Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH LOKAL

KONSEP, TEORI, DAN METODOLOGI SEJARAH LOKAL


Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Sejarah Lokal
Dosen Pengampu : Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum

Disusun Oleh:

1) Irma Dwi Rachmawati (K4417040)


2) Nadif Hanan Narendra (K4417051)
3) Riska Ayu Nourmawati (K4417058)
4) Riska Widya Sari (K4417059)
5) Savira Lalita Larasati (K4417067)
6) Serly Ika Marselina (K4417068)
7) Syahdirama Arqum S. (K4417071)
8) Wida Rosita (K4417074)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah


melimpahkan hidayah dan karunia-Nya sehingga makalah sejarah lokal yang
bertema “Konsep, Teori, dan Metodologi Sejarah Lokal” dapat terselesaikan.
Disusun sebagai pemenuhan tugas kelompok. Penulis menyadari makalah ini
dapat tersusun sedemikian rupa dan terselesaikan dengan baik atas bantuan dari
berbagai pihak.

Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Tri
Yuniyanto, M. Hum selaku pengampu dosen mata kuliah sejarah lokal dan teman-
teman yang banyak memberikan masukan dan informasi demi pemenuhan tugas
ini. Saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan tugas
ini karena penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya. Semoga tugas
makalah kelompok ini dapat memberi manfaat bagi pembacanya.

Surakarta, 16 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1

1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2

1.4 Manfaat Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

2.1 Pengertian Sejarah Lokal ........................................................................... 3

2.2 Konsep Sejarah Lokal ................................................................................. 4

2.3 Unit Historis Sejarah Lokal........................................................................ 7

2.4 Metodologi Sejarah Lokal .......................................................................... 9

2.5 Perkembangan Studi Sejarah Lokal di Indonesia .................................. 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 14

3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 14

3.2 Saran ........................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sejarah lokal sebagai unit historis kecil yang seharusnya dari sanalah
penulisan sejarah bangsa Indonesia dimulai. Selama ini, penulisan sejarah dimulai
dari Sejarah Nasional Indonesia (SNI) hingga pada akhirnya menyebabkan
terbunuhnya nasionalisme lokal secara perlahan-lahan. Perlu diketahui bahwa
lokal memiliki jiwa dan semangat nasionalisme lokal karena penduduk Indonesia
sebagaian besar mengisi ruang di luar kota metropolitan. Sekarang identitas dan
solidaritas lokal menjadi tidak jelas seiring dengan banyaknya data yang tidak
lolos dalam penyeleksian.

Persoalan-persoalan yang menyangkut penulisan sejarah lokal menjadi


lebih sulit karena munculnya masalah-masalah waktu. Para sejarawan lokal
berpacu dengan umur pelaku dan penyaksi peristiwa sejarah sebelum menulis
dengan sumber sejarah lisan. Banyak dari pelaku dan penyaksi sejarah telah tiada
dan penulisan sejarah lokal hanya berpacu pada dokumen. Sementara dokumen di
tingkat lokal jarang ditemukan. Inilah yang menyebabkan sejarah lokal menjadi
unit historis yang agak dianakronisme. Penulis merasa tertarik untuk mengulas
lebih dalam mengenai sejarah lokal, sehingga disusunlah makalah yang bertema
“Konsep, Teori, dan Metodologi Sejarah Lokal.”

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari sejarah lokal?

2. Apa saja konsep sejarah lokal?

3. Bagaimana unit historis dalam sejarah lokal?

4. Bagaimana metodologi sejarah lokal?

5. Bagaimana perkembangan studi sejarah lokal di Indonesia?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sejarah lokal

2. Untuk mengetahui konsep-konsep sejarah lokal

3. Untuk mengetahui unit historis dalam sejarah lokal

4. Untuk mengetahui metodologi dalam penulisan sejarah lokal

5. Untuk mengetahui perkembangan studi sejarah lokal di Indonesia

1.4 Manfaat Penulisan


1. Bagi Universitas Sebelas Maret

Menambah sumber literasi mengenai kajian kritis terhadap konsep dan


metodologi dalam penulisan sejarah lokal.

