Anda di halaman 1dari 77

BAHAN AJAR

BIMBINGAN TEKNIS PENINGKATAN KAPASITAS


TENAGA KESEJARAHAN BAGI PENULIS SEJARAH

MATA AJAR
METODE SEJARAH

Oleh :
Drs. R. Wisnubroto, M.Pd.
Drs. Muhammad Wasith Albar, M.Hum

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
DIREKTORAT SEJARAH
2016

0
Bahan Ajar :

Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas


Tenaga Kesejarahan bagi Penulis Sejarah

Editor :
Andi Syamsu Rijal
Helena Listyanintyas

Cetakan Pertama Tahun 2016


Diterbitkan oleh :
Direktorat Sejarah
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
ISBN :

1
KATA PENGANTAR

Ungkapan puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan


Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
Nya sehingga kami selaku penyelenggara Bimtek Peningkatan
Kapasitas Tenaga Kesejarahan bagi Penulis Sejarah dapat
menyelesaikan bahan ajar ini dengan baik.

Sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman
Pengembangan Sumber Daya Manusia Kebudayaan, bahwa
untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
Kebudayaan perlu dilakukan upaya pengembangan Sumber
Daya Manusia Kebudayaan.

Salah satu peningkatan Kapasitas yang dilakukan oleh


Direktorat Sejarah adalah Bimtek Peningkatan Kapasitas Tenaga
Kesejarahan bagi Penulis Sejarah, Terutama bagi para penulis
sejarah yang tidak berlatarbelakang pendidikan sejarah akan
tetapi mempunyai minat untuk menulis sejarah

Bahan ajar ini sangat penting, sebagai acuan dalam proses


belajar mengajar pada kegiatan ini dengan harapan agar peserta
bimtek dapat mempelajari teknis penulisan sejarah yang baku,
khususnya dalam menggali sejarah bangsanya, karena dengan
memahami sejarah bangsa maka tumbuhlah jiwa patriotisme
dan tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan
kompetensi yang diharapkan.

2
Kami menyadari bahwa bahan ajar ini masih ada
kekurangan dan kelemahannya, baik pada isi, bahasa maupun
penyajiannya. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan
adanya tanggapan berupa kritik dan saran guna penyempurnaan
bahan ajar ini. Semoga bahan ajar ini bermanfaat khususnya
bagi peserta bimtek.

Jakarta, Maret 2016


Plt. Direktur Sejarah

Dr. Ir. Taufik Hanafi, MUP


NIP. 196308281990031002

3
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR....................................................
DAFTAR ISI .............................................................
BAB I. PENDAHULUAN ............................................
BAB II. METODE SEJARAH......................................
A. Heuristik ......................................................
B. Kritik ............................................................
C. Interpertasi ...................................................
D. Historiografi...................................................
E. Hubungan Sejarah dan Kekuatan-kekuatan
bagi Ilmu-ilmu Sosial......................................
BAB III. SUMBER-SUMBER PENULISAN SEJARAH....
A. Penelitian Sumber Sejarah.................................
B. Penelusuran Sumber-Sumber Sejarah...............
C. Sumber Primer dan Sekunder...........................
D. Beberapa Jenis Sumber Penulisan Sejarah.......
E. Beberapa Tempat Mencari Sumber ..................
Tambahan/Pelengkap.......................................
BAB III. PENUTUP ...................................................
A. Rangkuman......................................................
B. Pertanyaan.......................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................

4
BAB I
PENDAHULUAN

Seorang calon penulis sejarah harus menguasai metode


penelitian sejarah karena tulisan sejarah yang baik adalah
tulisan yang berdasarkan pada metode penelitian. Para
sejarawan telah menciptakan metode penelitian sejarah sebagai
panduan tentang tata cara memahami, menganalisis, dan
merekonstruksi peristiwa masa lalu.
Metode penelitian sejarah terdiri dari empat kegiatan
penelitian utama, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan
historiografi. Peserta workshop tingkat dasar sangat penting
untuk memiliki pengetahuan yang cukup tentang keterkaitan
empat kegiatan penelitian utama itu dan menemukenali tentang:

 Pengertian dan arti penting heuristik atau mencari hingga


menemukan sumber dalam metode penelitian sejarah
 Pengertian dan arti penting kritik sumber-sumber dalam
metode penelitian sejarah
 Pengertian dan arti penting interpretasi dalam metode
penelitian sejarah
 Pengertian dan arti penting historiografi dalam penelitian
sejarah

Bahan ajar ini membahas mengenai Metode Sejarah dan


Sumber Sumber Sejarah yang merupakan bagian terpenting
dalam penulisan sejarah. Seorang penulis sejarah diharapkan

5
sudah memiliki pengetahuan mendasar mengenai metode
sejarah yang akan membantunya dalam proses penulisan
sejarah. Bahan ajar ini pada bagian pertama membahas
mengenai Metode Sejarah dengan uraiannya yang mendasar agar
dapat dipahami peserta workshop. Bagian kedua membahas
Sumber-Sumber Sejarah yang berhubungan erat dengan Metode
Sejarah. Peserta workshop penulisan sejarah diharapkan dapat
memahami dua bagian penting ini sebelum memulai satu
penulisan sejarah yang baku.

6
BAB II
METODE SEJARAH

Langkah pertama yang dilakukan seorang penulis


sejarah adalah memilih tema sejarah yang akan ditulis,
apakah satu peristiwa sejarah atau tokoh sejarah, baik tingkat
lokal maupun nasional. Setelah mendapatkan tema
penulisan, langkah selanjutnya adalah melakukan penelitian
sejarah. Penelitian sejarah dilakukan dengan menerapkan
kaidah metode sejarah sebagaimana lazimnya. Dalam metode
sejarah ada beberapa tahapan kegiatan yaitu heuristik, kritik,
dan historiografi. Tahap kegiatan yang terakhir disebut adalah
kegiatan penulisan sejarah (penulisan hasil penelitian
sejarah), bukan kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap
terakhir ini juga terjadi proses interpretasi, eksplanasi, dan
penyajian.

A. Heruristik

Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber


yang diperlukan. Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada
dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai sumber
yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran
sumber. Pada tahapan ini, peneliti sejarah mengumpulkan
semua sumber yang mungkin menjadi sumber dalam
penulisan sejarah. Sumber tersebut tidak hanya berupa
sumber tertulis namun juga dapat berupa sumber benda atau
bahkan sumber lisan.

7
Sejarawan bekerja berdasarkan berbagai dokumen
yang ada. Begitulah kalimat pembuka dalam buku klasik
Introduction to the Study of History yang di tulis oleh CH. V
Langlois dan CH. Seignobos pada tahun 1898. Ini artinya
penulisan sejarah berangkat dari keterangan-keterangan
yang di berikan oleh dokumen kemudian di intepretasikan
berdasarkan teori dan atau oleh penulis sejarah itu sendiri.
Tahap pengumpulan sumber ini menjadi penting
mengingat apabila seorang sejarawan atau penulis sejarah
tidak bisa mengumpulkan atau menemukan sumber
sejarah yang diperlukan akan berdampak kepada hasil
penelitian sejarah yang kurang lengkap, kurang informatif
atau masih jauh dari kebenaran.
Seperti seorang detektif yang bekerja dalam sebuah
kasus pembunuhan, apabila data atau dokumen terkait
pembunuhan tidak ada atau tidak cukup maka akan terasa
sulit memecahkan persoalan itu. Untuk itu kemudian
pengumpulan data menjadi penting dan sudah menjadi
keharusan seorang penulis sejarah atau sejarawan untuk
mau bekerja keras mengumpukan sumber dokumen itu.
Dalam pengertiannya, sumber sejarah memiliki
pengertian yang luas. Artinya sebagai sebuah informasi
yang dibutuhkan untuk penulisan sejarah, sumber sejarah
tidak melulu terkait tentang dokumen tertulis seperti;
notulensi rapat, surat keputusan dll. Sumber-sumber
sejarah yang berkaitan dengan dokumen tertulis biasanya
banyak ditemukan di Arsip Pemerintahan baik daerah
maupun pusat, perpustakaan-perpustakaan, pengadilan-

8
pengadilan dan apabila kemudian dokumen yang dicari
bersifat pribadi yang tidak terdapat di dalam koleksi resmi,
maka bisa di cari di perpustakan pribadi, dokumen-
dokumen perusahaan, gereja hingga koleksi kolektor-
kolektor kuno.
Kemudian juga ada sumber lisan. Sumber lisan pun di
bagi menjadi dua. Yang pertama sejarah lisan yang
merupakan usaha untuk merekam kenangan yang di
sampaikan oleh pengkisah sebagai pengetahuan atau
informasi tangan pertama. Sedangkan pengertian tradisi
lisan biasanya kisah yang mencangkup semua aspek
kehidupan dari suatu masyarakat di masa lampau yang di
tuturkan atau di ceritakan dari generasi ke generasi
selanjutnya.
Di dalam kisahnya biasanya terkandung hal-hal yang
sangat irasional sesuatu yang sulit di terima di dalam akal.
Akan tetapi menurut L. Gottschalk, tradisi lisan seringkali
membantu hanya pada level pengetahuan sejarahnya saja
sedangkan untuk sejarawan itu sendiri hampir bisa di
pastikan hanya sedikit bahan yang bisa dipakai untuk kerja
penulisan bahkan sering tidak sama sekali
Meskipun sumber lisan sangat penting dan dapat
dengan mudah membantu penulis sejarah merangkai
sebuah peristiwa, namun patut dicatat bahwa terdapat pula
beberapa kelemahan yang melingkupi keabsahan informasi
dari model ini. Misalnya informasi yang diceritakan oleh
pelaku sejarah tidaklah lepas dari unsur-unsur

9
subjektifitas atau malah kepentingan tertentu dari sang
pengkisah.
Kemudian sukar mempertahankan keasliannya,
mengingat sering ada penambahan atau pengurangan pada
isi cerita. Juga yang menjadi pertimbangan adalah usia dan
kondisi pengkisah turut mempengaruhi informasi yang
didapat. Sehingga akan sulit di pahami jika penulis sejarah
atau sejarawan hanya mengandalkan informasi dari sumber
lisan.
Sejarah lisan yang akan digunakan haruslah
mematuhi terlebih dahulu kerangka konseptual dan
analisis dalam berinteraksi dengan pengkisah. Hal ini
didapat dari pengayaan materi sejarah yang menjadi
konsen penelitian sang penulis sejarah atau sejarawan itu
sendiri.
Yang perlu diperhatikan selanjutnya dalam
melakukan wawancara terhadap narasumber. Menelusuri
dengan baik latar belakang serta pengetahuan (memori)
sang narasumber seperti mempertimbangkan usia
pengkisah pada saat terjadinya pristiwa dan usia pada saat
penggalian informasi atau wawancara.
Selain itu juga penulis harus memperhatikan kaidah-
kaidah atau etika dalam sejarah lisan. Pertama penulis
harus menjelaskan kepada narasumber terkait setiap
langkah dalam proses yang akan berlangsung. Kedua
penulis harus harus menuliskan informasi yang masuk
secermat-cermatnya dan yang ketiga penulis harus

10
menjelaskan tentang tujuan atau penggunaan hasil
wawancara.
Ada kalanya penulis sejarah menutup rapat-rapat
informan yang dipilihnya sebagai narasumber jika yang
bersangkutan tidak ingin namanya disebutkan sebagai
narasumber dari penelitian dan atau para narasumber
hanya baru mau di publikasikan namanya jika sudah
meninggal.
Jika mengunakan penjelasan G.J Reiner kita akan
mendapatkan pemahaman bahwa sumber sejarah
berdasarkan bentuknya dibedakan menjadi tiga bagian.
Yang pertama adalah sumber Immaterial (abstrak) seperti
adat, norma, etika, tradisi, legenda dan sebagainya.
Beberapa contoh itu kemudian bisa kita tarik
kesimpulannya menjadi sesuatu dari masa lalu yang di
yakini masih hidup hingga hari ini di dalam masyarakat.
Yang kedua sumber material (empirik) seperti artefak,
prasasti, dolmen, menhir dan sebagainya yang itu
menggambarkan bukti berupa benda nyata yang
merupakan hasil dari kegiatan manusia di masa lalu.
Selanjutnya yang ketiga atau yang terakhir adalah sumber
tertulis yaitu bukti-bukti dari setiap kegiatan manusia dan
lebih mengarah kepada sumber berupa dokumen atau
arsip, catatan harian, notulensi dll.
Sumber sejarah memiliki dua katagori yang harus
diperhatikan. Yang pertama adalah Sumber Primer dan
yang kedua adalah Sumber Sekunder. Sumber-sumber bisa
dikatakan primer apabila itu dikeluarkan oleh orang yang

11
manjadi saksi atas sebuah peristiwa atau pelaku utama
dalam sebuah peristiwa. Bisa juga kemudian cirinya
sesuatu yang dibuat pada tahun yang sama pada saat
peristiwa itu terjadi seperti dokumen teks proklamasi,
undang-undang dsb.
Untuk yang disebutkan kedua yakni Sumber
Sekunder biasanya mengacu kepada penjelasan
sesudahnya. Maksudnya intepretasi setelahnya seperti hasil
riset semacam disertasi, thesis dan hasil penelitian. Sumber
sekunder sesuatu yang tidak berkaitan secara langsung
atau tidak dibuat serta berasal pada saat pristiwa itu terjadi
namun masih berhubungan. Seringkali penulis sejarah
pemula atau mahasiswa sejarah kebingungan terkait
membedakan mana sumber primer dan mana sumber
sekunder. Misalnya tidak semua data-data yang berasal
atau dibuat pada tahun yang sama dengan pristiwa yang
kita pilih sebagai objek penelitian bisa digunakan sebagai
sumber primer atau malah sebagai sumber sejarah.

B. Kritik.

Setelah data-data terkumpul tahap berikutnya adalah


melakukan kritik terhadap data-data tersebut. Heuristik
adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang
diperlukan. Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada
dasarnya tergantung dari wawasan penulis mengenai
sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis
penelusuran sumber. Dalam metode sejarah dikenal dengan

12
cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal. Kritik
eksternal atau kritik luar digunakan untuk menilai
otentisitas sumber sejarah. Sedangkan kritik intern atau
kritik dalam yaitu untuk menilai kredibilitas sumber
dengan mempersoalkan isinya, kemampuan
pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya.

a. Kritik Eksternal
Sjamsuddin mengemukakan bahwa kritik eksternal
ialah harus menegakkan fakta dari kesaksian bahwa
kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau
pada waktu ini (authenticity) dan kesaksian yang telah
diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan
(uncorrupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahan
atau penghilangan-penghilangan yang substansial
(integrity). Fungsi dari kritik eksternal adalah memeriksa
sumber sejarah atas dasar menegakkan sedapat
mungkin otensitas dan integritas dari sumber itu. Hal
yang perlu diperhatikan dalam kritik eksternal :

1) Otentisitas
Menurut Jacquez dan Henry mengemukakan bahwa
sumber asli artinya sumber yang tidak dipalsu,
sedangkan sumber otentik ialah sumber yang
melaporkan dengan benar mengenai sesuatu subjek yang
tampaknya benar. Mengidentifikasi penulis adalah
langkah pertama dalam menegakkan otentisitas. Kadang-
kadang penulis tidak dapat ditandai, tetapi tidak berarti

13
bahwa sumber-sumber hasil suatu pemalsuan,
dokumen-dokumen yang anonim (tidak ada nama
penulis atau pengarang) dapat disebut otentik. Menurut
Lucey mengemukakan semakin banyak diketahui
tentang asal-usul dari suatu catatan atau peninggalan,
menjadi semakin mudah untuk menegakkan kredibilitas.
(keandalan) dari catatan atau peninggalan itu.
Kredibilitas terletak pada kompetensi (competence) dan
kebenaran (veracity) dari saksi mata (witness), dan
pengetahuan ini acapkali diperoleh dari suatu penelitian
mengenai asal-usul sumber itu
Masalah otentisitas Gottschalk juga mengemukakan
bahwa sumber tertulis/dokumen sering terjadi
pemalsuan sehingga para sejarawan harus sangat cermat
dalam melakukan kritik. Beberapa faktor terjadinya
pemalsuan dokumen yaitu digunakan untuk mendukung
klaim yang palsu dan untuk mendukung propaganda
politik.

2) Deteksi sumber palsu


Dalam mendeteksi sumber palsu ada ujian-ujian
terhadap sumber-sumber tersebut, ini adalah aplikasi
kritik eksternal dan internal dan biasanya dibagi atas
empat kategori :

14
a) Kriteria fisik.
Kadang-kadang dokumen gagal pada tes
pertama, yaitu kriteria fisik. misalnya, kertas-
kertas lebar dan tinta umumnya digunakan
dalam penulisan pada abad ke-17 atau ke-18
(VOC) ternyata ditulis pada kertas kuarto dan
tinta dari abad ke 20
b) Garis asal-usul dari dokumen atau sumber
Jika tidak jelas maka perlu diragukan karena
sampai kepada kita melalui suatu garis pemilik-
pemilik yang tidak dikenal.
c) Tulisan tangan
Tulisan tangan dapat membuktikan kepalsuan
suatu dokumen. Suatu perbandingan perlu
dilakukan diantara dokumen-dokumen yang
dianggap penulis dikenal otentik dan dokumen
yang sedang diperiksa yang kemudian terbukti
palsu.
d) Isi dari sumber
Dari isi (content) suatu dokumen atau sumber
dapat ditemukan, misalnya, anakronisme,
kesalahan-kesalahan yang dianggap penulis
sebenarnya tidak melakukannya, atau
pandangan-pandangan yang dinyatakan
bertentangan dengan pandangan-pandangan
yang sudah dikenal dari penulis sesungguhnya.

15
3) Integritas
Menurut Lucey mengemukakan Integritas adalah satu
aspek dari otentisitas dan suatu aspek yang sangat
penting, suatu sumber mempunyai otentisitas yang tetap
jika kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa korupsi
atau ubahan-ubahan meskipun ditransmisikan dari
masa ke masa. Jika ini semua benar-benar diketahui
maka dapat dikatakan bahwa fakta dari kesaksian (fact
of testimony) telah ditegakkan bagi sejarawan. Untuk
mencegah adanya kekeliruan menyalin atau dalam
verifikasi perlu dilakukan kolas (collation) yaitu
membandingkan manuskrip asli dengan salinan.
Caranya ialah seorang membaca naskah asli dan
sejarawan mengikuti naskah salinan.

4) Penyuntingan
Dokumen-doukumen yang disunting (edit) secara
sembarangan dan tidak kompeten dapat merusak
banyak sumber sejarah. Aturan-aturan mengedit
sebenarnya sederhana meskipun sangat ketat.
Dokumen-dokumen harus diedit sebagaimana aslinya.
Kalau ada perubahan-perubahan yang dibuat
penyunting harus memberitahukan kepada pembacanya
atau pemakainya

16
b. Kritik Internal
Berbeda dengan kritik eksternal yang lebih
menitikberatkan pada uji fisik suatu sumber sejarah, kritik
internal ingin menguji lebih jauh lagi mengenai isi sumber
tersebut dengan mempertanyakan apakah isi informasi yang
terkandung dari sumber sejarah tersebut benar dan dapat
dipercaya, kredibel, dan reliable.

Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal


sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan
aspek “dalam” yaitu isi dari sumber. Setelah fakta kesaksian
(fact of testimony) ditegakkan melalui kritik eksternal, tiba
giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap
kesaksian itu. Peneliti harus memutuskan apakah
kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak.
Keputusan ini didasarkan atas penemuan dua penyelidikan
(inquiry) Sebagai peneliti hendaknya melakukan pengujian
atas data yang diperoleh, seperti : melakukan evaluasi
terhadap isi buku yang telah dibaca, perhatikan kesalahan-
kesalahan yang muncul dalam bacaan. Perhatikan pula
apakah argumentasi yang digunakan relevan atau tidak,
selain itu peneliti dapat membedakan isi buku yang kadar
ilmiahnya tinggi atau rendah. Hal-hal yang perlu di
perhatikan dalam kritik internal adalah :

17
1) Arti kesaksian yang sebenarnya
Sejarawan harus menetapkan arti sebenarnya (real sense)
dari kesaksian itu; apa yang sebenarnya ingin dikatakan
oleh saksi atau penulis. Karena bahasa tidak statis dan
selalu berubah, menentukan arti sebenarnya kadang-
kadang menimbulkan suatu masalah yang serius.
Sejarawan harus mempunyai retorik dan hermeneutis
untuk mengetahui bahasa dalam mana sumber atau
dokumen ditulis. Bahasa dari suatu bangsa berubah dari
satu generasi ke generasi lain. Jadi kata-kata dan
ungkapan-ungkapan, dapat mempunyai pengertian-
pengertian yang berbeda.

2) Kredibilitas kesaksian
Menurut Lucey mengemukakan kredibilitas kesaksian
berasal dari kompetensi dan kebenaran saksi, dan dua
kualifikasi ini tentu saja tidak dapat diterima begitu saja.
Harus diketahui bagaimana kemampuan saksi untuk
mengamati teruji benar atau tepat, bagaimana jaminan
bagi kejujurannya, bagaimana kesaksiannya itu
dibandingkan dengan saksi-saksi dengan
memperhitungkan kemungkinan kesalahan-kesalahan
yang dibuat oleh saksi lain. Umumnya yang menjadi
sumber kesalahan ialah pengamatan yang keliru, ingatan
yang salah, prasangka, dan ketidakmampuan dalam
mengutarakan dengan jelas pikirannya.

