayahnya gugur, Sayid Abdurrahman
mengembara di daerah Deli Serdang, dekat Medan. Sayid
Abdurrahman Al Massawa mengajar dan mendirikan masjid hingga
wafatnya di daerah ini, yang kemudian dimakamkan di samping Masjid
Deli.
Keluarga emigran al Jufri di Sumatera tersebut datang dari
Hadramaut wilayah tengah, dan menetap di Palembang koloni Arab
terkaya dan terbesar kedua di pulau itu (setelah Aceh), dengan
populasi dua ribu jiwa pada 1885. Walaupun pendatang baru, mereka
termasuk dalam lingkaran terkaya di koloni Palembang itu. 7 Keluarga
mereka punya ikatan dengan daerah-daerah tetangga, bendahara
Petapahan di Siak adalah seorang klan al Jufri (Sayyid atau Muhammad
bin Aloui al Juffri), dan kerabat mereka adalah salah satu kelompok
paling berpengaruh di Singapura.8
Kebangkitan Jejaring Ulama Palembang
Tahun 1881 merupakan titik balik citra Islam di mata kolonial
dimana istilah fanatik baru pertama kali muncul dalam wacana kolonial
mengenai Palembang. Penangkapan Syarif Abdullah Al Segaf
dipandang sebagai bukti keterlibatan Alawiyin dalam propaganda PanIslamistis. Sebenarnya sebagian besar Sayyid tidak turut campur. Akan
tetapi, ide bahwa jaringan orang Turki dan Arab secara rahasia terlibat
dalam persiapan perang suci, sudah tertanam di benak penguasa
kolonial. Selama hari-hari pertama kepanikan, berita menggemparkan
dari Sumatera ditafsirkan begitu rupa oleh Batavia, sehingga orang
mengganggap telah ditemukan komplotan para pemimpin Arab di
Palembang, meskipun pendapat ini segera dikoreksi, pemerintah
kolonial tetap menganggap Palembang sebagai pusat perlawanan
terhadap negara kolonial, berkat semangat fanatik yang dimiliki
penduduk kota.9Sayid Abdullah Al Segaf kemudian diasingkan ke
Tondano. Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung Jawa Tondano telah
mempengaruhi budaya kampung Jawa Tondano dan berhasil
mengakulturasi budaya Arab-Sumatra dengan budaya Jawa dan
melahirkan budaya jaton generasi ketiga.
Kebangkitan Islam di Palembang mulai terlihat tanda-tandanya
antara tahun 1913 dan 1916. Pada bulan November 1913, di
Palembang didirikan cabang Syarekat Islam (SI), yang dengan cepat
merambat ke pedalaman. Selama tiga tahun, SI amat berhasil di
Sumatera Selatan, dan dalam waktu singkat, pimpinan gerakan
memobilisir rakyat pedesaan untuk memakai lambang agama
meskipun tidak berlangsung lama. Namun, pada tahun 1907, beberapa
keluarga Arab telah mengembangkan prakarsa baru di bidang
pendidikan dengan mendirikan suatu perkumpulan Arab yang bernama
Al-Ihsan. Perkumpulan Al-Ihsan kemudian mendirikan sekolah dengan
10
yang didirikan oleh Kiai H. Ibrahim pada tahun 1938 Kitab-kitab yang
dipakai di pesantren-pesantren Sumatera Selatan hampir sama dengan
kitab-kitab yang dipakai pesantren-pesantren di Jawa. 12
Kesamaan kitab-kitab yang diajarkan dengan pesantren di Jawa ini
cukup beralasan karena terdapat ulama-ulama yang pernah nyantri di
Jawa seperti Pesantren Tebuireng Jombang. Salah satunya adalah KH
Muhammad Zen Syukri. Ia adalah santri Tebuireng yang
menghubungkan jejaring ulama Jawa dengan Sumatera seperti KH
Ibrahim bin Abbul Majid Jambi. KHMuhammad Zen Syukri, meneruskan
ulama-ulama besar palembang antara lain Faqih Jalaluddin,
Syihabuddin Abdullah, Syekh Muhyiddin lalu Syekh Kiemas
Muhammad, dan yang paling terkenal hingga sekarang dan ajarannya
masih terus diamalkan adalah Syaikh Abdushomad Al Palimbani (17041775). Kiai Zen Syukri dilahirkan pada 10 Oktober 1919/ 12 Rabiul
Awwal dan wafat pada 23 Maret 2012. Atas saran gurunya yakni Syekh
Muhamamad Salim Alkaf, seorang Rois Suriyah NU dan salah seorang
pendiri NU Palembang, ia nyantri ke Pesantren Tebuireng Jombang.
