Anda di halaman 1dari 50

oleh:

Kian Amboro
Pengembang Kurikulum Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP, Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung;
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Metro, Lampung
Sejarah Lokal dan Pembelajarannya

Untuk memahami konsep Sejarah Lokal, tentu hal yang paling utama adalah
memahami definisi dan juga ruang lingkup dari sejarah lokal itu sendiri. Berikut beberapa
definisi dari sejarah lokal (Abdullah, 1985; Permendikbud RI No. 69, 2016; Priyadi, 2012; Widja,
1991):
 Sejarah lokal didefinisikan sebagai kisah masa lampau dari kelompok masyarakat
tertentu dalam ruang geografis terbatas.
 Studi tentang kehidupan masyarakat, khususnya komunitas dari lingkungan sekitar
tertentu, dalam dinamika perkembangan, dan dalam berbagai aspek kehidupan
manusia.
 Suatu cabang studi sejarah yang menekankan kajian peristiwa sejarah di lingkungan
suatu lokalitas tertentu.
 Sejarah dari suatu “tempat”, suatu “lokaliti” yang batasannya ditentukan berdasarkan
kesepakatan penulisnya.
 Kisah kelampauan dari kelompok atau komunitas; ruang geografis tertentu; dinamika
perkembangan; berbagai aspek kehidupan.
Sedangkan Pembelajaran Sejarah Lokal didefinisikan sebagai upaya membangun
konteks yang bermakna dalam pendidikan, dengan membangun keterhubungan antara
materi umum dengan lingkungan sekitar (Ahmad, 2021). Dalam hal ini kontekstualitas
pembelajaran menjadi tujuan untuk menciptakan proses belajar yang bermakna (meaningfull
learning) bagi peserta didik.

Objek kajian sejarah lokal dapat berupa Peristiwa Sejarah Lokal, Tokoh Sejarah Lokal,
dan Peninggalan Sejarah Lokal.
1. Peristiwa Sejarah Lokal.
Peristiwa Sejarah Lokal dapat berbentuk peristiwa lokal dispersif, sejarah mikro, dan
Toponimi. Peristiwa lokal dispersif, yaitu konteks lokal dari suatu rangkaian peristiwa
yang lebih besar. Dalam hal ini dapat dicontohkan misalnya adalah sejarah nasional
yang terjadi di tingkat lokal. Sejarah mikro, yaitu individu-individu atau kelompok-
kelompok kecil pada satu kurun waktu tertentu yang relatif singkat dan perubahan
yang tiba-tiba. Sejarah mikro berbeda dengan sejarah lokal, sejarah mikro lebih
menunjukkan sifat kekhasan lokalitasnya dan keunikannya, sedangkan sejarah lokal
bisa saja memiliki dampak yang luas melampaui batasan lokalitasnya. Sedangkan
Toponimi adalah asal-usul nama daerah/tempat. Seringkali munculnya nama-nama
daerah tertentu berawal dari sebuah peristiwa sejarah yang pernah terjadi di lokalitas
tertentu pada masa lampau.
Peristiwa sejarah lokal dibedakan dengan peristiwa sejarah daerah. Peristiwa sejarah
lokal dibatasi oleh unit geografis pengkajian sejarah yang mencakup tempat tinggal
suku bangsa yang mungkin mencakup dua atau tiga daerah administratif atau
bahkan lingkup kajiannya hanya pada sebuah kota atau desa. Sedangkan peristiwa

2
sejarah daerah adalah peristiwa sejarah yang terjadi dalam batasan unit administrasi
daerah tertentu seperti desa, kota, atau propinsi dimana batasan administratif
menjadi hal utama penulisan sejarahnya.
2. Tokoh Sejarah Lokal
Tokoh sejarah lokal adalah orang yang telah berperan dalam sebuah peristiwa
penting di masa lampau baik melalui ide, gagasan, maupun tindakan di tingkat lokal,
yang peristiwa tersebut berimplikasi terhadap masyarakat luas, dan peran tokoh
tersebut berdampak pada masanya maupun pada masa-masa setelahnya. Tokoh
sejarah lokal misalnya dapat seperti tokoh pendiri desa, tokoh lokal yang berjuang
melawan penjajahan di lokal tertentu, atau tokoh masyarakat yang pernah berjasa
membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat di lokal tertentu.
3. Peninggalan Sejarah Lokal
Peninggalan sejarah lokal adalah segala jenis bentuk tinggalan masa lampau yang
memiliki nilai penting bagi sejarah lokal. Peninggalan sejarah lokal dapat bersifat
kebendaan (tangible) atau yang lebih dikenal dengan Cagar Budaya dan bersifat tak
benda (intangible) atau Warisan Budaya Tak Benda. Dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, peninggalan sejarah yang bersifat kebendaan
ini dapat berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya (UU RI No 11, 2010).
Sedangkan peninggalan sejarah tak benda atau Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)
dapat berupa Tradisi Lisan dan Ekspresi Lisan; Seni Pertunjukan; Adat Istiadat
Masyarakat, Ritus, dan Perayaan; dan Pengetahuan dan Kebiasaan Perilaku tentang
Alam Semesta.

Sejarah Lokal memiliki sejumlah arti penting, bahkan Sugeng Priyadi mengemukakan
arti penting sejarah lokal itu bahwa “tanpa pengetahuan tentang sejarah lokal, kita sebagai
sebuah bangsa tidak akan menyadari realitas kebangsaan yang sesungguhnya”. Beberapa arti
penting sejarah lokal itu diantaranya:
1. Meningkatkan wawasan kesejarahan kelompok masyarakat (Literasi Sejarah);
2. Revaluasi generalisasi yang sering muncul dalam sejarah nasional;
3. Peristiwa sejarah di tingkat lokal bagian dari dimensi sejarah nasional;
4. Di tingkat lokal, kenyataan atas fenomena seringkali dapat diamati dengan lebih baik,
terutama fenomena skala makro;
5. Penulisan sejarah lokal menjadi langkah strategis untuk menyusun sejarah nasional.
(Priyadi, 2012; Widja, 1991).

I Gde Widja dalam bukunya Sejarah Lokal: Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah
mengemukakan beberapa tipe sejarah lokal, yaitu sebagai berikut:
1. Sejarah Lokal Tradisional;
Sejarah lokal jenis ini ditulis oleh kelompok etnik atau kelompok intelektual
tradisional. Sifat lokalitasnya sangat jelas dan kentara. Tujuan penulisan biasanya

3
untuk memperkuat legitimasi kekuasaan lokal, serta bersifat fungsional. Beberapa
contoh sejarah lokal jenis ini diantaranya adalah Babad, Hikayat, dan Tambo.
2. Sejarah Lokal Dilentatis;
Sejarah lokal tipe ini pada umumnya ditulis untuk tujuan estetik individual, dan ditulis
oleh kalangan terdidik (sejarawan publik). Karakteristik sejarah lokal jenis ini bersifat
naratif-kronologis. Pada umumnya tulisan sejarah lokal ini lahir dilatarbelakangi oleh
usaha untuk menumbuhkan kesadaran sejarah di lingkungannya. Beberapa tulisan
sejarah lokal jenis ini biasanya banyak ditulis oleh jurnalis, atau para penulis peminat
sejarah.
3. Sejarah Lokal Edukatif-Inspiratif;
Sejarah lokal jenis ini lebih bertujuan untuk mengembangkan kecintaan sejarah di
lingkungannya, dan pada umumnya ditulis oleh kalangan terdidik (sejarawan
pendidik). Kekhasan dari sejarah lokal jenis ini adalah karakteristiknya yang
menekankan pada kepentingan edukasi-inspirasi.
4. Sejarah Lokal Kolonial;
Sejarah lokal jenis ini biasanya ditulis oleh para pangreh praja kolonial. Hal ini
berhubungan dengan upaya studi tentang masyarakat etnik di Nusantara untuk
kepentingan politik kolonial pada masa Hindia-Belanda. Tulisan sejarah lokal jenis ini
banyak bersumber dari dokumen-dokumen resmi pemerintah kolonial, sehingga
karakteristiknya yang sangat khas terlihat adalah subjektivitas kolonial yang begitu
kuat. Ciri khas lainnya adalah muatan data-data biasanya sangat terperinci dan
cermat. Contoh sejarah lokal jenis ini misalnya adalah The Atjehnese yang ditulis oleh
Snouck Hurgronje, atau De Lampongsche Districten yang ditulis oleh Broersma.
5. Sejarah Lokal Kritis-Analitis;
Sejarah lokal jenis ini ditulis dengan pendekatan metodologis sejarah yang ketat
yang biasnaya ditulis oleh seorang sejarawan profesional. Fokus penulisan biasanya
kepada peristiwa khusus dan spesifik pada tema dan periode tertentu, dan
analisisnya menenkankan pada struktur. Oleh karena itu pendekatan ilmu sosial
menjadi penting sebagai penjelas peristiwa sejarah. Tulisan sejarah lokal jenis ini juga
menekankan dinamika dan perkembangan sebagai ciri utama dari kajian sejarah.

Dalam konteks pembelajaran, Sejarah lokal memiliki relevansinya karena sejarah


sebagai peristiwa terjadi dalam hukum sebab-akibat (cause and effect), artinya tidak ada
peristiwa yang berdiri sendiri. Selalu ada koneksi atau keterhubungan dan saling
mempengaruhi antara peristiwa di tataran global-nasional-lokal. Selain itu setiap lokalitas
tertentu memiliki sejarah dan kontribusinya dalam konteks yang lebih luas. Sejarah lokal
menjadi penting untuk dibelajarkan paling tidak memiliki dua alasan, yaitu:
1. Penguatan identitas masyarakat.
Sejarah lokal dapat menunjukkan ada keberlanjutan masa kini dengan masa lalu, dan
mampu menjelaskan bagaimana identitas masyarakat hari ini dapat dikenali, selain
itu sejarah lokal juga dapat menjelaskan asal-usul eksistensi masyarakat saat ini.

4
2. Mencari keterhubungan antara lokal-nasional-global.
Ada pengaruh konteks global dan nasional di tingkat lokal dan juga ada kontribusi
lokal terhadap area nasional dan global.

Beberapa poin penting yang dapat dibelajarkan kepada peserta didik melalui sejarah
lokal, diantaranya adalah:
1. Perkembangan secara diakronik terhadap peristiwa, tokoh, dan juga peninggalan
sejarah dalam lokalitas tertentu.
2. Konteks nasional dan global yang berpengaruh terhadap perkembangan peristiwa,
tokoh, dan peninggalan sejarah dalam lokalitas tertentu.
3. Hubungan dan kontribusi peristiwa, tokoh, dan peninggalan sejarah lokal dalam
skala nasional dan global.
4. Keberlanjutan aspek lokal dengan realitas yang terjadi saat ini sehingga peserta didik
memiliki pengetahuan tentang lingkungan sekitar.

Dalam membelajarkan sejarah lokal, paling tidak dua strategi dapat menjadi pilihan,
yaitu:
1. Sejarah lokal dihadirkan sebagai objek elaboratif
Dalam hal ini sejarah lokal dapat dibelajarkan dengan menyampaikan konteks lokal
dari materi umum (sejarah nasional di tingkat lokal), atau sejarah lokal sebagai
penjelas/contoh/ilustrasi tentang materi umum (sejarah nasional) yang disampaikan.
2. Sejarah lokal sebagai objek observatif-partisipatif
Dalam kegiatan ini, sejarah lokal dibelajarkan dengan mengamati ragam cerita dan
peninggalan lokal yang ada di lingkungan sekitar peserta didik, atau dalam tingkatan
yang lebih tinggi sejarah lokal dibelajarkan dengan merekonstruksi kisah-kisah lokal
di lingkungan sekitar.

5
Posisi Sejarah Lokal dalam Kurikulum di Sekolah

Identitas nasional bangsa Indonesia berkait-kelindan dengan identitas sosio-kultural


di tingkat lokalitas. Begitu juga dengan sejarah nasional berkaitan erat dengan sejarah lokal.
Pembinaan keduanya harus senantiasa berjalan beriringan. Identitas nasional bangsa
Indonesia berakar pada hal-hal yang bersifat partikularistik, kemajemukan, lokalitas, dan
etnisitas. Eksistensi identitas nasional tidak hanya bergantung pada pemeliharaannya di
tingkat nasional saja, tetapi juga bergantung pada upaya pemeliharaan unsur-unsur
pembentuknya yang sebagian besar berada di tataran lokalitas. Maka pembinaan sejarah
lokal menjadi penting karena menjadi akar dari terpeliharanya identitas nasional atau
identitas kebangsaan. Pendidikan Sejarah banyak mengambil peran dalam hal pembinaan
ini. Hamid Hasan, seorang pakar kurikulum yang juga merupakan bagian dari tim penyusun
kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, mengemukakan tiga alternatif bentuk
pendidikan sejarah dalam kurikulum terkait posisi keberadaan sejarah lokal (Hasan, 2012),
yaitu sebagai berikut:
Pertama: pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya transfer memori kejayaan masa
lampau bangsa kepada generasi penerus. Dalam posisi ini pendidikan sejarah sebagai
etalase dan wahana pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa untuk membangun
kebanggaan bangsa dan pelestarian nilai keunggulan tersebut. Tanpa menafikkan nilai
pentingnya, dalam konteks ini pendidikan sejarah hanya muncul sebagai highlight
kecemerlangan bangsa, dan mengkerdilkan sisi kelam perjalanan bangsa. Pendidikan sejarah
menjadi tidak utuh, dan kebermaknaan kehidupan tidak dapat dibangun. Sebab berbagai
pelajaran hidup dari banyaknya sisi kelam, gelap, dan perilaku buruk bangsa tak disajikan.
Kedua: pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya memperkenalkan peserta didik
kepada disiplin ilmu sejarah. Dalam kerangka ini maka pendidikan sejarah hadir sebagai
pendidikan cara berpikir kelimuan, pemahaman berbagai peristiwa sejarah, serta berbagai
keterampilan yang diperlukan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu sejarah
(thinking and doing like a historian). Oleh karena itu, variabel seperti berpikir kronologis
(chronological thinking), hukum sebab-akibat (cause and effect), pemahaman sejarah
(historical comprehension), analisis dan penafsiran sejarah (historical analysis and
interpretation), penelitian sejarah (historical research), serta analisis isu dan pengambilan
keputusan (historical issues-analysis and decision making) menjadi tujuan penting dalam
pendidikan sejarah (Wineburg et al., 2012). Dalam posisi ini, pendidikan sejarah dikehendaki
sebagai mata pelajaran sejarah yang berdiri sendiri dalam kurikulum. Keberadaan sejarah
lokal dianggap penting setelah diukur relevansinya dengan kemampuan yang ingin dicapai
melalui mata pelajaran sejarah. Jika berbagai peristiwa lampau lokal dianggap penting dan
dianggap layak mendapat perhatian dari sejarah, maka sejarah lokal akan menjadi materi
dalam kurikulum. Begitu pula sebaliknya. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, pendidikan
sejarah ditujukan untuk ilmu sejarah itu sendiri dan pendidikan moralitas dalam ranah afektif
tidak dianggap sebagai urgensi.

6
Ketiga: pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya kepentingan bangsa, masyarakat,
dan peserta didik sebagai individu. Hal tersebut berkenaan dengan kualitas bangsa,
masyarakat, dan individu yang diinginkan di masa mendatang. Maka pendidikan sejarah
harus memberikan kontribusi bagi terciptanya generasi di masa yang akan datang sesuai
yang diidealkan. Tujuan pendidikan sejarah kemudian adalah membentuk kepribadian
individu peserta didik sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik.
Kebermaknaan sejarah dilihat dari relevansinya dengan kehidupan manusia umum, bukan
sekedar sebagai sejarawan belaka. Dalam posisi ini maka materi sejarah lokal dianggap
mendasar dan sangat penting, terlepas disajikan secara berdiri sendiri dalam mata pelajaran
sejarah lokal atau berada dalam mata pelajaran lain. Nilai penting sejarah lokal dalam
kurikulum karena berdasar asumsi pendidikan warga negara yang baik harus dimulai dari
lingkungan terdekat, dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat.
Oleh karena itu, posisi sejarah lokal seperti sejarah keluarga, sejarah desa, sejarah kelurahan,
dan sejarah lokalitas lainnya sangat penting, karena peserta didik hidup di lingkungan-
lingkungan itu sampai kepada sejarah bangsa dan negara dimana ia adalah sebagai warga
negaranya.
Diantara ketiga alternatif tersebut tentu akan dijumpai kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Akan tetapi memilihnya dengan pertimbangan kesesuaian bentuk,
karakteristik, dan lokus implementasinya (jenjang pendidikan) akan mengoptimalkan
efektivitasnya dalam mencapai tujuan. Eklektik dan memadu padankan pilihan berdasar
situasi dan kondisi juga berpeluang pencapaian tujuan dapat lebih optimal. Pendidikan
berprinsip dari hal mikro bergerak ke arah makro, dari hal sederhana bergerak semakin
kompleks, dari lingkungan terdekat ke lingkungan terjauh, dan berangkat dari budaya dan
karakteristik peserta didik berasal. Maka di jenjang pendidikan dasar (wajib belajar) alternatif
ketiga menjadi kuncinya. Pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan dasar haruslah
mempersiapkan peserta didik untuk hidup bermasyarakat. Dalam posisi ini sejarah lokal
memegang tempat utama sebab ia berkenaan dengan lingkungan terdekat peserta didik.
Keberadaan sejarah lokal dapat menjadi sarana menumbuhkan dan membangun identitas
sosio-kultural berupa jati diri pribadi, budaya, dan sosial. Materi sejarah lokal lebih disajikan
dalam perspektif pendidikan, bukan dalam perspektif keilmuan sejarah. Meski demikian,
dalam implementasinya tetap dalam koridor sejarah nasional dan tetap membangun
identitas nasional dari bawah (bottom-up).
Sedangkan pada jenjang pendidikan menengah yang lebih tinggi, alternatif kedua
dapat diterapkan, sebab kematangan psikologis dan kemampuan berpikir tingkat lanjut telah
ada dalam diri peserta didik. Sehingga melatih berbagai kemampuan berpikir tingkat tinggi
berkenaan dengan ilmu sejarah selayaknya diperkenalkan. Posisi materi sejarah lokal tidak
lagi sekedar sebagai sumber pembelajaran semata, tetapi menjadi objek studi sejarah (bahan
garapan lapangan) peserta didik. Dalam kesempatan ini melalui sejarah lokal mereka
berkesempatan untuk mengembangkan wawasan, pemahaman, dan keterampilan sejarah.
Mereka dapat berinteraksi langsung dengan sumber-sumber sejarah asli dan mengkajinya
dalam rangkaian penelitian sejarah. Peserta didik dapat dilatih berpikir dan bertindak

