Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS FILSAFAT KEILMUAN

TERHADAP MASJID PAROMOSONO


Dosen Pembimbing: Dr. Ars. Avi Marlina, S.T. M.T.

Oktarina Nathania Putri


I0217070

Program Studi Arsitektur


Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret
2019
Filsafat mempunyai andil besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dapat
dikatakan filsafat adalah induk dari pengetahuan karena segala ilmu pengetahuan lahir dari
filsafat. Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena mendorong manusia untuk berfikir
kreatif dan inovatif

Ilmu tidak terlepas dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi (Bahrum,
2013). Ontologi membahas tentang apa hakikat obyek yang ditelaah sehingga
membuahkan pengetahuan, epistemologi membahas tentang bagaimana proses
memperoleh pengetahuan. dan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Sumarto, 2017). Dengan membahas ketiga
unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya,
maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya (Suriasumantri,
1990).

Pembahasan ini berisi tentang analisis filsafat pengetahuan pada bangunan di


sekitar Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu, Masjid Paromosono. Analisis dilakukan
berdasarkan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Baluwarti adalah sebuah kelurahan yang berada di kecamatan Pasar Kliwon.


Keistimewaan dari kelurahan ini yang tidak dimiliki kelurahan lain yaitu, Baluwarti
merupakan kelurahan yang berada di dalam tembok Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Selaras dengan arti nama Baluwarti itu sendiri. Baluwarti berasal dari bahasa
Portugis yaitu, “baluarte” yang mempunyai arti benteng, dalam bahasa jawa diartikan
sebagai tembok istana (Radjiman, 2011). Oleh karena itu pada kelurahan ini banyak
peninggalan kuno yang berhubungan dengan keberadaan Keraton Surakarta. Salah satunya
adalah masjid Paromosono.

Masjid Paromosono merupakan masjid tua yang terletak di Jalan Sasono Mulyo,
Suronatan RT. 01 RW. 02 Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta,
Provinsi Jawa Tengah. Berada di sebelah barat Kori Brojonolo Lor.
Gambar 1. Peta Kota Surakarta
Sumber : wikipedia

Gambar 2. Peta Kelurahan Baluwarti


Sumber : wikipedia
A. Ontologi
Menurut sejarahnya, masjid Paromosono dulunya menyandang status sebagai masjid
Kagungan Dalem atau masjid milik keraton dan semula bernama masjid Suranatan Jawi
(Prajaduta, 1939). Pendiriannya dilakukan tepat pada hari pindahnya Keraton Kartosuro ke
Desa Sala, kemudian disebut sebagai Keraton Kasunanan Solo di era pemerintahan raja Paku
Buwono II, namun saat masa pemerintahan raja Paku Buwono X, masjid ini berganti nama
menjadi Masjid Paromosono (Prajaduta, 1939). Jadi sebelum Masjid Agung berdiri, sudah ada
lebih dulu Masjid Paramosono. Sehingga usia Masjid Paramosono juga lebih tua dibanding
Masjid Agung. Awal didirikan masjid ini digunakan sebagai tempat ibadah sholat bagi para
abdi dalem atau pegawai keraton yang memeluk agama Islam, yang tinggal di dalam
lingkungan tembok keraton dan konon yang memberi nama masjid ini diserahkan kepada abdi
dalem Suronoto (Oktavianti, 2017). Abdi dalem Suronoto merupakan bagian dari abdi
dalem keraton atau abdi dalem lebet, mempunyai tugas untuk mengurus masjid di keraton atau
masjid khusus untuk keluarga raja dan punggawa raja (Oktavianti, 2017). Abdi dalem
Suronoto ini merupakan abdi dalem yang bergerak dalam bidang keagamaan yang
bertanggung jawab kepada penghulu (Wikandaru, 2010). Masjid ini dulunya dikelola oleh
abdi dalam Suronoto, namun pada saat sekarang, masjid yang berada di sebuah lahan dengan
luas kurang lebih 600 m² ini sudah tidak dikelola lagi oleh abdi dalem Suronoto, cagar budaya
yang juga menjadi obyek wisata religi dan wisata sejarah ini dikelola oleh warga setempat,
khususnya yang tinggal di kampung Suromulyo (Oktavianti, 2017).

