Anda di halaman 1dari 48

Karya Tulis

Bangsa Indonesia Sebagai


Identitas Bangsa

Oleh :

NAMA : ASTRINA DASSIE


KELAS: XI A4

Sekolah Menengah Atas


Negeri 1 Atambua
Tahun Ajaran 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan perlindungannya saya dapat menyelesaikan tugas karya tulis ilmiah. Karya
tulis ini dibuat untuk memberi tuntutan dan arahan untuk membuat karya tulis dengan
baik. Teks dalam karya tulis ini dijadikan sarana pembelajaran yang orentik yaitu
bahan-bahan yang bersumber dari buku dan internet.
Secara khusus ucapan terima kasih kepada Guru Bidang Study Bahasa
Indonesia dan sebagai Guru pemberi tugas akhir semester yang mau mengkritik,
mencermati, dan menelah karya tulis ini sehingga tersusun dengan baik. Selain itu,
saya juga berterima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya sendiri
membantu dalam menyusun karya tulis ini. Saya menyadari bahwa karya tulis ini
tidak luput dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan demi penyempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Atambua, 2 february 2016

Astrina Dassie

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR ...........................................................ii
DAFTAR ISI ....................................................................iii
ABSTRAK .......................................................................iv
BAB 1 PENDAHALUAN .....................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................1
B. Perumusan Masalah .........................................................2
C. Tujaan Program .................................................................3
D. Metode Penelitian .............................................................3
E. Kegunaan Program ...........................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................4
A.Sejarah Bangsa Indonesia .................................................4
1. Melayu Kuno ............................................................4
2. Melayu Klasik ..........................................................5
3. Bahasa Indonesia ....................................................6
B. Peristiwa Penting Perkembangan Bahasa Indonesia ........8
C. Fungsi Bahasa Indonesia ..................................................10
D. Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya .....................13
E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi ........24
F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional .................29
BAB 3 PENUTUP .............................................................32
A. Kesimpulan .......................................................................32
B. Saran ................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................35

ABSTRAK

iii
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945,
Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia
sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia
yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena
dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat
Indonesia

Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu


dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun
khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-
dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa
Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa
bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima
keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru
tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui
keberadaannya

Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan


perkembangan bahasa Indonesia. Tahun 1896 disusunlah ejaan
resmi bahasa Melayu. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo
menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Tanggal 28
Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar
bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia. Tahun 1933
berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya
sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisyahbana. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Tanggal 25-28 Juni 1938
dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Tanggal 18
Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945.
Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik
sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres

iv
Bahasa Indonesia II di Medan. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M.
Soeharto. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah
resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia III di Jakarta. Tanggal 21-26 November 1983
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Tanggal 28
Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia V di Jakarta. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Tanggal
26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII
di Hotel Indonesia, Jakarta.

Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-


28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di
dalam kedudukannya bahasa nasional, bahasa Indonesia
(selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:Lambang kebanggaan
nasional. Lambangidentitasnasional, Pemersatu berbagai
masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budayabahasa. Alat
perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat Pembinaan dan
pengembanganBahasa,1975:5). Beriringan dengan pesatnya
perkembangan BI sebagai lambang identitas nasional,
teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya
disingkat BD) sebagai lambang identitas daerah yang
keberadaannya diakui di dalam UUD 1945.

Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya,


agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu
tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan
seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain; juga merupakan
kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi
masalah serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah
lain. pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan sukubangsa

v
lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika
mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi. Arus
globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan
dan penghidupan manusia sejagat.

Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan


dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah
adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk
mempertahankan identitas etnis dan agama. Sejatinya keberadaan
masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang
beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada
kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran
kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain
relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara
toleransi menjadi lebih terbuka.

Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk


menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik
masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa
alasan. Selain persoalan konflik etnik dan agama yang perlu segera
mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah yang
berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka
negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman.
Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia
yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu alat
atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman
keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan
mempertimbangkan beberapa faktor berikut, tak berlebihan jika
gagasan ini dicobakan.

vi
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, Sejarah Bahasa Indonesia,
Melayu Globalisasi Identitas Bangsa, Identitas
Budaya.