2. Bagi Mahasiswa

Menambah wawasan mahasiswa terhadap konsep dan metodologi dalam


penulisan sejarah lokal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sejarah Lokal


Menurut Taufik Abdullah (1985) menjelaskan mengenai pengertian kata
lokal yang tidak terbelit-belit, hanya berarti tempat atau ruang. Jadi, sejarah lokal
berarti sejarah dari suatu tempat atau suatu “locality” batasannya ditentukan oleh
perjanjian yang diajukan oleh penulis sejarah. Batas geografisnya dapat juga suatu
tempat tinggal suku bangsa dan dapat pula suatu kota atau bahkan desa. Dengan
begitu sejarah lokal dengan sederhana dapat dirumuskan sebagai kisah lampau
dari kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada daerah geografis terbatas.

Sejarah lokal dikatakan sebagai suatu peristiwa yang hanya terjadi dalam
lokasi yang kecil, baik pada desa atau kota-kota tertentu. Sejarah lokal adalah
sebuah studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu
lingkungan sekitar (neighnorhood) tertentu dalam dinamika perkembangannya
pada berbagai aspek kehidupan manusia. Dapat diambil sebuah intisari, bahwa
yang menjadi pokok perhatian adalah ruang ligkup geografis/ tempat/ unit spasial
yang terbatas meliputi suatu lokalitas tertentu beserta kehidupan masyarakat.
Lingkungan tersebut adalah suatu unit kesadaran historis dalam artian bahwa
daerah atau wilayah tertentu dan pada bagiannya merupakan pusat terjadinya
sejarah. Setiap daerah etniskultural memiliki kesatuan historis serta konsep
tentang kelampuan yang khas.

Ruang lingkup sejarah lokal adalah keseluruhan lingkungan sekitar yang


menyangkut kesatuan wilayah seperti desa, kecamatan, kota kecil ataupun
kesatuan lokalitas beserta institusi sosial budaya yang ada. Studi sejarah lokal
adalah usaha menyumbang bagi sejarah nasional dalam kesulitan metodologinya.
Sejarah lokal sering diwarnai dengan mitos (clouded in myth) yang mendorong
sejarawan larut dalam anggapan. Maksudnya, peneliti larut dengan anggapan
masyarakat lokal di mana peristiwa tersebut dipersepsikan selama ini. Untuk itu
pemahaman mengenai metodologi dan teori relevan dengan topik yang diteliti
menjadi sangat diperlukan dalam penelitian sejarah lokal (Abdullah, 1985: 24)

3
2.2 Konsep Sejarah Lokal
Konsensus dalam pemakaian istilah Sejarah Nasional Indonesia sebagai
sejarah wilayah Republik Indonesia dan Sejarah Daerah sebagai wilayah provinsi
ditempuh agar lebih mempermudah untuk menamakan suatu karya sejarah. Kedua
istilah tersebut memang mengandung unsur anakronisme karena Indonesia atau
Nasional Indonesia merupakan suatu fenomena baru dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sejarah Nasional atau Sejarah Nasional Indonesia (SNI)
kedudukannya secara ilmiah apabila membahas sejak pertengahan awal abad ke-
20, yaitu sejarah yang mencakup zaman dari seluruh wilayah Republik Indonesia
(Abdullah, 1985: 12-13).

Pemaksaan terhadap pemakaian SNI untuk membicarakan masa pra-aksara


hingga pertengahan awal abad ke-20 merupakan kesepakatan yang cenderung
diterima karena konsensus dan secara normatif, bukan didasarkan atas logis
subject matter, tetapi tuntutan ideologis. Masa pra-aksara hingga pertengahan
awal abad ke-20 tidak menunjukan keindonesiaan, tetapi lebih mencirikan
masyarakat yang masih menjunjung tinggi kesukuan (entisitas) daripada
nasionalitas. Periode panjang itu lebih tepat apabila dinamakan sebagai Sejarah
Nusantara dan bukan Sejarah Indonesia (SNI). Masalah anakronisme memang
cenderung mengacaukan antara pengujian disiplin ilmu sejarah dengan konsensus.
Istilah yang harus ditinjau ulang adalah persoalan jenjang hierarki daerah secara
administratif politik, yang meliputi provinsi, kabupaten, kawedanan, kecamatan
atau kelurahan yang selalu diposisikan sebagai binary opposition dengan pusat
(Kuntowijoyo, 2003).