7
layaknya seorang sejarawan bekerja mengumpulkan kepingan masa lalu dan
mengkonstruknya menjadi gambaran masa lalu yang bermakna kemudian mengambil
pelajaran darinya.
Beberapa regulasi yang berkaitan dengan sejarah lokal, baik di tingkat nasional
maupun lokal di Lampung sesungguhnya telah ada, dan dapat menjadi dasar untuk
implementasi kegiatan riset sejarah lokal serta sosialisasinya melalui pembelajaran sejarah
lokal di sekolah-sekolah di Lampung. Beberapa regulasi itu diantaranya sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.46/UM.001/MKP/2009
tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal.
Permen ini dimaksudkan untuk memberikan acuan kepada para pemerintah
daerah yaitu Gubernur, Bupati, atau Walikota dalam mengintegrasikan kebijakan,
program, dan kegiatan Penulisan Sejarah Lokal ke dalam perencanaan pembangunan
daerah (Pasal 2). Selain itu pedoman penulisan sejarah lokal yang ditetapkan melalui
Permen ini secara spesifik bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran sejarah masyarakat di daerah untuk lebih mengenal jati dirinya sebagai
bagian dari bangsa Indonesia (Pasal 3 huruf c) (Permenbudpar RI No
PM.46/UM.001/MKP/2009, 2009).
2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun
2016 tentang Pedoman Penulisan Peristiwa Sejarah.
Salah satu dasar hukum dari diterbitkannya Permen ini adalah Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Hal ini tentu sangat jelas
artinya bahwa sejarah memiliki kontribusi besar dalam upaya penumbuhan nilai
karakter dan budi pekerti bagi peserta didik dan juga bagi masyarakat secara luas.
Permen yang mengatur tentang Pedoman Penulisan Peristiwa Sejarah ini ditujukan
secara spesifik bagi Pemerhati dan penggiat sejarah; Guru; Mahasiswa; Pelajar di
tingkat sekolah menengah atas atau sederajat; Wartawan atau jurnalis; dan
Komunitas kesejarahan.
Ragam peristiwa sejarah juga dijelaskan dalam pedoman ini, yang
diantaranya adalah peristiwa sejarah yang dibagi menjadi Peristiwa Sejarah Dunia,
Peristiwa Sejarah Nasional, Peristiwa Sejarah Lokal, dan Peristiwa Sejarah Daerah
(Permendikbud RI No. 69, 2016).
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun
2016 tentang Pedoman Pengumpulan Sumber Sejarah.
Salah satu dasar hukum dari diterbitkannya Permen ini adalah Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Hal ini tentu sangat jelas
artinya bahwa sejarah memiliki kontribusi besar dalam upaya penumbuhan nilai
karakter dan budi pekerti bagi peserta didik dan juga bagi masyarakat secara luas.
Permen yang mengatur tentang Pedoman Pengumpulan Sumber Sejarah ini
ditujukan secara spesifik bagi Pemerhati dan penggiat sejarah; Guru; Mahasiswa;
Pelajar di tingkat sekolah menengah atas atau sederajat; Wartawan atau jurnalis; dan
Komunitas kesejarahan.

8
Pedoman dalam Permen ini secara terperinci menjelaskan mengenai
berbagai sumber sejarah yang dapat digunakan dalam penulisan sejarah, baik yang
bersifat tekstual maupun non-tekstual. Sejarah lisan sebagai salah satu sumber
sejarah juga dijelaskan dalam pedoman ini. Sejarah Lisan dapat menjadi perhatian
utama bagi penulisan sejarah lokal yang kerapkali menjumpai permasalahan sulitnya
sumber sejarah yang bersifat tekstual seperti arsip dan dokumen (Permendikbud RI
No. 71, 2016).
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 tentang Pedoman Penulisan Tokoh Sejarah.
Salah satu dasar hukum dari diterbitkannya Permen ini adalah Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Hal ini tentu sangat jelas
artinya bahwa sejarah memiliki kontribusi besar dalam upaya penumbuhan nilai
karakter dan budi pekerti bagi peserta didik dan juga bagi masyarakat secara luas.
Permen yang mengatur tentang Pedoman Penulisan Tokoh Sejarah ini ditujukan
secara spesifik bagi Penulis Sejarah; Guru; Pelajar/Mahasiswa; dan Masyarakat Luas.
Dalam pedoman yang diatur melalui Permen ini, dijelaskan beberapa kriteria
yang dimaksud sebagai tokoh sejarah, diantaranya adalah “peranan tokoh yang
ditulis berdampak kepada masyarakat luas, baik lokal maupun nasional”. Hal ini
memberikan kesempatan besar bagi penulisan tokoh-tokoh lokal, yang selama ini
tokoh sejarah dianggap hanya ada di tataran tingkat nasional, bahwa fokus utama
kriteria tokoh sejarah adalah dampak atas peran tokoh tersebut bagi masyarakat luas
baik di tingkat lokal maupun nasional (Permendikbud RI No. 72, 2016).
5. Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pelestarian
Budaya Lampung.
Dalam Perda ini, pada Bagian Ketiga diatur tentang hal–hal yang berkenaan
dengan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai-Nilai Tradisional, dan Museum.
Pembelajaran sejarah lokal di Lampung disebutkan secara jelas dalam Pasal 11 huruf
b yaitu “Pemeliharaan, perlindungan, dan pengkajian sumber-sumber sejarah dan
pemanfaatan hasil penulisan sejarah dengan mensosialisasikannya melalui jalur
pendidikan, media massa, dan sarana publikasi lainnya”.
Lahirnya peraturan daerah ini tentu menjadi dasar pijakan kuat bagi upaya
penulisan sejarah lokal Lampung termasuk upaya sosialisasinya melalui pendidikan
formal di sekolah sebagaimana mata pelajaran Bahasa Daerah Lampung yang juga
berpijak pada peraturan daerah ini. Namun setelah lebih dari 14 (empat belas) tahun
Perda ini ditetapkan, nampaknya sejarah lokal atau sejarah daerah Lampung belum
mendapatkan perhatian yang optimal dari pemerintah daerah provinsi maupun
kabupaten/kota (Perda Provinsi Lampung No. 2, 2008).
6. Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan
Pelestarian Budaya Lampung.
Dalam Perda ini beberapa pasal mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
sejarah lokal di Kota Metro sebagai bagian dari Sejarah Lampung, seperti

9
kepurbakalaan, permuseuman, kesejarahan, kepustakaan dan kenaskahan. Perda ini
merupakan produk hukum turunan dari Perda Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun
2008 tentang Pelestarian Budaya Lampung. Menariknya, dari sekian banyak daerah
kabupaten/kota di Lampung yang membuat produk hukum turunan ini, hanya Kota
Metro yang dalam peraturan daerahnya mengatur tentang aspek kesejarahan
sebagai bagian dari pemeliharaan dan pelestarian budaya Lampung. Bagian Kelima
dalam Perda ini mengatur tentang Kesejarahan yang diatur dalam pasal 24, yaitu
kutipannya sebagai berikut:
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan Pelestarian Kesejarahan
Lampung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d melalui:
a. Pemeliharaan, perlindungan dan pengkajian sumber sejarah sebagai bahan
penulisan sejarah Lampung;
b. Penelitian dan penulisan sejarah daerah secara objektif dan ilmiah serta
ilmiah populer dan sastra sejarah Lampung;
c. Pemilahan dan pemeliharaan hasil penulisan sejarah Lampung; dan
d. Pemanfaatan hasil penulisan sejarah Lampung harus disosialisasikan
melalui pendidikan dasar dan menengah, media massa penerbitan berkala
dan sarana publikasi lain yang dapat diakses oleh semua lapisan
masyarakat.
(2) Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi penulisan kesejarahan
Lampung yang dilakukan oleh masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelestarian kesejarahan
dan penulisan kesejarahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Walikota. (Perda Kota Metro No. 8, 2017)
7. Peraturan Walikota Metro tentang Pemeliharaan dan Pelestarian Kebudayaan Daerah
yang saat ini sedang dalam tahap penyusunan. Perwali ini diproyeksikan mengatur
beberapa hal teknis tentang pemeliharaan dan kebudayaan daerah, termasuk
didalamnya adalah sejarah lokal atau sejarah daerah di Kota Metro.

Memperhatikan pendapat dari Hamid Hasan mengenai kedudukan sejarah lokal


dalam kurikulum serta telah adanya beberapa regulasi yang dapat menjadi pijakan
pengembangan sejarah lokal di Lampung dan di Kota Metro, maka pengembangan sejarah
lokal menjadi sebuah keniscayaan. Sejarah Lokal dapat dihadirkan dalam bentuk
pembelajaran yang dapat menyesuaikan kondisi kurikulum di berbagai jenjang satuan
pendidikan baik secara integratif maupun berdiri sendiri dalam bentuk mata pelajaran
muatan lokal. Tantangan terbesar yang kini harus dihadapi adalah keinginan baik (goodwill)
dari pemerintah daerah, sekolah, maupun pendidik untuk mengimplementasikan
pengembangan sejarah lokal di Lampung maupun di Kota Metro.

10
Pengorganisasian Materi Sejarah Lokal Metro

Metro sebagai sebuah unit kewilayahan, dalam konteks kajian sejarah dapat
diinterpretasikan sebagai sebuah daerah dan sebuah lokalitas. Hal ini didasarkan pada
pengertian bahwa antara sejarah lokal dengan sejarah daerah dapat dibedakan. Sejarah lokal
adalah sejarah dari suatu tempat yang batasannya ditentukan oleh kesepakatan penulis
sejarah. Batasan geografis pengkajian sejarah lokal mencakup tempat tinggal suku bangsa
yang mungkin terdiri dari dua atau tiga daerah administratif atau bahkan lingkup kajiannya
hanya pada sebuah desa atau kota. Sejarah lokal memiliki batasan yang lebih fleksibel.
Sedangkan sejarah daerah adalah sejarah yang terjadi pada lingkup wilayah administratif
suatu daerah seperti kabupaten, kota, propinsi. Dalam konteks Indonesia peristiwa sejarah
daerah merupakan peristiwa sejarah kontemporer, karena pembentukan wilayah
administratif baru berlangsung pasca kemerdekaan dan terus mengalami perkembangan
hingga kini.
Terminologi Sejarah Lokal Metro dinilai lebih tepat digunakan sebab Metro sebagai
unit kewilayahan, cakupan pembahasannya tidak dapat dibatasi oleh unit administrasi saat
ini (Kota Metro). Penggunaan sejarah daerah dinilai akan mereduksi ruang kajian sejarah
Metro yang dapat dikaji berdasarkan tema-tema yang lebih beragam, seperti sejarah sosial,
sejarah ekonomi, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan yang pada masa lampau unit
kewilayahan sebagai panggung berbagai peristiwa sejarah dapat lebih luas dari batasan
administrasi Metro sebagai sebuah kota pada hari ini.
Pengorganisasian materi Sejarah Lokal Metro paling tidak dapat dilakukan dengan
dua pendekatan, yaitu pendekatan Tematik dan pendekatan Periodesasi Sejarah Nasional.
Organisasi materi sejarah lokal secara tematik dapat dilakukan sebagai bentuk penyesuaian
kurikulum di tingkat pendidikan dasar yang masih bersifat tematik dan berpijak pada
lingkungan sekitar peserta didik. Pengetahuan sejarah dapat dikenalkan berdasarkan tema-
tema yang lebih konkrit sesuai tingkatan berpikir peserta didik pada tahap belajar awal di
pendidikan dasar. Hal ini juga akan sesuai dengan prinsip pembelajaran dari mikro ke makro,
dari sederhana ke kompleks, dan dari lingkungan terdekat menuju lingkungan yang lebih
luas.
Sedangkan pendekatan Periodesasi Sejarah Nasional yang menekankan kronologi
peristiwa dan aspek-aspek hukum sejarah lainnya dapat mulai dikenalkan di tingkat
pendidikan menengah. Periodesasi Sejarah Nasional Indonesia yang pembabakannya
dimulai dari Masa Pra-Aksara hingga Kontemporer dapat digunakan untuk menyusun
organisasi materi sejarah lokal. Pengembangan materi sejarah lokal juga dapat berangkat
dari hal-hal yang bersifat umum ke khusus.

11
Tabel 1. Contoh Pengorganisasian Materi Sejarah Lokal Metro yang Dikembangkan Melalui Pendekatan Politik-Kewilayahan

Kelas Bahan Kajian


(dapat disesuaikan) Kronologis Tematis
I. Lampung Masa Prasejarah hingga Era Kesultanan Banten Asal Mula Masyarakat Lampung
A. Teori Asal Mula Masyarakat Lampung Empat Hipotesis Asal Mula Masyarakat Lampung
1. Kronik Musafir Tiongkok
Peninggalan Sejarah Masa Pra-aksara di Lampung
2. Teori Dr. R. Broesma
Situs Purbakala Batu Brak
3. Legenda Tapanuli
Situs Purbakala Pugung Raharjo
4. Cerita Rakyat Skala Brak Situs Purbakala Batu Bedil, dst.
B. Jejak Tinggalan Budaya Prasejarah
1. Kehidupan Prasejarah di Lampung Peninggalan Sejarah Masa Hindu-Budha dan Islam di
2. Sebaran Situs Pemukiman Prasejarah Lampung
C. Jejak Tinggalan Budaya Masa Hindu-Budha Prasasti Palas Pasemah, Lampung Selatan dst.
Situs Lawang Kuri, Lampung Timur dst.
IV (Empat) dan 1. Kehadiran Sriwijaya di Lampung
VII (Tujuh) 2. Daerah Vasal Majapahit Tokoh Pahlawan Lokal di Lampung
D. Hubungan Kesultanan Banten dan Lampung Raden Inten II
1. Hubungan Persaudaraan Batin Mangunang
2. Hubungan Patron-Klien Dalom Mangkunegara, dst.

II. Jejak Peradaban di Lembah Way Sekampung Mengenal Geografi Lampung


A. Bentang Alam dan Kondisi Wilayah Batas-batas wilayah
1. Dataran Rendah Nan Subur Sungai, Danau, dan Gunung
Selat, Teluk, dan Pulau
2. Kondisi Tanah dan Iklim
B. Jejak Pemukim di Kawasan Selatan Metro Lampung Penghasil Rempah-Rempah
1. DAS Way Sekampung dan Jejak Pemukimannya Cengkeh
Kelas Bahan Kajian
(dapat disesuaikan) Kronologis Tematis
2. Bukti Temuan Arkeologis Lada
C. Situs Rejomulyo Bagian Atribut Jalur Rempah di Lampung Wilayah Penghasil Cengkeh dan Lada di Lampung

III. Masyarakat Lampung Buay Nuban Mengenal Budaya Masyarakat Lampung


A. Masyarakat Lampung Abung Siwo Mego Falsafah Hidup (Piil Pesenggiri)
B. Buay Nuban dan Wilayah Sebarannya 7 (Tujuh) Unsur Kebudayaan Lampung
Masyarakat Saibatin dan Pepadun
C. Falsafah Hidup dan Adat Istiadat

Mengenal Masyarakat Lampung Buay Nuban


Abung Siwo Mego
Buay Nuban dan Wilayah Sebarannya

IV. Kedatangan Para Migran dari Pulau Jawa ke Metro Asal Mula Nama Metro
A. Wilayah Onderafdeeling Sukadana Metropolis
B. Pelaksanaan Kebijakan Politik Etis di Onderafdeeling Mitro
Meterm
Sukadana
1. Kolonisasi Gedongdalam
Peninggalan Sejarah Masa Kolonial di Metro
2. Kolonisasi Sukadana Tata Ruang Pusat Kota
C. Asisten Kawedanaan Metro Rumah Asisten Wedana Metro
1. Asal Mula Nama “Metro” Klinik Bersalin Santa Maria
2. Kedatangan Kolonis di Metro Dokterswoning, dst.
3. Terbentuknya Asisten Kawedanaan Metro
Toponimi
4. Perkembangan Metro Kemudian
Nama-nama bedeng yang masih dipertahankan

13
Kelas Bahan Kajian
(dapat disesuaikan) Kronologis Tematis
V. Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan RI
A. Pendudukan Jepang di Metro
B. Diterimanya Kabar Proklamasi Kemerdekaan RI
C. Kedudukan Metro di Lampung Tengah
VI. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan di Metro Peninggalan Sejarah Masa Perang Kemerdekaan di Metro
A. Karesidenan Lampung dalam Ancaman Agresi Militer Monumen dan Patung
Belanda Medan Pertempuran
Tokoh Perjuangan
B. Agresi Militer Belanda II 1948
Taman Makam Pahlawan Kemala Nusantara Metro
1. Rapat Kilat 1 Januari 1949 di Gedung PU Metro
2. Strategi Mempertahankan Metro dari Agresi Militer
Belanda
V (Lima) dan
3. Pecahnya Pertempuran di Metro dan sekitarnya
VIII (Delapan)
VII. Metro Ibukota Kabupaten Lampung Tengah
A. Pengakuan Kedaulatan RI dan Kehidupan Bernegara
B. Kehidupan di Metro Tahun 1950-1970
1. Suasana Demokrasi Pemilu I Tahun 1955
2. Terbentuknya Propinsi Lampung Tahun 1964
3. Peristiwa G 30 S
4. Rencana Otonomi Daerah
C. Kehidupan di Metro Tahun 1980-an
1. Kemajuan Pembangunan di Metro
2. Situasi Sosial-Budaya

14
Kelas Bahan Kajian
(dapat disesuaikan) Kronologis Tematis
VIII. Kota Administratif Metro Wilayah Kota Administratif Metro
A. Kecamatan Metro Raya dan Bantul Wilayah Administrasi Kecamatan, Kelurahan, dan Desa
B. Walikota Administratif Metro
Tokoh Walikota Administratif Metro
1. Drs. Muljadi
Drs. Muljadi
2. H. Kardinal
H. Kardinal
3. Drs. Mozes Herman Drs. Mozes Herman
4. Sjahbudin Jusuf Sjahbudin Jusuf

IX. Kota Metro Era Otonomi Daerah Pengetahuan Sosial tentang Kota Metro
A. Dimekarkannya Kabupaten Lampung Tengah Tanggal dan tokoh penting
B. Terbentuknya Kota Metro Lambang Daerah
Flora dan Fauna Maskot Kota
C. Atribut Kedaerahan
Wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan
1. Hari Jadi Kota Metro
2. Lambang Daerah
VI (Enam) dan 3. Flora dan Fauna Maskot Kota
IX (Sembilan) D. Wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan

X. Kota Metro Kini Pengetahuan Sosial tentang Kota Metro


A. Kota Pendidikan Walikota dan Wakil Walikota Metro
B. Walikota dan Wakil Walikota Metro Ikon Kota Metro
C. Kemajuan Pembangunan Kota Metro

Sumber: Dikembangkan oleh Penulis.