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai


masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki
persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa,
tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi,
arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai
bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik
secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah
satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif
etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas
dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa
Indonesia tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa
Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis
bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam
peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam
pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa
Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.

Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang


memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa
Inggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah
bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya
bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa
Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu
bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di
dalam bahasanya itulah kemudian yang menjiwai negara-negara
tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara
penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat
etnik.

1
Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi paling penting
untuk mempersatukan seluruh bangsa. Oleh sebab itu,
merupakan alat mengungkapkan diri baik secara lisan maupun
tulisan, dari segi rasa harsa dan cipta serta piker baik secara
efektif dan logis. Semua warga negara Indonesia harus mahir
dalam menggunakan Bahasa Indonesia karena itu merupakan
kewajiban bergaul di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain
itu kita harus memajukan kepribadian Indonesia di dalam
maupun di luar negeri. Bahasa Indonesia tentu saja memiliki
karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang
kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan
yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa
Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek
misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi
Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut
Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari
bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan/EYD)
dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-
lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue
merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif
sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta
individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan
berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV
swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk
itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus
pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada
siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.

Kepribadian Indonesia dapat tercipta dari kemahiran


berbahasa Indonesia, bagi mahasiswa Indonesia semua itu dapat
tercermin dalam tata pikir, tata tulis, tata ucapan dan tata laku.
Berbahasa Indonesia dalam konteks Ilmiah dan Akademis,
sebagai mahasiswa harus lebih dapat menggunakan bahasa

2
Indonesia dengan baik dan benar supaya negeri ini bisa tetap
utuh terjaga.

B. PERUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang yang dijabarkan di atas dapat


dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Kebersamaan Bangsa

C. TUJUAN PROGRAM

Tujuan dari karya tulis ini adalah untuk mengetahui dan


memahami sejarah perkembangan bahasa indonesia dan bahasa
indonesia sebagai identitas dan penyatu bangsa.

D. METODE PENELITIAN

Dalam melakukan menulis karya tulis ini penulis


menggunakan buku Bahasa Indonesia Untuk Penulisan Karya
Tulis Ilmiah, sebagai acuan dalam pembahasan masalah dan
situs-situs pendidikan di internet sebagai sumber pembahasan
masalah.

E. KEGUNAAN PROGRAM

Dengan adanya karya tulis adalah supaya mengetahui dan


memahami sejarah perkembangan bahasa indonesia dan bahasa
indonesia sebagai identitas dan penyatu bangsa, sehingga dalam
kehidupan bermasyrakat dapat menggunakan bahaa Indonesia
yang baik dan benar, menjaga keutuhan bahasa Indonesia
sebagai kebudayaan dan identitas nasional di era globalisasi ini
dan mengetahui pentingnya bahasa indonesi di mayarakat luas.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa


Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Bentuk
bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar.
Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan
ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah
menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan
para penggunanya.

Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada


masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar
Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini
lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran,
dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.

Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar


dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda
berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa Melayu
Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa
Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar
sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.

1. Melayu Kuno

Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah dilakukan


pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum
pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang
dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa
atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada
abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan

4
beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga
Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan
keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:

1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683


2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686
4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi,
tahun 688

Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa


Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam
bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat
komunikasi pada zaman Sriwijaya.

Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno


juga terdapat di : a). Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun
832, dan Prasasti Manjucrigrha

b). Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942

Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula


dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja
dipakai di Sumatra, melainkan juga dipakai di Jawa.

Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan


bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno
yang digunakan pada masa yang berdekatan.

2. Melayu Klasik

5
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga
abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa
Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan
berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu
berangka tahun 1303.

Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari


Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang
dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi Masuk
Melayu berarti masuk agama Islam.

3. Bahasa Indonesia

Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai


lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum
banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu
masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai
360 bahasa.

Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan


di bukunya Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah
memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara
berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga
bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji
di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang
digunakan di seluruh Hindia Belanda."

Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario


menuliskan bahwa "Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan
dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan
mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil
kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota
Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar
yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut

6
dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas
di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."

Bahasa Indonesia modern dapat dilacak sejarahnya dari


literatur Melayu Kuno. Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu
pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda
mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904
Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Bahasa
Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin,
seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya
pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan
bahwa : "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada
di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang
bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat
laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan


Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau,
seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar.
Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah
perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa
Indonesia.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia


sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945,
Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia
sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia
yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena
dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat

7
Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-
masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa
Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar
masyarakat Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa
kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa
pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa
Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.

Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia


tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang
hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui
penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing.
Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang
pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh
Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939
di Solo, Jawa Tengah.

B. PERISTIWA-PERISTIWA PENTING YANG BERKAITAN


DENGAN PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

1. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van


Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Mamoer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab
Logat Melayu.
2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan
penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor
de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini
menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah
Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun

8
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu
penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa
Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam
sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa
Indonesia.[5]
4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin
mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan
Indonesia.
5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisyahbana.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa
Baru Bahasa Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan
bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan
Indonesia saat itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik
sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku
sebelumnya.
10. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan
perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik
Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di

9
hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan
Presiden No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah
resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan
Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan
dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini
selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga
berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia.
14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan
dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan
sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
15. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh
kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan
Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara,
yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia.

10
16. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak
770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman,
Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan,
dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya
menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan
disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu
mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

C. FUNGSI BAHASA INDONESIA

Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena


sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan
menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan
fungsionalisme. "Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam
antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk
hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem
organisme, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya tidak
hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan
bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup
organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem
budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya
memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-
budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak
terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami
disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain
tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).

Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang


antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown

11
(Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan
fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya
sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi
bagian dari sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup
itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau
hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai
contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi,
aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk.
Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi
juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar
integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami
disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai
kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur
yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.

Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini


adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu
selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan
fungsional tidak mampu menjelaskan adanya perubahan sistem
sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua
pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan.
Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara,
yaitu negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari
pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal
ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi


kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas
bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari
sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan
fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan,
atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya
kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan
pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan.

12
Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan
sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan
ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi
masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan
bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan
identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian
dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut
sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara.

Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia


menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain
atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor
kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi
dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas
bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu
berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas
selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari
merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang
berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari
disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi
sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama,
masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau
bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia
akan ditinggalkan.

Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-


28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di
dalam kedudukannya bahasa nasional, bahasa Indonesia
(selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:

1) Lambang kebanggaan nasional.


2) Lambangidentitasnasional,
3) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar
belakang sosial budayabahasa.

13
4) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah
(Pusat Pembinaan dan
pengembanganBahasa,1975:5).

Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai


lambang identitas nasional, teraktualisasikan pula perkembangan
bahasa daerah (selanjutnya disingkat BD) sebagai lambang
identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD 1945
yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI
dan BD. Oleh karena itu, pemerintah tidak ragu-ragu
mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang memberikan peluang
bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah masing-
masing.

D. SASTRA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA

Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan


pernyataan sikap para pemuda Indonesia: bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia,
dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, saat itulah
identitas etnis diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda
Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond,
Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-
Peladjar Indonesiadan agama diwakili Jong Islamietenmelekat
dalam semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak saat itu
pula, bahasa Melayu sebagai bahasa etnis diangkat menjadi
bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan
tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.

Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman


kultur dan bahasa, mulai dipersatukan melalui klaim kesadaran

14
adanya persamaan tanah air (wilayah), nasib bangsa yang
terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik
(bahasa). Tentu saja klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda
waktu itu dalam konteks kebangsaan yang bersifat politis, dan
tidak dalam hubungan kultural. Meski begitu, dalam lampiran hasil
keputusan kongres pemuda itu, dinyatakan bahwa dasar
persatuan Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan semangat
kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan
kepanduan. Di mana kultur etnik ditempatkan, apakah yang
dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam
konteks etnisitas, mengapa kebudayaan (etnik) tidak eksplisit
dijadikan sebagai landasan semangat persatuan keindonesiaan?

Di sinilah pernyataan menjunjung bahasa persatuan, bahasa


Indonesia, mestinya punya makna penting sebagai alat perekat.
Pasalnya, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah
menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara ini.
Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi
antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal
lebih dekat keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa,
di antaranya adalah untuk melakukan adaptasi dan integrasi
sosial? Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah
sesungguhnya terbuka lebar peluang untuk saling memahami
berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.

Meskipun demikian, dalam perjalanannya, peluang untuk


memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu,
seperti diabaikan begitu saja. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya,
tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan
orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak
menyinggung kebudayaan etnik, lantaran ia terperangkap oleh
pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional
(kebudayaan Indonesia lama) dan modern (kebudayaan Indonesia
baru). Dikatakannya, Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela

15
segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala
yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia
ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak
tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan
yang baru. Selanjutnya, dikatakan pula, dalam zaman jarak
menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar,
buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian
daripada dunia yang luas dalam pembangunan kebudayaan
Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada
kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi
penonton

Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang lain yang kemudian


menjadi Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi
penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam
membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak, memberi
penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang bagi Alisjahbana,
mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan
kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia.
Oleh karena itu, menurut Alisjahbana, kebudayaan tradisional
mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit
dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!

Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan,


bahwa Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih
banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk
perumahan yang baru, ia sama sekali tak melihat bahkan tidak
menyinggung signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai
bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan
begitu, kebudayaan etnik pun, bagi Alisjahbana, sekadar kisah
masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana menafikan keberadaan
kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan dengan tuntutan
semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya
semata-mata atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar

16
ketertinggalannya dari bangsa lain. Atau, sangat mungkin pula
Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Justru
di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa
kebudayaan Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir
mengikuti perjalanan waktu, dan seolah-olah kebudayaan
Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa
keterlibatan atau tanpa perlu melibatkan ihwal kultur etnik.

Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah: apa yang


dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan
Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan
asing atau kebudayaan daerah yang menyerap pengaruh asing?
Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama
sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang
ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh
asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu
yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru dijadikan
sebagai sumber inspirasi.

Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh


para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD
1945, dinyatakan: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia. Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional
Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam penjelasan
Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa Kebudayaan bangsa ialah
kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia,
terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan
tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.

17
Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep
kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-
puncak) kebudayaan daerah dalam pengertian yang lebih terang,
justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada keterangan lebih
lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan
pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai
kebudayaan bangsa, menafikan sebagian keberadaan kebudayaan
daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Atau,
mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan
nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat
keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah
dan kebudayaan nasional masing-masing menempati kotaknya
sendiri yang tidak secara gampang dapat dipertukarkan
tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya
yang justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja
mereka tidak mungkin dapat mencapai puncak-puncak
kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini
sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya
kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari
hubungannya antara kebudayaan nasional (bangsa) dan
kebudayaan daerah (etnik).

Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir


dari rahim etnik kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat
yang melandasi para seniman dan budayawan yang tergabung
dalam Gelanggang Seniman Merdeka. Dalam pernyataan sikap
berkebudayaannya yang dirumuskan dalam Surat Kepercayaan
Gelanggang, mereka cenderung menempatkan kebudayaan
Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali
tak ada usaha untuk mempertimbangkan kebudayaan etnik yang
sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan kutipan beberapa
penggalan Surat Kepercayaan Gelanggang berikut ini.

18
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan
kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami
tidak akan memberikan suatu kata
ikatanuntukkebudayaanIndonesia.Kalau kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia,kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari
segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam
bentuk suara sendiri.

Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang


belakangan dicap sebagai Angkatan 45 itu. Klaim ahli waris yang
sah dari kebudayaan dunia dan Kebudayaan Indonesia
ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang
dilontarkan dari segala sudut dunia menegaskan orientasi mereka
pada kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain
merupakan kebudayaan Barat.

Sementara itu, pernyataan: Kalau kami berbicara tentang


kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama, mengisyaratkan betapa mereka tak lagi
melihat kebudayaan etnik yang sebenarnya sejak mereka lahir
sudah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian:
mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja bahkan
ditiadakan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam
lingkaran kebudayaan etnik. Dengan demikian, bagaimana
mungkin mereka dapat merumuskan dan memahami identitas
kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah
menolak kebudayaan masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha
merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang
itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan masa
lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita
akan tetap terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan
tidak membumi.

19
Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak
menegaskan kembali, betapa rumusan-rumusan tentang
kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah gagal
mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah kebudayaan
etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan
Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada
konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang, melainkan
pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.

Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar


disajikan dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian
tertentu, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana
yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa
penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya,
semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang
melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan
kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita
sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan
etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa
besar kebudayaan yang berada di sebaliknya. Dalam hal itu,
barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang
memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi
apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan
kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima
kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan
kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur
etnik mana pun, sedikitnya dapat membawa kita mengenal,
memahami dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa
kultur etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini sesungguhnya
merupakan bagian dari diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai
warga Indonesia.

Di dalam kerangka itulah, kesusastraan sebagai potret


budaya sebuah komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan

20
kegelisahan kultural pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan
sebagai salah satu sarana mencapai tujuan itu. Bukankah
kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem sosial
budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang
pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan,
sistem nilai atau segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia
justru merepresentasikan semangat atau kegelisahan yang
berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan,
membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.

Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada awalnya adalah


kesusastraan etnik yang ditulis dengan menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari bahasa etnik
Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur etnik, ia
tak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak,
sumbernya jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari
latar belakang etnik yang melahirkan dan membesarkannya.

Sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sastrawan


mengusung sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat
dan nilai budaya kelompok sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat
karya itu diejawantahkan dalam bahasa Indonesia, masalah etnik
yang melingkarinya tadi, tiba-tiba seperti dianggap selesai, atau
diperlakukan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kultur
etnik. Problem budaya sukubangsa, latar belakang etnik,
mendadak lenyap begitu saja ketika ia menggunakan bahasa
Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di
dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan
menjunjung bahasa persatuan. Di dalam kemajemukan
masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah kenyataan. Tentu
saja tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman,
hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama: bahasa
Indonesia.

21
Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan
berbicara tentang Tanah Air (1922) dan Indonesia Tumpah
Darahku (1928), semangat pantun diperlakukan sekadar sebagai
bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya. Demikian
juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin
paksa seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah
semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang
Minang? Periksalah, dalam hampir semua novel terbitan Balai
Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak pernah
lepas dari semangat pengelanaan (merantau). Konsep merantau
menurut alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala
sesuatu yang tidak mereka dapati di alam tradisional. Perantauan
adalah sumber dari sesuatu yang baru . Bukankah itu
merupakan representasi kultur Minangkabau?

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa


kebudayaan tradisional (: kultur etnik) sebagai masa laluyang
harus mati semati-matinya, dalam kenyataannya, pernyataan itu
sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang
dikelolanya, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang
mengangkat kebudayaan tradisional (kultur etnik) atau
kesusastraan yang berorientasi pada unsur kedaerahan. Jadi,
meskipun Alisjahbana menganjurkan agar bangsa Indonesia
berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan
orang berbicara tentang berbagai pemikiran yang berkaitan
dengan kebudayaan tradisional (: kebudayaan daerah). Oleh
karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup
representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru mengingat
tidak sedikit di antaranya termasuk Armijn Pane dan Amir
Hamzah yang tidak mau meninggalkan kebudayaan etnik yang
telah melahirkan dan membesarkannya itu.

Masalah yang sama, juga terjadi pada seniman dan


budayawan Gelanggang yang memproklamasikan sikap

22
berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari
sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang
melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat.
Tetapi Chairil Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia
justru menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan
kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum Bachri,
Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi
kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.

Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih


ada Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat
Karta Mihardja, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang juga
tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Maka, kita dapat melihat,
pernyataan melap-lap kebudayaan lama justru telah
diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai penggalian
pada sumber tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata masih mencintai
Sang Mamak (Surat dari Ibu) dan melakukan pengelanaannya
dalam semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer (Bukan
Pasar Malam) menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor
Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan
berhadapan dengan kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja
membongkar tarekat dalam sebagian masyarakat Sunda
berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian,
pernyataan ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia
dapatlah kita tafsirkan dalam kaitannya atau dalam berhadapan
dengan kultur etnik.

Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan


etnik, tidak lagi terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), tetapi
menyebar ke dalam diri sastrawan yang berlatar etnis lain, seperti
Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan itu terus
berkembang ketika ada usaha untuk melakukan semacam
revitalisasi tradisi dalam kemasan modern. Itulah yang terjadi
dalam perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an, dan

23
terus berlanjut sampai sekarang. Timbul pertanyaannya: mengapa
masalah kultur etnik jarang disinggung para pengamat sastra yang
membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?

Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut.


Pertama, terjebak oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang
diterapkan pada Balai Pustaka. Cara pandang kolonial itu pula
yang menempatkan sastra sebagai produk elitis, dan menciptakan
dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan (: bacaan liar).
Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua
dasawarsa lebih, pendekatan struktural ini mendominasi
pengajaran sastra di berbagai peringkat pendidikan. Akibatnya,
karya sastra yang sesungguhnya menyimpan kekayaan kultur
etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan
dengan kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya.

Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya,


agama, kepercayaan, dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu
tak memahami suku bangsa lain; budaya yang satu diperlakukan
seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain; juga merupakan
kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi
masalah serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah
lain. Bahkan, jika ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan
disuarakan sebagai sebuah gerakan, ia malah menjadi ancaman
bagi keutuhan integrasi bangsa, seperti diperlihatkan Aceh dan
Papua. pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan
sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat
signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi
bangsa tadi.

Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan


kesusastraan etnik maka usaha mempelajarinya, langsung atau
tidak langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara yang
bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik, yang

24
multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang
berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha
memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan
dapat pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi
terhadapnya.

Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan


dan kebangsaan atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah
adanya tuntutan pengakuan dan keinginan yang berlebihan untuk
mempertahankan identitas etnis dan agama. Sejatinya
keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang
beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada
kesadaran kesetaraan hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran
kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi etnis dan budaya lain
relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara
toleransi menjadi lebih terbuka.

Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk


menuju pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik
masyarakat di wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa
alasan. Selain persoalan konflik etnik dan agama yang perlu
segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa
daerah yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam
kerangka negara merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi
ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan
Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan
salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa pada
pemahaman keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya.
Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut, tak
berlebihan jika gagasan ini dicobakan.

Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini, sastrawan


Indonesia sebenarnya tidak dapat meninggalkan kebudayaan
etniknya. Suara Alisjahbana yang menekankan orientasi ke Barat,

25
tak sepenuhnya diikuti sastrawan lain masa itu. Demikian juga
pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku
sebagai ahli waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam karya-
karya yang dihasilkan para perumus pernyataan itu.

Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di


wilayah Nusantara merupakan lahan yang tak bakal habis digali
dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia.
Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang
mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya. Dari
Minangkabau, dapat disebut nama-nama Chairul Harun, Warisan
(1979), Darman Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran
Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah
Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa, dapat disebutkan di
antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad
Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi
(1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto dalam antologi
cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur
Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan
Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang
(1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita
cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku
Ombak Selimutku Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan
jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, dan
dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut (2001), Aning
Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971:
II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka
Rusmini. Tentu masih banyak nama dan karya lain yang belum
disebutkan yang memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural
yang dihadapi pengarangnya. Karya-karya itu sangat pantas
menjadi bahan awal untuk memperkenalkan berbagai kultur etnik
yang tersebar di Nusantara ini.