Secara historis desa merupakan salah satu jenjang administratif politik


yang telah memiliki akar kesejarahan dan kebudayaan yang cukup beragam di
seluruh Indonesia, tetapi sejak Orde Baru melakukan penyeragaman dari desa
menjadi kelurahan, maka kekacauan itu semakin bertambah. Desa mempunyai
sejarahnya sendiri-sendiri yang unik dan menarik karena mereka mempunyai
karakteristik masyarakat berdasarkan latar belakang historisnya.

Jadi, istilah sejarah daerah sebagai sejarah yang wilayahnya


dipertentangkan dengan nasional atau pusat telah memberi pengertian bahwa

4
istilah itu ambigu. Untuk menjembatani kekacauan konsensus terhadap unsur
ruang atau spatial dalam sejarah lokal, maka ada tiga konsep yang meliputi: (1)
unit administratif politis; (2) unit kesatuan etniskultural; dan (3) daerah
administratif politis bisa merupakan kumpulan etniskultural, perlu
dipertimbangkan.

a. Unit Administratif Politis

Konsep pertama adalah unit administratif politis yang dapat diterima


sebagai ruang sejarah lokal apabila penelitian dari penulisan sejarah itu berkaitan
dengan sejarah politik yang menyangkut wilayah lokal, seperti provinsi,
karesidenan, kabupaten, kawedanan, kecamatan, dan keluruhan. Konsep yang
pertama bisa juga dilakukan terhadap sejarah masa kini atau sejarah kontemporer.

Sebagai contoh, Banyumas sejak 1831 dibentuk sebagai karesidenan yang


kemudian secara hierarkis juga dibentuk kabupaten (regentschappen), kawedanan
distrik), dan kecamatan (onderdsitrik). Pembentukan itu mengandung konsekuensi
pengadaan jabatan bupati, patih, wedana, kolektur, pangulu, mantripolisi (asisten
wedana), mantri kabupaten, mantri cacar atau jeksa di kalangan pribumi. Di
samping itu, ada jabatan residen dan asisten residen di pihak Belanda. Tentu saja
konsep karesidenan sebagai ruang tidak dapat diberlakukan untuk wilayah yang
sama sebelum Perang Jawa (Houben, 2002: 10).

Banyumas menjadi bagian dari daerah mancanegara kilen Mataram (Kuta


Gedhe, Plered, Karta, dan Surakarta). Menurut Sugeng Priyadi (dalam Lombard,
2000: 46) ketika Palihan Nagari pada 1755, Banyumas menjadi daerah
mancanegara kilen Surakarta. Wilayah Banyumas pada zaman Demak, sudah
berubah dengan kemunculan Pasir dan Wirasaba sebagai Negara Daerah yang
disusul Banyumas sebagai Daerah Pajang. Ahli sejarah belum memakai istilah
mancanegara kilen pada masa Demak-Pajang.

b. Unit Kesatuan Etniskultural

Konsep yang kedua adalah unit kesatuan etniskultural yang memang bisa
diberlakukan dengan mudah di daerah Banyumas karena pada masa lampau
mempunyai identitas masing-masing sebagai kesatuan etniskultural, misalnya

5
Negara Daerah Paguhan, Kerajaan Pasirluhur, dan Selarong. Ruang Banyumas
secara legendaris dinyatakan dalam Babad Banyumas versi Mertadiredjan dan
Babad Pasir dengan ungkapan Tugu Mengangkang, Sindara-Sumbing sebagai
batas timur dan Undhug-undhug Krawang sebagai batas barat (Priyadi, 2012: 4).

Ruang Banyumas yang begitu luas karena belum ada data yang mantap
mengenai pembagian wilayah sehingga kadang-kadang para penulis historiografi
tradisional menciptakan ruang yang semaunya untuk kepentingan legitimasi
orang-orang lokal. Ada pula konsep ruang Banyumas dengan penyebutan
sepanjang Kali Lanang yang merupakan Sungai Serayu sebagai simbol
kebanyumasan, yang wilayahnya meliputi karesidenan Banyumas. Sepanjang
Sungai Serayu atau DAS Serayu merupakan ruang yang rasional untuk menyebut
Banyumas masa lampau.

