• Bilangan 1 atau biasa disebut sri berarti pangan atau raja brana (harta benda),
kebahagiaan dan terang. Bilangan ini digunakan untuk bagian dalem atau omah
jero, supaya pemilik atau penghuninya selalu mendapat rezeki, terang dalam
usaha memperoleh rezeki dan kebahagiaan
• Bilangan 2 atau biasa disebut kitri mempunyai arti pohon-pohonan atau pohon
buah-buahan, biasa digunakan untuk mengukur
bangunan pendhapadan pringgitan. Pemakaian bilangan ini diselaraskan dengan
sifat bangunan yang terbuka dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Hal
ini bermaksud supaya suasana pertemuan sejuk dan tidak canggung, apabila
bermusyawarah menghasilkan keputusan yang bulat
• Bilangan 3 atau biasa disebut gana yang menunjukkan rupa atau ujud. Bilangan ini
digunakan pada gandhok, pawon, dan kandang dengan tujuan supaya isi atau
barang yang disimpan di dalamnya bertambah.
• Bilangan 4 atau biasa disebut liyu mempunyai kata lain lesah, lesu atau penat.
Biasanya digunakan sebagai perhitungan regol atau bangsal tempat orang
menunggu. Hal ini bermaksud supaya setiap orang yang datang kepada pemilik
rumah menjadi tak berdaya di hadapan pemilik rumah.
• Bilangan 5 atau biasa disebut sebagai pokah digunakan untuk bangunan lumbung
padi. Kata pokah berarti bercabang banyak. Penggunaan bilangan 5 pada lumbung
padi diharapkan akan membawa hasil dan rezeki yang bertambah kepada
pemiliknya. Alasan lain adalah agar padi yang tersimpan selalu mencukupi dan
bahkan berlebih.
• Petungan Arsitektur Jawa terdapat dalam 3 naskah yaitu,
primbon, serat centhini dan kawruh kalang.
• Hanya naskah Kawruh Kalang yang isinya
mengkhususkan diri dalam menangani bangunan Jawa
dan proses-proses pembangunannya termasuk petungan
• Kedua naskah yang lain hanya mengutarakan ihwal
bangunan Jawa sebagai bagian dari isi naskah.
Kawruh Kalang
• Patokan bangunan Menurut Kawruh Kalang terbagi dalam 4 naskah
1. Kawruh Kalang Mangoendarma
2. Kawruh Kalang Soeparno Kridosasono
3. Kawruh Kalang Soetoprawiro
4. Kawruh Kalang Kapatihan Surakarta
Petungan dalam Kawruh Kalang
Kepatihan (1882)
Isi dari kawruh kalang kepatihan ini tidak berbeda jauh dengan Serat
Centhini III.
• Satuan petungan : kaki, dim, strip
• Unit petungan : 5n
• Sisa petungan :
• Sri - kaki ke 1 (asal kata dari sari berarti bagus)
• Kitri - kaki ke 2 (dapat diartikan hasil atau memberi hasil)
• Gana - kaki ke 3 (berarti wujud atau model)
• Liyu - kaki ke 4 (berarti layu atau mati)
• Pokah - kaki ke 5 (berarti runtuh, rusak, atau hancur)
• Sisa petungan juga digunakan untuk jumlah usuk
• Orientasi penghitungan bukan tipe bangunan, tetapi fungsi bangunan.
Kawruh Kalang Mangoendarma
• Naskah Kawruh Kalang ini memuat :
1. Kisah penggantian bangunan batu menjadi bangunan kayu
2. Pemilihan dan ciri-ciri berbagai kayu jati yang dipakai untuk bangunan
3. Tata cara pemotongan pohon dan pembutan bahan bangunan
4. Tipe dan subtype bangunan beserta wataknya
5. Tanda-tanda yang diperlukan pada persambungan dan perangkaian bagian
konstruktif bangunan.
6. Perhitungan dan pengukuran bangunan yang berorientasi pada peruntukan
bangunan
Perhitungan dan Pengukuran :
• Satuan petungan : kaki,
• Unit petungan : 5n
• Sisa petungan :
• Sri - kaki ke 1 (asal kata dari sari berarti bagus)
• Kitri - kaki ke 2 (dapat diartikan hasil atau memberi hasil)
• Gana - kaki ke 3 (berarti wujud atau model)
• Liyu - kaki ke 4 (berarti layu atau mati)
• Pokah - kaki ke 5 (berarti runtuh, rusak, atau hancur)
Kawruh Kalang Soetoprawiro(1970)
• Naskah ini hadir dalam 3 versi yaitu, naskah terjemahan Bahasa Indonesia, naskah
transliterasi (berhuruf latin) tulisan tangan Bahasa Jawa, dan naskah berhuruf
Jawa.
• Petungan yang dipakai pada naskah ini menggunakan :
- Satuan petungan : kaki
- Unit petungan : [5n]
• Dalam mengutarakan rincian pemakaian patokan ukuran yang diberlakukan oleh
Kalang, kita harus mencamtumkan rincian dari naskah Kalang Bahasa Jawa karena
terdapat perbedaan dengan naskah yang berbahasa Indonesia.
• Dari sajian diatas naskah berbahasa jawa berorientasi pada tipe bangunan, sehingga kita
tidak dapat mengandalkan naskah ini untuk peruntukan bangunan, hal ini terjadi karena
naskah ini tidak menyajikan kesesuaian tipe bangunan dengan peruntukan bangunan yang
ada dalam khasanah bangunan jawa.
• Sebaliknya dari naskah berbahasa Indonesia lebih berorien tasi pada peruntukan
bangunannya, dan tipe bangunan mengikuti kelaziman yang berlaku.
Kawruh Kalang Soeparmo Kridosasono
(1976)
Naskah yang diterjemahkan ini tidak disebutkan tahun pembuatannya. Jadi
terdapat banyak versi Kawruh Kalang yang ditulis kembali oleh berbagai penulis.
Namun di Perpustakaan Mangkunegaran ada naskah Kawruh Kambeng yang
diduga terjemahannya.
Naskah ini memuat perkembangan tipe-tipe bangunan jawa dimulai dari tipe tajug
(masjid dengan atap piramida/segitiga sama kaki) lalu berkembang menjadi tipe
joglo(trapesium) lalu menjadi tipe limasan lalu menjadi tipe kampung (trapesium).
Naskah Kawruh Kalang Soeparmo
Kridasasono, memuat :
• Perbandingan panjang-lebar pamidhangan, tipe Tajug perbandingan 1:1, tipe Joglo
dengan 2:1 dan tipe limasan atau tipe kampung 2:1.
• Patokan pengukuran berbeda dengan patokan sri, kitri, gana, liyu dan pokah.
• Patokan pengukuran tidak serumit pada primbon.
• Identifikasi ukuran tidak diberikan contoh bangunannya.
Pertanda Ukuran dalam Primbon
(petungan 67) dan Kawruh Kalang
Primbon Kawruh Kalang
1. Karta 1. Sri, berarti bagus
2. Kayasa, wataknya kerep ngalih 2. Kitri, berarti memberi hasil
3. Candi, wataknya geringen lan samun 3. Gana, berarti wujud atau model
4. Retog, wataknya mlarat gede 4. Liyu, berarti layu atau mati
5. Tempoyong, wataknya kerep kasusahan pikir 5. Pokah, berarti runtuh, rusak atau hancur
sabarang nalar
Terima Kasih