15
A. HIPOTESIS ASAL MULA MASYARAKAT LAMPUNG

Masyarakat Lampung adalah masyarakat yang menempati wilayah geografis


penghujung pulau Sumatra bagian selatan. Pemukim awal dari wilayah ini adalah kelompok
manusia berbudaya Austronesia, yang jejaknya banyak tersebar di seluruh wilayah Lampung.
Teori-teori tersebut ada yang berasal dari catatan asing, cerita rakyat, maupun tradisi lisan
(Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1987). Beberapa teori yang
menjelaskan asal mula masyarakat Lampung adalah sebagai berikut:

1. Catatan Perjalanan Musafir Tiongkok


Dari catatan musafir Cina yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad ke-7 yaitu
I Tsing, selain Kin li-pi-ce (mungkin sebetulnya adalah Ce-li-Fo-ce), Mo-ho-sin, I Tsing juga
menyebutkan To-lang, Po-hwang merupakan suatu kata yang dapat ditranskripsikan ke
dalam kata Tulang Bawang, yang daerahnya dialiri sungai Tulang Bawang. Letak Tulang
bawang sekarang berada di daerah Menggala. Akan tetapi hal masih menjadi tanda tanya
bagi para ahli, dimana letak sebenarnya Tulang Bawang itu, sebab para ahli belum
menemukan bukti yang kuat dan belum sependapat mengenai hal tersebut.
Sedangkan beberapa para ahli diantaranya N.J. Krom menyatakan bahwa kata
Lampung itu sendiri berasal dari bahasa Cina Hokian yang berarti “orang atas”. Ini kemudian
diartikan orang-orang yang tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi).
Dengan demikian penyebutan I Tsing “To-lang Po-hwang” memiliki kesamaan makna
dengan kata “anjak lambung” yang berarti orang-orang atas (Gunung Pesagi).
Suatu teori yang menarik adalah dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma yang
mendasarkan pada pendapat Muhammad Yamin bahwa kata To-lang Po-hwang dapat dieja
atas kata To yang berarti “orang” dalam bahasa Toraja, sedang lang-Po-hwang merupakan
ejaan kata Lampung, jadi secara lengkap berarti orang Lampung

2. Teori Dr. R. Broesma


Teori lain berasal dari legenda. Dalam buku karangan Dr. R. Broesma “De
Lampongsche Districten” (1916) ditulis bahwa Residen Lampung yang pertama J.A. Du Bois
(1829-1834) pernah membaca buku yang berjudul “Sejarah Majapahit”, milik salah sorang
warga di Teluk Betung yang disimpannya sebagai azimat. Di dalam buku tersebut
diterangkan bahwa Tuhan menurunkan orang pertama ke bumi bernama Sang Dewa
Sanembahan dan Widodari Sinuhun. Mereka itulah yang menurunkan si Jawa Ratu
Majapahit, si Pasundan Ratu Pajajaran, dan si Lampung Ratu Balau. Kata Lampung berarti op
het water drijven (terapung di atas air). Sampai sekarang ini dikalangan penduduk Lampung
sub suku Pubian masih percaya mitos bahwa nenek moyang mereka adalah Poyang si
Lampung.
3. Legenda Tapanuli
Teori ini menjelaskan mengenai asal-usul orang Lampung adalah dari legenda dari
daerah Tapanuli. Menurut cerita ini pada masa yang silam meletuslah sebuah gunung berapi
besar (Gunung Api Toba purba) yang menyebabkan bencana. Ketika gunung itu meletus,
ada empat orang bersaudara yang berusaha menyelamatkan diri, dan meninggalkan
Tapanuli. Salah satu dari keempat saudara itu bernama Ompung Silamponga, terdampar di
Krui, kemudian naik ke dataran tinggi yang sekarang disebut dataran tinggi Belalau atau
Skala Berak. Dari situ terlihatlah daerah yang luas dan menawan hati, maka lalu dengan
perasaan kagum diteriakkanlah kata Lappung, yang dalam bahasa Tapanuli berarti luas. Dari
kata ini timbullah kata Lampung seperti sekarang ini. Sampai saat ini di kalangan suku
Lampung asli, baik di daerah Belalau, Menggala maupun Abung, kata Lampung masih
diucapkan Lappung.
Ada juga sebagian yang berpendapat bahwa nama Lampung itu justru berasal dari
nama Ompung Silamponga tersebut. Teori ini diperkuat pula dengan adanya persamaan
antara huruf Lampung dengan huruf Batak. Meskipun kesamaan ini dapat diartikan bukan
saling mempengaruhi, tetapi karena berasal dari sumber aksara dan bahasa yang sama
kemudian berkembang di wilayah masing-masing. Bahkan ada yang menerangkan bahwa
suku yang memuat cerita tersebut masih disimpan oleh penduduk (Punyimbang Adat) dari
kampung Rajabasa, Lampung Selatan.

4. Cerita Rakyat Skala Brak


Salah satu teori yang menarik juga untuk dikemukakan adalah tulisan Hilman
Hadikusuma dalam risalah triwulan Bunga Rampai Adat Budaya, No. 2 tahun ke II terbitan
Fakultas Hukum Universitas Lampung berjudul “Persekutuan Hukum Adat Abung (Dalam
Perkembangannya Dari Masa ke Masa)”. Dalam uraian tersebut dikemukakan mengenai asal-
usul penduduk Lampung. Menurut cerita rakyat bahwa penduduk Lampung itu berasal dari
daerah Skala Berak, yang merupakan perkampungan orang Lampung pertama-tama.
Kemasyhuran Skala Berak ini dapat dirunut melalui penuturan lisan turun-temurun dalam
wewarah/wawarahan, tambo, dan dalung. William Marsden dalam tulisannya History of
Sumatra mengungkapkan bahwa “apabila kita menanyakan kepada masyarakat Lampung
tentang darimana mereka berasal maka mereka akan menjawab dari bukit dan akan
menunjuk ke suatu tempat dekat danau besar” (Marsden, 2013).
Dari Skala Berak ini kemudian lahir sembilan keturunan (kebuayan) besar yang
berkembang menjadi puluhan marga. Penduduknya disebut orang Tumi (Buay Tumi) yang
dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarumong. Kepercayaan yang dianut
merupakan dinamisme yang dipengaruhi juga oleh ajaran Hindu Bhairawa, yaitu
menyembah sebatang pohon yang dianggap sakti.
Terkait dengan Pagarruyung, dari catatan cerita tutur saja ada suatu realitas yang
sering dilupakan bahwa orang Lampung juga memiliki garis keturunan dari Pagarruyung.
Ada dua rekonstruksi mengenai nenek moyang orang Lampung sejak kedatangan empat
Umpu ke Skala Berak. Pertama umpu-umpu ini mengalahkan suku bangsa Tumi yang telah

17
mendiami Skala Berak. Bila tesis ini benar maka umpu yang datang memimpin wilayah dan
menurunkan orang Lampung. Kedua, umpu yang datang hanya singgah dan membawa
pengaruh dari Pagarruyung.
Selain bersumber dari tambo, alasan lain yang memperkuat kemungkinan alasan
kedua ini adalah ketika itu Pagarruyung telah memeluk Islam. Buay Tumi itu kemudian
mendapat pengaruh dari empat orang pembawa ajaran Islam dari Pagarruyung. Mereka
adalah Umpu Nyerupa, Umpu Bejalan di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Mereka
merupakan cikal bakal Paksi Pak, sebagaimana yang diungkapkan dalam buku naskah kuno
yang bernama Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Adat). Tetapi dalam versi buku Kuntara Raja
Niti nama-nama mereka adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh dan Indarwati.
Menurut cerita rakyat Belalau juga disebut bahwa keempat umpu adalah pembawa agama
Islam dan bersahabat dengan Puteri Bulan.
Dalam Kitab Kuntara Raja Niti, yaitu sebuah kumpulan naskah kuno Lampung yang
hingga sekarang masih dapat diketemukan dan dibaca baik dalam bentuk aksara “Kaganga”
maupun dalam aksara latin yaitu sebagai berikut :
“siji turunan Batin tilu suku tuha lagi lawek djak Pagarruyung Menangkabau pina
turun satu putri kajangan, dikawinkan jama Kun Tunggal, ja ngada Ruh Tunggal ja ngakon ja
ngadakan umpu sai tungau umpu, umpu sai tungau ngadakan umpu serunting, umpu
serunting pendah disekala berak ja budiri ratu pumanggilan, Ratu Pumanggilan (umpu
serunting nganak lima muari : 1. Sai Tuha Indor Gadjah turun abung siwa mega, 2. Si
Belunguh turunan peminggir, 3. Si Pa’lang nurunkan pubijan, 4. Si Padan ilang, 5. Si Sangkan
wat di suka ham).”
Selanjutnya Hilman menjelaskan bahwa umpu-umpu ini hanya sebagian berasal dari
Pagarruyung, yang sebagian lagi berasal dari Darmasraya. Sebelum memasuki Lampung
mereka menetap di Rejang (Bengkulu). Beberapa ahli berpendapat bahwa keempat umpu itu
adalah putera-putera raja Sriwijaya yang berhasil menyelamatkan diri ketika Sriwijaya
diserang oleh musuh dari luar. Sebuah penelitian di Padang Panjang tahun 1938 menjelaskan
adanya keterkaitan asal mula penduduk Lampung dengan Pagarruyung. Di dalam cerita
rakyat Cindur Mato menyebutkan bahwa suatu ketika Pagarruyung diserang musuh dari
India penduduk setempat mengalami kekalahan. Mereka kemudian melarikan diri, ada yang
melalui sungai Rokan, sebagian lagi melalui laut dan terdampar di hulu sungai Ketaun di
Bengkulu dan menurunkan suku Rejang, yang lari ke utara menurunkan suku Batak, yang
terdampar di Gowa menurunkan suku Bugis. Sedangkan yang terdampar di Krui lalu
menyebar ke dataran tinggi Skala Berak menurunkan suku Lampung.
Dari uraian diatas pada dasarnya jurai ulun Lampung atau orang Lampung adalah
berasal dari Skala Berak. Namun dalam perkembangannya secara umum masyarakat
Lampung kemudian terbagi menjadi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan
masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah
adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung,
Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh,
Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung,

18
empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan
Merpas di Selatan Bengkulu.
Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena
sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat Lampung, masing
masing terdiri dari:
 Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)
 Bandar Enom Semaka (Tanggamus)
 Marga Lima Way Lima (Pesawaran)
 Keratuan Melinting (Lampung Timur)
 Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan)
 Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan)
 Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)

Sedangkan masyarakat Lampung beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:


 Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Nuban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai,
Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur,
Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
 Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang
Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala,
Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
 Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca
atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian
mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng,
Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
 Sungkay-Way Kanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti,
yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-Way Kanan mendiami
sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga
Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui

19
B. KILASAN PENGUASAAN KOLONIAL DI LAMPUNG

“Moluken is het verleden, Java is het heden, en Sumatra is de toekomst” – “Maluku


adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang, dan Sumatra adalah masa depan” 1. Itu adalah
semboyan yang menggambarkan nilai penting Sumatra bagi Kerajaan Belanda. Tidak
mengherankan sampai dengan akhir abad ke-XIX, pemerintah kolonial Hindia Belanda mati-
matian berjuang menaklukkan pulau berjuluk Swarnadwipa ini. Sebagaimana yang berarti
pulau emas, Sumatra dipandang menjanjikan masa depan yang cerah bagi kelangsungan
kejayaan Belanda di Kepulauan Nusantara, potensi alam yang begitu kaya membuat Belanda
mulai fokus menata kekuasaannya di wilayah ini mulai abad-XX.
Wilayah Sumatra bagian selatan juga tak luput dari perhatian Belanda. Setelah proses
tukar guling Singapura-Bengkulu dengan pihak Inggris selesai, baru Belanda benar-benar
mengelola wilayah ini dalam kawasan regional yang disebut Zuid-Sumatra. Kawasan ini tidak
kalah nilai pentingnya, sebagaimana yang dicatat oleh Wellan bahwa kawasan regional
Sumatra Selatan sangat menguntungkan berkenaan dengan Jawa. Sebagai salah satu
kawasan terdekat Jawa, di wilayah ini jalur-jalur penting adalah Batavia-Palembang, Batavia-
Djambi, dan Batavia-Teluk Betung.2 Selain itu Lampung sebagai pintu masuk Sumatra, masuk
ke dalam daftar daerah prioritas yang akan mendapat perhatian pemerintah kolonial
Belanda.
F.G. Steck mencatat, wilayah yang disebut dengan Lampongs ini adalah daerah
paling selatan Sumatra, kecuali bagian pesisir baratnya karena sejak awal telah dikuasai
Inggris, dan setelah menjadi bagian dari Hindia Belanda berada di bawah yurisdiksi
Karesidenan Bengkulu.3 Luas wilayah Karesidenan Lampung berdasarkan Centraal Bureau
voor de Statistiek adalah sekitar 28.268,40 km persegi.4 Penduduk asli yang menempatinya
disebut dengan suku Lampung yang tersebar merata di seluruh wilayah ini.
Secara garis besar kelompok suku bangsa Lampung dapat diklasifikasikan dalam dua
kelompok adat atau dua jurai, yaitu masyarakat Lampung beradat Pepadun dan masyarakat
Lampung beradat Saibatin. Kedua kelompok adat ini memiliki adat istiadat dan kebiasannnya
masing-masing. Perbedaan diantara keduanya dapat seperti penggunaan dialek bahasa,5
tradisi kebiasaan, tata aturan kehidupan bermasyarakat, hingga tata upacara yang sebagian
dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis mereka tinggal.
Masyarakat Lampung beradat Pepadun pada umumnya mendiami daerah
pedalaman, mereka dari Skala Brak turun menyebar mengikuti arah aliran sungai. Sedangkan
masyarakat Lampung beradat Saibatin pada umumnya mendiami wilayah Pesisir atau

Darmiati, “Perpindahan Penduduk dari Kolonisasi/Emigrasi hingga Transmigrasi”, dalam (Kristian, 2019)
1

Lihat dalam Wellan, J.W.J. Zuid Sumatra Economich Overzicht (Wellan, 1932)
2

Lihat dalam “Topographisce en Geographische Beschrijving der Lampongsche Districten”, Bijdragen tot de
3

Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 8ste Deel, Nieuwe Volgreeks, 4e Deel (Steck, 1862)
Lihat dalam (Centraal Bureau voor de Statistiek, 1928)
4

Van Royen mengklasifikasikan dialek bahasa Lampung menjadi dua, yaitu bahasa Lampung berdialek
5

“Api” dan “Nyow”. Sedangkan Van der Tuuk membagi dua dialek bahasa Lampung menjadi dialek
Abung dan dialek Pubian. Dapat dilihat lebih lanjut dalam (AZ, 2019; Hadikusuma, 1977; Pudjiastuti, 1996)

20
paminggir yang berasal dari Skala Brak kemudian menyebar ke wilayah pantai pesisir barat
hingga ke selatan ujung pulau Sumatra (Kristian, 2019). Meskipun demikian, kondisinya saat
ini tidak berlangsung kaku, karakteristik masyarakat Lampung yang sangat terbuka6,
memudahkan terjadinya difusi kebudayaan dan akulturasi kebudayaan di dalam internal
masyarakat Lampung itu sendiri, sehingga kadang dijumpai sekelompok masyarakat beradat
Pepadun tetapi tinggal di kawasan pesisir, begitu juga sebaliknya. Ada juga kelompok
masyarakat Lampung yang adat istiadatnya merupakan pembauran antara Pepadun dan
Saibatin, terutama yang tinggal di daerah peripheral. Bahkan ada juga yang tinggal di luar
Lampung, yakni Komering dan Ranau di Sumatra Selatan dan Cikoneng Banten.
Perbedaan lain yang sangat terlihat antara adat Pepadun dengan Saibatin adalah
struktur sosial dalam masyarakat adat. Dalam adat istiadat masyarakat Saibatin berlaku
sistem stratifikasi sosial tertutup mengenai hal status adat. Sistem ini tidak memungkinkan
seseorang menaikkan status adatnya walaupun memiliki potensi seperti jumlah kekayaan,
kharisma, dan faktor pendukung lainnya. Status adat seseorang hanya bisa didapat melalui
jalur genealogis secara turun-temurun. Kedudukan dalam adat ini menyangkut peran,
kewajiban dan hak, serta berbagai atribut yang boleh dikenakan ketika acara adat.
Sebaliknya, masyarakat beradat Pepadun lebih fleksibel dan sifat stratifikasi sosialnya
lebih terbuka secara keadatan. Sehingga seseorang diperkenankan untuk menaikkan atau
dinaikkan status adatnya. Seseorang yang berkeinginan atau dipandang layak dinaikkan
status adatnya, dipersyaratkan untuk memenuhi berbagai persyaratan yang terbilang banyak
dan memakan biaya cukup besar. Tidak hanya itu, seseorang tersebut juga harus
mendapatkan persetujuan dari pemuka adat (penyimbang) di lingkungannya. Hal ini
menunjukkan bahwa, meskipun lebih bersifat terbuka, masyarakat beradat Pepadun ini tetap
memperhatikan kelayakan (proper) seseorang yang akan menaikkan atau dinaikkan status
adatnya.7 Namun stratifikasi sosial keadatan ini hanya terlihat dan berlaku dalam berbagai
aktivitas tradisi dan selama upacara keadatan berlangsung. Kini dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Lampung secara luas telah menjunjung tinggi persamaan kedudukan dalam
menjalankan kehidupan sebagai warga negara biasa, dan tidak membeda-bedakan status
adat mereka.
Diantara dua perbedaan yang nampak antara adat Pepadun dan Saibatin, terdapat
persamaan yang menonjol yaitu ajaran agama Islam begitu kuat mewarnai budaya Lampung
baik Lampung Pepadun maupun Saibatin (Muhtarom, 2018). Budaya Lampung yang ada
sekarang ini, mulai mengalami proses pembentukannya secara masif pada abad ke-XIV
hingga XVIII8, dengan sebelumnya telah melalui berbagai tahapan budaya pendahulu, yaitu

Hal ini terkait dengan salah satu pandangan hidup masyarakat Lampung yang disebut Nemui Nyimah
6

atau ramah dan terbuka, lihat dalam (Hadikusuma, 1977, 1989).