Kemudian, ada konsep Selarong untuk ruang Banyumas. Ruang yang


terakhir ini bersentuhan dengan kehadiran kota lama Banyumas sebelum dibuka
oleh Adipati Warga Utama II atau Adipati Mrapat. Selarong adalah legenda pra-
Banyumas sebagai ruang yang berada di suatu wilayah yang dikelilingi bukit dan
gunung-gunung kecil. Konsep Selarong identik dengan sangsang buwana (tempat
yang dikelilingi bukit) atau kawula katubing kala (masyarakat yang dijauhkan dari
malapetaka).

c. Unit Administratif sebagai Kumpulan EtnisKultural

Konsep yang ketiga adalah unit administratif sebagai kumpulan


etniskultural. Konsep yang ketiga ini sering tidak disadari bahwa dalam ruang
tertentu terdapat dua atau berbagai etnis. Sejarah Kabupaten Dayeuhluhur,
misalnya menunjukan keterkaitan antara client (lokal) dengan patron Kasunanan
Surakarta. Padahal masyarakat Dayeuhluhur merupakan masyarakat yang berbasis
kebudayaan Sunda. Tokoh nenek moyangnya adalah Banyak Ngampar atau
Gagak Ngampar merupakan anak dari Prabu Siliwangi yang berada di daerah
Banyumas, pada waktu itu disebut Pasirluhur. Penyebutan Pasirluhur–
Dayeuhluhur merupakan pasangan kakak-beradik yang bertahan di seberang
kebudayaannya. Mereka sering diumpamakan sebagai Kasepuhan dan Kanoman.

6
Pada penulisan sejarah kontemporer, di kabupaten seperti Cilacap tersebut
terdapat sejarah etnis-etnis, baik Jawa maupun Sunda. Kabupaten Cilacap sendiri
secara administratif politik baru hadir pada dua pertiga abad ke-19. Sedangkan
pada masa sebelumnya memang ada Kabupaten Majenang ketika pembentukan
Karesidenan Banyumas. Kabupatan Majenang dihapuskan tahun 1832 dan Raden
Tumenggung Prawiranegara dibuang ke Padang. Majenang digabungkan dengan
Kabupaten Ajibarang.

2.3 Unit Historis Sejarah Lokal


Berdasarkan perkembangan sejarah lokal, unit kesadaran historis
cenderung bersifat dinamis dan selalu bergerak. Pusat perkisaran sejarah lokal
akan lebih mengarah kepada kelampauan yang khas. Terpenting dalam
memandang sejarah yang ruangnya selalu direlasikan dengan periodenya. Artinya,
anakronisme harus selalu diperhatikan dalam menentukan ruang. Oleh karena itu,
pemakaian nama sejarah lokal tampak akan lebih netral dan tunggal daripada
sejarah daerah atau sejarah regional.

Sejarah lokal sebagai micro-unit merupakan unit historis yang mempunyai


ciri khas sebagai kesatuan etnis dan kultural sebagai salah satu dimensi dari SNI.
Sejarah lokal memakai micro analisis untuk mempelajari peristiwa atau kejadian
yang mencakup interaksi antarsub-micro-unit yang unik. Interaksi tersebut
menunjukan adanya keragaman di dalam suatu micro-unit. Sejarah lokal adalah
microhistory yang mempelajari micro-unit yang pada umumnya, setiap micro-unit
menunjukan ciri khas yang tidak terdapat pada, baik micro-unit yang lain maupun
macro-unit.

Tampaknya kualitas sejarah lokal harus lebih didahulukan daripada segi


kuantitas sehingga SNI tidak sekedar kumpulan atau hasil penjumlahan sejarah
lokal. Penulisan sejarah lokal harus digalakan agar hasilnya dapat mengisi
kekosongan dari tubuh pengetahuan SNI. Keseimbangan antara kualitas dan
kuantitas sejarah lokal harus selalu diperhatikan. Jika sejarawan lokal berusaha
untuk memfokuskan kepada kualitas, bisa jadi akan timbul rasa keraguan terus-
menerus apakah karya tersebut sudah masuk dalam kategori bermutu. Antara

7
kualitas dan kuantitas harus berjalan bersama sehingga dari sekian banyak hasil
diharapkan ada yang berkualitas.

