Anda di halaman 1dari 9

A.

Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah

Dinasti Fatimiyah berdiri pada tahun 909 hingga 1171 Masehi. Saat itu kondisi Dinasti
Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaannya yang
luas. Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya gerakan dari cabang kaum Syiah Imamiyah
yaitu Syiah Ismailiyah yang bereaksi terhadap khalifah-khalifah Abbasiyah yang mengadakan
penyelidikan kepada kaum Syiah Ismailiyah. Penyelidikan itu mengharuskan golongan yang
setia kepada Ismail bin Jafar harus meninggalkan kota kecil di wilayah Hamah daerah Syria
menuju Afrika Utara.

Kaum Syiah Ismailiyah itu sendiri muncul karena berselisih paham dengan Syiah Imamiyah
tentang imam yang ketujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam yang ketujuh adalah Putra Jafar
yang bernama Musa al-Kazhim, sedangkan menurut Ismailiyah imam yang ketujuh adalah Putra
Jafar yang bernama Ismail. Sehingga meskipun Ismail sudah meninggal, kaum Ismailiyah
tidak mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka hak atas Ismail
sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal.[3]

Peninggalan Dinasti Fatimiyah (Foto: Umrohcairo.com)

Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail meninggal, aktivitas aliran Ismailiyah dimulai. Di sini
`mereka mulai melancarkan propaganda politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Gerakan ini
dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu Abdullah, yang dikenal dengan
sebutan al-Syii. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial
kemasyarakatan, munculnya al-Mahdi yang akan membebaskan rakyat dari penindasan dan teror,
menyatakan bahwa mereka akan lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah.[4]

Setelah memperoleh banyak dukungan dan berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara,
Abu Abdullah al-Husain menobatkan Said ibn Husain al-Salamiyah sebagai penggantinya.
Selanjutnya Said berhasil merebut kekuatan dan berhasil mengusir penguasa dinasti Aghlabiyah
yang terakhir yaitu Ziyadatullah III dari Tunisia disusul dengan pendudukannya pada tahun 909
M. Inilah awal berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Husain al-
Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al-Mahdi.[5]

Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fatimiyah dengan
Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar
yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syiah Ismailiyah. Mereka bersikap
melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan
penguasa Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di
Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Umayyah yang digulingkan Bani
Abbasiyah di Baghdad.[6]

Itulah alasan mengapa Tunisia dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru,
guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar.
Tahun 909 mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah yang
sedang menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam antar dinasti menjadi fenomena
yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang berkuasa.

Fokus Dinasti Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa
mereka adalah keturunan Fatimiyah, puteri Rasulullah dan Isteri dari Ali bin Abi Thalib. Para
khalifah Fatimiyah merujuk asal-usul mereka kepada pasangan suami isteri ini. Sebagaimana
diketahui, dinasti ini berakar pada Syiah Ismailiyah, para pengikutnya mengharapkan
kemunculan Imam al-Mahdi.

Mereka mengakui diri mereka adalah keturunan Nabi melalui Ali dan Fathimah lewat garis
Ismail putera Jafar al-Shadiq. Namun kalangan Sunni menolak asal-usul tersebut dan biasanya
mereka menyebut Dinasti Ubaidi yang keturunan Ubaidillah, khalifah pertama Dinasti
Fatimiyah, bahkan ada yang menuduh mereka keturunan Yahudi, sebagaimana tuduhan kepada
Ubaidillah secara pribadi.

Walaupun berambisi untuk mengalahkan kekuasaan Daulah Abbasiyah, namun Fatimiyah tidak
menyerang Baghdad, mereka malah terus meningkatkan propaganda dan berusaha untuk
menduduki Mesir. Ketika Dinasti Fatimiyah dipimpin oleh Khalifah al-Muiz, Mesir sedang
berada dalam kondisi kacau dan lemah.

Melihat hal tersebut, maka pada tahun 969, Jauhar atas perintah khalifah menyerbu Fusfat, yang
merupakan titik pertahanan paling lemah. Segera setelah itu, dia menyatakan Mesir sebagai
benteng kekuatan Ismailiyah.

Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fatimiyah selanjut adalah mendirikan
ibu kota baru yang terletak di Fusfat bagian Utara, yang mereka sebut dengan al-Qahirah, yang
berarti sang penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi
pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah.
Disamping itu, dinasti ini juga berupaya untuk menyebar luas ideologi Fatimiyah ke Palestina,
Syiria dan Hijaz.[7]

Keberadaan Dinasti Fatimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fatimiyah
mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spiritual tertinggi.
Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak
hanya dari segi politik, tetapi juga spiritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun
secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah
yang membedakan Dinasti Fatimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.

Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 262 tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai tahun 567 H/
1171 M. Selama itu berkuasa 14 orang khalifah, yaitu:

1. Ubaidillah al Mahdi (909-934 M) 8. Al-Musthansir (1035-1094 M)


2. Al-Qaim (934-946 M) 9. Al-Mustali (1094-1101 M)
3. Al-Manshur (946-952 M) 10. Al-Amir (1101-1130 M)
4. Al-Muizz (952-975 M) 11. Al-Hafizh (1130-1149 M)
5. Al-Aziz (975-996 M) 12. Al-Zhafir (1149-1154 M)
6. Al-Hakim (996-1021 M) 13. Al-Faiz (1154-1160 M)
7. Al-Zhahir (1021-1035 M) 14. Al-Adhid (11601171 M)[8]

B. Masa Kejayaan Dinasti Fatimiyah

1. Keadaan Politik

Pada masa Dinasti Fatimiyah, terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz,
kehidupan masyarakat selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan
pemerintahan yang damai. Al-Aziz adalah khalifah Fatimiyah yang kelima sejak berdirinya
dinasti ini di Tunisia, dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.

Simbolisme istana yang penting diekspresikan dalam upacara, kesenian arsitektur, dan agama
Islam. Di dalam istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan keyakinan Ismailiyah.
Para hakim, misionari, qari al-Quran, dan imam shalat secara reguler hadir dalam berbagai
upacara di dalam istana.[9]

Periode ini menandai munculnya era baru dalam sejarah bangsa Mesir, yang untuk pertama
kalinya sepanjang sejarah, menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan penuh yang
didasarkan atas prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan kepemimpinan agama
dan politik jelas terlihat. Prinsip kepemimpinan yang mengharuskan seorang imam harus
menjadi sosok yang adil, yang bisa menjauhkan umat dari siksaan, suara kebenaran, yang
bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki, dan
kehidupan manusia, telah berhasil menjulangkan popularitas sang khalifah. Nama sang khalifah
senantiasa disebut-sebut dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah kekuasaannya yang
membentang dari Atlantik hingga Laut Merah, di Yaman, Mekah, Damaskus, dan bahkan di
Mosul.[10]

Di bawah kekuasaan al-Aziz, Fatimiyah berhasil mendapatkan tempat tertinggi sebagai negara
Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Ia telah berhasil menjadikan negaranya sebagai
lawan tangguh bagi kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.

Strategi promosi Fatimiyah yang gencar dilakukan untuk mengagungkan agama diwujudkan
dengan memasyarakatkan pemuliaan terhadap keluarga Ali. Pemuliaan terhadap imam yang
masih hidup disejajarkan dengan pemuliaan terhadap kalangan syuhada dari keluarga nabi.
Pemerintah membangun sejumlah bangunan makam keluarga Ali untuk meningkatkan kegiatan
perziarahan.

Selain berhasil mewujudkan kemakmuran, strategi lain yang dijalankannya adalah memberikan
toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen. Keadaan ini sama sekali tidak pernah dirasakan
oleh masyarakat pada periode-periode sebelumnya.

2. Bidang Sosial

Mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama
nonmuslim. Selama masa ini, pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya
khalifah al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan
Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah Muslim.

Pada masa al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat Islam dimana mereka
ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa al-Muntashir dan
seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan
dipegang oleh orang-orang Kopti.

Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula
banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintahan. Demikian semua ini menunjukkan
kebijaksanaan penguasa Fatimiyah terhadap kaum kristiani.[11]

3. Sistem Administrasi Pemerintahan Dinasti Fatimiyah

Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Fatimiyah tidak begitu berbeda dengan sistem
administrasi Abbasiyah, sekalipun pada masa ini muncul beberapa jabatan yang berbeda.
Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun spiritual.
Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.[12]

Administrasi internal kerajaan dibentuk oleh Yakub ibn Killis yang wafat tahun 991 M, seorang
wazir atau menteri pada kekhalifahan al-Muiz dan al-Aziz. Yakub adalah seorang Yahudi yang
masuk Islam. Berkat kecakapannya dalam bidang administrasi, ia berhasil meletakkan dasar-
dasar ekonomi sehingga Dinasti Fatimiyah mencapai kemakmuran pada awal pemerintahannya.

Pengelolaan negara dilakukan dengan mengangkat para menteri. Fatimiyah membagi kementrian
menjadi dua kelompok yaitu: pertama, kelompok militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok: (1)
Para amir, yang terdiri atas para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah; (2) Para perwira
istana yang terdiri atas para ahli (ustadz) dan para kasim; (3) Komando-komando resimen yang
masing-masing menyandang nama berbeda seperti Hafizhiyah, Jususyiyah, Sudaniyah, atau yang
disebut dengan nama khalifah, wazir, atau suku.

Para wazir atau menteri juga terdiri atas beberapa kelas, yang tertinggi adalah menteri keamanan
yang mengatur tentara dan urusan perang, kemudian menteri dalam negeri, menteri urusan rumah
tangga yang menyambut tamu-tamu kehormatan utusan luar negeri, dan yang terakhir adalah
menteri sekertaris negara yang terdiri atas para qadhi yang juga menjadi kepala percetakan uang;
menteri pengawas pasar yang mengawasi ukuran dan timbangan dalam Tingkatan pegawai yang
paling rendah adalah para pegawai di departemen sekretariat negara yang terdiri atas para
pegawai sipil, termasuk para pedagang dan sekretaris dari berbagai departemen.[13] Selain
pejabat pusat, di setiap daerah terdapat pejabat setingkat gubernur yang diangkat oleh khalifah
untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi pemerintahan dikelola oleh pejabat
setempat.[14]

4. Perkembangan Ekonomi Pemerintahan Dinasti Fatimiyah

Dalam membahas masalah perkembangan ekonomi akan dibicarakan mengenai kehidupan


masyarakat dan keadaan negara dilihat dari kemajuan ekonomi dan kemakmurannya. Seperti
yang telah disinggung di awal, masyarakat pada masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah hidup
dengan damai. Kekuasaan rezim Syiah tetap memberi toleransi kepada masyarakat, baik kepada
golongan Koptik maupun kepada masyarakat umum yang bermazhhab Sunni.

Sebenarnya masa keemasan dalam sejarah dinasti ini di Mesir dimulai pada periode al-Muiz dan
mencapai puncaknya pada periode al-Aziz, tetapi pada periode sesudahnya yaitu masa al-
Munthashir masih menunjukkan bahwa Mesir merupakan negara Islam paling maju.

Khalifah al-Aziz hidup di kota Kairo yang mewah dan gemerlap, dikelililngi beberapa masjid,
istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru dibangun. Pada prosesi ibadah, misalnya idul fitri,
dia biasa berkeliling dengan pasukannya dengan memakai pakaian berornamen brokat dan
dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Tenda yang dipakai oleh khalifah dihiasi mutiara.

Kegemilangan Mesir pada masa al-Muntashir ini dapat tergambar sebagaimana dideskripsikan
oleh Nasir al-Khusrawi, salah seorang pengembara Ismailiyah berkebangsaan Persia yang
mengunjungi Mesir antara tahun 1046-1049 M.[15] Ia menyaksikan khalifah pada sebuah
festival tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya.

Istana khalifah dihuni 30.000 orang, di antara mereka terdapat 12.000 orang pelayan dan 1.000
orang pengawal berkuda dan pengawal jalan kaki. Khalifah muda yang dilihatnya pada sebuah
perayaan menunggangi kuda, dinaungi oleh pelayan dengan payung yang dihiasi batu-batu
mulia. Di tepi Sungai Nil terdapat tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan 60 tiang
pancang sedang berlabuh.