Lihat lebih lanjut dalam (Hadikusuma, 1977, 1989; Syah, 2017)
7

Abad-abad ini adalah waktu dimana kejayaan pengaruh Hindu-Budha mulai surut dan pengaruh Islam
8

mulai menguat. Lampung sebagai wilayah yang sangat strategis berada diantara dua kerajaan Islam
besar, yaitu Kesultanan Palembang di utara dan Kesultanan Banten di timur. Akan tetapi Kesultanan
Banten mampu menanamkan pengaruhnya di sebagian besar wilayah Lampung. Lebih lanjut mengenai

21
budaya masa pra-aksara (animisme-dinamisme) dan budaya klasik (Hindu-Budha). Hingga
pada akhirnya antara abad XVIII-XIX budaya Lampung telah menemukan bentuknya seperti
yang dapat dilihat saat ini (Muhtarom, 2018; Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah, 1987).
Selain itu kedua kelompok adat masyarakat Lampung ini memiliki pandangan hidup
yang sama, yang disebut dengan Piil Pesenggiri atau yang bermakna “rasa harga diri”.
Pandangan hidup berupa Piil Pesenggiri atau rasa harga diri ini tidak berdiri sendiri,
melainkan satu kesatuan dengan dengan aspek pandangan hidup lainnya yaitu Bejuluk-adok
(memiliki gelar), Nemui-Nyimah (terbuka, saling menerima dan memberi), Nengah Nyappur
(ramah, suka bergaul dan bermusyawarah), dan Sakai Sambayan (gotong royong dan saling
menolong). Nilai-nilai pandangan hidup ini juga menjadi karakter khas masyarakat Lampung.
Sehingga masyarakat Lampung dianggap memiliki harga diri jika tertanam pandangan dan
nilai-nilai tersebut dalam diri dan masyarakatnya.
Masyarakat asli Lampung meyakini bahwa leluhurnya berasal dari dataran tinggi
Skala Brak di bagian barat Lampung, pada abad ke-XIV mereka mulai menyebar turun
searah aliran sungai. Mereka menyebar ke arah barat (pesisir), ke pedalaman di selatan,
tenggara, dan timur. Di lembah-lembah dan daerah aliran sungai itu mereka mendirikan
pemukiman secara berkelompok. Sehingga hubungan masyarakat yang tinggal di atas
(dataran tinggi) dan yang tinggal di bawah (pesisir, termasuk hubungan dengan luar)
terhubung dengan jaringan sungai dan anak-anak sungai atau jaringan hulu-hilir. Mereka
tinggal secara berkelompok berdasar ikatan kekerabatannya. Meskipun sebagian besar
mereka bermukim di tepi-tepi sungai, masyarakat asli Lampung melakukan aktivitas terestrial
sebagai mata pencaharian mereka yaitu berhuma atau berladang untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sehingga setiap kelompok pemukim mempunyai ruang
jelajahnya masing-masing untuk berhuma, yang kemudian menjadi wilayah adat masing-
masing klan atau marga yang bersifat otonom.
Sejak Kesultanan Banten dihapuskan oleh pemerintah kolonial Inggris pada tahun
1813, Lampung yang sebagian wilayahnya merupakan kekuasaan Kesultanan Banten diambil
alih penguasaannnya langsung di bawah Gubernur Jenderal di Batavia. Pada tahun 1829
mulai dilakukan penunjukan residen Belanda untuk Lampung. Wilayah ini kemudian dibagi
dalam lima afdeeling, yaitu Teluk Betung, Tulang Bawang, Sekampung, Seputih, dan
Semangka.9 Wilayah afdeeling ini didasarkan pada wilayah pemukiman masyarakat Lampung
yang terkonsentrasi pada daerah-daerah aliran sungai besar.

penguasaan Banten terhadap Lampung dapat ditelusuri dalam (Djajadiningrat, 1983; Fadillah, 2021;
Fadillah et al., 2021; Guillot, 2008; Hakiki et al., 2020; Wijayati, 2011)
Lihat dalam “Topographisce en Geographische Beschrijving der Lampongsche Districten”, Bijdragen tot de
9

Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 8ste Deel, Nieuwe Volgreeks, 4e Deel (Steck,
1862).

22
Setelah berakhirnya Perang Rakyat Lampung10 terhadap kolonial Belanda yang
berlangsung sporadik dalam rentang abad XVIII-XIX, menjadikan Lampung sepenuhnya
jatuh dan dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1857 Pemerintah kolonial
berencana menghapuskan sistem marga dan menerapkan sistem sentralisasi pemerintahan.
Akan tetapi hal ini mendapat tentangan dan tidak berjalan, sebab di Lampung telah berlaku
sejak lama sistem pemerintahan desentralisasi dalam bentuk marga-marga yang otonom.
Merespon hal tersebut, Belanda kemudian berbalik mengakomodasi keberadaan marga
untuk mempertajam kepentingan politik dan ekonomi Belanda atas Lampung (Hadikusuma,
1984).11 Sepanjang waktu sejak 1857 terus terjadi dinamika dalam hal penataan pemerintahan
marga. Bentuk dinamika itu adalah pembentukan, perubahan, dan penghapusan atau non-
pengakuan terhadap marga beserta luas dan batas-batas wilayahnya (Van Royen, 1930). Di
kemudian hari kerap terjadi perombakan administrasi wilayah afdeeling maupun
onderafdeeling di Karesidenan Lampung.
Pada tahun 1864 administrasi wilayah di Karesidenan Lampung dirombak kembali
menjadi tujuh onderafdeeling yaitu:12
1. Teluk Betung, ibukota di Teluk Betung;
2. Bumi Agung, ibukota di Pakuan Ratu;
3. Tulang Bawang, ibukota di Menggala;
4. Seputih, ibukota di Terbanggi;
5. Sekampung, ibukota di Sukadana;
6. Semangka, ibukota di Tanjung;
7. Empat Marga, ibukota di Katimbang.
Dinamika terus terjadi menyesuaikan kebijakan politik maupun ekonomi pemerintah
kolonial yang terus menyesuaikan berbagai hasil kajian pemerintah pusat berkenaan dengan
potensi eksploitasi nilai ekonomi di wilayah ini. Berdasarkan publikasi Verbeek pada tahun
1880, administrasi wilayah Lampung ditata kembali, yaitu sebagai berikut:13
1. Afdeeling Teluk Betung, terdiri dari:
a. Onderafdeeling Kota Agung, beribukota di Kota Agung;
b. Onderafdeeling Telukbetung, beribukota di Telukbetung;
c. Onderafdeeling Kalianda, beribukota di Kalianda;
2. Afdeeling Seputih-Tulang Bawang, terdiri dari:
a. Onderafdeeling Sekampung, beribukota di Sukadana;

Perlawanan Rakyat Abung dan Perlawanan yang dipimpin oleh Batin Mangunang, Dalom
10

Mangkunegara, serta Raden Inten II (Dewan Harian Angkatan 45, 1994; Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1993; Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1987; Widodo et al., 2018)
Belanda memilih untuk mengurungkan pendekatan koersif sebab tak ingin lagi mengeluarkan banyak
11

biaya setelah beberapa lamanya menghadapi perlawanan di Lampung dan juga berbagai daerah di
Nusantara. Kebijakan yang diambil kemudian adalah melalui pendekatan soft power dengan
memanfaatkan sistem pemerintahan lokal yang ada berupa marga dan mengaturnya secara ketat untuk
keuntungan, ketimbang menghapuskannya sehingga dapat memicu perlawanan kembali.
Lihat dalam (Regerings Almanak Voor Nederlandsch Indie, 1870).
12

Lihat dalam Topografische en geologische kaart van Zuid-Sumatra betattende de Residentie Benkoelen,
13

Palembang, en Lampongsche Districten (Verbeek, 1880)

23
b. Onderafdeeling Seputih, beribukota di Kotabumi;
c. Onderafdeeling Tulang Bawang, beribukota di Menggala;
Dinamika penataan marga-marga masih terus terjadi sampai dengan awal abad ke-
XX, dan akhirnya pemerintah kolonial Belanda menetapkan pengaturannya secara terperinci
dalam Marga Stelsel melalui penetapan Indische Gemeente Ordonantie Buitengewesten
(IGOB)14 pada tahun 1928 dengan jumlah pemerintahan marga mencapai 62 wilayah marga
(margastaat) di seluruh Karesidenan Lampung (Van Royen, 1930). Dalam ordonansi ini terjadi
perubahan konsepsi marga, yang semula genealogis-teritorial yaitu satu keturunan yang
menguasai suatu wilayah, menjadi teritorial-genealogis yaitu kesatuan wilayah yang dapat
terdiri dari campuran beberapa keturunan (Kristian, 2019).

Gambar 1. Peta Pembagian Wilayah Marga di Lampung


Sumber: Koleksi digital KITLV Leiden, Kode Arsip: D D 14,4

Peraturan perundang-undangan sistem pemerintahan desa atau sistem pemerintahan terbawah di


14

Hindia Belanda yang telah disesuaikan dengan kepentingan pemerintahan kolonial Hindia Belanda untuk
luar Jawa dan Madura.

24
Tabel 2. Daftar Marga di Karesidenan Lampung
Berdasarkan Marga Stelsel dalam Indische Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB)
Tahun 1928

No Nama Marga No Nama Marga


1 Dantaran 32 Buai Bunga Mayang
2 Pesisir Rajabasa (Ketimbang) 33 Buai Baradatu
3 Ratu 34 Kasui
4 Legun 35 Buai Semenguk
5 Ketibung 36 Buai Pemuka Pengiran Udik
6 Telukbetung 37 Wai Tuba
7 Balau 38 Buai Bahuga
8 Wai Semah 39 Buai Pemuka Pengiran
9 Sabu Menanga 40 Buai Barasakti
10 Ratai 41 Buai Pemuka Pengiran Ilir
11 Punduh 42 Buai Pemuka Bangsa Raja
12 Pedada 43 Jabung
13 Merak Batin 44 Melinting
14 Tegineneng 45 Sekampung
15 Badak 46 Subing Labuan
16 Putih 47 Gedong Wani
17 Limau 48 Batanghari (Nuban)
18 Kelumbayan 49 Sukadana
19 Perliwih 50 Unyi Wai Seputih
20 Putih 51 Subing
21 Limau 52 Buai Beliuk
22 Talangpadang Pesisir (Gunung Alip) 53 Buai Nyerupa
23 Buai Belungu 54 Anak Tuha
24 Banawang 55 Pubian (Nuat)
25 Wai Ngarip Semong 56 Buai Unyi
26 Pematang Sawah 57 Mesuji Lampung
27 Rebang Pugung 58 Buai Bulan Udik
28 Pugung 59 Tegamaan
29 Buai Selagai Kunang 60 Suai Umpu
30 Buai Rebang Seputih 61 Buai Bulan Ilir
31 Buai Nunyai 62 Aji
Sumber: Marga Indeeling Residentie Lampongsche Districten ,
Koleksi digital KITLV Leiden, Kode Arsip: D D 14,4

Pengakuan terhadap eksistensi marga yang akhirnya dilakukan oleh pemerintah


kolonial sejatinya adalah samaran atas domestikasi marga. Hal itu terlihat dari beberapa
pengaturan, diantaranya kelompok-kelompok marga kemudian dijadikan sebagai bagian
dari pemerintahan lokal yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda
yang diatur dalam hierarki pemerintahan modern.15 Dengan marga menjadi bagian dari

Lampung menjadi sebuah afdeeling yang dipimpin oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten
15

residen dan berkedudukan di Telukbetung. Afdeeling atau Karesidenan Lampung dibagi dalam lima
wilayah Onderafdeeling yaitu Telukbetung, Kotaagung, Kotabumi, Sukadana, dan Menggala yang
masing-masing dikepalai seorang Controleur masih oleh bangsa Belanda (BB). Setiap wilayah

25
pemerintah kolonial maka tercapai sudah penguasaan seluruh tanah Lampung oleh
pemerintah kolonial Belanda.

Gambar 2. Peta Wilayah Karesidenan Lampung yang Disewakan oleh Pemerintah Kolonial
kepada Modal Asing Setelah Undang-Undang Agraria Tahun 1870.
Sumber: Koleksi digital KITLV Leiden, Kode Arsip: KK 081-05-05
Wilayah-wilayah adat yang mulanya independen dan otonom milik marga, menjadi
dikuasai pemerintah kolonial Belanda melalui perpanjangan tangan marga. Perenggutan
independensi marga itu nampak jelas dari kebijakan pengakuan, mendukung, dan
menguatkan lembaga pemerintahan marga, yakni dengan mengubah pola pengangkatan
jabatan Pasirah atau pemimpin marga yang dipilih oleh para elit marga16, lalu diberi

Onderafdeeling kemudian dibagi lagi ke dalam wilayah distrik-distrik yang dikepalai oleh Demang yang
merupakan pejabat bumiputera (IB). Kemudian dalam tingkat paling bawah diakui pemerintahan marga
yang dikepalai oleh seorang Pasirah yang mengepalai kepala-kepala kampung (Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1987)
Semacam dewan perwalian yang merepresentasikan kelompok adat dalam satu teritorial yang disebut
16

punyimbang adat. Syarat bagi seorang calon Pasirah ialah pribumi yang memiliki kedudukan dalam adat

26
ketetapan pengesahan oleh pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya surat keputusan.
Adanya pengesahan Pasirah oleh pemerintah kolonial melalui surat keputusan ini jelas
menunjukkan kebergantungan legitimasi kekuasaan lokal yang diberikan oleh pemerintah
kolonial.
Pemerintah kolonial Belanda sesungguhnya sangat diuntungkan dengan kondisi
politik lokal di Lampung yang terfragmentaris dalam pemerintahan marga-marga berjumlah
sangat banyak. Belanda kerap kali mendapati situasi para bangsawan lokal yang sering
bersaing satu sama lain, sehingga tidak memungkinkan mengangkat seorang pemimpin
untuk seluruh marga (Kristian, 2019). Meski sedikit merepotkan karena harus banyak
terhubung dengan pemimpin-pemimpin lokal, tetapi Belanda menganggap situasi ini
meringankan strategi devide it impera untuk menguasai sepenuhnya. Adanya beberapa
bentuk keratuan di Lampung juga memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan sistem
politik monarki atau kerajaan di Jawa yang bergantung pada sosok tunggal pemimpin
seperti raja yang berpengaruh kuat dan sentralistik. Maka upaya Belanda selanjutnya adalah
cukup dengan merawat dan menjaga agar kondisi politik lokal yang terpecah-pecah di
Lampung ini tetap berjalan stabil.
Setelah pemerintah kolonial Belanda menata pemerintahan lokal dalam Marga Stelsel
pada tahun 1928, selanjutnya melalui Staatsblad Nomor 362 Tahun 1929 tanggal 20
September 1929 Gubernur Jenderal Hindia Belanda menata kembali administrasi
pemerintahan di Karesidenan Lampung menjadi lima Onderafdeeling, yaitu:17
1. Onderafdeeling Telukbetung, di bawah Kontrolir Tanjung Karang, dengan wilayah
meliputi:
a. Ibukota Afdeeling/Karesidenan di Teluk Betung;
b. Wilayah kolonisasi Gedongtataan;
c. Wilayah marga meliputi: Dantaran, Pesisir Rajabasa (Ketimbang), Ratu, Legun,
Katibung, Teluk, Balaw, Way Semah, Sabo Menanga, Ratai, Punduh, Pedada,
Merak Batin, Tegineneng, Badak Putih, dan Limau.
2. Onderafdeeling Kota Agung, di bawah kendali Kontrolir Kotagung, dengan wilayah
meliputi:
a. Ibukota Kota Agung;
b. Wilayah kolonisasi Kota Agung (Wonosobo);
c. Wilayah marga meliputi: Kelumbayan, Pertiwi, Putih, Putih Doh, Limau, Talang
Padang Pesisir (Gunung Alip), Buay Belunguh, Benawang, Way Ngarip, Pematang
Sawah, Pugung, dan Rebang Pugung.
3. Onderafdeeling Kotabumi, di bawah kendali Kontrolir Kotabumi, dan wilayahnya
meliputi marga:
Kasui, Way Tuba, Buay Selagai, Buay Rebang Seputih, Buay Nunyai, Buay Bunga
Mayang, Buay Baradatu, Buay Semeguk, Buay Bahuga, Buay Barasakti, Buay Pemuka

di marganya, serta memiliki kemampuan membaca dan menulis huruf Latin serta pandai berbahasa
Melayu. Lihat dalam (Ibrahim, 1995).
Lihat dalam (Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1929)
17

27
Pengiran, Buay Pemuka Pengiran Udik, Buay Pemuka Pengiran Ilir, dan Buay Pemuka
Bangsa Raja.
4. Onderafdeeling Sukadana, di bawah kendali Kontrolir Sukadana, dan wilayahnya
meliputi marga:
Jabung, Melinting, Sekampung, Labuhan Subing, Gedong Wani, Batanghari (Nuban),
Sukadana, Unyi Way Seputih, Subing, Buay Beliuk, Buay Nyerupa, Anak Tuha, Pubian
Nuat, dan Buay Unyi.
5. Onderafdeeling Menggala, di bawah kendali gezaghebber Menggala, dan wilayahnya
meliputi marga:
Mesuji, Suai Umpu, Tegamoan, Buay Bulan Udik, Buay Bulan Ilir, dan Aji.