Terjadinya kohesi antardata sejarah lokal, data sejarah lokal sering tidak
dapat ditemukan lagi pada lokal itu sendiri, akan tetapi pada lokal tertentu atau
lain dapat ditemukan datanya. Misal saja data sejarah lokal Kebumen banyak
ditemukan di Banyumas. Di Kebumen sendiri sudah tidak ditemukan lagi karena
data tersebut sudah dibawa ke lokal Banyumas, misalnya Babad Ambal. Sejarah
lokal juga berbentuk interaksi antarsuku dalam masyarakat yang majemuk.
Misalnya, data sejarah lokal Brebes ternyata dapat berkohesi dengan data sejarah
Sunda terutama yang berkaitan dengan negara Daha dan Panjalu atau penguasa
Kerawang yang dipindahkan ke Brebes untuk menjabat sebagai bupati (Priyadi,
2012: 11).

Oleh karena itu, relasi antarlokal memperlihatkan adanya interaksi dan


transasksi antarsejarah lokal atau antarmicro-unit pada masa lampau. Sejarah
lokal haruslah mandiri agar hasil-hasil yang diperoleh lebih berkualitas. Untuk
membangun kemandirian itu, sejarah lokal harus meminta bantuan ilmu lain agar
dalam proses pencarian data, kritik data, dan interprestasi fakta akan lebih tajam.
Selain itu, sejarah lokal juga akan menghasilkan karya historiografi yang lebih
beragam dan tidak monoton. Sejarah lokal harus memperhatikan interaksi
antarmicro-unit di masa lampau agar tidak terlupakan, bahkan akan memperkaya
data sejarah dari lokal lain.

Kedudukan SNI sebagai macro-unit atau macrohistory akan lebih


menempatkan betapa pentingnya sejarah lokal sebagai micro-unit atau
microhistory. Secara prinsipal, semua peristiwa yang tertulis dalam SNI adalah
peristiwa lokal. Realitas tersebut tidak dapat dibantahkan karena setiap lokalitas
menjadi ajang peristiwa sejarah. Di sini, terlihat adanya hubungan fungsional
timbal balik antara SNI dengan sejarah lokal.

8
2.4 Metodologi Sejarah Lokal
Sejarah lokal sering diwarnai dengan mitos (clouded in myth) yang
mendorong sejarawan larut dalam anggapan. Untuk itu pemahaman mengenai
metodologi dan teori relevan dengan topik yang diteliti menjadi sangat diperlukan
dalam penelitian sejarah lokal. Metodologi adalah ilmu atau kajian tentang
metode (science of methods), menganalisis tentang cara-cara, prinsip atau
prosedur yang akan menuntun dan mengarahkan dalam penyelidikan suatu bidang
ilmu. Metodologi dalam historiografi sejarah meliputi: (1) heuristik; (2) kritik atau
verifikasi; (3) interprestasi atau penafsiran; dan (4) historiografi. Langkah yang
pertama adalah melakukan pengumpulan sumber atau data sejarah dalam bentuk
sumber tertulis (dokumenter), sumber sejarah lisan (untuk data sejarah
kontemporer), folkor (tradisi lisan), benda dan bangunan (artifact). Bahan
dokumenter meliputi otobiografi dan biografi, surat-surat pribadi, catatan atau
buku harian, surat kabar, dokumen pemerintah (arsip).

Data sejarah lisan meliputi pelaku sejarah (orang yang terlibat dalam
peristiwa sejarah) dan penyaksi sejarah (orang yang menyaksikan peristiwa
namun tidak terlibat). Data folkor, termasuk tradisi lisan berguna bagi penelitian
sejarah ketika sumber sejarah lisan sudah berkedudukan sebagai folkor karena
penuturnya bukan lagi pelaku atau penyaksi sehingga penutur folkor dan tradisi
lisan sudah tidak memiliki tanggungjawab terhadap kesaksiannya. Penelitian
sejarah lokal memerlukan data tradisi lisan, ingatan kolektif, dan historiografi
tradisional. Sumber atau data sejarah yang lain adalah benda-benda peninggalan
masa lampau dan bangunan sejarah.