Khalifah memiliki 20.000 rumah di ibu kota, hampir semuanya dibangun dengan batu bata,
dengan ketinggian hingga lima atau enam lantai. Ia juga memiliki ribuan toko yang masing-
masing bisa menghasilkan dua hingga sepuluh dinar perbulan. Jalan-jalan utama diberi atap dan
diterangi lampu. Para penjual toko menjual dengan harga yang telah ditetapkan.

Jika ada seorang pedagang yang curang, ia akan dipertontonkan di sepanjang jalan kota sambil
membunyikan lonceng dan mengakui kesalahannya. Bahkan begitu amannya kota, toko
perhiasan atau tempat penukaran uang tidak pernah dikunci saat ditinggal oleh pemiliknya. Kota
Fusthat memiliki tujuh masjid besar; Kairo memiliki delapan buah.[16]
Seluruh kota merasakan ketenangan dan kemakmuran dengan ungkapannya yang antusias,
Bahkan aku tidak bisa memperkirakan kekayaan kota ini, dan tidak pernah sekali pun aku
melihat satu tempat yang lebih makmur dari kota ini.[17]

Khalifah al-Muntashir hidup dalam kemewahan dan kesenangan. Dia mewarisi harta yang
berlimpah dari para pendahulunya. Kekayaan khalifah terbukti dengan ditemukannya warisan
harta sangat berharga yang tersebar di antara tentara-tentara Turki berupa vas-vas kristal, piring-
piring berlapis emas, tempat tinta yang terbuat dari gading dan kayu eboni, gelas-gelas berbahan
gading, cermin-cermin dari baja, payung dengan gagang terbuat dari emas dan perak, papan catur
dengan bidak terbuat dari emas dan perak, belati berhiaskan mutiara, dan pedang-pedang berukir
indah.[18]

5. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah


Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Khalifah al-Aziz sendiri
adalah seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Pada masanya dikembangkanlah
Masjid Agung al-Azhar menjadi universitas sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua.

Khalifah al-Hakim melakukan pembangunan pusat pembelajaran Dr al-Hikmah (rumah


kebijaksanaan) dan Dr al-Ilm (rumah ilmu) pada tahun 1005 yang melakukan pengkajian ilmu-
ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Dia menyediakan dana yang besar untuk
mengembangkan institusi ini, di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah,
memperbaiki buku, dan pemeliharaan umum lainnya. Bangunan tersebut ditempatkan berdekatan
dengan istana kerajaan. Di dalam bangunan itu terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang
pertemuan.

Al-Hakim juga membangun sebuah observatorium karena ketertarikannya pada perhitungan-


perhitungan astrologi. Alat untuk mengukur tanda-tanda zodiak yang terbuat dari tembaga
didirikan oleh al-Hakim di atas dua menara.

Beberapa tokoh ilmuwan yang terkenal pada masa ini di antaranya Ali ibn Yunus. Dia adalah
seorang astronom paling hebat yang menciptakan tabel astronomi. Juga ada Abu Ali al-Hasan
ibn al-Haitsam (bahasa Latin, Alhazen) yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ia
menulis tidak kurang dari seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat,
dan kedokteran.

Karya terbesarnya adalah Kitb al-Manzhir mengenai ilmu optik. Kitab ini sangat berpengaruh
terhadap perkembangan ilmu optik dan menjadi rujukan utama hampir semua penulis tentang
optik pada Abad Pertengahan. Tokoh lainnya adalah Ammar ibn Ali al-Maushili yang
menghasilkan karya al-Muntakhab fi Ilaj al-Ain (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata)
dan Ibn Isa yang menghasilkan karya Tadzkirah.[19] Dalam karya Ammar ini dijelaskan dasar-
dasar operasi katarak yang merupakan penemuannya yang berharga dalam bidang kesehatan.