Gambar 3. Tampak depan Masjid Paromosono


Sumber : Dukumen penulis, 22 Maret 2019
B. Epistemologi
Penulis melakukan pengamatan pada Jumat, 22 Maret 2019 dari pukul 10.00 – 11.00
WIB. Data diperoleh dengan metode pengamatan dan wawancara.
Pengamatan dilakukan dengan mengamati bagian-bagian bangunan Masjid
Paromosono. Desain masjid Paromosono ini masih tetap sama dengan awal masjid ini
didirikan, tidak ada perubahan yang signifikan dalam bangunan masjid. Masjid ini memiliki
ruangan-ruangan seperti masjid pada umumnya. Ruangan utamanya terletak di bagian tengah
diantara dua ruangan lain. Ruangan yang ada di sisi selatan dipakai sebagai ruang TPA atau
Tempat Pendidikan Al-Quran. Sedangkan ruang di sisi utara berfungsi sebagai ruang untuk
menyimpan barang-barang milik masjid.

Gambar 4. Ruang TPA Masjid Paromosono Gambar 5. Ruang Tengah Masjid Paromosono
Sumber : Dukumen penulis, 22 Maret 2019 Sumber : Dukumen penulis, 22 Maret 2019
Gambar 6. Ruang Penyimpanan Masjid Paromosono
Sumber : Dukumen penulis, 22 Maret 2019

Teras dan serambinya terletak di sisi timur ruang utama. Pada tempat tersebut
digunakan untuk tempat menyimpan bedug, lalu di sebelah timurnya lagi ada tempat khusus
untuk berwudhu. Selain itu di teras juga terdapat pintu masuk ke ruang utama yang
jumlahnya ada tiga, dimana pintu tengah punya ukuran paling besar dari pada kedua pintu
yang lain. Yang membedakan masjid ini dengan yang lain adalah interior masjid yang klasik,
di tengah-tengah teras terpasang lampu gantung warna keemasan yang bercorak klasik dan
warna masjid yang senada dengan bangunan-bangunan lain di keraton yaitu putih dan biru.
Warna biru dan putih membawa watak menolak perbuatan yang tidak baik. Warna biru muda
merupakan simbol angkasa atau langit, merupakan simbol orang yang berwatak luas
pandangannya dan juga pemberi maaf (revikuswara, 2016). Masjid ini memiliki mimbar
dengan ukiran yang indah, mimbar tersebut merupakan pemberian keraton Demak untuk
keraton Surakarta. (Supardi, 2013)
Gambar 7. Ruang Bedug Masjid Paromosono
Sumber : Dukumen penulis, 22 Maret 2019