Setelah data atau sumber sejarah dapat dikumpulkan, selanjutnya melalui


prosedur kritik ekstern dan kritik intern dilakukan. Sumber atau data yang tidak
relevan dengan masalah penulisan sejarah disingkirkan. Kritik ekstern merupakan
aktivitas untuk mencermati sisi luar dari sumber sejarah dan mempertanyakan
keaslian atau keotentikan sumber. Setelah lolos dari kritik ektern, data atau
sumber sejarah segera melalui kritik intern, yaitu kegiatan untuk mencermati isi
atau bagian dalam sumber dengan membandingkan dengan sumber atau data lain,
dan selanjutnya mempertanyakan kredibilitas sumber (kebiasaan dipercayai).

9
Kritik data sejarah menghasilkan tiga buah fakta, yaitu mentifact, sosifact,
dan artifact. Mentifact mencakup ide, gagasan, nilai yang melandasi kelahiran
sosifact dan artifact. Tiga buah fakta tersebut harus ditafsirkan oleh sejarawan.
Penafsiran dilakukan dengan dua langkah, yaitu analisis dan sintesis. Analisis
yang ditempuh bisa dalam bentuk determinisme rasial, penafsiran geografis,
interpretasi ekonomi, penafsiran orang besar, penafsiran spiritual atau idelistik,
penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologis, penafsiran psikologis, dan
sebagainya. Setelah dianalisis maka melalui prosedur sintesis.

Setelah penafsiran fakta dilalui, maka penulisan sejarah atau historigrafi


adalah langkah puncak atau langkah terakhir dengan menyajikan dalam bentuk
laporan yang dihasilkan serta disesuaikan dengan subject matter atau objek yang
diteliti. Hasilnya dalam bentuk historiografi yang beragam berdasarkan tema-tema
yang diajukan. Ketika sejarah lokal bersentuhan dengan konsep sinkronis, maka
muncul banyak tema yang menarik untuk dikaji. Sejarah menjadi luas sekali
ruangnya dan banyak pilihan subject matter. Historiografi berdasar tema
bermunculan juga ketika sejarah lokal berelasi dengan ilmu-ilmu bantunya. Di
bawah ini akan diberi penjelasan mengenai metode ilmu-ilmu bantu dan masalah
metodologis sejarah lokal, antara lain:

a. Metode Ilmu-Ilmu Bantu

Metodologi sejarah bisa dikombinasikan dengan metode-metode dari ilmu


bantu yang mendorong sejarawan lokal menjadi sejarawan paripurna. Kombinasi
tersebut memang tergantung subject matter dan data yang dipergunakan; misalnya
data filologi, data arkeologi, data antropologi, data sosiologi, data psikologi, data
folkor, data seni, data politik, data epigrafi, data ekonomi, dan lain-lain. Selama
ini, sejarawan lokal memandang bahwa ilmu-ilmu bantu hanya dimanfaatkan
sekedar sebagai penjelasan sejarah dengan pendekatannya.

Ilmu-ilmu bantu didudukan sebagai pemberi penjelasan sejarah. Padahal,


metode-metode ilmu bantu dapat berfungsi dalam proses kritik, interpretasi, dan
historiografi sejarah lokal. Penulisan sejarah dari bawah berarti sejarawan harus
paham benar bentuk-bentuk data dari berbagai aspek kesejarahan sehingga akan

10
melibatkan ilmu-ilmu di sekitar sejarah yang mampu memberikan bantuan dalam
bentuk data, metode, dan pendekatan.

b. Masalah Metodologi Sejarah Lokal

Pengerjaan sejarah lokal tidak boleh dianggap remeh, dibutuhkan


kemampuan teknis dan daya analitis yang tinggi. Bahkan karena tingkat
abstraksinya lebih rendah, pengerjaan sejarah lokal juga menuntut kecermataan
dan ketelitian yang lebih tajam. Terkadang hingga terjadi penurunan tingkat
abstraksi menuntut pula tambahan dari disiplin ilmiah lain. Dalam pengerjaan dan
perumusan sasaran pokok (subject matter) sejarah lokal yang dengan jelas
memberi pembatasan geografis dari ruang lingkupnya, sering sekali berkaitan erat
dengan sejarah sosial. Bahkan dalam beberapa aspek terpenting dapat dianggap
sebagai peletak dasar dari sejarah sosial.

Jika, memakai pendekatan sejarah sosial maka suatu sejarah lokal harus
memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan baik ikatan struktural, yaitu
jaringan peranan-peranan sosial yang saling bergantungan terhadap aktor sejarah.
Dalam usahanya untuk mengerti dinamik sosial tertentu seorang ahli sejarah akan
mencoba melihat melalui serangkaian peristiwa yang tidak hanya melihat dari
sudut pandang klausal, sebab-akibat, dengan peristiwa lain namun juga
menerangkan dari sudut pandang sosio-kultural. Inilah yang menjadi titik masalah
metodologis sejarah lokal. Credibilities atau kadar kepercayaan yang bisa
dikenakan kepada corak tulisan seperti ini jadinya lebih banyak ditentukan oleh
penghayatan kultural si pembaca. Tanpa kesesuaian yang total maka kredibilitas
tersebut menjadi lebur atau hampir lebur.

Namun yang perlu diperhatikan bukan terletak pada evident atau benarnya
fakta yang diajukan akan tetapi sikap kita terhadap keperluan penelitian.
Historiografi tradisonal cenderung mengaburkan dua macam realitas sejarah;
realitas yang objektif dan realitas yang riil dalam diri. Kabur di dalam fakta yang
merupakan pengalaman aktual dengan fakta yang hanya berupa penghayatan
kultural kolekif. Historiografi tradisional pada umumnya memperlihatkan “the
myth of concern” berfungsi sebagai kemantapan tata nilai. Keseimbangan dan
kewajaran kosmos adalah tujuan utama. Dengan begini, struktur kekuasaan dan

11
sosial ada bagi kepentingan kosmos yang teratur dan mantap (Abdullah, 1985:
23).

Begitulah sejarah lokal membawa kita kepada masalah metodologi yang


harus menuntut keahlian dan kemantapan secara teoritis. Ilmu sejarah adalah ilmu
kemungkinan-kemungkinan, tak ada kepastian final yang bisa diberikan.
Pembedanya adalah hasil kerja para sejarawan, baik yang amatir atau profesional
ialah tingkat kemampuan dalam menghitung segala macam bahan hingga dapat
mendekati perkiraan yang paling dekat dengan kenyataan historis; pada tinggi
rendahnya kadar imajinasi historis yang dimiliki, serta kepekaan dalam usaha
memahami sumber (Abdullah, 1985: 27)

2.5 Perkembangan Studi Sejarah Lokal di Indonesia


Perkembangan sejarah lokal mendapat perhatian yang serius dalam
penulisan sejarah Indonesia ditandai dengan diadakannya Seminar Sejarah Lokal
Pertama yang diselenggarakan pada tahun 1982 (Kuntowijoyo, 2003: 8). Seminar
sejarah lokal yang diadakan di Indonesia berbeda dengan seminar sejarah nasional
dalam pelaksanaannya yang disorganisasikan berdasarkan periode. Titik fokus
dari seminar sejarah lokal adalah peritiwa yang terjadi dalam ruang lingkup lokal
meliputi problem sosial pada pedesaan, perekonomian pedesaan, dan sebagainya.
Kemudian pelaksanaan seminar sejarah lokal yang kedua diselenggarakan pada
tahun 1984 dari keinginan untuk memfungsikan sejarah lokal dalam tingkat
pembangunan.

Ruang lingkup yang dibahas menyangkut hal-hal yang bersifat lokalitas


saja. Sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah lokal kebanyakan dengan
menggunakan metode lisan. Tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat
menjadikan salah satu alat yang digunakan sejarawan untuk menceritakan masa
lalu sebuah desa. Di samping tradisi lisan, sejarawan dapat memanfaatkan
berbagai sumber tertulis seperti babad, hikayat, dan sumber lokal lainnya.
Penulisan sejarah lokal lebih diwarnai oleh kepentingan politis untuk
menghadirkan sebuah identitas kedaerahan yang mengacu pada etnik atau

12
kelompok tertentu daripada keunikan yang terdapat di dalam peristiwa masa lalu
tersebut.