Sebelumnya, karena kehabisan perbekalan, ia belajar di Tegal selama
satu tahun yakni 1936, menjadi khadam Kiai. Begitupun ketika di
Tebuireng, ia mengabdi kepada Kiai Hasyim Asyari sebagai khodam
(pelayan) yang mengurus rumah tangga dan menyiapkan pengajian
kiai. Ia selalu diajak sang Guru untuk melakukan pengajian keliling di
sekitar Jombang, sebagai pembawa kitab, serta membantu semua
keperluan gurunya. Selain itu ia juga berguru kepada kiai-kiai yang lain
yaitu Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Sansuri. Pada tahun 1939
kembali ke Palembang, dan bergabung dengan organisasi NU di
Palembang, sehingga pada tahun 1943 ia dipilih sebagai Ketua
Tanfidziyah NU Cabang Palembang. Pada saat inilah Kiai Zen Syukri
aktif dalam perang kemerdekaan dengan membentuk dan
menggembleng Laskarr Hizbullah untuk turut berjuang di medan
pertempuran. Selain Kiai Zen Syukri, ulama Palembang yang turut
berjuang dalam perang kemerdekaan adalah Kiai Muhammad Thoyib,
dan Syekh Hatmar Rasyid (Kiai Bake). Keduanya bahkan
menghubungkan jejaring ulama santri dengan kepulauan Bangka
Belitung bersama Syekh Abdurrahman Siddiq al Banjari yang orang
tuanya berada di Bangka.
11
1 Abdurrahman Wahid (ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta:
the wahid institute, 2009) h. 14-15. Nurul huda cukup reflektif dalam membahas hal ini dalam artikelnya
filsafat sejarah spekulatif abdurrahman wahid, di gusdurian.net
2Abdurrahman Wahid, Bersatu Dalam Penderitaan, proaksi, 25 januari 2005, Diulas kembali oleh Nuruh
Huda dalam artikel Masa Lalu-Masa Kini-Masa Depan: Kiai Abdurrahman Wahid Tentang Sejarah, 05 maret
2015, Gusdurian.net
3L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (Jakarta:
INIS, 1989), hlm. 74.
4 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 1999), hlm. 3.
5Bambang Budi Utomo et al., Kota Palembang: dari Wabua Sriwijaya menuju Palembang Modern (Palembang:
Paguyuban Masyarkat Peduli Musi, 2005).
6Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997),
hlm. 6; Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang, 261 Tahun Masjid Agung dan Perkembangan Islam di
Sumatera Selatan (Palembang: Yayasan Masjid Agung Palembang, 2001), hlm. 7.
7LWC van den Berg, Le Hadramouth el les colonies Arabes dans Iarchipel Indoen (Batavia: Imprimerie du
gouvernement, 1886), h 226
8JCM Peeters, Kaum Tua en kaum muda in de residentie Palembang: 1925-1934, (Tesis MA, Universitas
Leiden, 1988), h. 14-31
9Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997).
10ARA, Memorie van Overgave Van de Velde: 23
11Pertja Selatan 18, 11 Februari 1928: 2.
12Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hlm. 211.