Demikian situasi tersebut bertahan paling tidak sampai dengan berakhirnya


pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1942, yaitu ketika Pendudukan Jepang dimulai
dan menguasai Hindia Belanda. Meskipun sejak awal pemerintahan marga telah dianut,
tetapi setelah adanya intervensi pemerintah kolonial terhadap marga-marga ini, kohesi sosial
masyarakat Lampung menunjukkan kerenggangan yang dibuktikan dengan sering terjadinya
persaingan di dalam maupun antar marga untuk kedudukan sosial yang lebih tinggi serta
kepentingan ekonomi.

28
C. SITUS REJOMULYO BAGIAN ATRIBUT JALUR REMPAH DI LAMPUNG

Temuan Arkeologis Petunjuk Adanya Pemukiman Awal di Metro Selatan


Kota Metro merupakan sebuah wilayah administrasi hasil pemekaran dari Kabupaten
Lampung Tengah pada tahun 1999. Sejarah wilayah ini sudah sangat dikenal terbentuk
karena migrasi penduduk Jawa ketika pemerintahan kolonial Hindia Belanda, melalui
program yang disebut kolonisasi. Sebelum itu, wilayah ini merupakan wilayah hutan adat
milik marga Buay Nuban yang pemukiman utamanya terkonsentrasi di sekitar daerah
Gedongdalam (Muzakki, 2014).
Kala itu wilayah Metro yang masih berupa hutan, menjadi lokasi mata pencaharian
penduduk asli Buay Nuban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tersebab
bentang alamnya yang masih dominan hutan dan aktivitas manusia sebagai subjek utama
dalam sejarah belum terlalu signifikan, maka periodesasi sejarah Metro secara populer
umumnya dimulai sejak era kolonisasi penduduk Jawa. Meski demikian, adalah fakta sejarah
bahwa kolonis Jawa bukanlah pemukim awal untuk wilayah yang kini disebut Metro, tetapi
marga Buay Nuban adalah pemukim pendahulu sebelum para kolonis Jawa tiba di Metro
pada dekade 1930an dan mendominasi wilayah ini.
Terkait dengan pemukiman dan aktivitasnya ini, masyarakat Lampung sendiri
mengenal dua konsep pemukiman, yaitu tiyuh dan umbul (Hadikusuma, 1977). Tiyuh, anek,
atau pekon merupakan perkampungan utama dengan jumlah pemukim umumnya berskala
besar. Berlokasi di tepi sungai atau dekat sungai, dengan tingkat kerapatan pemukim yang
tinggi (biasanya di kemudian hari akan menjadi lokasi kampung-kampung tua). Dalam
kehidupan keseharian, aktivitas masyarakat di tiyuh adalah berkumpul, beristirahat, dan
melakukan tradisi adat istiadatnya. Sedangkan sisa waktu keseharian mereka banyak
dihabiskan di umbulan, yaitu lokasi aktivitas yang kaitannya dengan mata pencaharian di
hutan atau ladang.
Di lokasi umbul atau umbulan ini biasanya juga didirikan pemukiman, sebab biasanya
kegiatan berladang dapat berlangsung lama. Meski demikian, pemukim umbulan tetap akan
kembali ke tiyuh secara periodik. Umbul umumnya berciri sebagai pemukiman yang kecil,
tingkat kerapatan pemukim yang sporadis, dan secara evolutif dapat berkembang menjadi
tiyuh apabila prasyarat tertentu terpenuhi. Dalam aturan hukum adat Lampung, ditetapkan
bahwa jarak wilayah yang diperkenankan menjadi umbul adalah berada dalam radius
minimal lima pal (± 8 km) dari pusat tiyuh (Hadikusuma, 1977; Khalik, 2002).
Dalam konteks wilayah pemukiman ini, maka dapat dimengerti bahwa wilayah Metro
sebelum era kolonisasi lebih memenuhi kriteria sebagai wilayah umbulan daripada tiyuh.
Secara jarak, wilayah Metro dengan Gedongdalam juga sangat rasional apabila diukur
berdasar kriteria jarak minimal lima pal. Hingga sampai dengan saat ini, pengetahuan
tentang Buay Nuban sebagai pemukim awal di Metro (sebelum datangnya para kolonis
Jawa), selalu menjadi pembuka dalam narasi sejarah Metro.
Di sisi lain, terdapat hasil kajian arkeologis yang melengkapi rekonstruksi historiografi
sejarah Metro. Hasil kajian ini berkenaan dengan temuan jejak pemukim awal di wilayah

29
Metro, khususnya wilayah Metro bagian selatan di tepi Way Sekampung yaitu di Situs
Rejomulyo, dengan bukti temuan yang menunjukkan kronologi waktu sekitar abad ke-16-17
M (Prijono, 2021). Hal ini tentu cukup menarik perhatian, sebab periode ini adalah periode
meso (tengah) pembentukan budaya Lampung. Seperti diketahui bahwa penduduk asli
Lampung yang bercorak Hindu Bhairawa telah eksis di Skala Brak pada abad ke-14 M, dan
profes difusi kebudayaan terjadi ke seluruh wilayah Lampung setelah pengaruh Islam mulai
masuk dan berkembang pada abad-abad berikutnya. Islam sangat kuat mewarnai
pembentukan budaya masyarakat Lampung, terlebih secara politik Lampung menjadi
wilayah tarik menarik dua kerajaan Islam besar, yaitu Kesultanan Palembang di utara dan
Kesultanan Banten di bagian selatan dan timur.
Budaya Lampung mulai menemukan bentuknya seperti yang dapat kita lihat hari ini
adalah sekira abad 18-19. Wilayah Lampung yang sebagian dikuasai Kesultanan Banten,
memperoleh hak keistimewaan untuk mengatur pemerintahan adatnya secara mandiri
dalam sistem kemargaan dan kebuayan masing-masing, tentu setelah memperoleh izin dari
pihak penguasa Banten dan tetap dalam kewajiban-kewjiban tertentu yang harus dipenuhi.
Sebagai legitimasi, pihak penguasa Banten biasanya akan mengeluarkan dalung atau tamra
berupa prasasti tembaga (Adatrechtbundels XXXII Zuid-Sumatra). Keberadaan marga dan
kebuayan ini kemudian mulai diatur oleh pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya Marga
Stelsel pada tahun 1928 dan diperbaharui tahun 1938 yang merinci secara tegas batas teritori
wilayah marga dan kebuayan. Keberadaan Buay Nuban sebagai bagian dari kekerabatan
Abung Siwo Mego (Muzakki, 2014), dimungkinkan terbentuk dalam kurun waktu periode ini.
Adanya laporan dan publikasi temuan arkeologis berupa pecahan keramik, tembikar,
koin mata uang VOC di Situs Rejomulyo yang berada di DAS Way Sekampung (koordinat
5°10’24”LS, 105°24”BT), mengindikasikan adanya jejak pemukiman yang lebih awal di wilayah
selatan, dari para pemukim Buay Nuban di wilayah timur Metro. Temuan pecahan keramik
asing yang telah berhasil ditera penanggalan relatifnya, menunjukkan fragmen keramik
tersebut berasal dari dinasti Ming dan Ching - Tiongkok (16-17 M) (Prijono, 2021). Temuan
fragmen keramik di situs arkeologi merupakan data yang mencerminkan aktivitas kehidupan,
diantaranya sosial, ekonomi, perdagangan, dan hubungan antar negara (Prijono, 2008).
Maka jelas, adanya temuan fragmen keramik asing di Situs Rejomulyo selain
mengindikasikan adanya jejak pemukiman, juga menunjukkan adanya hubungan
perdagangan internasional dengan Tiongkok, yang memang sudah terjalin dengan Lampung
sejak abad ke-6 M.
Way Sekampung dan daerah aliran sungainya telah lama menjadi pusat perhatian
para arkeolog (Puslit Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Jawa Barat) dan sejarawan
karena banyak ditemukan jejak-jejak peradaban masyarakat Lampung dari masa pra-aksara
hingga kolonial awal. Pada masa lalu, banyak tiyuh yang berdiri di tepi aliran sungai
terpanjang (265 km) di Lampung ini. Adapun pada era kolonial lanjut, pusat aktivitas
manusia di Lampung mulai mengalami pergeseran yang semula berorientasi jalur sungai
berubah menjadi orientasi terestrial atau aktivitas daratan pedalaman, seiring mulai masif
dibukanya jalur transportasi darat.

30
Temuan di Situs Rejomulyo, menunjukkan pernah adanya pemukiman serupa tiyuh
yang dalam perkembangannya kemudian tidak lagi dapat mempertahankan eksistensinya
sampai dengan hari ini. Tentu ini masih menyisakan banyak pertanyaan untuk membuat
terang, apa sebenarnya yang terjadi di ruang Metro lampau. Meski masih memerlukan
penyelidikan lebih mendalam lagi, hasil temuan di Situs Rejomulyo yang berusia abad 16-17
oleh para peneliti Balai Arkeologi Jawa Barat pada tahun 1997-1998 ini, cukup kuat menjadi
dasar penyesuaian bahwa historiografi sejarah Metro tidak lagi dimulai sejak abad ke-20
(1935), tetapi jauh lebih awal dari itu. Sebab, berbagai temuan artefak budaya ini jelas
menunjukkan bahwa di wilayah Metro bagian selatan pernah ada aktivitas dan peradaban
manusia yang cukup signifikan.

Situs Rejomulyo; Salah Satu Atribut Jalur Rempah di Lampung


Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung telah lama menjadi pusat perhatian dan
kajian oleh para arkeolog dan sejarawan karena banyaknya temuan yang menunjukkan
adanya jejak peradaban Lampung lampau. Setidaknya riset Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1992-1996 berhasil mengidentifikasi sedikitnya 16 situs
di DAS Way Sekampung yang tersebar dari hulu hingga hilir. Selanjutnya pada tahun 1997-
1998 Balai Arkeologi Jawa Barat (Balar Jawa Barat) yang melakukan riset di DAS Way
Sekampung, melaporkan adanya jejak lintas perdagangan dan pelayaran Nusantara bahkan
internasional, yang ditemukan di beberapa situs, diantaranya Situs Tridadi, Situs Sidomukti,
dan Situs Karyamukti ketiganya di wilayah Sekampung, dan Situs Rejomulyo di wilayah
Metro.
Berbagai data yang diperoleh berupa fragmen keramik asing, tembikar, manik-
manik, cincin batu, dan mata uang VOC, menguatkan adanya jejak lintas perdagangan dan
pelayaran Nusantara bahkan internasional (Prijono, 2021). Pada tahun 2017 dan 2021
ringkasan dari laporan riset arkeologi itu kemudian dipublikasikan oleh penelitinya dengan
judul “Way Sekampung dalam Lintas Perdagangan dan Pelayaran Nusantara” ke dalam
sebuah buku kumpulan publikasi hasil riset yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB) Sumatera Barat (Sugiharta, 2021).
Menariknya, dalam publikasi riset itu wilayah Metro disebut sebagai salah satu lokasi
riset yang juga dijumpai temuan yang mengindikasikan adanya jejak perlintasan
perdagangan dan pelayaran Nusantara bahkan internasional seperti halnya di beberapa situs
lainnya. Dalam publikasi hasil riset arkeologi tersebut, disebutkan adanya temuan di Situs
Rejomulyo yang berlokasi di koordinat 5°10’24”LS, 105°24”BT (nama “Rejomulyo” kala itu
adalah nama sebuah desa di Metro bagian selatan yang berbatasan langsung dengan DAS
Way Sekampung, yang kemudian digunakan sebagai nama situs). Hasil temuan diantaranya
berupa fragmen keramik asing, tembikar, manik-manik, cincin batu, dan mata uang VOC.
Setelah diidentifikasi dan dianalisisis, morfologi temuan menunjukkan berbagai fragmen
tersebut berasal dari bentuk vas, mangkuk, piring, cepuk, tempayan, guci, botol yang berasal
dari Tiongkok, Vietnam, dan Thailand. Fragmen keramik asing yang telah berhasil ditera

31
penanggalan relatifnya, menunjukkan bahwa fragmen tersebut berasal dari dinasti Ming dan
Ching (abad 16-17 M) (Prijono, 2021).
Adanya temuan Situs Rejomulyo, di wilayah Metro bagian selatan oleh peneliti Balar
Jawa Barat antara tahun 1997-1998 ini, tentu sangat mempengaruhi historiografi sejarah lokal
Metro. Sebab hasil temuan yang ditera berasal dari abad 16-17 M tersebut, jelas
menunjukkan bahwa jauh sebelum abad ke-20 (1935 – Era Kolonisasi Penduduk Jawa), di
ruang Metro lampau telah dan pernah ada aktivitas manusia yang sangat signifikan, bahkan
bisa disebut “jejak peradaban” karena diindikasikan telah terjalin hubungan lintas
perdagangan dan pelayaran Nusantara hingga internasional di wilayah ini. Sayangnya,
publikasi peneliti Balar Jawa Barat tersebut hanya menjelaskan temuan artefak/benda hasil
budaya dalam batasan identifikasi dan analisis dimensi, atribut (bentuk, ukuran, teknologi,
waktu pembuatan, gaya, dll.) serta konteks ekofaknya; dan tidak menjelaskan secara
terperinci bagaimana konteks sosial-budaya-ekonomi jalur perdagangan dan pelayaran
Nusantara tersebut.
Untuk membangun makna atas berbagai temuan arkeologis tersebut, maka
kehadiran penjelasan sejarah (historical explanation) diperlukan agar semakin jelas konteks
sosial-budaya-ekonominya, dan dalam kerangka apa berbagai benda hasil budaya itu hadir
serta eksis di ruang temuannya (situs). Jika tidak, maka berbagai temuan benda kuno
tersebut hanya akan dianggap “sampah/rongsokan” sisa aktivitas manusia lampau. Dan
untuk menemukan penjelasan sejarah terhadap berbagai temuan di berbagai situs itu, mari
kita coba membuka kembali lembaran sejarah Lampung sekitar abad 16-17 M (sesuai hasil
tera waktu para arkeolog), untuk melihat apa yang terjadi kala itu.
Anthony Reid seorang sejarawan Asia Tenggara menjelaskan bahwa abad 15-17 M
merupakan kurun waktu dimana kawasan Asia Tenggara memasuki puncak era perniagaan
(The Age of Commerce), hal ini dijelaskan dalam dua buah bukunya yaitu Asia Tenggara
dalam Kurun Niaga 1450-1680. Hubungan perniagaan antarbangsa ini sesungguhnya telah
lama berlangsung sampai dengan abad ke-15 dimana era klasik mulai berakhir (yang
ditandai dengan runtuhnya negara-negara bercorak Hindu-Budha), dan mulai menguatnya
negara-negara bercorak Islam serta masuknya para pedagang Barat. Rempah kala itu
menjadi salah satu komoditi perdagangan yang begitu penting, bahkan jauh sebelum para
pedagang Barat tiba untuk mencarinya pada abad ke-16.
Lampung kala itu adalah salah satu daerah penghasil rempah, khususnya cengkeh
(Syzygium aromaticum) dan lada (Piper ningrum). Hubungan dagang Lampung dengan
Tiongkok tercatat dimulai sejak abad ke-6 M, bahkan hingga abad 15-16 M Tiongkok
merupakan konsumen terbesar lada Nusantara, termasuk lada yang berasal dari Lampung
(Swantoro, 2019). Pada tahun 1552 atau abad ke-16 M Kesultanan Banten berdiri, dan
Lampung menjadi salah satu wilayah di bawah pengaruh Kesultanan Banten tersebab politik
persaudaraan, sebagaimana yang ditulis dalam prasasti Dalung Kuripan (Hakiki et al., 2020).
Posisi yang strategis dan Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis pada 1511, turut
mendorong Banten tumbuh menjadi kota pelabuhan besar abad 16-17 M. Pelabuhan Banten