Secara garis besar corak studi sejarah lokal yang pernah dilakukan tentang
Indonesia dapat dibedakan atas empat golongan. Keempat corak tersebut antara
lain:

1. Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi peristiwa


khusus atau apa yang disebut evenemental I’evenement).
2. Studi yang lebih menekankan pada struktur
3. Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu
tertentu (studi tematis).
4. Studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu
(provinsi, kota, dan kabupaten) dari masa ke masa.

Keempat corak tersebut tidaklah bersifat ekslusif, suatu corak bisa


mengandung corak yang lainnya. Misalnya, pada studi sejarah yang dilakukan
Sartono Kartodirdjo mengenai Pemberontakan Petani di Banten (1888) adalah
contoh terpenting dari suatu corak khusus yang pernah dilakukan sesudah revolusi
(1950). Bertolak dari suatu accepted history, peristiwa yang telah diterima
kenyataanya. Peristiwa tersebut memperlihatkan dinamika sosial yang
melatarbelakanginya.

Hasil studi mengenai sejarah lokal masih sangat terbatas, sejarah lokal di
Indonesia mengalami kendala yang sangat serius di dalam hal pengumpulan
sumber. Sumber-sumber yang digunakan dalam sejarah sementara ini hanya
terbatas pada objek dari sejarah lokal tersebut berupa microhistory. Sejarawan
diuji kemampuannya untuk bisa merekonstruksi peristiwa masa lalu dalam
bingkai lokalitas. Sejarah lokal sudah lama berkembang di Indonesia sebelum
perkembangan sejarah nasional. Sejarah lisan atau disebut sebagai sejarah
tradisional umumnya bersifat irrasional atau tidak masuk akal, dikarenakan
banyak bercerita tentang mitos, legenda serta cerita rakyat yang terjadi pada suatu
daerah. Meskipun keberadaan sejarah lokal dianggap sebagai sumber sekunder,
namun dalam hal ini bisa digunakan sebagai pembanding dan pelengkap fakta
sejarah.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sejarah lokal berarti sejarah dari suatu tempat atau suatu “locality”
batasannya ditentukan oleh perjanjian yang diajukan oleh penulis sejarah. Batas
geografisnya dapat juga suatu tempat tinggal suku bangsa dan dapat pula suatu
kota atau bahkan desa. Dengan begitu sejarah lokal dengan sederhana dapat
dirumuskan sebagai kisah lampau dari kelompok-kelompok masyarakat yang
berada pada daerah geografis terbatas. Untuk menjembatani kekacauan konsensus
terhadap unsur ruang dan spasial dalam sejarah lokal, maka terdapat tiga konsep
yang perlu diketahui yaitu meliputi: unit administratif politis, unit kesatuan
etniskultural, dan daerah administratif politis yang juga bisa merupakan kumpulan
etniskultural.

Sejarah lokal sebagai micro-unit merupakan unit historis yang mempunyai


ciri khas sebagai kesatuan etnis dan kultural sebagai salah satu dimensi SNI.
Metodologi sejarah lokal meliputi heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi atau
penafsiran, dan historiografi. Terdapat ilmu-ilmu bantu yang memudahkan
sejarawan lokal dalam melakukan studi sejarah lokal yang berfungsi dalam proses
kritik, interprestasi, dan historiografi sejarah lokal. Dalam perkembangannya,
studi sejarah lokal di Indonesia masih mengalami kendala yang sangat serius
dalam hal pengumpulan sumber.

3.2 Saran
Perlu digalakan lagi studi mengenai sejarah lokal yang masih banyak
mengalami kendala, serta diperlukan lagi kemampuan sejarawan dalam
melakukan penelitian sehingga mampu menghasilkan karya sejarah lokal sebagai
salah satu sumbangsih di bidang literasi bangsa Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press

Houben, Vincent J.H. 2002. Keraton dan Kompeni. Yogyakarta: Bentang Budaya

Kuntowidjoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Anggota IKAPI

Priyadi, Sugeng. 2012. Sejarah Lokal: Konsep, Metode dan Tantangannya.


Yogyakarta: Ombak

15

Anda mungkin juga menyukai