Dalam perkembangan berikutnya, pada masa al-Muntashir, terjadilah kemunduran dalam bidang
ilmu pengetahuan dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan yang
telah didirikan sejak masa al-Aziz yang ketika itu memiliki kurang lebih 200.000 buku dan
2.400 Al-Quran.[20] Berkurangnya koleksi perpustakaan ini sebagai akibat peristiwa perebutan
rampasan perang pada tahun 1068. Naskah-naskah berharga itu digunakan sebagai bahan bakar
untuk membakar rumah-rumah dan kantor-kantor orang Turki.

6. Perkembangan Seni dan Arsitektur Pemerintahan Dinasti Fatimiyah

Seni dan arsitektur pada masa Fatimiyah menghasilkan karya yang bernilai sangat tinggi berupa
berbagai kerajinan, baik di bidang tekstil, keramik, benda seni dari kayu, benda logam, dan batu
kristal. Pada produk tekstil kita bisa menemukan motif-motif hewan dengan pose konvensional.
Beberapa contohnya ditemukan di Barat yang dibawa ke sana pada masa Perang Salib.
Seni keramik masa ini mengikuti pola-pola Iran. Beberapa contoh produk keramiknya
merupakan bukti kemunculan pertama keramik ala Cina di wilayah Arab Timur. Produk keramik
yang dibuat oleh orang-orang Mesir sangat bagus dan menakjubkan.

Benda seni dari kayu adalah berupa papan-papan kayu berukir yang digambari lukisan beberapa
makhluk hidup seperti rusa yang diserang oleh monster, kelinci yang diterkam oleh elang, dan
beberapa pasang burung yang saling berhadapan.

Seperti juga pada produk kayu, koleksi perunggu memperlihatkan hal yang sama. Kebanyakan
produknya berupa cermin atau pedupaan. Koleksi perunggu yang paling terkenal adalah patung
griffin dengan tinggi 40 inci, yang sekarang berada di Pisa.

Benda kristal dinasti Fatimiyah menurut pakar sejarah seni di situs simerg.org merupakan salah
satu mahakarya peradaban Islam paling indah. Ornamen yang ditampakkan pada batu kristal
tersebut menunjukkan karya seni dengan citarasa yang tinggi. Salah satu ciri khasnya adalah
bentuk-bentuk batu kristal yang umumnya mengambil model ikan sebagai simbol kehidupan.

Banyak juga yang berisi tulisan dari Imam-imam Syiah Ismailiyah. Salah satu peninggalan
yang terkenal terdapat di Basilica Venesa yang berisi tulisan al-Aziz yang hidup sekitar tahun
975-996 Masehi. Batu kristal lainnya berisi tulisan Imam al-Hakim yang berada di Chatedral of
Fermo, Italia.

Berbagai benda kuno berupa keramik dan kristal peninggalan Dinasti Fatimiyah pada tahun
2004 ditemukan di dalam kapal karam berusia 1000 tahun di Pantai Utara Cirebon. Sekitar
271.381 benda kuno yang menghebohkan publik Indonesia tersebut dilelang oleh Kementrian
Kelautan RI pada 5 Mei 2010 yang kemungkinan nilai jualnya mencapai 750 milyar sampai
trilyunan rupiah.[21]

Seni arsitektur publik Fatimiyah merupakan bentuk pengembangan dari aspek-aspek seremonial
istana kerajaan. Ibu kota Fatimiyah, al-Qahirah atau Cairo yang dibangun pada tahun 969,
merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan.[22]
Masjid Agung al-Azhar dan al-Hakim dibangun dengan sejumlah menara dan kubah yang
melambangkan sifat ketinggian para imam dan mengingatkan pada Kota Suci Makkah dan
Madinah. Bagian tengah al-Azhar dibangun dengan batu bata yang memiliki sudut mihrab.

Masjid al-Hakim memiliki kopula dari tembok yang menyokong sebuah tambur besar berbentuk
segi delapan di atas ruangan shalati. Di Masjid al-Aqmar ditemukan ciri khas arsitektur Islam
yaitu ceruk stalaktit. Tiang masjid ini menampilkan disain kaligrafi bergaya Kufi yang kubus dan
tegas. Ciri khas lain yang menjadi tradisi pada masa ini adalah bangunan makam para pendiri
masjid yang dihubungkan dengan masjid. Selain bentuk bangunan, kemegahan gedung-gedung
periode Fatimiyah dilengkapi juga dengan pintu-pintu gerbang berukuran sangat besar yang
dibangun oleh arsitek-arsitek dengan rancangan ala Bizantium.

C. Masa Kemunduran Dinasti Fatimiyah


Faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Fatimiyah adalah akumulasi dari masalah-masalah
yang bermunculan khususnya di masa paruh kedua, di mana suatu faktor dapat menyebabkan
faktor-faktor yang lain. Di antara faktor-faktor yang paling menonjol adalah sebagai berikut:

Pertama, melemahnya para khalifah, khususnya sejak al-Mustansir, ia adalah urutan khalifah
yang ketujuh. Jika seluruh khalifah Fatimiyah berjumlah 14 orang, maka, dapatlah dikatakan
bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat, sedang tujuh berikutnya rata-rata lemah.
Kelemahan ini disebabkan karena sewaktu dinobatkan menjadi khalifah usia mereka masih
sangat muda, seperti khalifah-khalifah: Al-Hakim berusia sebelas tahun, al-zahir berusia enam
belas tahun, al-Amir disebut masih "berusia hijau", al-Zafir berusia tujuh belas tahun, al-Faiz
dikatakan "berusia balita", dan al-Azid, khalifah terakhir, dinobatkan dalam usia sembilan tahun.

Lemahnya para khalifah ini menyebabkan tampilnya "orang-orang kuat" dan berpengaruh
sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan khalifah hanya sebagai boneka. "Orang-
orang kuat" itu misalnya, Barjawan, seorang gubernur Al-Hakim, Sitt al-Mulk, bibi Al-Zahir, dan
Al-Afzal perdana menteri Al-Amir. Tampilnya "orang-orang kuat" ini mengakibatkan
kecemburuan di pihak saudara-saudara para khalifah, dan membuat keadaan pemerintahan
diktator dan tidak stabil.

Di samping itu, lemahnxa para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri yang
bersumber pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah berdasarkan "kelompok
kepentingan" yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu sistem atau melalui wasiat. Sebagai
contoh, Nizar, kakak Al-Musta'li, merasa kecewa berat karena Al-Musta'li, adiknya itu, diangkat
menjadi khalifah pengganti bapaknya Al-Mustanshir yang wafat.

Ia merasa bahwa dia adalah yang lebih berhak untuk jabatan itu daripada adiknya. Akhirnya, ia
memutuskan untuk menjadi gerakan oposisi terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan
Assasin yang dipimpin oleh Al-Hasan bin al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil membunuh
dua orang khalifah, Al-Musta'li dan Al-Amir.

Kedua, perpecahan dalam tubuh militer. Dalam tubuh militer terdapat tiga unsur kekuatan.
Pertama, unsur bangsa Barbar yang sejak sangat awal ikut berjuang mendirikan Dinasti
Fatimiyah. Kedua, unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah Al-
Aziz. Ketiga, unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah Al-Mustanshir. Tiga
faksi ini selalu bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka.

Peperangan terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan unsur Barbar.
Sedang khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini menyebabkan kontrol milter
terhadap wilyah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya, wilayah-wilayah dinasti yangdemikian luas
menjadi berkurang secara berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasai oleh dinasti
yang lain.

Ketiga, bencana alam. Kekeringan yang melanda Mesir di samping menimbulkan penderitaan
rakyat karena kelaparan, wabah penyakit, perampokan dan lainnya, juga, bagi negara,
menyebabkan lumpuhnya perekonomian agraris yang hasilnya justru merupakan sumber devisa
utama Mesir. Kekurangan pangan yang melanda Mesir, memaksa khalifah meminta bantuan
kepada Konstantin Monomachus untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.

Kelemahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam dinasti Fatimiyah, pada gilirannya
memancing datangnya serangan dari pihak luar, yakni panglima Shalahuddin dari dinasti
Ayyubiyah. Karena prestasinya dalam Perang Salib, maka ia mudah mendapatkan simpati
masyarakat luas yang akhirnya dapat rnenaklukkan dinasti Fatimiyah dengan mudah pula.[23]

Anda mungkin juga menyukai