Oleh :
Astrina Dassie
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR ...........................................................ii
DAFTAR ISI ....................................................................iii
ABSTRAK .......................................................................iv
BAB 1 PENDAHALUAN .....................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................1
B. Perumusan Masalah .........................................................2
C. Tujaan Program .................................................................3
D. Metode Penelitian .............................................................3
E. Kegunaan Program ...........................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................4
A.Sejarah Bangsa Indonesia .................................................4
1. Melayu Kuno ............................................................4
2. Melayu Klasik ..........................................................5
3. Bahasa Indonesia ....................................................6
B. Peristiwa Penting Perkembangan Bahasa Indonesia ........8
C. Fungsi Bahasa Indonesia ..................................................10
D. Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya .....................13
E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi ........24
F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional .................29
BAB 3 PENUTUP .............................................................32
A. Kesimpulan .......................................................................32
B. Saran ................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................35
ABSTRAK
iii
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945,
Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia
sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia
yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena
dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat
Indonesia
iv
Bahasa Indonesia II di Medan. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M.
Soeharto. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah
resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia III di Jakarta. Tanggal 21-26 November 1983
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Tanggal 28
Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia V di Jakarta. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Tanggal
26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII
di Hotel Indonesia, Jakarta.
v
lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika
mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi. Arus
globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan
dan penghidupan manusia sejagat.
vi
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, Sejarah Bahasa Indonesia,
Melayu Globalisasi Identitas Bangsa, Identitas
Budaya.
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi paling penting
untuk mempersatukan seluruh bangsa. Oleh sebab itu,
merupakan alat mengungkapkan diri baik secara lisan maupun
tulisan, dari segi rasa harsa dan cipta serta piker baik secara
efektif dan logis. Semua warga negara Indonesia harus mahir
dalam menggunakan Bahasa Indonesia karena itu merupakan
kewajiban bergaul di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain
itu kita harus memajukan kepribadian Indonesia di dalam
maupun di luar negeri. Bahasa Indonesia tentu saja memiliki
karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang
kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan
yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa
Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek
misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi
Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut
Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari
bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan/EYD)
dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-
lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue
merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif
sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta
individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan
berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV
swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk
itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus
pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada
siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.
2
Indonesia dengan baik dan benar supaya negeri ini bisa tetap
utuh terjaga.
B. PERUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PROGRAM
D. METODE PENELITIAN
E. KEGUNAAN PROGRAM
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Melayu Kuno
4
beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga
Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan
keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
2. Melayu Klasik
5
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga
abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa
Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan
berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu
berangka tahun 1303.
3. Bahasa Indonesia
6
dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas
di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."
7
Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-
masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa
Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar
masyarakat Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa
kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa
pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa
Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.
8
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu
penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa
Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam
sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa
Indonesia.[5]
4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin
mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan
Indonesia.
5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisyahbana.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa
Baru Bahasa Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan
bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan
Indonesia saat itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik
sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku
sebelumnya.
10. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan
perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik
Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di
9
hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan
Presiden No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah
resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan
Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan
dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini
selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga
berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia.
14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan
dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan
sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
15. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh
kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan
Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara,
yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia.
10
16. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak
770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman,
Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan,
dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya
menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan
disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu
mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
11
(Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan
fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya
sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi
bagian dari sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup
itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau
hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai
contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi,
aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk.
Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi
juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar
integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami
disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai
kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur
yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.
12
Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan
sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan
ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi
masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan
bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan
identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian
dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut
sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara.
13
4) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah
(Pusat Pembinaan dan
pengembanganBahasa,1975:5).
14
adanya persamaan tanah air (wilayah), nasib bangsa yang
terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik
(bahasa). Tentu saja klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda
waktu itu dalam konteks kebangsaan yang bersifat politis, dan
tidak dalam hubungan kultural. Meski begitu, dalam lampiran hasil
keputusan kongres pemuda itu, dinyatakan bahwa dasar
persatuan Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan semangat
kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan
kepanduan. Di mana kultur etnik ditempatkan, apakah yang
dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam
konteks etnisitas, mengapa kebudayaan (etnik) tidak eksplisit
dijadikan sebagai landasan semangat persatuan keindonesiaan?
15
segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala
yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia
ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak
tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan
yang baru. Selanjutnya, dikatakan pula, dalam zaman jarak
menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar,
buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian
daripada dunia yang luas dalam pembangunan kebudayaan
Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada
kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi
penonton
16
ketertinggalannya dari bangsa lain. Atau, sangat mungkin pula
Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Justru
di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa
kebudayaan Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir
mengikuti perjalanan waktu, dan seolah-olah kebudayaan
Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa
keterlibatan atau tanpa perlu melibatkan ihwal kultur etnik.