Wawancara dilakukan dengan seorang nenek yang bertugas memasak makanan gratis
setiap hari Jumat pada Masjid Paromosono. Nenek tesebut bercerita tentang kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di Masjid Paromosono. Selain digunakan untuk sholat, masjid Paromosono
juga meningkatkan perekonomian warga setempat, karena masjid ini sudah menjadi cagar
budaya dan tempat wisata, beberapa warga ada yang berjualan disekitaran masjid. Di samping
depan masjid terdapat toilet umum, setiap orang yang menggunakan toilet tersebut tidak
dipungut biaya, namun jika ada yang ingin memberikan dengan sukarela terdapat sebuah
kotak di samping pintu keluar toilet tersebut. Hasil dari kotak sukarela tersebut akan dibuka
sebulan sekali dan uang tersebut dimasukan dalam khas kampung.
Masjid ini juga sebagai tempat bersosialisasi, sering diadakan arisan warga kampung.
Jadi warga yang tidak memiliki ruang luas dalam rumahnya boleh menggunakan teras masjid
selama tidak mengganggu kegiatan utama di masjid tersebut. Mengingat rumah warga di
kawasan tersebut tidak terlalu besar. Selain itu setiap hari Jumat terdapat makanan gratis untuk
warga dan orang-orang yang beribadah sholat Jumat disana. Jadi setelah ibadah sholat selesai
warga dan pengunjung masjid tersebut makan bersama secara gratis dan saling bercengkrama.
Setiap sore hari, didepan masjid Paromosono ini selalu ramai oleh warga sekitar untuk
melakukan bermacam-macam kegiatan. Hal ini terjadi karena keadaan fisik kampung
Suromulyo yang tidak terlalu luas dan tidak memiliki halaman. Masjid Paromosono adalah
tempat yang cukup luas pada kawasan tersebut, sehingga banyak warga yang berkumpul
hanya untuk sekedar mengobrol atau anak-anak yang bermain di halaman masjid.

Gambar 8. Pintu Masuk Paromosono dan narasumber


Sumber : Dukumen penulis, 22 Maret 2019

Gambar 9. Makanan Gratis Setiap Jumat di Masjid Paromosono


Sumber : Dukumen penulis, 22 Maret 2019
C. Aksiologi
Berdasarkan analisis-analisis diatas, realita pada saat ini masjid Paromosono terawat
dengan sangat baik, terlihat dari bangunannya yang masih kokoh berdiri. Masyarakat yang
mengelola masjid ini juga sangat memperhatikan kebersihan lingkungan masjid. Masjid ini
juga berfungsi sebagai tempat bersosialisasi, baik antar warga kampung Suromulyo maupun
warga dengan pengunjung keraton yang juga berkunjung ke masjid Paromosono. Selain itu
masjid ini juga sudah masuk dalam cagar budaya, karena sejarahnya. Oleh karena itu prediksi
di masa yang akan datang, keberadaan masjid Paronomosono akan tetap eksis walaupun jaman
terus berkembang, karena akan selalu digunakan untuk tempat beribadah. Namun yang
menjadi ancaman eksistensi masjid ini sebagai cagar budaya adalah jika masyarakat tidak lagi
peduli dan mau tau dengan sejarah, karena sekarang ini pun masih banyak orang Solo dan
sekitarnya yang tidak mengetahui keberadaan masjid Paromosono. Sehingga perlu
ditingkatkan lagi pengenalan-pengelanan terhadap bangunan di sekitar keraton, termasuk
masjid Paromosono ini, pengenalan tersebut bisa dilakukan dengan promosi pariwisata
memanfaatkan media sosial yang ada.
Referensi

Bahrum. (2013). Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. 36.


Islam, Ditjen Bimas. (2014). Profil Masjid. Retrieved April 07, 2019, from Simas Kemenag:
http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/62357/
Oktavianti, A. (2017, Oktober 12). Masjid Paromosono Surakarta. Retrieved April 7, 2019, from
Situs Budaya: https://situsbudaya.id/masjid-paromosono-surakarta/
Prajaduta. (1939). Pustaka Sri Radyalaksana. Surakarta: Budi Utama.
Radjiman. (2011). Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Krida.
Revikuswara. (2016, 09 Juni). Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Retrieved April 7,
2019, from Situs Web Kepustakaan Keraton Nusantara:
http://keraton.perpusnas.go.id/taxonomy/term/23
Sumarto. (2017). Filsafat Ilmu. Jambi: Pustaka Ma’arif Press.
Supardi, N. (2013). Bianglala budaya: rekam jejak 95 tahun Kongres Kebudayaan, 1918-2013.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayan.
Suriasumantri, J. S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Wikandaru, H. (2010). Optimisme Masa Depan Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta.
Surakarta: Universitas Muhammadyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai