Anda di halaman 1dari 29

Relasi Sejarah Lokal dengan Sejarah Nasional

Kelompok 3

1. Riski Putri Utami 121311433013


2. Faridatun Ni’mah 121311433016
3. M. Agung Santoso 121311433011

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah yang telah


memberikan Rahmat-Nya kepada kami. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Relasi Sejarah Lokal dalam Sejarah Nasional dalam mata kuliah Sejarah
Lokal semester gasal. Makalah ini disusun secara berkelompok dan dengan
didukung dari berbagai sumber mulai dari internet maupun buku-buku penunjang
mata kuliah Sejarah Lokal .

Sebagai insan manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan, termasuk
dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen maupun pembaca yang bersifat membangun sebagai bekal kami
membuat makalah-makalah lainnya.

Kami berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 13 Oktober 2015

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................ 2
Daftar Isi...................................................................................................... 3
Bab 1 Pendahuluan ......................................................................................
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 7
1.3 Tujuan Pembahasan .............................................................................. 7
Bab 2 Pembahasan ......................................................................................
2.1 Sejarah Lokal dalam narasai Sejarah Nasional ..................................... 9
2.2 Hubungan antara Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional ......................... 13
Bab 3 Penutup .............................................................................................
Kesimpulan ................................................................................................. 27
Daftar Pustaka ............................................................................................. 29

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Identitas nasional suatu bangsa dapat dilihat melalui dinamika


sejarahnya. Dalam hal ini sejarah mempunyai peranan penting dalam
membangun nasionalisme bangsa. Sebagai modal untuk membangun masa
depan yang lebih baik, sejarah menjadi pelajaran penting yang harus
dipelajari agar dapat mewujudkan masa depan yang lebih baik. Sejarah
merupakan serangkaian berbagai peristiwa yang menyangkut kehidupan di
masa lampau dengan segala aspeknya. Sejarah mempunyai sumbangsih
penting dalam menentukan jalan peristiwa sejarah yang menjadi perhatian
khusus dari para sejarawan.

Keberadaan masa lalu dapat kembali direkonstruksi di masa sekarang


dengan bantuan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh peristiwa sejarah atau
lebih dikenal dengan sebutan sumber sejarah. Sumber menggerakkan semua
semua sejarah, namun tidak semua sejarah diciptakan secara sama. Untuk
memudahkan, sejarawan membedakan antara sumber-sumber primer dan
karya-karya sekunder.1 Tulisan yang ditulis oleh sejarawan, biasanya tidak
akan lepas dari sumber terkait oleh hal-hal penelitian yang diteliti.

Kebutuhan akan sejarah nasional mulai marak pada awal pasca


kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu konsumsi terhadap sejarah nasional
dinilai tinggi karena digunakan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme
terhadap bangsanya. Awal kemerdekaan merupakan waktu yang tepat untuk
membentuk jiwa-jiwa bangsa yang nasionalis, cinta terhadap tanah air
Indonesia. Namun, keberadaan kecenderungan sejarah yang menuliskan

1
Storey, William Kelleher. Menulis Sejarah: Panduan Untuk Mahasiswa (Edisi Kedua).
2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 30-31

4
sejarah yang bersifat nasional sentris juga memberikan dampak yang kurang
bagus terhadap keberadaan sejarah lokal.

Sejarah yang bersifat kedaerahan seakan-akan tersampingkan


keberadaannya oleh sejarah nasional. Hal ini tentu dapat merugikan bangsa
Indonesia, karena adanya sejarah nasional tak bisa dilepaskan dari keberadaan
sejarah lokal yang membahas tentang lokalitas berbagai aspek tentang
peristiwa sejarah. Sejarah nasional yang berangkat dari sejarah lokal hanya
membahas berbagai peristiwa besar yang bersifat general, sehingga banyak
bagian yang kurang lengkap diulas dalam penulisan sejarah tersebut. Sejarah
lokal, memberikan sumbangsih besar dalam sejarah nasional sebagai
pelengkap dari kurangnya berbagai aspek sejarah yang belum dituliskan
kedalam sejarah nasional. Dalam hal ini sejarah lokal membantu sejarah
nasional dalam merekonstruksi sejarah agar menjadi peristiwa yang lebih
detail yang terjadi pada suatu daerah.

Jika prinsip sejarah sebagai sesuatu yang unik diterapkan, maka dapat
dikatakan bahwa semua sejarah sebenarnya adalah sejarah lokal.2 Sejarah
nasional dalam hal ke-Indonesiaan dianggap sebagai representasi politis dari
sejarah lokal. Tak dapat dipungkiri jika keberadaan sejarah lokal merupakan
cikal bakal dari sejarah nasional. Hal ini secara tidak langsung telah membuat
kedudukan sejarah lokal menjadi dikesampingkan dalam penulisan sejarah
nasional (Indonesia). Kedudukan sejarah lokal begitu penting dalam sejarah
nasional karena hal ini tak dapat dilepaskan dari letak geografis dimana
peristiwa sejarah tersebut terjadi. Berbagai tema yang termasuk dalam kajian
sejarah lokal ternyata memberikan peran yang sangat penting dalam sejarah
nasional. Keberadaan atau sumbangsih sejarah lokal tersebut sayangnya
masih kurang mendapat tempat di dalam panggung sejarah yang mayoritas
diduduki oleh sejarah yang sifatnya besar saja (bersifat general).

2
Sri, Margana. Sejarah Indonesia: Perspektif lokal dan Global (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2010), hlm. 496.

5
Dalam perkembangan historiografi Indonesia, perspektif sejarah nasional
secara sadar ataupun tidak ternyata mengkerdilkan arti sejarah lokal. 3 Sejarah
lokal yang merujuk pada pada satu komunitas atau unit administrasi tertentu
seperti perdesaan atau perkotaan maupun suatu ikatan sosio-kultural dalam
sebuah masyarakat seakan-akan tak mendapat tempat dalam panggung
sejarah nasional. Karena itulah sejarah lokal harus mempunyai otonomi
dalam sejarah nasional.4 Dengan adanya otonomi tersebut maka diharapkan
dapat memberikan sesuatu yang penting bagi sejarah nasional serta
pemahaman masyarakat mengenai sejarah.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Tjokrodirdjo bahwa kebudayaan


bangsa atau nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.5 Maka
sejarah lokal yang terkait segala hal yang bernuansa daerah, telah
memberikan sumbangsih kepada sejarah nasional. Sebagian masyarakat
mempercayai bahwa sejarah nasional adalah kumpulan dari sejarah lokal.
Kebutuhan akan sejarah oleh suatu negara tidak dapat memisahkan hubungan
di antara keduanya. Baik sejarah nasional maupun sejarah lokal memiliki
peranan penting dalam menghiasi dinamika peristiwa sejarah yang terjadi di
Indonesia. Korelasi yang dimiliki keduanya menjadi penanda pentingnya
mengenai pemahaman sejarah bangsanya yang meliputi segala aspek.

Keberadaan sejarah nasional yang sangat tinggi pada masa awal


kemerdekaan negara telah menjadikan historiografi yang sifatnya nasional
(sentris) menjadi banyak ditulis oleh kalangan sejarawan. Sementera sejarah
yang bersifat lokal sering terabaikan, hal ini sangat disayangkan karena

3
Ibid, hlm.197
4
Taufik, Abdullah. Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1985), hlm. 24.
5
Sofia Rangkuti-Hasibuan, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia: Teori dan Konsep,
(Jakarta: Dian Rakyat, 2002), hlm.133

6
mengingat negara kita sangat kaya akan lokalitas di daerah masing-masing
yang bisa dijadikan tema untuk pembahasan sejarah lokal.

Penulisan sejarah yang hanya berkutat pada nasional saja sangat


memungkinkan bahwa peristiwa sejarah tersebut tak tergambarkan secara
mendetail. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa sejarah lokal juga perlu
ditulis dan dipelajari untuk melengkapi peristiwa sejarah di lingkup nasional.
Perkembangan sejarah dari masa ke masa yang hanya mementingkan
peristiwa-peristiwa besar menjadikan keberadaan sejarah lokal semakin
menjadi dikesampingkan. Maka dari itu kesadaran dalam menumbuhkan
kembali penulisan sejarah lokal menjadi penting mengingat kedua sejarah
tersebut memliliki relasi yang saling melengkapi antara peristiwa yang satu
dengan yang lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peran sejarah lokal dalam perkembangan di dalam sejarah


nasional?

2. Bagaimana hubungan (relasi) antara sejarah lokal dan sejarah nasional?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana peran sejarah lokal dalam perkembangan di dalam
sejarah nasional.
2. Mengetahui bagaimana hubungan (relasi) antara sejarah lokal dengan
sejarah nasional.

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Lokal dalam Narasi Sejarah Nasional

Dalam dunia historiografi, keberadaan sejarah lokal sering luput


bahkan terkesan dilupakan dalam narasi panggung sejarah. Begitu juga untuk
kalangan akademisi khususnya di dalam bidang sejarah. Jika kita melihat
dalam buku-buku sejarah nasional, hanya peristiwa-peristiwa besar yang
lingkupnya nasional saja yang menjadi fokus dari pembahasan sejarah.
Padahal, keberadaan sejarah lokal justru sangat penting di dalam sejarah
nasional. Jika kita mau menyadari, peristiwa-peristiwa besar dalam skala
nasional bermula dari sejarah yang lingkupnya lokal. Dalam hal ini sejar
ah lokal mempunyai andil yang cukup besar di dalam melengkapi narasi
sejarah nasional.