17
Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep
kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-
puncak) kebudayaan daerah dalam pengertian yang lebih terang,
justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada keterangan lebih
lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan
pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai
kebudayaan bangsa, menafikan sebagian keberadaan kebudayaan
daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Atau,
mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan
nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat
keduanya mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah
dan kebudayaan nasional masing-masing menempati kotaknya
sendiri yang tidak secara gampang dapat dipertukarkan
tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya
yang justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja
mereka tidak mungkin dapat mencapai puncak-puncak
kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini
sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya
kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari
hubungannya antara kebudayaan nasional (bangsa) dan
kebudayaan daerah (etnik).
18
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan
kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami
tidak akan memberikan suatu kata
ikatanuntukkebudayaanIndonesia.Kalau kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia,kami tidak ingat kepada melap-lap hasil
kebudayaan lama. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh
kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari
segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam
bentuk suara sendiri.
19
Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak
menegaskan kembali, betapa rumusan-rumusan tentang
kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah gagal
mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah kebudayaan
etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan
Indonesia kini, mestinya tidak lagi terpaku dan berkutat pada
konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang, melainkan
pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.
20
kegelisahan kultural pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan
sebagai salah satu sarana mencapai tujuan itu. Bukankah
kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem sosial
budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang
pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan,
sistem nilai atau segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia
justru merepresentasikan semangat atau kegelisahan yang
berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan,
membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.
21
Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan
berbicara tentang Tanah Air (1922) dan Indonesia Tumpah
Darahku (1928), semangat pantun diperlakukan sekadar sebagai
bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya. Demikian
juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin
paksa seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah
semangat pengelanaan yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang
Minang? Periksalah, dalam hampir semua novel terbitan Balai
Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak pernah
lepas dari semangat pengelanaan (merantau). Konsep merantau
menurut alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala
sesuatu yang tidak mereka dapati di alam tradisional. Perantauan
adalah sumber dari sesuatu yang baru . Bukankah itu
merupakan representasi kultur Minangkabau?
22
berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan Gelanggang. Dari
sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang
melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat.
Tetapi Chairil Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia
justru menerjemahkan semangat Barat untuk kepentingan
kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum Bachri,
Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi
kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.
23
terus berlanjut sampai sekarang. Timbul pertanyaannya: mengapa
masalah kultur etnik jarang disinggung para pengamat sastra yang
membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?
24
multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang
berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha
memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan
dapat pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi
terhadapnya.
25
tak sepenuhnya diikuti sastrawan lain masa itu. Demikian juga
pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku
sebagai ahli waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam karya-
karya yang dihasilkan para perumus pernyataan itu.
26
Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta,
seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung,
Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi
khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang
diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan
kuatnya kultur etnik.
27
misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat,
AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi
global yang praktis telah mencakup sebagian wilayah di dunia ini
tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah
lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di
Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia,
Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya.
Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini
tak ada lagi suatu negara yang hanya memeprtaruhkan potensi
yang terdapat di dalam negaranya.
28
antara lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa
asing (disingkat BA) daripada penggunaan BI, misalnya dalam
penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan
kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan
pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari,
dan diambil langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing
dengan kata-kata Indonesia.
29
lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau
kekuatan budaya global.
30
yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan
mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk
masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses
berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi,
akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.
31
(mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan
kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai
kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di
dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa
Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra
Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan.
Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra
tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
32
kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi
bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.
33
Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah
dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus
mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu.
Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang
terbuka, bukan bersifat defensif.
34
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun
penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai
pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai
muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu
RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar
dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti
halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih
terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek
non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian
disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI
berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-
televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan"
bukanlah sekedar jargon yang tanpa arti. Di balik slogan ini
terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat
bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi
terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip
dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik
Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus
mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan
negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu
terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya
sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi
berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama",
dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang
yang sama".
35
dengan masyarakat pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan
waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap
sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat
Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh
masyarakat Indonesia, atau masyarakat Indonesia di negara
tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.
36
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
37
e) Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
f) Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres
Bahasa Indonesia I di Solo.
g) Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-
Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal
36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara.
h) Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan
Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang
berlaku sebelumnya.
i) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan.
j) Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden
Republik Indonesia.
k) Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman
Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh
wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
l) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta.
m) Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
n) Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta.
o) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta.
38
p) Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta.
39
Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa
negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe
(suku) yang mengglobal.
B. SARAN
40
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com
www.nawala.com
www.mahayana-mahadewa.com
http://CARI/ILMU/ONLINE/BORNEO.htm
http:// Gomarthe5s Weblog.com
http:// Indonesia\bahasa-identitas-bangsa.html
Rosihan, Anwar. 1991. Bahasa Indonesia dan
Media Massa Elektronika. Makalah Munas V dan Semloknas
I HPBI. Padang: Panitia Penyelenggara.
Rohmadi, Muhammad dkk. 2009. Bahasa
Indonesia untuk penulisan karya tulis ilmiah. Surakarta:
Media Perkasa
41