18
Kredibiltas dari catatan-catatan tertulis dapat
ditemukan didalam hakikat dan tujuan dari sumber-
sumber tersebut, karena masing-masing mempunyai
kriteria tersendiri untuk dinilai. Meskipun semuanya
adalah sumber sejarah, tetapi tidak semua mempunyai
tujuan pertama untuk menampilkan kebenaran sejarah.
kredibilitas kesaksian dipengaruhi pula oleh kualifikasi
dari saksi seperti usia, watak, pendidikan dan
kedudukan, sejarawan tidak dapat mengharapkan
kesaksian yang sama mengenai masalah tersebut dari
seorang petani, pencuri, politikus, wanita, guru besar,
dan lainnya.
Dalam membandingkan satu sumber dengan sumber
lainnya untuk kredibilitas, terdapat tiga kemungkinan
yaitu, Sumber-sumber lain dapat cocok dengan sumber
A, sumber yang dibandingkan (concurring sources),
Sumber-sumber lain berbeda dengan sumber A
(dissenting sources), dan Sumber-sumber lain itu “diam”
saja. Artinya tidak menyebutkan apa-apa (silent sources).
Masing-masing masalah yang dikemukakan di atas akan
dibahas dibawah ini :

a) Sumber-sumber yang sesuai (concurring sources)


Kredibilitas sumber (sumber A) tidak lagi ditegakkan
apabila sumber-sumber lain yang sesuai dengan
kesaksiannya telah ditemukan. Apakah sumber-
sumber yang sesuai ini berdiri sendiri (independent)
atau bahkan mungkin terjadi ketergantungan

19
(dependent) kepada sumber asli. Persesuaian
kesakian dari saksi-saksi yang bebas berdiri sendiri
dan dapat dipercaya yang dapat menegakan
kredibilitas suatu sumber tertentu, jadi saksi-saksi
itu harus independent

b) Sumber-sumber berbeda (dissenting sources)


Untuk sumber yang berbeda tergantung pada
tingkat perbedaanya, pada hakikat dari sumber-
sumber yang beda-beda itu. Meskipun ada
perbedaan pada rincian atau pada butir-butir atau
hal-hal kecil namun semuanya tidak dapat
membatalkan begitu saja kesaksian dari sumber
yang dibicarakan. Dimana terdapat pertentangan
yang sungguh-sungguh antara sumber-sumber itu
mengenai substansi dari kesaksian, maka kecil
untuk menggunakan salah satu sumber sampai
kredibilitas dari satu atau yang lain dapat
ditegakkan atas dasar alasan yang kuat. Menurut
Lucey mengemukakan kesaksian yang bertentangan
dari pihak-pihak yang berlawanan atau bersaingan
adalah umum, dan biasanya kebenaran akan
ditemukan diantara kedua kutub itu

20
C. Interpretasi

Fakta yang terkumpul dan telah siap untuk


digunakan itu belum berguna, jika belum diberi arti.
Fakta nampak mempunyai arti bila telah dimulai
dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain, inilah
permulaan mengadakan penafsiran fakta. Interpretasi
adalah menetapkan makna dan saling hubungan antara
fakta-fakta yang diperoleh. Interpretasi diperlukan agar
data yang mati bisa bicara atau mempunyai arti. Suatu
peristiwa sejarah bisa ditafsirkan ulang oleh orang lain.
Penafsiran yang berlainan tentang fakta-fakta sejarah
mungkin saja terjadi, tergantung dari sudut pandang
mana seseorang melihat peristiwa.
Interpretasi dilakukan supaya data sejarah yang telah
terkumpul bisa berbicara atau dipahami oleh orang lain
sehingga menjadi fakta sejarah.

a) Pengertian Interpretasi dalam Metode Sejarah


Secara harfiah, interpretasi berarti pemberian kesan,
pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu.
Kata yang dapat menjadi padanan untuk interpretasi
yaitu penafsiran. Jika dilihat dari definisi diatas, suatu
objek yang telah jelas maknanya, maka objek tersebut
tidak mengundang interpretasi. Istilah interpretasi
sendiri dapat merujuk proses penafsiran yang sedang
berlangsung atau hasil dari proses penafsiran

21
Dalam proses penulisan sejarah, juga dikenal istilah
interpretasi. Interpretasi merupakan bagian dari metode
penelitian sejarah. Metode ialah suatu cara untuk
berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan
sesuatu. Dapat juga diartikan keteraturan dalam
berbuat, atau suatu sistem yang teratur. Jadi metode
ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau
teknis yang sistematis dalam penyelidikan suatu
disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek
(bahan-bahan) yang diteliti.
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya.
Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah
instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah
(history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah
(history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah,
metode penelitian itu disebut metode sejarah.
Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian,
pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam
pertanyaan (5W dan 1H) yang merupakan elemen dasar
penulisan sejarah, yaitu what, when, where, who, why,
dan how. Pertanyaan-pertanyaan itu konkretnya
adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan
terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat
dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi?
Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?

22
Pada proses penulisan sejarah sebagai kisah,
pertanyaan-pertanyaan dasar itu dikembangkan sesuai
dengan permasalahan yang perlu diungkap dan
dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah
yang harus menjadi sasaran penelitian sejarah, karena
penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan
eksplanasi (kejelasan) mengenai signifikansi (arti
penting) dan makna peristiwa.
Dalam metode sejarah ada beberapa tahapan
kegiatan yaitu heuristik, kritik, dan historiografi. Tahap
kegiatan yang terakhir disebut adalah kegiatan
penulisan sejarah (penulisan hasil penelitian sejarah),
bukan kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap
terakhir ini juga terjadi proses interpretasi, eksplanasi,
dan penyajian.
Dalam penulisan sejarah, digunakan secara
bersamaan tiga bentuk teknik dasar tulis menulis yaitu
deskripsi, narasi dan analisis. Ketika sejarawan menulis
ada dua dorongan utama yang menggerakkannya yakni
mencipta ulang (recreate) dan menafsirkan (interpret).
Dorongan pertama menuntut deskripsi dan narasi,
sedangkan dorongan kedua menuntut analisis.
Sejarawan yang berorientasi pada sumber-sumber
sejarah saja akan menggunakan porsi deskripsi dan
narasi yang lebih banyak. Sedangkan sejarawan yang
berorientasi pada problem atau masalah, selain
menggunakan deskripsi dan narasi, akan lebih

23
mengutamakan analisis. Akan tetapi apapun cara yang
dipergunakan, semuanya akan bermuara pada sintesis.
Sehubungan dengan teknik deskripsi, narasi dan
analisis diatas, sebenarnya sebagian besar para
sejarawan dalam karya-karya mereka itu “bercerita”.
Akan tetapi sejarah yang diceritakan para sejarawan
itu, menurut ahli filsafat Athur C. Danto adalah “cerita-
cerita yang sebenarnya”. Mereka berusaha sebaik-
baiknya untuk menceritakan cerita-cerita sebenarnya
menurut topik-topik atau masalah-masalah yang
mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi-narasi ini
seringkali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah
lama (old history), sedangkan teknik analisis dikaitkan
dengan bentuk atau model sejarah baru (new history).

b) Subjektivitas dalam Interpretasi Sejarah


Ada beberapa hal yang menyebabkan subjektivitas
dalam penulisan sejarah, yaitu :
1) Pemihakan pribadi (personal bias)
Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap
individu-individu atau golongan dari seseorang.
Biasanya terjadi pada penulisan sejarah dalam
bentuk biografi, memoar, atau otobiografi.
2) Prasangka kelompok
Disini menyangkut keanggotaan sejarawan dalam
suatu kelompok apakah itu bangsa, ras, kolompok
sosial, atau agama tertentu.
3) Teori-teori bertentangan tentang penafsiran sejarah

24
Penafsiran sejarah berdasarkan teori penggerak
sejarah yang dianut sejarawan. Berbagai teori itu
kadang bertentangan satu sama lain sehingga
muncul subjektivitas
4) Konflik-konflik filsafat yang mendasar
Konflik-konflik filsafat yang mendasar diperlukan
dalam menangani kasus yang ada kaitannya dengan
kepercayaan moral. Secara teoritis seseorang yang
menganut filsafat hidup tertentu, paham,
kepercayaan, atau agama tertentu akan menulis
sejarah berdasarkan pandangannya itu.

Oleh karena itu agar hal tersebut tidak terjadi atau


paling tidak diminimalkan, maka diperlukan analisis
dan sintesis.
1) Analisis. Analisis berarti menguraikan kandungan
fakta ke dalam kategori-kategori. Misalnya,
mengkategorikan profesi sampingan dari seorang
pengajar ke dalam beberapa pekerjaan, sepertinya :
pedagang, petani, makelar, manager, penerbang,
pemburu dan sebagainya. Berdasarkan kategori itu
akan muncul beberapa interpretasi, misalnya:
pengajar di daerah tertentu (tempat yang diteliti)
gajinya tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
Interpretasi lain menunjukkan bahwa pengajar di
daerah tertentu (tempat yang diteliti) memiliki
semangat usaha atau etos kerja yang sangat tinggi.
Untuk merumuskan interpretasi yang lebih dekat

25
dengan kebenaran, perlu dikonsultasikan dengan
fakta-fakta lainnya, atau dengan teori yang
mendukung fakta tersebut.
Kadang-kadang sebuah sumber mengandung
beberapa kemungkinan, misal seseorang menemukan
daftar pengurus suatu ormas, dari kelompok
sosialnya tertera di situ ada petani, pedagang, PNS,
orang swasta, guru, tukang, mandor. Dari data ini
dapat disimpulkan bahwa ormas itu terbuka untuk
umum.

2) Sintesis. Sintesis adalah hasil dari upaya konsultasi


antara interpretasi dengan fakta sejarah lainnya
(teori) disebut sintesis. Contoh : bila ada data tentang
gerakan mahasiswa menentang pemerintahan X,
militer mendiamkan dengan tidak mengambil
tindakan tegas, namun setelah X itu jatuh, lalu
militer secara sigap melakukan represi terhadap
setiap gerakan yang merongrong pemerintah atas
nama reformasi, maka dapat dibuat sintesis bahwa
militer bermain politik, atau tidak netral sebagaimana
yang dijanjikan.
Contoh yang lain, misal ditemukan data terjadi
pertempuran, rapat-rapat, mobilisasi massa,
pergantian pejabat, pembunuhan, orang-orang
mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera. Dari
data ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi

26
revolusi. Jadi revolusi adalah hasil interpretasi
setelah data itu dikelompokkan menjadi satu.

Menurut Arthur Marwick langkah-langkah


metodologis yang dikerjakan para sejarawan pada
umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki validitas
subjektivitas ilmu, barulah dalam tahap historiografi
(tahap akhir) ini disebut art atau seni sehingga sejarah
sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah
sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.
Sejarah dianggap tidak mungkin objektif karena sudah
memakai interpretasi. Bahkan dikatakan interpretasi itu
adalah sejarah menurut paham seseorang. Interpretasi
dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan
seleksinya dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah
yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode
sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tidak mau harus
melibatkan pendirian pribadi peneliti.
Berkenaan dengan masalah subjektivitas dan
objektivitas, subjektivitas dalam penulisan adalah “halal”
karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada
objektivitas. Disini harus dibedakan antara subjektivitas
dan subjektivisme, yang tidak diperbolehkan
mempengaruhi sebuah tulisan sejarah adalah adanya
unsur subjektivisme bukan subjektivitas. Dalam konsep
subjektivitas, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya,
namun dipandang sebagai kreasi, konstruksi akal budi.
Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan

27
membantu kebenaran keluar dari persembunyiannya.
Subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam
mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun
periodesasi, namun kesewenangan tersebut tidak
bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan,
sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan
kejujuran hati dan kejujuran intelektual.

D. Historiografi

Istilah historiografi dalam khazanah ilmu sejarah,


digunakan untuk menyebut langkah terakhir dari metode
penelitian sejarah, yaitu proses menyusun secara tertulis
hasil temuan-temuan yang diperoleh dalam satu penelitian
sejarah menjadi cerita yang siap untuk dibaca para
pembacanya. Proses penyusunan hasil-hasil temuan
penelitian sejarah itu juga sering disebut sebagai proses
rekonstruksi sejarah dengan asumsi bahwa masa lampau
sebagai aktualitas merupakan sebuah konstruksi sebagai
hasil dari proses-proses sosial dengan segala
kompleksitasnya dalam satu komunitas manusia
(Garraghan, 1957:396). Oleh karena itu, istilah historiografi
sering digunakan untuk menyebut hasil penelitian dan
penulisan sejarah. Istilah ini bahkan digunakan untuk
menyebut tulisan sejarah atau cerita sejarah yang
berbentuk tulisan.
Historiografi atau penulisan sejarah merupakan cara
untuk merekonstruksikan suatu gambaran masa lampau

28
berdasarkan data yang diperoleh. Dalam tahap historiografi
seorang peneliti dituntut untuk memiliki kemampuan
berfikir secara kronologis agar deskripsi peristiwa yang
disajikan memiliki keterseimbangan satu sama lain.
Dalam menulis sejarah seorang penulis sejarah
menulis apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan,
dirasakan dan dialami oleh seseorang atau narasumbernya.
Tak hanya itu saja tapi seorang penulis sejarah juga harus
memperhatikan hal yang penting yang akan diungkapkan
seperti apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu
yang telah terjadi. Jika salah satu dari itu tidak
diperhatikan penulis sejarah maka sejarah yang akan
dibahas akan sulit diungkapkan. Selain ada yang harus
diperhatikan bagi penulis sejarah ada juga yang harus
dihindari, antara lain:

a. Sikap memihak kepada suatu kepercayaan atau


pendapat.
Untuk menulis suatu sejarah maka sejarawan harus
dalam keadaan netral. Maksudnya tidak berpihak,
Penulis Sejarah harus menyelidiki sumber yang ada
hingga sumber tersebut bisa dikatakan sempurna
atau mendekati sempurna. Jika Penulis Sejarah lebih
condong dalam suatu sumber dan sumber yang lain
diabaikan maka terjadi kesalahan dalam
penulisannya.

29
b. Kepercayaan berlebihan pada narasumber.
Tidak diperbolehkannya Penulis Sejarah percaya
sepenuhnya pada narasumber, karena tidak
selamanya narasumber mengungkapkan fakta yang
sebenarnya terjadi. Narasumber tersebut bisa
menambahkan atau mengurangi cerita kejadian
yang telah terjadi bahkan berbohong. Penulis
Sejarah harus memiliki banyak narasumber, supaya
mengetahui siapa yang benar dan yang salah.
Biasanya narasumber akan lebih berpihak yang
disenangi saja. Penulis Sejarah pun juga diwajibkan
untuk mendapatkan narasumber yang netral supaya
tidak berpihak.

c. Ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya


dimaksud.
Dalam hal ini Penulis Sejarah tidak bisa memahami
penjelasan yang telah dijelaskan oleh narasumber,
atau catatan yang telah di tulisnya yang membuat
bingung hingga terjadinya penafsiran yang berbeda
antara narasumber dengan Penulis Sejarah.

d. Penulis Sejarah memberikan asumsi yang tidak


beralasan terhadap sumber berita.
Dalam hal ini Penulis Sejarah menjelaskan suatu
berita yang salah, akan tetapi Penulis Sejarah
tersebut menganggapnya apa yang telah di jelaskan
merupakan suatu hal yang benar.

30
e. Ketidaktahuan Penulis Sejarah dalam mencocokkan
keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.
Biasanya ini terjadi karena Penulis Sejarah telah
merasa puas telah menguraikan peristiwa yang telah
dilihat saja, dan secara tidak sengaja Penulis Sejarah
tersebut menguraikan berita yang salah karena ia
hanya melihat saja dan menyimpulkan sendiri apa
yang telah terjadi.

f. Keinginan Penulis Sejarah untuk mengambil hati


orang-orang yang berkedudukan tinggi. Biasanya
dengan melakukan pujian, menganggap baik setiap
perbuatan penguasa, dan mendekatkan diri pada
penguasa untuk maksud tertentu hingga terjadi
kebohongan maka dalam penulisan sejarahnya pun
salah.

g. Tidak mengetahui watak berbagai kondisi yang


muncul dalam peradaban. Pada dasarnya setiap
fenomena alam maupun fenomena sosial, memiliki
hukum pengendalinya. Hukum ini Penulis Sejarah
harus mengetahui supaya dapat membedakan
antara berita yang bohong atau tidak.

31
Fakta sejarah sebagai kebutuhan dasar historiografi
harus diolah lebih dulu oleh peneliti sejarah dari data-data
sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunya Apa Itu
Sejarah mengungkapkan bahwa fakta sejarah tidak
mungkin dapat objektif karena fakta sejarah itu diberi arti
oleh peneliti sejarah. Maka dalam historiografi
subjektivitas tidak dapat dielakkan. Bukan hanya itu,
penyusunan periodesasi sejarah yang masuk dalam proses
interpretasi juga tak dapat menghindar dari subjektivitas.
Pendapat Nugroho Notosusanto dalam artikelnya
hakikat subjektivitas objektivitas sejarah yang dimuat di
kompas, 23 september 1974 mengungkapkan “dalam
tahap analitis daripada metode sejarah ada kemungkinan
bahwa kita dapat menjumpai objektivitas sejarah, yakni
dengan adanya sumber-sumber yang keras yang punya
eksistensi diluar pikiran manusia. Tetapi dalam tahap
sintesis, khususnya dalam kegiatan yang disebut
interpretasi, seorang sejarawan adalah subjektif”. Memang
fakta membutuhkan interpretasi yang melibatkan pribadi
sejarawan, hingga seorang Benedetto Croce berteori
“semua sejarah adalah masa kini.” Yaitu sesuai dengan
alam pikiran dan zaman pengarang hidup.

32
BAB III
SUMBER-SUMBER PENULISAN SEJARAH

A. Pengertian Sumber Sejarah

Istilah lain sumber sejarah adalah data sejarah. Namun istilah


data sesungguhnya lebih familiar dalam ilmu-ilmu sosial. Bagi
ilmu sosial, data adalah sebuah fakta yang telah diolah. Sedang
fakta adalah sebuah sumber yang masih mentah atau belum
diolah. Sedangkan yang terjadi dalam ilmu sejarah adalah
sebaliknya dari ilmu sosial yaitu data sejarah merupakan
berbagai sumber sejarah yang masih mentah, jika akan dipakai
untuk merekonstruksi narasi sejarah, masih memerlukan
pengolahan, penyeleksian, kritik, interpretasi, dan
pengkategorisasian terlebih dahulu. Selanjutnya data sejarah
akan menjadi fakta sejarah. Jika semua tahapan tersebut diatas
telah dilaluinya maka pekerjaan selanjutnya penulis sejarah
mulai melakukan penulisan sejarah (historiografi) secara
deskriptif-naratif atau deskriptif-analitis. Adapun istilah data
berasal dari kata datum (bentuk tunggal), dan data (bentuk
jamak); berasal dari bahasa latin yang artinya “pemberitaan.”
Sebuah sumber sejarah jika kita lihat dari bahannya maka
akan terbagi menjadi dua: sumber tertulis dan tidak tertulis atau
dokumen dan artefak. Sedangkan menurut urutan penyampaian
dan perolehannya menjadi sumber primer dan sumber sekunder.
Namun kalau dilihat dari tujuan sumber sejarah itu dibuat akan
terbagi: formal dan informal. Namun persoalan terbesar sumber

33
penulisan sejarah bukan terletak pada kategorosasi jenis-
jenisnya, tetapi sumber sejarah sangatlah terbatas dan tidak
lengkapnya sumber rekaman sejarah itu sendiri (baik tertulis
maupun lisan).

B. Penelusuran Sumber-Sumber Sejarah

Langkah awal seseorang yang ingin menulis sejarah adalah


merancang sebuah metode penelitian (menentukan tema
penelitian) sebagai rancangan penelitian dengan perspektif
tertentu. Apakah ingin menulis sejarah lokal atau sejarah
nasional. Tema apa yang ingin ditulisnya, apakah tema
penelitian yang memiliki aspek sosial-ekonomi, politik, militer,
atau social movement dari sebuah masyarakat dengan masa
tertentu. Jika sudah menentukan tema penelitian yang
sebagaimana yang diinginkannya maka tahapan berikutnya
melakukan pengumpulan/mencari sumber-sumber sejarah
(heuristik). Sumber-sumber sejarah yang sudah terkumpul akan
digunakan untuk merekonstruksi (deskripsi) masa lalu. Untuk
dapat menangkap semangat zaman masa lalu tersebut, seorang
Penulis Sejarah diharapkan mampu menemukan berbagai
sumber sejarah yang se zaman dengan peristiwa yang akan
ditulisnya. Sumber-sumber tersebut bisa berupa sumber tertulis
maupun sumber yang tidak tertulis.
Salah satu sumber sejarah yang tertulis umumnya disebut
sebagai dokumen (docere memiliki arti “mengajar”). Pengertian
sumber tertulis (dokumen) adalah sebuah sumber sejarah yang
secara jelas memuat informasi sejarah sebagai hasil rekaman

34
masa lalu. Contoh-contoh sumber tertulis antara lain prasasti,
buku harian, surat, naskah, konstitusi, lembaran negara dan
lain-lainnya. Begitu pula sumber tertulis dari berbagai daerah di
nusantara, antara lain Babad, Serat, Silsilah, Hikayat, Tambo,
Wawacan, Carita, Lontara, Kronik, dan Kidung.

Gambar 1.
Contoh sumber sejarah tertulis Nusantara

Sumber: repoduksi penulis

Sumber tertulis atau dokumen merupakan sumber sejarah


yang memiliki tingkat kredibiltas yang tinggi setelah dilakukan
kritik (internal dan eksternal). Pada umumnya dokumen
merupakan rekaman kejadian atau peristiwa yang sezaman
tanpa imbuhan pendapat seseorang. Jika yang terjadi sebaliknya
maka akan bersifat bias. Di sisi lainnya, bila terdapat
subyektivitas penulis dokumen tersebut tetap saja lebih akurat
obyektifitasnya karena dokumen yang ada merupakan rekaman
sezaman. Kalau toh terdapat kekurangannya hanya terletak
pada persoalan komprehensifitas detail pelaporan/rekaman dari
peristiwa tersebut.

35
Sumber sejarah tidak tertulis melingkupi artefak, benda-
benda, dan sumber lisan (oral sources). Artefak adalah berupa
benda-benda kebudayaan warisan masa lalu, seperti gerabah,
tembikar, keramik, lukisan-lukisan masa pra-sejarah yang
terdapat di gua-gua, keranda, manik-manik dan alat-alat
seremonial lainnya.
Gambar 2.
Contoh sumber sejarah tidak tertulis

Sumber: reproduksi penulis

Sumber sejarah lisan memiliki persoalan tersendiri


diantaranya, kemungkinan terjadinya bias dengan masa kini.
Peneliti harus ekstra hati-hati, apalagi kalau kesaksian seorang
pelaku/saksi mata menyangkut sejarah politik (kontemporer).
Misalnya, proyek penelitian tentang keterlibatan seseorang
terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi lainnya
yang saat ini keberadaannya dilarang oleh pemerintah. Niscaya
jika ia diwawancarai akan mengatakan tidak menjadi anggota
atau terlibat PKI. Sebaliknya jika ia memiliki aktivitas yang tidak
terlarang, umumnya sang tokoh akan menonjolkan perannya.
Walapun narasumber yang akan diwawancarai masuk dalam
kategori seorang saksi mata. Lazimnya mereka mengemukakan
kesaksiannya di masa lalu itu akan diwarnai dengan
perkembangan berbagai pendapat masa kini yang memandang

36
peristiwa yang mereka alami tersebut. Untuk penelitian sejarah
ekonomi yang tidak bisa lepas dengan persoalan data kuantitatif,
persoalannya terletak bahwa para pelaku sejarah umumnya
lemah dalam mengingat data kuantitatif tersebut. Selanjutnya,
bagaimana kedudukan sumber-sumber tidak tertulis tersebut
untuk penulisan sejarah? Sumber tidak tertulis yang
dimaksudkan di sini adalah sumber lisan. Metode yang dipakai
adalah mewancarai seorang pelaku/saksi mata sebuah peristiwa
sejarah. Kedudukan sumber lisan ini tetap sangat penting dalam
penulisan sejarah karena rekaman masa lalu tidak semuanya
bisa terekam dalam bentuk dokumen. Hanya saja secara
metodologis niscaya berbeda antara sumber tidak tertulis dengan
sumber tertulis, misalnya memakai sumber penulisan sejarah
yang berupa dokumen. Untuk menggunakan sumber tidak
tertulis (lisan) dengan cara mewancarai seorang saksi mata
sejarah, setidaknya mengenal beberapa metode, diantaranya
teknik wawancara tertutup, silang dan terbuka.
Menurut Pranoto, sejarawan (penulis sejarah) pada tahap
mengerjakan historiografi, setidaknya-tidaknya harus
memerhatikan dan memiliki kemampuan, antara lain:

1. Mengekspresikan pengetahuannya dalam bentuk tulisan atau


lisan sebagai bagian merekonstruksi/menghadirkan kembali
sejarah masa lalu
2. Akurat membaca dan menginterpretasi sumber sesuai
kontektualitasnya dalam mengolah berbagai sumber yang
didapatkannya

37
3. Menggunakan dan memahami perspektif multi-dimensional
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya
4. Perspektif yang luas dan mampu menggali berbagai makna
yang tersurat dan tersirat (eksplisit dan implisit)
5. Secara metodologis mampu membedakan antara penulis
sejarah profesional dan amatir/umum
6. Meningkatkan pendidikan dan rajin menambah pengalaman
dengan tujuan menjadikan profesi Penulis Sejarah menuju
kesempurnaan
7. Senantiasa menjunjung tinggi etika akademik, etika profesi
dan menghindari terjadinya plagiarisme atau auto-plagiarisme
8. Menghargai dedikasi dan memegang integritas yang tinggi
pada profesi Penulis Sejarah
9. Lapang dada dalam menerima kritik secara terbuka untuk
perbaikan tulisannya

C. Sumber Primer dan Sekunder

Menurut Louis Gottschalk, sumber sejarah baik yang tertulis


maupun yang tidak tertulis dapat dibagi menjadi dua, yaitu
sumber primer dan sekunder. Menurutnya sumber primer
adalah sebuah sumber (narasi) yang dihasilkan dari kesaksian
seorang pelaku saksi pandangan mata. Sebuah kesaksian dari
seseorang (atau alat) yang hadir ketika sebuah peristiwa tersebut
terjadi. Kesaksian alat, misalnya tape-recorder, cam-corder, atau
fotografi. Jadi sumber primer merupakan sebuah sumber yang
dikisahkan oleh pelaku yang mengalami dengan peristiwa yang
dikisahkannya (sezaman).

38
Permasalahan sumber primer akan menjadi lebih rumit ketika
muncul pertanyaan, apakah sumber primer itu sama dengan
sumber asli? Menurut Gottschalk, sumber primer tidak harus
asli secara hukum. Namun sumber asli (dokumen) tersebut
merupakan versi tulisan yang pertama. Frase asli senantiasa
memiliki banyak pengertian. Setidak-tidaknya memiliki 5 makna,
yaitu memiliki gagasan yang segar dan kreatif; bukan sebuah
dokumen terjemahan; dalam tahapan yang paling awal dan
belum diolah; merupakan dokumen yang tidak diubah; memiliki
informasi yang paling awal. Kelima pengertian ini mungkin saja
berhimpitan namun tidak sinonim dengan pengertian sumber
primer. Kesimpulannya, sumber primer maupun sumber
sekunder sangat penting untuk merekonstruksi (deskripsi)
sejarah karena keduanya mengandung unsur-unsur primer.
Dokumen dalam pengertian yang lebih khusus dapat dibagi
menjadi: dokumen insani dan dokumen pribadi (Gottschalk).
Dokumen insani adalah “suatu pertelaan mengenai pengalaman
individual yang memperhatikan tindakan-tindakan individu
sebagai suatu pelaku insani dan sebagai peserta di dalam
tatanan sosial.” Sedangkan dokumen pribadi, “setiap rekaman
yang mengungkapkan diri, yang secara sengaja atau tidak
sengaja mengandung informasi mengenai struktur, dinamika
dan berfungsinya hidup mental si pengarang.” Kedua pengertian
ini sesungguhnya dipinjam dari ilmu sosial yaitu sosiologi dan
psikologi. Bagi ilmu sejarah kedua pengertian ini dipergunakan
dalam arti yang sama. Mengingat bahwa sebuah sumber sejarah
sesungguhnya berasal dari seluruh rekaman aktivitas manusia

39
dalam melakukan interaksi sosialnya di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang ada.
Sedangkan sumber sekunder adalah sebuah sumber yang
dihasilkan oleh seseorang yang bukan saksi pandangan mata,
seseorang yang tidak hadir ketika peristiwa yang dikisahkannya
sedang berlangsung. Jadi pengkisah sejarah mengetahuinya dari
para pelaku sejarah atau saksi mata. Penggunaan sumber
sekunder dalam proses penulisan sejarah pada umumnya
memilki beberapa tujuan, diantaranya: 1. mencari tema-tema
dan latar belakang peristiwa yang akan dijadikan proyek
penelitian, baik untuk penulisan sejarah lokal maupun nasional.
2. Mencari sumber-sumber referensi/pustaka yang mampu
menunjang penelitian sejarah total dan multi-dimensional. 3.
Mencari beberapa teori/konsep dari ilmu-ilmu sosial (ilmu
bantu). 4. Sebagai langkah awal menelusuri kutipan sumber-
sumber primer dari sebuah peristiwa tertentu. 5. Secara praktis
akan mampu menambah pengetahuan/pengenalan interpretasi
untuk mengetahui semangat zaman (zietgiest) dari peristiwa
sejarah tertentu.

D. Beberapa Jenis Sumber Penulisan Sejarah

1. Dokumen
Istilah dokumen seringkali dipergunakan oleh sejarawan dalam
dua pengertian, yaitu sebagai bahan tertulis sebagai lawan dari
sumber-sumber kesaksian lisan, artefak, foto, dan peninggalan
arkeologis. Pengertian kedua, merujuk ke sebuah jenis surat-
surat resmi kedinasan atau surat-surat negara. Misalnya,

40
undang-undang, lembaran negara, surat-surat perjanjian,
notulen rapat, kontrak kerja, naskah perundingan-diplomasi,
dan lain-lainnya. Agar tidak terjadi kerancuan pengertian istilah
dokumen sebaiknya sumber dokumen dipergunakan dalam
pengertian yang luas yaitu untuk memaknai berbagai sumber
sejarah baik yang tertulis, lisan, artefak, foto, atau peninggalan
arkeologis lainnya. Dengan demikian istilah dokumen dapat
dipahami sebagai sumber sejarah, baik primer atau tidak; resmi
atau tidak; dan tertulis atau lisan.

2. Artefak
Menurut Kuntowijayo artefak adalah hasil dari sebuah
peristiwa sejarah, biasanya dapat berupa foto-foto, bangunan
atau alat-alat lainnya. Misalkan, kalian ingin menulis sejarah
keluarga maka selain berbagai dokemen yang ada, misalnya
catatan harian dan surat-surat pribadi yang akan digunakan
penulisan sejarah, maka foto juga bisa digunakan untuk
memperkaya penulisannya.
Mengingat karakter foto adalah saksi rekaman waktu
sebagaimana apa adanya dari obyek yang difoto. Fotografernya
pasti hadir dalam peristiwa yang ia ambil gambarnya.
Persoalannya hanya terletak pada kemana sudut kamera
diarahkan dan close-up, tanpa ada cutting dan komposisi yang
dibuat-buat. Salah satu keempat persoalan ini jika ternyata hasil
dari sebuah rekayasa maka interpretasi/pemaknaannya akan
berubah juga karena telah terjadi “provokasi” tertentu terhadap
peristiwa yang ada. Maksudnya sebuah obyek foto dapat
memperkaya, membunyikan, dan sekaligus menyembunyikan

41
semangat zaman terhadap perkembangan sejarah keluarga yang
akan ditulis.
Melalui foto dapat diketahui pula perkembangan model
pakaian, rambut, perabot rumah tangga, tempat-tempat yang
pernah dikunjungi dan berbagai kebendaan lainnya (kendaraan,
dan terkait hobi lainnya) sebagai ikon perubahan status sosial
dari sejarah keluarga. Melalui foto pula mampu menguak
perubahan sosial, selera dan gaya hidup yang terjadi antar
generasi mampu ditemu kenali kembali. Foto anggota keluarga
juga mampu mengurai jalinan interaksi sosial, networking, dan
mobilititas dalam sebuah masyarakat, dimana dari visualisasi
tersebut dapat diketahui bagaimana hubungan antara manusia
itu dibangun, dipelihara dan dilanggengkan.
Mengingat sejarah merupakan rekonstruksi seluruh aktivitas
manusia ketika berinteraksi dengan manusia lainnya yang
terjadi di masa lalu maka jenis foto yang terakhir ini sangat
menentukan seperti apa kualitas sejarah keluarga (family
history), bukan lagi sejenis family/his-story. Misalnya, buku yang
menarasikan sejarah keluarga-keluarga keturunan Tionghoa
sebagai komunitas dan individual.

42
Gambar 3.
Contoh buku sejarah keluarga

Sumber: reproduksi penulis

Sedangkan untuk sumber berbagai bangunan baik bangunan


yang dimiliki keluarga dan bangunan publik (masjid, gereja,
vihara, kuil, candi, dll.) sama-sama mampu mengurai filosofi
model bangunan yang dipilih, relief, ikon, dan situasi
perekonomian ketika bangunan itu dibuat. Pada umumnya
sebuah bangunan yang megah dengan memiliki kandungan seni
dengan estetika yang tinggi, lazimnya dibangun pada masa-masa
dimana perekonomian keluarga (masyarakat), dan negara
(kerajaan) sedang mencapai puncak kejayaannya
(perekonomiannya). Sedangkan seni model, relief, dan ikon-ikon
yang turut menghiasi bangunan tersebut dapat mengungkapkan
sebuah keyakinan filosofi masyarakat pada masanya, baik
sebagai bentuk akulturasi atau sebuah pengaruh budaya
bangunan yang hanya merepetisi dari budaya luar. Di sisi lain
terdapat adageum bahwa sebuah kebudayaan (kesenian) tidak
akan lahir dari ruang yang kosong. Artinya, apapun bentuk
bangunan yang ada di nusantara ini tentu memiliki pengaruh

43
lokal sebagai makna kontekstualitas dari masyarakat
penyangganya (stakeholder).

3. Sumber Sejarah Tertulis dan Tidak Tertulis (lisan)


a. Sumber Sejarah Tertulis
Sumber sejarah tertulis dalam pengertian khusus, biasanya
disebut dengan istilah dokumen. Sedangkan dalam pengertian
yang lebih umum, dokumen meliputi artefak, bangunan dan
foto-foto. Menurut R. van Niel, sebagaimana yang dikutip
Abdurahman dari bukunya Alfian, dokumen meliputi 6 kategori
sebagi sumber sejarah, yaitu: dokumen pemerintah yang sudah
diterbitkan dan belum diterbitkan; laporan-laporan pemerintah;
berbagai jenis surat keluarga; deskrepsi catatan perjalanan; dan
arsip-arsip pribadi yang belum diterbitkan. Menurut Lohanda,
arsip sebagai sumber penulisan sejarah seringkali disebut
sebagai sumber primer (primary sources), dan menempati
kedudukan yang tinggi jika dibandingkan dengan sumber
sejarah lainnya.
Lebih jauh Lohanda memberikan contoh-contoh jenis arsip,
jika sesorang ingin menulis sejarah maritim Indonesia sejak
masa VOC. Penulis harus mampu membuka berbagai arsip yang
tersimpan di Arsip Nasional Jakarta Selatan, antara lain:
daghregister van‘t Casteel Batavia (1640-1806); Resolutien van‘t
Casteel batavia (1613-1811); Algemeen Secretarie (1817-1941;
1941-1949); Arsip Binnenlans-Bestuur (1856-1941); Arsip daerah
atau gewestlijk Stukken; Sekretariat Negara (1945-1976); dan
arsip Sekretariat Kabinet (1945-1988).

44
b. Aneka Dokumen Kesaksian Tertulis
Aneka kesaksian tertulis (dokumen) menurut Gottschalk
dapat diklasifikasikan menjadi delapan, yaitu:

1) Kesaksian Sezaman
Sebuah dokumen yang melingkupi berbagai instruksi
(perintah) untuk disampaikan kepada orang lain yang
terlibat dalam sebuah interaksi transaksional tersebut.
Bentuknya antara lain, surat-surat niaga, buku-buku
catatan, rekaman stenografis, fonografis, hukum, dan
memori pribadi. Misalnya, buku kesaksian dan para pelaku
Gestapu; Kesaksian B.J. Habibie di akhir pemerintahan Orde
Baru; dan kesaksian tragedi Mei 1998.

Gambar 4.
Contoh buku kesaksian sezaman

Sumber: reproduksi penulis

2) Laporan-laporan Konfidensial
Penulis harus lebih berhati-hati terhadap karakter sumber
ini mengingat umumnya ditulis sesudah peristiwanya terjadi.
Di sisi lain, laporan konfidensial memiliki makna lebih untuk

45
menimbulkan kesan daripada untuk membangun sebuah
ingatan. Juga bersifat kurang intim, walaupun bukan
ditujukan untuk orang banyak. Jenis sumber laporan-
laporan konfidensial, antara lain: berita resmi militer, nota
diplomatik, jurnal perusahaan, buku harian, dan surat-surat
pribadi.

Gambar 5.
Contoh laporan-laporan konfidensial

Sumber: reproduksi penulis

3) Laporan-laporan Umum
Perbedaan mendasar dengan laporan konfidensial adalah
banyaknya jumlah orang yang diharapkan atau diduga oleh
para penulis/pengarang akan membacanya. Biasanya jenis
sumber laporan-laporan umum ini terdapat di
laporan/berita surat kabar, majalah, memoar, sejarah resmi
atau diotorisasi, biografi dan autobiografi.

46
Gambar 6.
Contoh buku biografi

Sumber: reproduksi penulis

4) Questionnaire Tertulis
Questionnaire tertulis ini beiasanya untuk memperoleh
informasi dan opini tentang sesuatu hal kepada khalayak,
atasan kepada bawahan, guru kepada muridnya, dan lain-
lainnya. Penulis Seajarah harap berhati-hati dalam
menyusun pertanyaannya jika pertanyaannya menyangkut
pengalaman seseorang. Intinya bagaimana bentuknya
questionnaire tertulis harus terjadi dan jangan sampai
terhinggapi keburukan-keburukan leading question.

5) Dokumen Pemerintah dan Kompilasi


Kenyataan yang senantiasa harus dihadapi oleh para penulis
terhadap dokumen pemerintah adalah apakah dokumen
tersebut primer atau tidak? Atau hanya sekedar kompilasi
saja, misalnya statistik yang pada umunya penyusunannya
diserahan pada kompilator yang kurang profesional. Namun
ada beberapa sumber primer dan terpercaya dalam kategori
dokumen pemerintah, antara lain risalah instansi

47
pemerintah, undang-undang dan berbagai peraturan; atau
rekaman stenografis dan fonografis.

Gambar 7.
Contoh dokumen kompilasi

Sumber: reproduksi penulis

6) Pernyataan Opini
Sumber sejarah pernyataan opini yang berupa tajuk
rencana, esei, pidato, brosur, surat kepada redaksi, kontak
pembaca, public opinion poll, dan sebagainya adalah sebagai
sumber sejarah yang bernilai tinggi untuk melihat bentuk
opini, baik bersifat individual maupun publik. Persoalan
apakah dapat dipercaya atau tidak sebagian besar faktanya,
sangat tergantung kepada kredibelitas pengarangnya sebagai
saksi dari opini yang ia kemukakan. Terhadap kemungkinan
bagi mereka yang berpendapat bahwa suatu gagasan dan
nilai-nilai, senantiasa berubah-rubah tergantung suatu
masa periodisasi, relativisme obyektif dan relasionisme
sejarah yang ada dalam dokumen ini, juga layak disikapi
dengan hati-hati.

48
Gambar 8.
Contoh dokumen kompilasi

Sumber: reproduksi penulis

7) Fiksi, Nyanyian dan Puisi


Arti terpenting dari sumber sejarah ini bagi sejarawan
adalah mampu menguak ekspresi suka dan tidak suka,
harapan dan kegelisahan, kelemahan dan kekuatan diri si
pengarang. Kesemuanya ekspresi ini mampu memberikan
cakrawala kepada sejarawan akan makna warna-warni
kontektualitas dari sebuah masyarakat tertentu. Sebagai
beberapa karya fiksi dari Ahmad Tohari, Umar Kayam, dan
Kuntowijoyo. Untuk nyanyian yang sangat sarat makna
kontekstualitasnya diantaranya dari Iwan Fals yang berjudul
“Bento,” dan “Umar Bakri.” Sedangkan puisi yang
mengekspresikan ketidaksukaannya terhadap sikap
otoritarianisme Orde Baru, bisa diwakili dari puisi Wiji
Thukul. Bunyi puisi tersebut sebagai berikut:

49
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi


Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh


Itu artinya sudah gawat
Bila omongan pengusa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang


Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: LAWAN !

Gambar 9.
Contoh buku fiksi

Sumber: reproduksi penulis

50
8. Folklore, Nama Tempat dan Pepatah/peribahasa
Dalam menggunakan sumber folklore, Penulis Sejarah
dituntut kehati-hatiannya untuk mampu memilah-milah
mana yang merupakan aspirasi, adat rakyat, takhayul, dan
absurditas lainnya yang merupakan persilangan dari narasi
legenda dengan landasan-landasan autentiknya. Sedangkan
untuk pepatah mampu memberikan corak warna berbagai
pandangan, nilai-nilai, hirarki sistem sosial, lingkungan,
sikap, liririsme, perilaku dan tindakan yang dianut oleh
masyarakat pada periode tertentu. Sebagai contoh kumpulan
folklor dari Indonesia dan beberapa negara lainnya.

Gambar 10.
Contoh buku folklor

Sumber: reproduksi penulis

Sedangkan hubungan antara data sosial secara konseptual


menurut Sartono dan Abdurahman, dapat ditemu kenali dengan
melihat ciri-ciri setiap sumber dokumen yang dipergunakan
menulis buku sejarah di bawah ini:

51
1. Autobigrafi
Dalam autobiografi setidaknya dikenal 3 jenis autobiografi
yaitu autobiografi komprehensif, autobiografi topikal, dan
autobiografi yang diedisikan.

Gambar 11.
Contoh buku-buku autobiografi

Sumber: reproduksi penulis

2. Surat-surat pribadi, catatan/buku harian, dan memoar


Lazimnya surat pribadi akan memuat unsur-unsur, antara
lain: hubungan dyadic; memuat substansi
hubungan/interaksi soial dan lembaga negara; etika, tata
susila, dan adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat
pada saat itu. Sebagai contoh, Kumpulan surat-surat
Kartini.

52
Sumber sejarah berupa catatan/buku harian sangat
bersifat pribadi dan relatif jarang diketemukan untuk
penulisan sejarah. Contoh, Catatan/buku harian Jose Rizal,
seorang tokoh pergerakan nasional dari Filipina yang
membuat catatan/buku harian selama masa tahanannya di
penjara. Kedua, Jakarta Diary dari Moehtar Lubis.
Sedangkan memoar, sejenis dokumen pribadi. Hanya saja
substansinya lebih umum bukan persoalan pribadi semata.
Contoh yang sangat terkenal adalah kisah perjalanan Tome
Pires, yaitu Suma Oriental.

Gambar 12.
Contoh catatan/buku harian, dan memoar

Sumber: reproduksi penulis

53
1. Surat Kabar
Sumber-sumber yang tersaji dalam surat kabar relatif
kurang mendalam secara faktual, mengingat fakta tersaji
lebih menekankan pada kecepatan bagaimana sebuah
informasi dapat diketahui khalayak ramai. Umumnya
berita/informasi yang ada di koran bukanlah sebuah hasil
investigasi yang mendalam tentang sesuatu topik. Kalau toh
terdapat sebuah laporan tertentu dengan mengangkat
sebuah topik, tetap saja fakta yang tersaji umumnya
merupakan opini (sepihak) dan mungkin hasil sebuah
pendapat yang spekulatif.

Gambar 13.
Contoh Surat Kabar

Sumber: reproduksi penulis

2. Dokumen Pemerintah
Sebuah jenis dokumen yang relatif sulit untuk dipergunakan
jika seorang sejarawan berkeinginan menulis sejarah dengan
pendekatan history from below. Mengingat jenis dokumen ini
kurang memerhatikan dan mengungkap persoalan sosiologis

54
masyarakat umum. Biasanya data yang tersaji bersifat
sepihak, apalagi dokumen-dokumen masa kolonial Belanda.

Gambar 14.
Contoh dokumen pemerintah

Sumber: reproduksi penulis

3. Cerita Roman
Cerita roman dan novel yang true story dengan menganut
gaya penulisan realisme sangat membantu bagi sejarawan
untuk memahami sistem dan norma sosial yang berlaku di
sebuah masyarakat tertentu. Makna kontekstualitas dari
sebuah peristiwa sejarah juga biasanya dapat kita jumpai dari
beberapa cerita roman yang mengambil setting cerita sejarah.
Contohnya beberapa karya Remy Sylado, Pamudya Ananta
Toer, dan Seno Gumira Aji Darma.

55
Gambar 15.
Contoh novel bertema sejarah

Sumber: reproduksi penulis

c. Sumber Sejarah Tidak Tertulis/Lisan


Sumber sejarah tidak tertulis/lisan oleh sebagian kalangan
sejarawan dijadikan pilihan sebagai sumber penulisan sejarah
jika sumber tertulisnya tidak ada, sulit untuk diakses, dan
masih sebagai arsip yang dinamis. Pilihan terakhir, pada
umumnya Penulis Sejarah baru melirik sumber lisan.
Mainstream sejarawan masih sependapat dengan Charles–Victor
Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbonne,
sebagaimana dikutip oleh Dienaputra (2006: 6), “The historian
works with document....There is no substitute for documents: no
documents, no history.” Namun menurut hemat penulis, sumber
lisan tetap sangat penting untuk dipakai merekonstruksi
sejarah, mengingat narasumber yang diwawancarai akan mampu
mengurai dan membantu penulis sejarah untuk mengetahui
semangat zaman (jiwa dan roh) dari peristiwa yang sedang
ditelitinya. Kesemuanya tergantung ketepatan metodologi yang
dipilih oleh penelitinya, dengan cara bagaimana sumber itu
diperoleh. Jadi sumber sejarah lisan dapat ditelusuri dari para

56
pelaku saksi sejarah, para saksi mata dan mereka yang hidup
sezaman dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sedangkan
pengertian sumber tradisi lisan adalah sebuah kisah yang
disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut dalam perjalanan
satu generasi (horizontal), dan bisa juga lintas generasi (vertikal).
Jika melihat perkembangan pusat-pusat penelitan sejarah
lisan, dapat dikemukakan sebagai perintis awal adalah Allan
Nevins dari Universitas Colombia (1948). Selanjutnya untuk Asia
Tenggara Pusat Penelitaian Sejarah Lisan di Malaysia (1963);
ISEAS Singapura (1972), Thailand (1977), dan Indonesia (1978).

Gambar 16.
Contoh buku sejarah lisan

Sumber: reproduksi penulis

Terdapat beberapa pengertian sejarah lisan sebagaimana yang


dikutip dari Dienaputra. Menurut Sartono Kartodirdjo (1991),
sejarah lisan merupakan cerita-cerita penting tentang
pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Cullom
Davis (1977), sejarah lisan sebagai “ a branch of historical
research.” A. Daby Darban (1988), sejarah lisan sebagai “sumber
sejarah yang terdapat di kalangan manusia yang mengikuti

57
kejadian atau menjadi saksi atas suatu kejadian atau menjadi
saksi atas suatu kejadian masa lampau, diraikan secara lisan.”
Sedangkan pengertian yang sedikit berbeda dikemukakan oleh A.
B. Lapian (1981) dan A. Gazali Usman (1983), mengatakan
bahwa sejarah lisan di Amerika Serikat dipahami hasil
wawancara mengenai peristiwa sejarah yang dialami oleh tokoh
pengkisah (interviewer) yang direkam melalui rekaman pita (tape
recording atau cam-corder).
Adapun pengertian metode sejarah lisan menurut Willa K.
Baum (1982), sebagai upaya merekam berbagai kenangan yang
disampaikan pengkisah sebagai narasumber tangan pertama. E.
Kosim (1984), sebagai suatu bentuk meode yang khas untuk
mengumpulkan bahan sejarah melalui wawancara. J.R.
Chaniago (1988), sebuah teknik pengumpulan data sejarah
melalui wawancara dari saksi mata dengan merekamnya
terhadap berbagai pengalaman tentang apa saja yang dialami,
dirasakan, dan yang dipikirkannya ketika sebuah peristiwa
sedang terjadi. Adapun persyaratan agar metode sejarah lisan
menghasilkan keluaran yang baik ada 3 hal wajib diperhatikan,
yaitu ada pewawancara, ada pengkisah dari saksi mata, dan ada
alat rekam.
Ada contoh penelitian yang menarik proyek penulisan sejarah
sosial memakai sumber penulisan sejarah berupa arsip
audiovisual untuk menarasikan kehidupan rakyat kecil di
Indonesia (Nordolt dan Fridus Steijlen). Pendekatan historiografi
semacam ini dikenal sebagai pendekatan history from below.
Pada periode Orde Lama dan Orde Baru, kedudukan rakyat
dalam penulisan sejarah Indonesia senantiasa terpinggirkan.

58
Baginya seakan-akan rakyat kecil dengan kehidupan sehari-
harinya tidak memiliki sumbangsih dalam sistem pemerintahan,
baik dalam jargon revolusi belum selesai maupun dalam slogan
era pembangunan. Jadi dalam perspektif history from below
“tidak saja menyingkirkan eksplorasi lebih lanjut mengenai
sejarah sosial, tetapi juga tidak memberikan ruang kepada
rakyat jelata di Indonesia untuk turut memainkan peran yang
berarti dalam sejarahnya sendiri.” Contoh beberapa buku yang
memuat ulasan mendalam tentang penggunaan sumber fotografi
dan Audiovisual, antara lain:

Gambar 17.
Contoh buku audiovisual

Sumber: reproduksi penulis

Menurut Garraghan sebagaimana yang dikutip Abdurahman,


sumber-sumber lisan terdiri dari:

1. Fabel (fable)

59
Kisah tentang berbagai kehidupan binatang, baik yang buas
dan tidak, termasuk kehidupan alam gaib (bukan manusia),
namun si narator senantiasa melakukan indeksial dengan
karakter manusia. Atau bagi narator menceritakan
kehidupan hewan yang berperilaku menyerupai manusia.
Contohnya, cerita Kelinci dan Kura-kura.

Gambar 18.
Contoh buku cerita fabel

Sumber: reproduksi penulis

2. Dongeng (tale)
Suatu cerita yang menarasikan seorang tokoh dengan
konstruksi berkaitan waktu dan tempat yang terkadang tidak
menentu. Sedangkan pengertian dongeng menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dongeng dalam pengertian
umum adalah sebuah cerita yang tidak pernah terjadi;
narasinya merupakan ekspresi diri manusia akan sebagai
sarana mencari hiburan, ekspektasi dan sebuah angan-angan;
tidak diketahui nama pengarang maupun penyadurnya; dan
pada umumnya mengungkapkan berbagai keajaiban dan
kesaktian dari diri sang tokoh utama. Misalnya dongeng Aji
Saka yang terkenal di masyarakat.

60
Gambar 19.
Contoh Buku Cerita Dongeng

Sumber: reproduksi penulis

3. Mitos (myth)
Sebuah narasi yang memiliki kemiripan dengan cerita sejarah,
namun penggambarannya penuh unsur khayali. Mitos
senantiasa bercerita tentang kehidupan para dewa atau
makhluk setengah dewa (manusia) yang dianggap sebagai
sosok pahlawan dan benar-benar terjadi. Akhir sebuah mitos
adalah mitologi yaitu sebuah proses keyakinan bahwa narasi
yang diinformasikan benar adanya. Jadi mitos bukan
persoalan salah dan benarnya sebuah materi cerita, tapi apa
yang dinarasikan harus diyakini dan dipegang secara teguh
oleh para pengikutnya.

61
Gambar 20.
Contoh Buku Cerita Mitos

Sumber: reproduksi penulis

4. Legenda (legend)
Suatu cerita rakyat yang terkadang memiliki kebenaran
dengan mengandung elemen-elemen historis, mengingat tokoh
sentral lazimnya sangat terkenal dalam sejarah dan diyakini
masyarakat setempat bahwa tokoh pujaannya memiliki
kesaktian dan keajaiban. Ada dua tipe legenda yaitu legenda
murni dan legenda bersifat sejarah. Kedua tipe dalam batas
tertentu dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah
pada ranah kontribusinya yang mampu memberikan
cakrawala dari sebuah kebudayaan dan peradaban
masyarakat tertentu. Adapula yang memilah legenda lebih
rinci yaitu legenda keagamaan, legenda kegaiban, legenda
perorangan, dan legenda lokal

62
Gambar 21.
Contoh Buku Cerita Legenda

Sumber: reproduksi penulis

5. Saga
Suatu cerita yang memiliki narasi seorang tokoh pahlawan
dengan nilai-nilai kepahlawanannya, misalnya keberanian dan
kesaktiannya. Biasanya saga mereferen ke berbagai bahan
literasi dan secara faktual umumnya memiliki
kebenaran.Beberapa contoh sage, adalah: Calon Arang, Ciung
Wanara, Airlangga, Panji, Smaradahana, dll.

Gambar 22.
Contoh Buku Cerita Saga

Sumber: reproduksi penulis

63
E. Beberapa Tempat Mencari Sumber Tambahan/Pelengkap

Jika uraian di atas masih kurang mencukupi dalam


memahami berbagai jenis sumber sejarah yang telah disusun
berdasarkan sumber sejarah dari aspek bahannya, sisi
penyampaian, dan tujuannya, maka disini akan disajikan
beberapa tempat dimana kalian bisa menelusuri dan
menemukan berbagai sumber sejarah berdasarkan urutan waktu
(kronologis), pokok bahasan (topikal/tematik), wilayah (geografis)
lokal—nasional—Internasional, dan kelompok suku bangsa
(etnisitas), diantaranya:
 Di berbagai perpustakaan universitas, daerah (kabupaten
dan Gubernuran) dan pusat pemerintahan (Jakarta)
 Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan
Kemendikbud, Perpustakaan YLKI (Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia), PFN (Pusat Perfilman Nasional), BSF
(Badan Sensor Film), Koleksi H.B. Yassin (Jakarta)
 KITLV, PDII—LIPI, CSIS, British Council, Japan Foundation
Libarary, Erasmu Huis Libarary, LBH, Freedom Institute
(Jakarta)
 Sayogyo Centre (Bogor)
 Perpustakaan koran Kompas, Tempo, Republika, Sinar
Harapan—Suara Pembaruan (Jakarta)
 Kantor-kantor Kementerian/Dinas yang terkait, misalnya
Kementerian/Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Pertanahan, Perdagangan, atau Tenaga Kerja
 Badan Pusat Statistik, baik pusat maupun daerah

64
 Gedung arsip dan museum (publik dan pribadi)
 Laporan surat kabar on-line atau media elekronik lainnya,
misalnya radio, televisi, dan internet
 Open acces journal (e-journal dan on-line) dalam bentuk
digital
 Pusat dokumentasi baik yang dimiliki oleh individu atau
sebuah yayasan
 Komunitas-komunitas atau kelompok perkumpulan dari
profesi tertentu; misalnya musisi, perupa, cineas,
budayawan, pematung, fotografer, komikus dan seterusnya

65
BAB III
PENUTUP

A. Rangkuman

Metode penelitian sejarah adalah cara yang digunakan sebagai


pedoman untuk merekonstruksi peristiwa sejarah menjadi
sejarah sebagai kisah (history as written). Pada prinsipnya
metode penelitian sejarah bertujuan untuk menjawab enam
pertanyaan utama :
1. Apa yang terjadi (what/apa)
2. Kapan peristiwa itu terjadi (when/kapan)
3. Di mana peristiwa itu terjadi (where/dimana)
4. Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu (who/siapa)
5. Mengapa peristiwa itu terjadi (why/mengapa),
6. Bagaimana peristiwa itu terjadi (how/bagaimana).

Melihat perkembangan terbitnya berbagai buku sejarah yang


semakin marak dengan penulis berlatar belakang yang sangat
beragam maka dirasa perlu untuk melakukan tindakan nyata
menyebarkan pemahaman yang sama terhadap para penulis
sejarah. Pemahaman yang sama terhadap historiografi
diharapkan profesi Penulis Sejarah di mata para penikmat buku-
buku sejarah akan mendapatkan respek dan kecintaan
membaca buku sejarah dari masa ke masa akan meningkat.
Profesi Penulis Sejarah bukanlah lagi sebagai pekerjaan
sampingan dan bagi mereka yang telah menulis masa lalu bisa

66
disebut sebagai Penulis Sejarah. Menulis sejarah menuntut
sebuah metode historografi dan memiliki langkah-langkah
penelitian yang cukup ketat dengan seluruh tahapannya harus
dikerjakan secara teliti, jeli dan terukur. Hal yang amat rawan
akan menjadi perdebatan panjang adalah pada tahap
interpretasi (penafsiran). Seperti pendapat dari sebuah
interpretasi, “Apakah PKI pada peristiwa G30S itu sebagai
korban atau sebagai pelaku?” Jika sebagai korban maka
penulisan buku sejarah pada periode tersebut tidak layak
memberikan embel-embel pada peristiwa G30S/PKI. Frase PKI
harus dihapus setelah akronim G30S, begitu juga harus berlaku
sebaliknya.
Kerja sejarawan dalam menyusun historiogafi bahkan dapat
dikatakan sama ketatnya dengan kerja seorang dokter ketika
mendiagnosa seorang pasien yang datang pada dirinya. Bedanya
“diagnosa” yang dilakukan oleh sejarawan adalah mengenali dan
mengeksplanasi masa lalu melalui sumber-sumber yang
diketemukannya. Jadi unit/obyek analisisnya berupa dokumen
atau sumber lisan. Ada makna (“penyakit”) apa dibalik sumber-
sumber dokumen yang dipakai untuk merekonstruksi masa
silam tersebut.
Sumber sejarah tertulis seringkali dimaknai sebagai sumber
dokumen (docere) dikalangan para sejarawan. Adapun aneka
dokumen kesaksian sumber tertulis, setidak-tidaknya
melingkupi delapan kategori. Kedelapan kategori tersebut,
diantaranya: 1. Kesaksian sezaman; 2. Laporan-laporan
konfidensial; 3. Laporan-laporan umum; 4. Questionnarie
tertulis; 5. Dokumen pemerintah dan kompilasi; 6. Pernyataan

67
opini; 7. Fiksi, nyanyian, dan puisi; dan 8. Foklore, nama tempat
dan pepatah/peribahasa. Sedangkan hubungan data sosial
secara konseptual terdapat dalam beberapa sumber sejarah yang
meliputi: autobiografi; surat-surat pribadi, catatan/buku harian,
memoar; surat kabar; dokumen pemerintah; dan cerita roman.
Untuk sumber tidak tertulis (lisan) dapat dicermati dalam
beberapa contoh di bawah ini, diantaranya: fabel (fable); dongeng
(tale); mitos (myth); legenda (legend); dan saga.Dimana sumber-
sumber penulisan sejarah tersebut dapat diketemukan? Setidak-
tidaknya penelusuran sumber penulisan sejarah, baik primer
maupun sekunder dapat diketemukan, diantaranya di tempat-
tempat berikut ini: (kasus Jakarta)

 Di berbagai perpustakaan universitas, daerah


(kabupaten dan Gubernuran) dan pusat pemerintahan
(Jakarta)
 Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan
Kemendikbud, Perpustakaan YLKI (Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia), PFN (Pusat Perfilman Nasional),
BSF (Badan Sensor Film), Koleksi H.B. Yassin (Jakarta)
 KITLV, PDII—LIPI, CSIS, British Council, Japan
Foundation Libarary, Erasmu Huis Libarary, LBH,
Freedom Institute (Jakarta)
 Sayogyo Centre (Bogor)
 Perpustakaan koran Kompas, Tempo, Republika, Sinar
Harapan—Suara Pembaruan (Jakarta)
 Kantor-kantor Kementerian/Dinas yang terkait,
misalnya Kementerian/Dinas Perindustrian,

68
Perdagangan, Pertanahan, Perdagangan, atau Tenaga
Kerja
 Badan Pusat Statistik, baik pusat maupun daerah
 Gedung arsip dan museum (publik dan pribadi)
 Laporan surat kabar on-line atau media elekronik
lainnya, misalnya radio, televisi, dan internet
 Open acces journal (e-journal dan on-line) dalam
bentuk digital
 Pusat dokumentasi baik yang dimiliki oleh individu
atau sebuah yayasan
 Komunitas-komunitas atau kelompok perkumpulan
dari profesi tertentu; misalnya musisi, perupa, cineas,
budayawan, pematung, fotografer, komikus dan
seterusnya.

69
B. Pertanyaan

1. Jelaskan pengertian metode penelitian dalam menulis


peristiwa sejarah!
2. Jelaskan arti penting penelitian sejarah dalam
merekonstruksi masa lalu!
3. Jelaskan pengertian heuristik!
4. Jelaskan arti penting heuristik dalam penelitian sejarah!
5. Jelaskan pengertian kritik!
6. Jelaskan arti penting kritik dalam penelitian sejarah!
7. Jelaskan pengertian interpretasi!
8. Jelaskan arti penting interpretasi dalam penelitian
sejarah!
9. Jelaskan pengertian historiografi!
10. Jelaskan arti penting historiografi!
11. Apa pengertian sumber-sumber sejarah, dan
klasifikasikan jenis-jenisnya dengan menyertakan
contoh-contohnya!
12. Jelaskan pengertian dokumen dan artefak dengan
memberikan contoh-contohnya!
13. Apa perbedaan sumber primer dan sumber asli.
Jelaskan!
14. Apa perbedaan pengertian dokumen insani dan
dokumen pribadi. Uraikan!
15. Jika kalian ingin menulis sejarah kota dimana kalian
berdomisili, bagaimana langkah-langkahnya yang akan
kalian kerjakan? Jelaskan!

70
16. Seorang Penulis Sejarah profesional harus memiliki
setidak-tidaknya delapan kemampuan. Jelaskan dengan
menyertakan contoh-contohnya!
17. Kendala apa saja yang akan dihadapi seorang Penulis
Sejarah jika metode sejarah lisan yang dipilihnya untuk
mencari sumber penulisan sejarah? Jelaskan!
18. Sebutkan berbagai aneka dokumen kesaksian tertulis.
Berikan contohnya sebuah nyanyian dan folklore dari
daerah sekitar kalian (local genius). Jelaskan!
19. Buatlah sebuah langkah-langkah rencana penelitian
tentang sejarah lokal pada masa kontemporer dimana
kalian berdomisili saat ini dengan menggunakan
berbagai sumber tertulis dan tidak tertulis!
20. Buatlah sebuah inventarisasi tempat-tempat yang bisa
dijadikan mencari sumber sejarah pelengkap/tambahan
di daerah kalian!

71
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,Taufik dan Abdurrachman Surjomihardjo, 1985.Ilmu


Sejarah dan Historiografi, Arah dan Perspektif, Jakarta:
Gramedia
Abdurrachman, Dudung, 2007. Metodologi Penelitian Sejarah,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group
Alfian, T. Ibrahim, 1984. Bunga Rampai Metode Penelitian
Sejarah, Yogyakarta: Leres IAIN Sunan Kalijaga
Ali, R Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: LLKis
Yogyakarta
Ardiansyah, Muhammad dan Qomarus Sholeh, 2015. Merajut
Kenusantaraan Melalui Naskah, Jember: STAIN Jember
Press
Arif, Muhamad, 2011. Pengantar Kajian Sejarah, Bandung:
Yrama Widya
Basri, 2006. Metodologi Penelitian Sejarah : Pendekatan, teori dan
Praktik. Jakarta; Restu agung.
Carr, E. H., 2014, Apa Itu Sejarah, terj., Gatot Triwira, Jakarta:
Komunitas Bambu
Collingwood, 2004. Filsafat Sejarah: Investigasi Historis dan
Arkeologis, terj., Robby H. Abror, Depok: Insight Reference
Collingwood, 2004.FilsafatSejarah: Investigasi Historis dan
Arkeologis, terj., Robby H. Abror, Depok: Insight Reference
Daliman, A, 2012. Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta:
Ombak
Darban, A. Adaby, 1988. “Membagi Pengalaman Tentang
Pengalaman Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Berbagai

72
Lingkungan Masyarakat,” Makalah Kursus Singkat Sejarah
Lisan, Yogyakarta: Jurusan Sejarah FS UGM
Dienaputra, Reiza D, 2006. Sejarah Lisan, Konsep dan Metode,
Bandung: Pioner Books
EH. Carr. 2014. Apa itu Sejarah. Depok: Komunitas Bambu
Garraghan, S.J., dan Gilbert J.A., 1957. Guide to Historical
Method, London: MacMillan Education Ltd.
Gottschalk, Louis, 2008. Mengerti Sejarah,
terj.,NugrohoNotosusanto, Jakarta: UI Press
Hamid, Abd Rahman & Muhammad Saleh Madjid. 2014.
Pengantar Ilmu Sejarah.Yogyakarta:Ombak
Huen, P. Lim Pui, James H. Morrison dan Kwa Chong Guan (ed.),
2000. Sejarah Lisan di asia Tenggara: Teori dan Metode,
Jakarta: LP3ES
Ismaun. (2005) Pengantar Ilmu Sejarah. Bandung : Jurusan
Pendidikan Sejarah
Kartodirdjo, sartono, 1991. “Pengalaman Kolektif Sebagai Obyek
Sejarah Lisan,” Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomer 13,
Maret, Jakarta: ARNAS RI
Kartodirdjo, sartono, 1992.Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah, Jakara: PT. Gramedia
Kuntowijayo, 2013.PengantarIlmuSejarah, Yogyakarta: Tiara
Wacana
Kuntowijoyo, 1994. Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara wacana
Langlois, CH.V & Seignobos, CH. 2015. Introduction to the Study
of History. Yogyakarta: IndoLiterasi.

73
Lapian, A. B.,1982. “Sumber Primer atau Sekunder Tergantung
pada Konteks Permasalahannya,” Lembaran Berita Sejarah
Lisan, Nomer 9, Oktober, Jakarta: ARNAS RI.
Lapian, A.B., 1981. “Metode Sejarah Lisan (Oral History) dalam
Rangka Penulisan dan inventarisasi Biografi Tokoh-tokoh
Nasional,” Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomer 7,
Februari, Jakarta: ARNAS RI
Latief, Juraid Abdul, 206. Manusia, Filsafat, dan Sejarah,
Jakarta: Bumi Aksara
Lohanda, Mona, 2011. Membaca Sumber Menulis Sejarah,
Yogyakarta: Ombak
Madjied, M. Dien dan Johan Wahyudi, 2014. Imu Sejarah,
Sebuah Pengantar, Jakarta: Prenada Media Group
Nordholt, Henk Schulte dan Fridus Steijlen 2008. “Don’t Forgot
to Remember Me: Arsip Audio Visual Kehidupan Sehari-hari
di Indonesia Abad ke-21,” dalam Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.), 2008.
Perspektif Baru, Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia—KITLV—Pustaka Larasan
Poesporodjo. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi. Dibaca dari
Google book
Pranoto, Suhartono W, 2010. TeoridanMetodologi Sejarah,
Yogyakarta: GrahaIlmu
Purwanto, Bambang dan Asvi Warman Adam. 2005. Menggugat
Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesia
sentris. Yogyakarta: Ombak.

74
Rowse, A. L., 2014, Apa Guna Sejarah?,terj., Winda Primasari,
Jakarta: Komunitas Bambu
Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Soedjatmoko, ed., 1995.Historiografi Indonesia: SebuahPengantar,
Jakarta: GramediaPustakaUtama
Sulasman, 2014. Netodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode,
Contoh Aplikasi, Bandung: Pustaka Setia
Sunarti, Sastri, 2013. Kelisanan dan Keberaksaraan, dalam
Surat Kabar Terbitan Awal si Minangkabau, 1859—1940-
an, Jakarta: KPG—EFEO—Fadli Zon Library.
Surjomihardjo, Abdurrachman, 1979. Pembinaan Bangsa dan
Masalah Historiografi, Jakarta: Yayasan Idayu.
Syukur, Abdul, 2006. “Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah
Pengalaman Penelitian,” Makalah untuk Konferensi
Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-17 Nopember 2006
Jakarta: Hotel Millenium.
Tamburaka, Rustam E., 2002, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori
Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan IPTEK, Jakarta:
Rineka Cipta
Thompson, Paul, 2012. Suara Dari Masa Lalu, Teori dan Metode
Sejarah Lisan, terj., Windu W.
Usman, A. Gazali, 1983. “Wawancara sebagai Suatu Metode
dalam Sejarah Lisan (Tinjauan Atas Pengalaman Sendiri),”
Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomer 10, Agustus,
Jakarta: ARNAS RI

75
Willa K. Baum. 1975. Oral History for the Local historical society.
Tenesse; American Association For State and Local History
Nashville.
W. Poespopronjo. 1987. Subyektifitas Dalam Historiografi.
Bandung : Remadja Karya CV

SUMBER INTERNET

- http://kadekbayukusuma.blogspot.co.id/2013/11/v-
behaviorurldefaultvmlo.html
- http://www.pengertianahli.com/2015/04/pengertian-fabel-
dan-contoh-fabel.html
- Alian. Metodologi Sejarah dan Implementasi dalam Penelitian.
[Online]. Tersedia di
Http://Eprints.Unsri.Ac.Id/3680/1/1._Metodologi_Sejarah_Da
n_Implementasin_Dalam_Penelitian.Pdf [Diakses 4 Desember
2015].

76

Anda mungkin juga menyukai