26
Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta,
seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung,
Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi
khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang
diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan
kuatnya kultur etnik.

Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan


latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta
kesusastraan Indonesia. Yang menarik adalah beragamnya bentuk
representasi yang jika dilihat dari perspektif kultural, justru
memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan
pluralitas.

Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan


peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi
kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal
meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi
dan penggalian berbagai budaya etnik. Kondisi ini makin
mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas
yang melekat dalam diri sastrawan Indonesia.

E. PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan


milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan
milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap
struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan
dunia.

Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang


menurut Emil Salim (1990) menimpa empat bidang kekuatan
yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu,
yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi
dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi,

27
misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat,
AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi
global yang praktis telah mencakup sebagian wilayah di dunia ini
tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah
lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di
Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia,
Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya.
Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini
tak ada lagi suatu negara yang hanya memeprtaruhkan potensi
yang terdapat di dalam negaranya.

Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang


dalam waktu-waktu yang akan datang akan terjelma dalam
perilaku sosial, baik perilaku sosial bermasalah maupun perilaku
sosial yang positif . Kenyataan menunjukkan di mana-mana
selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga
bersaing, persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki
persaingan global.

Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh


aspek kehidupan dan penghidupan manusia sejagat. Pengaruh
itu, anara lain akan terlihat dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan
adalah masalah identitas bangsa.

Kalau kita berbicara identitas bangsa, mau tidak mau kita


akan berbicara tentang kebudayaan, dan kalau kita berbicara
tentang kebudayaan, mau tidak mau kita akan mempersoalkan
bahasa. Itu sebabnya Makagiansar (1990) menekankan perlunya
kesadaran tentang identitas budaya, bahkan Emil Salim (1990)
menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan
prioritas yang harus diperjuagkan mati-matian dengan cirri
utama keseimbangan antara aspek material dan spiritual.
Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin,

28
antara lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa
asing (disingkat BA) daripada penggunaan BI, misalnya dalam
penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan
kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan
pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari,
dan diambil langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing
dengan kata-kata Indonesia.

Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun


waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan
inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah
berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang
kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan
terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang
bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal,
selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan
terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).

Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami


untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa
takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan
cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng
pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di
dalam proses perubahan.

Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi


dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi?
Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang
harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam
menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa


proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses
globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan

29
lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau
kekuatan budaya global.

Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya


benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat
batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan
kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon
Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang
justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam
bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan Semakin besar
dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-
perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi. Ia di dalam
bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang
paradoks sehubungan dengan masalah ini. Semakin kita menjadi
universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan, berfikir lokal,
bersifat global. Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi
semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih
penting dan dipertahankan dengan lebih giat.

Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses


globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah
etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus
dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000,
Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era
kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya
untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-
peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama
dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih
mendapat tempat.

Berpikir lokal, bertindak global, seperti yang dikemukakan


Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan
sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu

30
yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan
mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk
masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses
berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi,
akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.

Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang


cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan
bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang
menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi
bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian
besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya
berkembang dari bahasa Melayu itu telah menggusur sejumlah
bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya
berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan
menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti
bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi
bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat
Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja,
bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang
ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan
berkembang menjadi bahasa yang modern pula.

Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut.


Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat
kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat
dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat
kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai
Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang
penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh
bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat
global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan
Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik

31
(mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan
kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai
kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di
dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa
Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra
Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan.
Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra
tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.

Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah


struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan
permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal
dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses
perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel
Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti
Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini,
dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di
dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha
masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-
tatih.

Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada


hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal
itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra
Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang
berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana
menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di
tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana
langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di
tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).

Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler


atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola

32
kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi
bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan


berubahnya paradigma tentang pembinaan dan
pengembangan bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan
bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi
bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut
harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme
pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu
lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh
mekanisme pasar. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan
bahasa yang baik dan benar. Politik bahasa yang terlalu bersifat
defensif harus ditinggalkan.

Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik


sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja
untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih
luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah
yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya
menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran
sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber
pengajaran.

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan


sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek.
Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan
sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.

Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah


satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan
sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan
Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra

33
Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah
dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus
mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu.
Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang
terbuka, bukan bersifat defensif.

F. BAHASA INDONESIA DAN SIARAN TELEVISI NASIONAL

Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai


salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia
maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara
Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan pewarisan
(transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan
salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun
televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun
milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua
materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia
baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut
sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini
menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari dinamika
masyarakat di Indonesia.

Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media


satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an.
Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas
kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-
ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam
rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa
menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas
kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga. "Dunia
yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk
televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa
hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit
sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).

34
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun
penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai
pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai
muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu
RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar
dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti
halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih
terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek
non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian
disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI
berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-
televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan"
bukanlah sekedar jargon yang tanpa arti. Di balik slogan ini
terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat
bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi
terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip
dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik
Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus
mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan
negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu
terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya
sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi
berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama",
dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang
yang sama".

Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan


siaran radio. Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio
sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat
wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat
audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar
sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi.
Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi

35
dengan masyarakat pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan
waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap
sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat
Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh
masyarakat Indonesia, atau masyarakat Indonesia di negara
tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.

36
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia


sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI
1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa
Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari
penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya
sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari
yang tidak resmi masyarakat Indonesia.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah
bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di
Nusantara kemungkinan sejak abad-abad, Bentuk yang lebih
resmi, disebut Melayu Tinggi.
Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan
perkembangan bahasa Indonesia

a) Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah


badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama
Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan
Rakyat).
b) Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu
oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan
Mamoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim
c) Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad
Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi
bahasa persatuan Indonesia.
d) Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda
yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang
dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.

37
e) Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
f) Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres
Bahasa Indonesia I di Solo.
g) Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-
Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal
36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara.
h) Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan
Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang
berlaku sebelumnya.
i) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan.
j) Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden
Republik Indonesia.
k) Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman
Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh
wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
l) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta.
m) Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
n) Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta.
o) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta.

38
p) Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta.

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi


kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas
bangsa Indonesia.
Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional,
25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan
bahwa di dalam kedudukannya bahasa nasional, bahasa
Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi:

a) Lambang kebanggaan nasional.


b) Lambangidentitasnasional,
c) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar
belakang sosial budayabahasa.
d) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah
(Pusat Pembinaan dan
pengembanganBahasa,1975:5).

Kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan


kesusastraan etnik maka usaha mempelajarinya, langsung
atau tidak langsung, diharapkan sampai ke sebuah muara
yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik,
yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra
Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya
dianggap sebagai usaha memahami identitas budaya etnis
lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai
salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan
sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek.
Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi
bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia
global, Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi
mengakibatkan berubahnya paradigma tentang
pembinaan dan pengembangan bahasa. Bahasa

39
Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa
negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe
(suku) yang mengglobal.

B. SARAN

Kritik dan saran yang membangun, kami harapkan untuk


perbaikan dan kemajuan karya ilmiah ini.

40
DAFTAR PUSTAKA

www.wikipedia.com
www.nawala.com
www.mahayana-mahadewa.com
http://CARI/ILMU/ONLINE/BORNEO.htm
http:// Gomarthe5s Weblog.com
http:// Indonesia\bahasa-identitas-bangsa.html
Rosihan, Anwar. 1991. Bahasa Indonesia dan
Media Massa Elektronika. Makalah Munas V dan Semloknas
I HPBI. Padang: Panitia Penyelenggara.
Rohmadi, Muhammad dkk. 2009. Bahasa
Indonesia untuk penulisan karya tulis ilmiah. Surakarta:
Media Perkasa

41

Anda mungkin juga menyukai