32
menjadi muara dan pusat transaksi rempah-rempah khususnya lada yang menjadi komoditi
utamanya, selain beras dan jahe untuk kawasan Nusantara bagian barat setelah Malaka.
Lada yang diperjualbelikan di pasar pelabuhan Banten berasal dari petani
pedalaman, termasuk Lampung. Penjualan lada Lampung ke pasar pelabuhan Banten terjadi
bahkan sebelum Kesultanan Banten berdiri, hal ini ditulis dalam catatan perjalanan (reis
verhalen) Tome Pires pada tahun 1513. Lada Lampung sampai di pasar pelabuhan Banten
tidak dibawa sendiri oleh para petani lada, melainkan melalui para pedagang perantara.
Peran pedagang perantara dijalankan oleh orang-orang Tiongkok (Fadillah et al., 2021).
Mereka masuk menyusuri muara sungai hingga ke pedalaman termasuk anak-anak sungai.
Lada dibeli langsung dari para petani dengan alat tukar baik itu berupa mata uang picis
maupun benda-benda seperti porselen dalam berbagai bentuk. Saat itu porselen Tiongkok
termasuk barang mewah berharga tinggi, dan segantang lada dapat ditukarkan dengan
beberapa porselen. Melalui jalan inilah porselen Tiongkok dibawa masuk ke pemukiman
pedalaman Lampung di tepi-tepi sungai oleh para pedagang perantara, dan kini jejaknya
ditemukan berupa fragmen atau pecahan keramik di berbagai situs di DAS Way Sekampung.
Setelah lada dibeli dari petani, para pedagang perantara akan membawanya ke
pelabuhan terdekat di daerah pesisir sebelum dibawa ke pasar rempah lebih besar di
pelabuhan Banten. Sesampainya di pelabuhan Banten para pedagang perantara Tiongkok ini
akan menjual lada ke pedagang Tiongkok yang lebih besar lagi, dan juga kepada para
pedagang Eropa yang ketika abad ke-16 mulai singgah di Banten.
Setelah VOC terbentuk pada awal abad ke-17, persekutuan dagang ini mulai
berkeinginan menguasai pasar rempah di pelabuhan Banten. Akhirnya VOC dapat
menguasai Kesultanan Banten melalui celah konflik internal antara Sultan Sepuh dengan
Sultan Haji dan menjadikan VOC berkuasa secara de facto. Mulanya VOC pernah mencoba
untuk membeli lada langsung kepada para petani di pedalaman, tetapi berujung hasil yang
sedikit bahkan nyaris tanpa hasil. Hal ini disebabkan karena para petani lada lebih
mempercayai pedagang Tiongkok ketimbang Belanda, dan hubungan dagang para petani
lada dengan para pedagang perantara Tiongkok telah terjalin sejak lama. Bahkan ketika
Lampung mulai berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten, pihak penguasa Banten tidak
pernah menghapuskan sistem ini. Sebab para pedagang Tiongkok mampu hadir dan
bersimbiosis dengan baik. Hingga kemudian akhirnya VOC tetap memanfaatkan para
pedagang Tiongkok ini untuk mendapatkan lada dari para petani di pedalaman.
Memasuki abad ke-17 hubungan Lampung dengan Banten kemudian mulai berubah,
yang semula sebagai wilayah yang disatukan oleh hubungan persaudaraan, berubah
menjadi hubungan patron-klien atau antara penguasa dengan yang dikuasai. Hal ini tertulis
jelas dalam prasasti Dalung Bojong yang dikeluarkan oleh Sultan Banten, yang memuat
kewajiban-kewajiban rakyat Lampung untuk menanam lada beserta daftar aturan berikut
sanksi bagi para pelanggarnya (Guillot, 2008; Wijayati, 2011). Berubahnya hubungan ini tentu
tidak dapat dilepaskan dari hasil perjanjian Sultan Haji untuk menyerahkan daerah lada di
Lampung dan tanah-tanah lainnya kepada VOC yang telah membantunya merebut
kekuasaan. Hasilnya adalah Sultan tetap merupakan orang pertama yang berhak membeli

33
lada dari rakyat (penghubung antara rakyat dengan Kompeni), dan VOC adalah pemegang
monopoli pembelian lada dari penguasa Banten (Untoro, 2007).
Untuk menjalankan monopoli ini, sebagai penentu harga maka VOC membuat
sendiri standar nilai tukar lada demi keuntungannya, dan mata uang VOC digunakan sebagai
alat tukarnya. Dengan tetap memanfaatkan para pedagang perantara Tiongkok untuk
membeli lada dari para petani sekaligus sebagai penarik pajak, maka mata uang VOC
beredar secara luas dalam transaksi lada yang hanya menguntungkan satu pihak itu, dan
VOC menjadi penguasa Banten sesungguhnya daripada Sultan yang ketika itu mulai menjadi
boneka dan kebebasannya mulai terbatas. Maka melalui cara inilah koin-koin mata uang
VOC masuk ke pedalaman Lampung, dan kini jejaknya dijumpai diberbagai situs di
sepanjang DAS Way Sekampung.
Sampai dengan tahun 1682 lada Lampung mendominasi pasar rempah di pelabuhan
Banten, sebagaimana yang tercatat dalam dagh-register tanggal 14 Januari 1682: “sejak
Januari hingga Desember, di Banten dan di berbagai tempat lain, tiba 755 perahu layar, yang
mana 373 diantaranya tidak membawa lada. Sementara lainnya diketahui membawa 11.000
bahar lada dari Lampung, 3.310 bahar dari Silebar dan 100 bahar dari Sukadana” (Swantoro,
2019). Dapat disadari bahwa Lampung memainkan peran penting dalam Jalur Rempah
Nusantara sebagai pemasok komoditi perdagangan rempah dunia di Banten ketika itu.
Wilayah pedalaman sama pentingnya sebagai titik-titik simpul Jalur Rempah sebagaimana
titik-titik pelabuhan di pesisir sebagai tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai
penjuru dunia.
Dalam hal ini teori geografis turut menjelaskan adanya dua model perniagaan
rempah, yakni model political system dan model transactional system (Fadillah, 2021). Model
yang pertama, bahwa jaringan pertukaran di pesisir berada dalam kendali agen penguasa di
muara sungai. Kedua, model yang menjelaskan bahwa perdagangan rempah dilakukan di
dataran sungai yang berorientasi ke pesisir memfasilitasi kontak antara petani sebagai
pedagang lokal dengan pedagang asing. Model pertama menjelaskan posisi Banten sebagai
pelabuhan besar berikut jaringan pelabuhan-pelabuhan kecil lainnya yang dikuasai Banten
secara politik. Model kedua menjelaskan posisi titik-titik pemukiman para petani lada dalam
jaringan sungai yang juga merupakan pasar transaksi rempah awal di pedalaman.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sekarang dapat dipahami bagaimana situs-
situs dengan berbagai temuan yang diteliti oleh Puslit Arkenas dan Balar Jawa Barat di DAS
Way Sekampung itu memainkan peran pada masanya sebagai titik-titik simpul dan atribut
Jalur Rempah Lampung di pedalaman, termasuk Situs Rejomulyo di wilayah selatan Metro.
Jika penjelasan sejarah ini diyakini, maka menjadi konsekuensi logis bahwa lingkungan
sekitar Situs Rejomulyo dahulunya merupakan ladang-ladang tanaman lada milik pemukim
awal, yang menghasilkan lada yang telah berkeliling dunia dibawa oleh para pedagang-
pedagang Tiongkok maupun Eropa. Premis ini juga ingin menjelaskan bahwa ruang Metro
jauh sebelum abad ke-20 ternyata tidak hanya sekedar ruang kosong tanpa aktivitas
manusia, dan wilayah pedalaman Lampung tidaklah “sesepi” yang dibayangkan. Wilayah

34
pedalaman dan pesisir sama pentingnya dalam memainkan perannya masing-masing dan
saling bersinergi menciptakan peradaban manusia yang kompleks.

35
D. ASAL MULA NAMA “METRO”

Catatan tertua yang sejauh ini berhasil ditelusuri, “Metro” sebagai sebuah nama
wilayah kolonisasi di Onderafdeeling Sukadana mulai ditulis dan muncul pada tahun 1935,
dalam arsip pemerintah kolonial Hindia Belanda berupa Kolonisatie Verslag kwartal
keempat18. Nama Metro sampai dengan saat ini dapat diidentifikasi memiliki beberapa asal-
usul yang menjadi toponim19. Ketiganya memiliki dasar argumentasi dan bukti yang cukup
kuat sehingga menjadi hipotesis toponimi nama Metro. Ketiga hipotesis itu didasarkan pada
rujukan sumber primer dalam ilmu sejarah, yaitu pelaku dan saksi sejarah, atau berupa arsip
dan dokumen sezaman yang kecenderungan datanya reliabel. Ketiga hipotesis toponimi
nama Metro tersebut adalah sebagai berikut:
a) Asal mula nama Metro berasal dari kata “Metropolis” yang kemudian disingkat
“Metro”. Nama ini ditulis sendiri oleh H. R. Rookmaker yang ketika itu menjabat
sebagai Residen Lampung (1933-1937), dalam sebuah laporan pelaksanaan
kolonisasi pada kuartal keempat tahun 1935. Selain itu, banyak surat kabar Hindia
Belanda yang terbit antara Desember 1937-Juli 1938 yang mewartakan tentang
Metro berikut asal-usul namanya20. Nama Metropolis dipilih oleh Residen
Rookmaker karena proyeksinya terhadap pusat kota Kolonisasi Sukadana ini di
masa depan akan tumbuh sebagai sebuah ibukota atau metropolis. Hal ini
berkenaan juga dengan aspek perencanaan yang matang terhadap rancang
bangun Kolonisasi Sukadana berikut pusat kotanya yang penataannya sistematis.

Residen H.R. Rookmaker dalam Laporan Kolonisasi kuartal keempat tahun 1935 itu, menulis jelas nama
18

“kampong Metro” digunakan sebagai nama salah satu wilayah di Kolonisasi Sukadana (Rookmaker,
1935b).
19
Toponimi adalah ilmu atau studi yang membahas tentang nama-nama geografis, asal-usul nama
tempat, bentuk, dan makna nama diri, terutama nama orang dan tempat. Selain itu, toponimi juga
merupakan teori yang digunakan dalam mengidentifikasi dan menyelidiki nama tempat yang ada di
bumi. Toponimi merupakan cabang ilmu Onomastika atau sebuah cabang ilmu yang mempelajari
tentang asal-usul nama. Dengan kata lain toponimi merupakan studi tentang nama tempat, arti, asal-
usul, dan tipologinya.
20
Sejak Juni-Desember 1937 pemberitaan Metro dalam berbagai surat kabar nasional Hindia Belanda
cukup masif, hal tersebut berkaitan dengan publikasi keberhasilan program pemerintah terhadap proyek
kolonisasi di Lampung, khususnya di Kolonisasi Sukadana. Pada tahun itu juga Residen Rookmaker
dianggap sebagai sosok yang cukup suskes menjalankan proyek besar ini selama masa jabatannya 1933-
1937, monumen kenangan untuknya dibangun di Metro dan diresmikan pada 9 Juni 1937. Sedangkan
hampir sepanjang tahun 1938 pemberitaan terkait Metro kembali muncul berkenaan dengan kunjungan
beberapa pejabat otoritas Hindia Belanda seperti Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenbrough, Residen
Pauw, Mr. Lassaquere, dan beberapa tokoh penting lainnya yang meresmikan tiga pintu air di Trimurjo,
mengunjungi Kediaman Asisten Wedana Metro, mengunjungi Bantul-Metro dan beberapa lokasi lainnya
di Kolonisasi Sukadana. Pemberitaan lengkap tentang nama Metropolis, Metro, dan mitro dapat dilihat
dalam (De Indische courant, 1937a, 1937b, 1938; De Koerier, Deli ourant, et nieuws an den
dag oor Nederlands h- ndi , 1937; Leeuwarder courant, 1938; Nieuwe Apeldoornsche courant, 1937;
Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 1938; Soerabaijasch handelsblad, 1937)

36
Gambar 3. Kutipan arsip laporan Residen Rookmaker tahun 1935 yang menyebutkan “Metro”
dalam rencananya sebagai pusat kota.
Sumber: Kolonisatie-verslag over het vierde kwartaal 1935 (tevens jaarverslag-zie slot) der
Lampongsche Districten (Rookmaker, 1935b)

b) Hipotesis kedua mengenai asal mula nama Metro, berasal dari kata “mitro” dalam
bahasa Jawa yang berarti “teman” atau “kawan”. Informasi ini didapati dalam
berbagai surat kabar yang terbit di Hindia Belanda antara tahun 1937-1938 (lihat
catatan kaki sebelumnya). Dalam berbagai surat kabar tersebut dijelaskan bahwa
nama “Metro” singkatan dari Metropolis yang dipilih oleh H. R. Rookmaker sebagai
nama pusat Kolonisasi Sukadana, oleh para kolonis yang tiba pertama kali di
kampung Metro pada tahun 1936 mereka sebut dengan “mitro”. Pergeseran makna
kemudian terjadi antara Metro yang semula berarti sebagai pusat kota, menjadi
mitro yang dalam bahasa Jawa berarti teman.
Masyarakat kolonis kemudian membangun makna baru untuk kata “mitro”
ini. Konteks “pertemanan” terbangun, dari situasi yang dihadapi oleh para kolonis
saat itu. Kolonis di bedeng 15 atau di kampung Metro, bukanlah kolonis yang tiba
pertama kali di wilayah Kolonisasi Sukadana. Setahun sebelumnya, pada 1935
sejumlah kolonis telah tiba terlebih dahulu dan ditempatkan di kampung pertama
yang disebut Trimurjo (bedeng 1). Sama seperti kolonis-kolonis sebelumnya, ketika
para kolonis baru tiba di Lampung mereka akan meminta bantuan kepada para
kolonis yang terlebih dahulu datang. Para kolonis di Kolonisasi Sukadana periode
1935-1937 banyak yang membawon21 ke Gedongdalam, dan Gedongtataan. Tidak
hanya itu, hubungan pertemanan juga terbangun pada saat para kolonis saling

21
Bawon adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menjelaskan kegiatan bekerja atau
membantu memanen padi, dan mendapatkan upah natura berupa padi hasil panen dalam jumlah
tertentu. Hal ini juga berkaitan dengan pelaksanaan kolonisasi Sistem Bawon yang terinspirasi dari
kolonisasi spontan/kolonisasi keluarga antara tahun 1929-1932. Kolonisasi Sistem Bawon kemudian
ditetapkan menjadi sistem resmi yang dilaksanakan pada periode kolonisasi kedua 1932-1941 karena
dinilai dapat menekan biaya pemerintah dan sangat efetkif-efisien. Bacaan tentang ini dapat dilihat
dalam (Pelzer, 1948; Sayuti & Imron, 1997; Sjamsu, 1960; Swasono & Singarimbun, 1985)

37
membantu satu sama lain untuk membuka hutan, lahan, membangun rumah-
rumah, dan kegiatan lainnya.
Perlu diketahui, bahwa para kolonis yang berada dalam satu bedeng atau
kampung, mereka belum tentu berasal dari tempat yang sama di pulau Jawa.
Banyak hubungan pertemanan bahkan persaudaraan baru terjalin setelah mereka
bertemu di tanah kolonisasi. Persamaan nasib sebagai perantau di tanah seberang
membuat keeratan hubungan mereka semakin terjalin. Nama “mitro” sebagai asal-
usul nama Kota Metro sampai dengan saat ini masih menjadi bagian memori
kolektif masyarakat Metro yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan menjadi
urbanonim resmi versi pemerintah daerahnya22.

Gambar 4. Kutipan dari salah satu surat kabar yang mewartakan asal mula nama Metro yang
berasal dari kata “Metropolis” dan “Mitro”.
Sumber: Deli courant, Dinsdag 21 December 1937 (Deli courant, 1937)

c) Asal mula nama Metro berasal dari kata “meterm”, yang diartikan sebagai “letaknya
yang berada di tengah”, atau “di pusat”. Hal ini berkaitan dengan letak geografis
Metro yang berada di tengah-tengah antara Rancangpurwo (Jojog) dan Trimurjo
(bedeng 1). Rancangpurwo adalah sebuah desa pertama ketika Kolonisasi
Gedongdalam mulai dibuka pada tahun 1932. Nama lain lokasi ini adalah Jojog
yang berasal dari bahasa Jawa yaitu jujugan yang berarti “tempat tujuan” atau
“tujuan” itu sendiri. Lokasi Rancangpurwo (Jojog) berada di sebelah timur Metro
(kini masuk Kecamatan Pekalongan, Kabupaten Lampung Timur), yaitu rute awal
dibukanya Metro sebagai bagian dari Kolonisasi Sukadana. Sedangkan Trimurjo
adalah sebuah induk desa pertama dimana lokasi bedeng 1 berada, yang lokasinya
di sebelah barat Metro (kini lokasinya masuk Kecamatan Trimurjo, Kabupaten
Lampung Tengah).

22
Lihat dalam (Sekretariat Daerah Kota Metro, 2000, 2004)

38
Hipotesis mengenai asal mula nama Metro yang berasal dari kata meterm
ini dikemukakan oleh salah seorang saksi sejarah Metro bernama Raja Bastari
Wijaya Sinungan, ia adalah keturunan dari Abdul Aziz Sinungan yang merupakan
salah satu pelaku sejarah di Metro. Abdul Aziz Sinungan merupakan salah satu
ambtenar atau pejabat inlandsch bestuur23 yang bertugas sebagai Mantri Kolonisasi
saat Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan program Kolonisasi Gedongdalam
dan Kolonisasi Sukadana24.

Gambar 5. Peta yang menunjukkan posisi Metro yang berada di tengah (titik O).
Titik (I) lokasi Rantjangpoerwo, titik (II) lokasi Trimoerdjo.
Sumber: Dokumen Rencana Pelaksanaan Kolonisasi Tahun 1936 (Rookmaker, 1935a)

23
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu
pemerintahan Binnenlandsch Bestuur (BB) dan Inlandsch Bestuur (IB). Pemerintahan BB atau disebut juga
Gewestelijk Bestuur adalah salah satu bentuk birokrasi pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang
terdiri atas orang-orang Eropa. Setelah pengambilalihan VOC tanggal 31 Desember 1799 oleh
pemerintah Belanda, pengurusan Hindia Belanda ditangani oleh suatu Gouvernement. Sedangkan
Pemerintahan IB adalah birokrasi pelaksana pemerintahan kolonial Belanda di daerah (birokrasi pada
wilayah kekuasaan bumi putera) dan dapat pula merupakan kolaborasi antara pemerintahan pusat
dengan pemerintahan bumi putera daerah setempat. Kajian tentang ini dapat ditelusuri lebih lanjut
dalam tulisan berjudul Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Sutherland, 1983).
24
Hipotesis ini dapat ditelusuri lebih lanjut dalam (Rahmanto, 2014; Sekretariat Daerah Kota Metro, 2000,
2004)

39
E. SUMUR HIBAH IMOPURO; JEJAK SUMUR TUA DI PUSAT KOTA

Kilasan Asal Mula Nama


Nama Sumur Hibah Imopuro dalam tulisan ini digunakan untuk menjelaskan bahwa
keberadaan sumur yang merupakan aset milik Pemerintah Kota Metro ini, dihibahkan
pemanfaatannya (hak pakai) untuk masyarakat luas dan lokasinya berada di Kelurahan
Imopuro. Di tengah masyarakat sendiri paling tidak dikenal dua nama populer untuk
menyebut struktur Sumur Hibah Imopuro ini, yaitu Sumur Bandung dan Sumur Putri.
Nama Sumur Bandung sangat populer dan familiar bagi masyarakat Kota Metro
khususnya warga pusat kota, sebab nama ini menjadi toponim sebuah komplek pertokoan di
Kota Metro yang konon namanya juga diambil dari keberadaan sebuah sumur yang ada di
sekitarnya. Sampai dengan saat ini, nama Sumur Bandung seringkali dilekatkan pada dua
objek sumur tua di pusat kota, yaitu sumur tua yang berada di komplek Pertokoan Sumur
Bandung dan sumur tua di dekat Jalan Sosrosudarmo (Sumur Hibah Imopuro) (Aang, 2022;
Ermawati, 2021; Handayani, 2021; Rusman, 2022; Sarmin, 2022; Suyatno, 2022; Ummah,
2016). Usia kedua sumur tua tersebut, banyak diakui masyarakat sama tuanya dengan usia
Kota Metro, yaitu sejak jaman kolonisasi (Hindia Belanda). Seringkali muncul perbedaan
informasi yang didapat ketika mencoba menelusuri dua objek ini, tak jarang muncul
perdebatan bahwa Sumur Bandung yang asli hanya ada satu dari kedua objek sumur tua
tersebut.
Secara etimologi kata “bandung” sebagai kata benda dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti lahan terlantar karena tidak digarap dan tidak terawat, selain itu dapat juga
berarti pasangan (kbbi.lektur.id). Arti kata yang terakhir ini berasal dari bahasa Sunda yang
berarti berpasangan atau berdampingan letaknya. Terdapat pendapat lain dalam bahasa
Sunda mengenai kata bandung yang juga dapat berarti besar atau luas, hal ini berakar dari
kata bandeng, ngebandeng yang bermakna genangan air besar dan luas (Kulsum dkk, 2008).
Kata lain dalam bahasa Jawa yang memiliki kemiripan adalah bandongan yang berarti
berbondong-bondong.
Kesemua arti kata ini nampaknya berkesuaian dengan cerita masyarakat banyak
pernah beredar mengenai asal nama Sumur Bandung. Seperti adanya sumber air yang
ditemukan di lahan yang tak terawat (wilayah Metro sebelumnya adalah hutan adat Buay
Nuban yang cukup luas dibanding jumlah pemukim Buay Nuban ketika itu), atau
ditemukannya dua sumber air yang berdekatan tak terlalu jauh jaraknya (Sumur Bandung I
dan II), atau sumber mata air yang mengeluarkan air cukup besar dan menimbulkan
genangan, atau juga relevan dengan cerita proses penemuan sumber mata air oleh para
kolonis ketika bekerja membuka hutan, kemudian sumber air itu didatangi secara
berbondong-bondong. Meski demikian hal ini perlu penelitian tersendiri melalui kajian
toponimi dengan pendekatan antropolinguistik.
Objek Sumur Bandung I (nomor urutan ini bukan sebagai nama resmi) yang
lokasinya berada di komplek Pertokoan Sumur Bandung diyakini oleh banyak warga struktur
fisiknya masih ada, namun aksesibilitasnya sulit karena tak lagi terbuka untuk umum, karena

40
kini berlokasi di tengah komplek bangunan. Meski demikian, nama Sumur Bandung lebih
eksis di lokasi ini sebab ditulis menjadi nama komplek pertokoan secara resmi dan menjadi
toponim. Adanya toponim Sumur Bandung di lokasi ini tentu berkaitan dengan memori
kolektif masyarakat sekitarnya. Memori kolektif adalah bagian dari dokumen sosial yang
pemiliknya adalah masyarakat, tersimpan dalam ingatan setiap individu, mudah menjadi
konsensus, dan tak akan bisa dibatasi atau dihapus selama para pemilik ingatan itu masih
hidup (Erikha, 2020; Wahyudi, 2020). Maka dapat diduga, munculnya nama komplek
Pertokoan Sumur Bandung sebagai salah satu urbanonim di Kota Metro, adalah bentuk
resistensi terhadap ancaman hilangnya memori kolektif tentang keberadaan sumur tua di
komplek itu, terutama setelah lokasinya masuk ke dalam area privat dan tertutup bagi
publik.
Sedangkan objek Sumur Bandung II yang lokasinya dekat Jalan Sosrosudarmo
(Sumur Hibah Imopuro) secara fisik juga masih eksis, aksesibilitasnya mudah, dan terbuka
untuk umum. Namun nama Sumur Bandung di lokasi ini tak terlalu eksis dibandingkan di
lokasi objek Sumur Bandung I yang telah menjadi toponim komplek pertokoan secara resmi.
Akan tetapi di sisi lain, struktur fisik Sumur Bandung II yang mudah diakses oleh publik, maka
fungsi peninggalan sejarah sebagai monumen penjaga memori masih berfungsi, diantaranya
terus menstimulasi munculnya berbagai ingatan-ingatan kolektif masa lalu terkait
keberadaan sumur itu dan fungsi budayanya pada setiap periode waktu.
Hal ini berbeda dengan objek Sumur Bandung I yang kini fisiknya tak dapat lagi
dilihat dengan mudah, sehingga proses stimulasi munculnya ingatan kolektif masa lalu
tentang sumur itu menjadi tersendat, bahkan berhenti dan nyaris terlupakan, serta proses
pewarisan dan pelestarian memori Sumur Bandung I mengalami perubahan. Tak banyak
memori kolektif yang kini terungkap tentang objek Sumur Bandung I selain hanya sebagai
sebuah sumur yang telah ada sejak awal mula Metro dibuka, selebihnya tak ada lagi, sebab
publik memerlukan stimulan untuk menggali kembali memorinya. Bahkan sejak lokasinya
menjadi privat dan terisolasi untuk publik, proses produksi memori kolektif publik terhadap
sumur itu berhenti dan kini beralih menjadi memori privat pemiliknya. Perubahan persepsi
pun terjadi, semula Sumur Bandung I dikenal sebagai salah satu objek peninggalan
bersejarah, kini generasi baru relatif memahaminya hanya sebagai nama komplek pertokoan
tanpa kandungan makna sejarah lagi.
Sedangkan nama Sumur Putri adalah nama lain untuk objek Sumur Bandung II dan
Sumur Hibah Imopuro. Nama “Putri” dikonotasikan kepada sosok perempuan yang banyak
diyakini masyarakat kerap kali hadir di lokasi sumur. Kehadiran sosok “Putri” tersebut muncul
berupa suara para perempuan yang sedang mencuci sambil bersenda gurau di sekitar area
sumur tanpa bisa dilihat keberadaannya (Aang, 2022; Rusman, 2022; Sarmin, 2022; Suyatno,
2022; Ummah, 2016). Cerita ini banyak disampaikan oleh warga sekitar dan juga para tukang
becak pengambil air sumur, bahkan pada waktu-waktu tertentu fenomena itu masih sering
terjadi sampai sekarang. Adanya cerita mengenai sosok para wanita yang diasosiasikan
dengan kolam mata air, sumur, sendang, petirtaan, atau bahkan sungai sudah sangat dikenal
dalam budaya Nusantara. Hal tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha yang

41
berakar pada keyakinan terhadap dewi-dewi air dan sungai sebagai sumber kehidupan, serta
air sebagai sarana untuk membersihkan (mensucikan). Maka tak jarang banyak tempat
peninggalan sejarah atau objek wisata yang lanskapnya berupa sumber air kerap kali
diselimuti cerita tentang figur wanita dibaliknya. Nama Sumur Putri dapat dimaknai sebagai
bagian dari memori kolektif yang terus muncul, sebab kehadiran sosok perempuan di lokasi
sumur tidak hanya menjadi ingatan individu/personal pada masa lalu, tetapi ingatan kolektif
banyak orang bahkan dalam beberapa generasi. Dan memori kolektif itu terstimulasi karena
adanya interaksi langsung dengan objeknya.

Riwayat Temuan Struktur Sumur


Sumur Hibah Imopuro secara hidrologis dapat dikategorikan sebuah mata air artesis
(air tanah dalam) dari lapisan akuifer yang muncul ke permukaan tanah melalui celah batuan
atau lapisan tanah yang mengalami retakan atau patahan. Ciri mata air artesis yang sangat
mudah diidentifikasi adalah produksi airnya tidak terlalu dipengaruhi oleh kondisi resapan air
di sekelilingnya (Aurilia et al., 2021). Hal ini dapat diamati dan sesuai dengan keterangan
warga sekitar pusat Metro sejak dahulu, bahwa pada musim kemarau panjang sekalipun air
sumur ini tidak pernah surut atau kering. Sebaliknya sumur-sumur warga sekitar seringkali
kering pada musim kemarau sebab mata air sumurnya merupakan air tanah dangkal atau
mata air freatis yang sangat bergantung pada ketersediaan air tanah dangkal yang
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan resapan sekitarnya. Lokasi mata air atau Sumur Hibah
Imopuro berada di bagian dasar lembah atau cekungan yang topografi lingkungan
sekelilingnya berupa lereng dan puncak lereng adalah berupa dataran. Morfologi yang
terbentuk secara alamiah ini sangat dimungkinkan mempengaruhi munculnya sumber mata
air, dan selanjutnya menjadi faktor pendorong munculnya pusat kehidupan manusia di
kemudian hari (Daldjoeni, 1987; Soetoto, 2017).
Berdasarkan penelusuran sumber lisan, keberadaan struktur Sumur Hibah Imopuro
awalnya ditengarai berupa sebuah mata air yang berada di bawah lembah terlindung oleh
pepohonan lebat. Ditemukan dalam rangkaian kegiatan pembukaan wilayah Metro yang
semula hutan adat milik Buay Nuban untuk lahan penempatan para kolonis. Rupa struktur
mata air yang pernah berupa mbelik atau kolam mata air dan belum berupa sumur seperti
saat ini dituturkan oleh Sarmin, anak kolonis Metro yang lahir di bedeng 15A pada tahun
1948 lalu (Sarmin, 2022). Keterangan yang sama diungkapkan oleh Friz Anton Kasim yang
mencoba mendetailkan kondisi sumur saat masih berupa kolam mata air dengan lingkaran
±2,5 meter, dikelilingi tumpukan batu-batu setinggi ±0,5 meter, dan lokasinya berada di
dasar cekungan (lembah) yang dalamnya sekitar 7 meter jika diukur dari dasar bangunan
Rumah Dinas Camat Metro (bangunan eks Asisten Wedana), kolam mata air itu juga sering
digunakan untuk mandi masyarakat atau sekedar berenang merendam diri (Ummah, 2016).
Sedangkan penelusuran sumber tertulis terkait riwayat adanya sumber air di pusat
Metro, ditemukan dalam dua surat kabar yang terbit di Batavia dan Medan, Hindia Belanda
pada bulan Mei 1935. Kedua surat kabar itu mewartakan situasi tanah Kolonisasi Sukadana
yang pada tahun 1935 mulai didatangkan rombongan kolonis pertama. Selain itu

42
dideskripsikan juga kondisi lingkungan dan pembangunan di tanah kolonisasi, seperti
disebutkan telah siapnya bedeng-bedeng bagi para pemukim, telah berdirinya kediaman
asisten wedana, bivak polisi, gudang-gudang padi, poliklinik rawat jalan dengan tenaga
medis dari Dienst der Volksgezondheid atau Dinas Kesehatan Rakyat, dan sedang
berlangsungnya pembangunan pesanggrahan. Termasuk dijelaskan juga pemenuhan
kebutuhan air di tanah kolonisasi dari sumur yang airnya dalam kondisi baik. Terkait dengan
ini disebutkan juga adanya sebuah sumber mata air hutan kecil (bevindt zich een
boschbronnetje) di belakang rumah asisten wedana, yang airnya sangat jernih.
Keberadaannya digunakan sebagai pemasok kebutuhan air bersih dan juga tempat
pemandian umum. (Deli courant, 1935 Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi ,
1935)
Berdasarkan keterangan dalam kedua surat kabar tersebut menunjukkan bahwa
keberadaan sumur dan sumber air sebagai bagian dari kebutuhan dasar kolonis telah
tersedia di Kolonisasi Sukadana, termasuk juga irigasi. Pemberitaan ini tentu saja selain
sebagai informasi juga sebagai bagian dari propaganda pemerintah agar menarik hati calon
kolonis yang kebutuhan hidupnya dapat dikatakan “telah terjamin” di tanah seberang.
Sumber air berupa mata air di pusat Metro (yang kala itu masih menjadi bagian dari
Trimurjo) juga disebutkan dengan petunjuk kunci yaitu lokasi mata air hutan yang berada di
belakang kediaman asisten wedana. Mata air hutan alami ini jelas telah ada jauh sebelumnya
dan pemanfaatannya secara masif baru dilakukan setelah wilayah sekitarnya dibuka menjadi
lokasi pemukiman para kolonis.

Gambar 6. Surat kabar et nieuws van den dag voor ederlands h- ndi yang didalamnya
mewartakan keberadaan sumber mata air di belakang kediaman Asisten Wedana Metro,
terbit di Batavia, 11 Mei 1935.

43
Gambar 7. Surat kabar Deli courant yang didalamnya mewartakan keberadaan sumber mata
air di belakang kediaman Asisten Wedana Metro, terbit di Medan, 15 Mei 1935

Riwayat Struktur Sumur dalam Aktivitas Manusia


Sejak ditemukan masih dalam bentuk mata air hutan yang berlokasi di belakang
kediaman asisten wedana pada saat pembukaan hutan, pemanfaatan mata air Sumur Hibah
Imopuro secara masif oleh manusia mulai tercatat sejak tahun 1935, dimana dikabarkan
peran mata air tersebut sebagai sumber air dan juga pemandian umum bagi kolonis. Hingga
memasuki era kemerdekaan, mata air Sumur Hibah Imopuro masih menjalankan peran
pentingnya itu.
Pada dekade 1960-an, tepatnya pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 September
1965, pemerintah pusat hingga daerah melakukan pembersihan terhadap seluruh anggota
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ketika itu dianggap sebagai partai politik dalang utama
dibalik tragedi berdarah itu. Upaya pembersihan yang dilakukan oleh pemerintah melalui
operasi penumpasan hingga ke akarnya itu berlangsung cukup panjang hingga beberapa
tahun, tak terkecuali di Lampung Tengah secara umum dan Metro secara khusus. Bersamaan
dengan itu, pada tahun 1967-1969 di ibukota Kabupaten Lampung Tengah yaitu Metro,
dibangun sebuah masjid besar di pusat kota yang kemudian dikenal dengan Masjid Agung
Taqwa. Pembangunan masjid selama beberapa tahun ini, dikerjakan oleh masyarakat dari
berbagai kelompok secara swadaya, dan sebagian pekerjanya adalah para eks anggota PKI
golongan C (paling ringan) yang berasal dari Metro dan sekitarnya. Meski enggan bercerita
lebih detail tentang episode sejarah ini, Sarmin salah seorang saksi sejarah perkembangan
Metro, tak menampik adanya kaitan antara Sumur Hibah Imopuro dengan aktivitas para eks
PKI golongan C yang bekerja untuk membangun Masjid Taqwa antara tahun 1967-1969
(Sarmin, 2022). Aktivitas itu berkenaan dengan pemanfaatan air sumur untuk keperluan
membangun masjid dan juga sumber air bersih para pekerja, terutama ketika memasuki
musim kemarau dimana banyak sumur-sumur sekitar mulai surut dan kering.
Pada dekade 1980-an, Metro sebagai ibukota Kabupaten Lampung Tengah mulai
tumbuh menjadi pusat ekonomi perdagangan. Pertumbuhan itu semakin signifikan ketika

44
Suwardi Ramli, Bupati Lampung Tengah periode 1985-1995 memberikan perhatian lebih
kepada ibukota kabupaten itu. Terutama ketika Metro mulai menyandang status sebagai
Kota Administratif sejak tahun 1986 dan program Metro Sai Wawai yang dicanangkannya.
Pemerintah daerah kala itu mengupayakan kemajuan ekonomi perdagangan di Metro
dengan berbagai macam kebijakan, seperti fasilitasi pembangunan, kelancaran perizinan,
jaminan keamanan mendirikan usaha, hingga pembebasan pajak selama lima tahun
(Sekretariat Daerah Kota Metro, 2004). Hal ini banyak direspon oleh para investor dan
pengusaha, diantaranya adalah toko swalayan Chandra dan pengusaha bioskop yang
membuka gerainya di Metro. Kawasan pasar Metro seperti Shoping Centre, Pasar
Cendrawasih dan komplek pertokoan sekitarnya semakin ramai dan perdagangan semakin
tumbuh pesat. Jam hidup Metro menjadi lebih panjang hingga pukul 21.00 WIB.
Langkah ini rupanya turut menarik sektor informal lain untuk bergerak, seperti supir
transportasi umum (angkutan kota, ojek, tukang becak), tukang parkir, termasuk para tukang
becak penjaja air bersih. Para penarik becak penjaja air bersih ini mengambil air bersih dari
Sumur Hibah Imopuro dan menjajakannya kepada para pedagang di pasar dan sekitar pusat
kota. Sarmin (74 tahun) dan Suyatno (62 tahun) adalah dua dari empat penarik becak yang
kini masih bertahan sebagai penjaja air bersih di pusat kota. Keduanya menyatakan bekerja
paling lama sebagai penjaja air bersih dari Sumur Hibah Imopuro, yakni sejak tahun 1987.
Sejak dan mulai tahun itu jumlah permintaan kebutuhan air bersih dari pedagang di pasar
sangat pesat karena jumlah pedagang bertambah dan pasar Metro semakin ramai. Dahulu
ada sebelas penarik becak penjaja air bersih Sumur Hibah Imopuro, akan tetapi kini semakin
berkurang seiring berjalannya waktu. Beberapa penarik becak penjaja air telah meninggal
dunia karena usia atau tak menjajakan air lagi karena permintaan menurun, terutama setelah
tersedianya fasilitas PDAM atau makin banyaknya warga yang telah memiliki sumur sendiri.

Riwayat Penyelamatan, Pelestarian, dan Pemeliharaan


Riwayat kegiatan penyelamatan, pelestarian, dan pemeliharaan Sumur Putri sebagai
berikut:
 Antara tahun 1978-1980-an atau pada masa pemerintahan Gubernur Lampung Yasir
Hadibroto melalui dinas terkait dibangun cincin sumur dan area sumur mulai diberi
batas (Sarmin, 2022), sehingga keberadaan mata air tidak lagi berupa kolam mata air
atau mbelik (Jawa), yang limpahan airnya langsung mengalir ke sungai kecil di
sampingnya.
 Tahun 1992-1993, Direktorat Jenderal Cipta Karya melalui Proyek PLP Lampung
dengan Nomor Registrasi 21.5.33.12/1.3.7.03.10/017.B, membangun saluran anak sungai
kecil di bagian utara hingga sisi barat laut yang berbatasan langsung dengan sumur
sepanjang 718 meter.
 Tahun 2010, Pemerintah Kota Metro melakukan pencatatan keberadaan area sumur
sebagai aset pemerintah daerah dengan Nomor Sertifikat HP. 12 tanggal 30 Desember
2010 dengan luas area sumur tercatat 446 m².

45
 Tahun 2014, menara (tower) penampungan air yang berada di sisi sumur ambruk
karena tertimpa pohon yang roboh, para penarik becak penjaja air dibantu RT
setempat secara swadaya membangun kembali menara penampungan air sumur
tersebut (Rusman, 2022; Sarmin, 2022; Ummah, 2016).
 Tahun 2016, bulan Maret, Rahmatul Ummah seorang penulis Pojoksamber.com
mempublikasikan tulisannya yang berjudul Sumur Putri, Satu Dari Dua Legenda
Sumur. Tulisan tersebut memuat hasil penelusuran penulis mengenai legenda
keberadaan sumur tua di pusat Metro, salah satunya adalah Sumur Hibah Imopuro
(Ummah, 2016).
 Tahun 2017, rombongan Seni-One Kota Metro yang merupakan gabungan para
kelompok pegiat seni, menggelar pertunjukan seni, drama, tari dan musik (sendratasik)
yang berjudul Putri Sumur Bandung. Bertujuan untuk menggugah kesadaran sejarah
bagi generasi muda Kota Metro terhadap sejarah kotanya, melalui tinggalan sejarah
yang ada salah satunya sumur tua ini. Pertunjukan ini disutradarai oleh Andika Septian
dan naskah pertunjukan ditulis oleh Rahmatul Ummah (As Saury, 2017; Septian, 2017).
 Tahun 2017, Pemerintah Kota Metro melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Tataruang
melakukan Pembuatan dan Penataan Taman Jaringan Irigasi Sumur Bandung dengan
Nomor SPK 02.04/SPK/PUTR-AIR.TMN/D.3/2017 termasuk perbaikan pagar,
pemasangan keramik, dan perbaikan atap sumur.
 Tahun 2020, bulan Oktober, Komunitas Pegiat Sejarah di Kota Metro melakukan
kampanye kepada masyarakat tentang pentingnya peninggalan bersejarah melalui
kegiatan hunting history, salah satunya adalah lokasi Sumur Hibah Imopuro.
 Tahun 2020, bulan November, Pemerintah Kota Metro melalui Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan melakukan pendataan dan inventarisasi Objek Diduga Cagar Budaya
(ODCB) di Kota Metro, termasuk Sumur Wakaf atau Sumur Putri (Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, 2020).
 Tahun 2021, dua orang guru IPS SMP di Kota Metro menulis tentang keberadaan
Sumur Bandung (Sumur Hibah Imopuro) dalam sebuah buku yang berjudul Tokoh,
Tempat, dan Peristiwa dalam Sejarah Lokal Kota Metro (Ermawati, 2021; Handayani,
2021)
 Tahun 2022, bulan Mei, Pemerintah Kota Metro melalui Tim Ahli Cagar Budaya (TACB)
melakukan kajian untuk ODCB Sumur Hibah Imopuro sebagai persiapan penyusunan
rekomendasi penetapan status Cagar Budaya.

46
DAFTAR SUMBER

Aang. (2022). Wawancara Riwayat Keberadaan Sumur Tua di Pusat Metro. Tim Ahli Cagar
Budaya (TACB) Kota Metro.
Abdullah, T. (1985). Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Ahmad, T. A. (2021). Pembelajaran Sejarah Lokal. https://youtu.be/DS4Sv73gFxc
As Saury, R. U. (2017). Rombongan Seni-One Pentaskan Sendratasik Sejarah “Putri Sumur
Bandung.” Kompasiana.Com.
https://www.kompasiana.com/rahmatul.ummah/5a2059f6b3f86c17e12cb0b3/besok-
rombongan-seni-one-pentaskan-sendratasik-sejarah-putri-sumur-bandung
Aurilia, M. F., Santoso, D. H., & Sungkowo, A. (2021). Analisis Karakteristik dan Kualitas Mata
Air di Desa Redin, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Jurnal Ilmiah Lingkungan
Kebumian, 3(2), 1–12.
AZ, A. (2019). Surat-Surat Dari Lampung: Korespondensi Herman Neubronner van der Tuuk di
Lampung, 1868-1869. Perpusnas Press.
Centraal Bureau voor de Statistiek. (1928). Statistich Jaar Overzicht van Nederlandsch Indie.
Daldjoeni, N. (1987). Geografi Kesejarahan I (Peradaban Dunia). Penerbit Alumni.
De Indische courant. (1937a, December 13). Uit Zuid-Sumatra: Model-Kolonisatie in de
Wildernis. De Indische Courant.
De Indische courant. (1937b, December 18). Javanen in de Lampongs. De Indische Courant, I.
De Indische courant. (1938, September 27). De G.G. in de Lampongs. De Indische Courant, I.
De Koerier. (1937, December 17). De Kolonisatie in de Lampongs. De Koerier, 10.
Deli courant. (1935, May 15). De Kolonisatie in Z.-Sumatra. Deli Courant, page 6.
Deli courant. (1937, December 21). De Kolonisatie in de Lampongs. Deli Courant, 9.
Dewan Harian Angkatan 45. (1994). Untaian Bunga Rampai Perjuangan di Lampung: Buku I
Perjuangan Fisik/Bersenjata. Dewan Harian Daerah Angkatan ’45.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Laporan Akhir Kegiatan Pendataan Cagar Budaya
Bidang Kebudayaan Tahun 2020.
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. (1993). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme
dan Kolonialisme di Daerah Lampung (A. Gonggong, M. S. Kartadarmadja, & M. Ibrahim
(Eds.)). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djajadiningrat, H. (1983). Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten: Sumbangan Bagi
Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa. Penerbit Djambatan, KITLV.
Erikha, F. (2020). Toponim Urban di Jantung Kota Yogyakarta. In Kresno Brahmantyo
Soekardi (Ed.), Strategi Toponim Urban di Indonesia dan Orientasi Budaya. Perkumpulan
Ahli Epigrafi Indonesia.
Ermawati. (2021). Sumur Bandung Sebagai Sumber Mata Air Masyarakat Metro di Era
Kolonisasi Belanda. In A. Setiawan (Ed.), Tokoh, Tempat, dan Peristiwa dalam Sejarah
Lokal Kota Metro (pp. 78–84). Pensil Bersejarah Publishing bekerjasama dengan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Metro.
Fadillah, M. A. (2021, December). Komoditas Lada di Banten: Perspektif Ekonomi Politik.
Kalatirta Edisi Khusus: Jalur Rempah Simpul Banten Lada Yang Utama, 37–49.

47
Fadillah, M. A., Utama, D. W., Juliadi, Nofiandi, A., & Auliya, A. F. (2021). Lada Atribut Utama
Jalur Rempah Banten (Y. Mandiri (Ed.)). Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten.
Guillot, C. (2008). Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Kepustakaan Populer
Gramedia.
Hadikusuma, H. (1977). Adat Istiadat Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya.
Hadikusuma, H. (1984). Catatan tentang Sejarah dan Kebudayaan Lampung. BPAD Lampung.
Hadikusuma, H. (1989). Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Penerbit Mandar Maju.
Hakiki, K. M., Effendi, Badruzaman, Badi’ah, S., & Musofa, A. (2020). Prasasti Dalung Kuripan
Dokumentasi Perjanjian Banten – Lampung Tahun 1552. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas
Agama, 15(2), 301–326. https://doi.org/https://doi.org/10.24042/ajsla.v15i2.8214
Handayani, M. (2021). Sumur Bandung Metro dari Masa Kolonial Belanda Hingga Sekarang.
In A. Setiawan (Ed.), Tokoh, Tempat, dan Peristiwa dalam Sejarah Lokal Kota Metro (pp.
142–151). Pensil Bersejarah Publishing bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Metro.
Hasan, S. H. (2012). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Isu dalam Ide dan Pembelajaran. Rizqi
Press.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi . (1935, May 11). Uit de Buitenbezittingen
Campongs Javanen-Kolonisatie. Het Nieuws van en ag oor ederlands h- ndi , 3.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi . (1937, December 17). De Kolonisatie in de
Lampongs. et ieuws van en ag oor ederlands h- ndi , 7.
Ibrahim, S. (1995). Buku Handak II: Mengenal Adat Lampung Pubian. Gunung Pesagi.
Khalik, A. T. (2002). Pelatoeran Sepandjang Hadat Lampong. Deskripsi dan Terjemahan
Hukum Adat Klasik Tulangbawang. Philosophy Press.
Kristian, Y. (2019). Politik Ekonomi Belanda Terhadap Lampung Pada Tahun 1800-1942.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Leeuwarder courant. (1938, October 6). Javanen-kolonisatie op Sumatra. Leeuwarder
Courant, 9.
Marsden, W. (2013). Sejarah Sumatra. Komunitas Bambu.
Muhtarom, A. (2018). Lampung Abad 16-19: Dari Kerja Paksa Hingga Silang Budaya. Penerbit
Arahbaca.
Muzakki, A. (2014). METRO: Sebuah Kajian Etnografi Menemukenali Geneologi Kota Metro
(Cetakan 1). Disdikbudpora Kota Metro.
Nieuwe Apeldoornsche courant. (1937, December 29). Javanen-kolonisaties in de Lampongs.
Nieuwe Apeldoornsche Courant, 3e.
Pelzer, K. J. (1948). Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics: Studies in Land Utilization and
Agricultural Colonization in Southeastern Asia. American Geographical Society.
Perda Kota Metro No. 8. (2017). Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 8 Tahun 2017 tentang
Pemeliharaan dan Pelestarian Budaya Lampung. Pemerintah Kota Metro.
Perda Provinsi Lampung No. 2. (2008). Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun
2008 tentang Pelestarian Budaya Lampung. Pemerintah Propinsi Lampung.
Permenbudpar RI No PM.46/UM.001/MKP/2009. (2009). Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor PM.46/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal.

48
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Permendikbud RI No. 69. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 69 Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Peristiwa Sejarah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Permendikbud RI No. 71. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2016. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Permendikbud RI No. 72. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 72
Tahun 2016 tentang Pedoman Penulisan Tokoh Sejarah. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Prijono, S. (2008). Keramik Asing Hubungannya Dengan Keberadaan Situs Cileuleuy,
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. In K. Yulianto (Ed.), Dinamika Permukiman
Dalam Budaya Indonesia (pp. 155–165). Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Prijono, S. (2021). Way Sekampung dalam Lintas Perdagangan dan Pelayaran Nusantara. In S.
Sugiharta (Ed.), Sumatera Silang Budaya: Kontestasi Nilai-Nilai Historis, Arkeologis, dan
Antropologis serta Upaya Pelestarian Cagar Budaya. Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Provinsi Sumatera Barat.
Priyadi, S. (2012). Sejarah Lokal: Konsep, Metode, dan Tantangannya. Penerbit Ombak.
Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant. (1938, October 7). Op Sumatra Ontstaat Een
Stuk Java. Provinciale Overijsselsche En Zwolsche Courant.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1987). Sejarah Daerah Lampung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pudjiastuti, T. (1996). Aksara dan Naskah Kuno Lampung dalam Pandangan Masyarakat
Lampung Kini. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahmanto, S. (2014). Video Dokumenter Sejarah Kota Metro. Komunitas Jejak.
https://youtu.be/ReqmgZSIULI
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indie. (1870). Landsdrukkerij.
Rookmaker, H. R. (1935a). Kolonisatie Plan 1936.
Rookmaker, H. R. (1935b). Soekadana-kolonisatie (Trimoerdjo): Kolonisatie Verslag over het
vierde kwartaal, 1935.
Rusman. (2022). Wawancara Riwayat Keberadaan Sumur Tua di Pusat Metro. Tim Ahli Cagar
Budaya (TACB) Kota Metro.
Sarmin. (2022). Wawancara Riwayat Keberadaan Sumur Tua di Pusat Metro. Tim Ahli Cagar
Budaya (TACB) Kota Metro.
Sayuti, H., & Imron, A. (1997). Situs Kolonisasi dan Transmigrasi di Propinsi Lampung. In M.
Utomo & R. Ahmad (Eds.), 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi (pp. 33–49).
Puspa Swara.
Sekretariat Daerah Kota Metro. (2000). KOTA METRO; Sejarah dan Perkembangannya, Dulu
dan Kini.
Sekretariat Daerah Kota Metro. (2004). METRO: Desa Kolonis Menuju Metropolis (Metro
Membangun - Membangun Metro) (Sudarmono & E. R. Harwanto (Eds.); 1st ed.). Bagian
Humas dan Protokol Setda Kota Metro.
Septian, A. (2017). Putri Sumur Bandung. The Sambatans.
https://www.youtube.com/watch?v=kxtCKCYgUZY

49
Sjamsu, M. A. (1960). Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955. Djambatan.
Soerabaijasch handelsblad. (1937, December 20). De Javanen-kolonisaties in de Lampongs.
Soerabaijasch Handelsblad, 1.
Soetoto. (2017). Geomorfologi. Penerbit Ombak.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie. (1929). Binnenlandch Bestuur Lampoengsche Districten,
Nieuwe administrative indeeling van genoemd gewest. Besluit van den Gouvernoor-
Generaal van Nederlandsch-Indie No. 14, 20 September 1929.
Steck, F. G. (1862). Topographisce en Geographische Beschrijving der Lampongsche
Districten. Bijdragen Tot de Taal-, Land-, En Volkenkunde van Nederlandsch-Indie.
Sugiharta, S. (2021). Sumatera Silang Budaya: Kontestasi Nilai-Nilai Historis, Arkeologis, dan
Antropologis serta Upaya Pelestarian Cagar Budaya (Cetakan II). Balai Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB) Provinsi Sumatera Barat.
Sutherland, H. (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Cetakan 1). Sinar Harapan.
Suyatno. (2022). Wawancara Riwayat Keberadaan Sumur Tua di Pusat Metro. Tim Ahli Cagar
Budaya (TACB) Kota Metro.
Swantoro, P. (2019). Perdagangan Lada Abad X : Perebutan “Emas” Putih dan itam di
Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia.
Swasono, S. E., & Singarimbun, M. (1985). Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-
1985. UI Press.
Syah, I. (2017). Bunga Rampai Adat Budaya Lampung. Histokultura.
Ummah, R. (2016, March 6). Sumur Putri, Satu Dari Dua Legenda Sumur di Kota Metro.
Pojoksamber.Com. https://www.pojoksamber.com/sumur-putri-satu-dari-dua-legenda-
sumur-di-kota-metro/
Untoro, H. O. (2007). Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1648: Kajian
Arkeologi-Ekonomi. Komunitas Bambu.
UU RI No 11. (2010). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
Van Royen, J. W. (1930). ota over de Lampongs he Merga’s. Landsdrukkerij.
Verbeek, R. D. M. (1880). Topograpische en Geologische Kaart van Zuid-Sumatra bevattende
de residentien Bengkoelen, Palembang en Lampongsche Districten. F.C. Stemler.
Wahyudi, W. R. (2020). Memori dan Urbanonim dalam Kajian Akeologi. In Kresno
Brahamantyo Soekardi (Ed.), Strategi Toponim Urban di Indonesia dan Orientasi Budaya.
Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia.
Wellan, J. W. J. (1932). Zuid Sumatra; Economisch Overzicht van de Gewesten Djambi,
Palembang, De Lampongsche Districten, en Benkoelen. H. Veenman & Zonen.
Widja, I. G. (1991). Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Penerbit
Angkasa.
Widodo, S., Mujiyati, N., & Setiawan, A. (2018). Perlawanan Masyarakat Lampung Abad ke-19
(K. Amboro (Ed.)). Direktorat Sejarah Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI.
Wijayati, M. (2011). Jejak Kesultanan Banten di Lampung Abad XVII (Analisis Prasasti Dalung
Bojong). Jurnal Analisis, XI(2). https://doi.org/https://doi.org/10.24042/ajsk.v11i2.622
Wineburg, S., Martin, D., & Monte-Sano, C. (2012). Reading like a historian: Teaching literacy
in middle and high school history classrooms. Teachers College Press.

50

Anda mungkin juga menyukai