Perkembangan politik dalam abad ke-19 dan ke-20 memang banyak


sekali menghasilkan negara nasional, akibatnya hal ini juga berpengaruh
terhadap penulisan sejarah yang berorientasi sebagai sejarah nasional. Skala
kehidupan nasional tidak memungkinkan pengungkapan fakta-fakta mikro
pada sejarah lokal, kecuali apabila mempunyai dampak nasional atau
representatif bagi perkembangan sejarah nasional.6 Dalam hal ini keberadaan
sejarah nasional berkembang dalam narasi sejarah bangsa tak lepas dari
tujuannya. Pada masa pergerakan nasional keberadaan sejarah nasional
dimunculkan dalam intensitas yang tinggi karena sebagai upaya untuk
menumbuhkan nasionalisme bagi bangsanya, mengingat pada masa itu
Indonesia baru saja terlepas dari belenggu penjajahan.

6
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,1992), hlm. 75

8
Perkembangan sejarah lokal mendapat perhatian yang serius di dalam
penulisan sejarah Indonesia ditandai dengan diadakannya Seminar Sejarah
Lokal Pertama yang diselenggarakan pada tahun 1982.7 Seminar sejarah lokal
yang diadakan di Indonesia ini berbeda dengan seminar sejarah nasional di
dalam pelaksanannya yang diorganisasikan berdasarkan periode. Yang
menjadi fokus dari seminar sejarah lokal adalah peristiwa yang terjadi di
lingkup lokal meliputi problem sosial pada pedesaan, perekonomian pedesaan
dan lain sebagainya. Kemudian dilaksanakan seminar sejarah lokal yang
kedua yaitu pada tahun 1984.8 Hal ini tak dapat dilepaskan dari keinginan
untuk memfungsikan sejarah lokal di dalam pembangunan. Mengingat begitu
pentingnya sejarah lokal di dalam tingkat nasional, maka sejarah lokal di
Indonesia harus terus dikembangkan agar menjadi sebuah historiografi yang
dapat melengkapi keberadaan historiografi nasional.

Tema yang ditawarkan oleh sejarah lokal pun juga sangat variatif.
Berbagai macam sudut pandang dapat dijadikan tema, mulai dari pemilihan
topik dari sebuah wilayah yang dijadikan obyek penelitian. Seminar sejarah
lokal kedua yang diadakan pada 1984 tersebut ternyata telah mengundang
banyak makalah mengenai sejarah lokal luar jawa. Sehingga segala tulisan
sejarah yang membahas tentang jawa sentris sudah tidak banyak ditulis oleh
sejarawan. Keuntungan lainnya yang di dapat dari seminar sejarah lokal yaitu
banyak ilmuwan sosial diluar disiplin ilmu sejarah yang tertarik untuk ikut
andil di dalam penelitian sejarah. Berbagai historiografi lokal banyak
disajikan oleh ahli geografi, linguistik, antropologi, dan banyak lagi.

Ruang lingkup yang dibahas dalam sejarah lokal hanya menyangkut


hal-hal yang bersifat lokalitas saja. Dalam sejarah lokal, pembahasannya pun
dimulai dari desa atau beberapa desa saja. Produk dari sejarah lokal juga tidak
jauh-jauh dari hal-hal yang bersifat non-rasional. Begitu juga dengan sumber

7
Kuntowidjoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Anggota IKAPI,2003), hlm. 8.
8
Ibid.

9
yang digunakan dalam penulisan sejarah ini. Di dalam sejarah lokal, sumber
yang banyak digunakan oleh sejarawan di dalam merekonstruksi masa lalu
kebanyakan dengan menggunakan metode lisan. Tradisi lisan yang
berkembang di dalam masyarakat menjadikan hal ini sebagai salah satu alat
yang digunakan sejarawan untuk menceritakan masa lalu sebuah desa. Di
samping tradisi lisan, sejarawan dapat memanfaatkan berbagai sumber tertulis
seperti babad, hikayat,dan sumber lokal lainnya.

Berbagai permasalahan kemudian muncul sebagai pertentangan yang


ditimbulkan akibat perebutan dalam historiografi Indonesia. Persoalan
menjadi semakin rumit ketika prinsip-prinsip desentralisasi dan euphoria
otonomi daerah yang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia menciptakan
kerancuan baru antara sejarah lokal, sejarah daerah, sejarah sejarah provinsi,
sejarah kabupaten dan sebagainya yang ditempatkan sebagai reaksi
antagonistik terhadap sejarah nasional yang dianggap sebagai representasi
dari kekuasaan politik pemerintah pusat.9 Akibat yang ditimbulkan dalam hal
ini adalah penulisan sejarah lokal lebih diwarnai oleh kepentingan politis
untuk menghadirkan sebuah identitas kedaerahan yang mengacu pada etnik
atau kelompok tertentu daripada keunikan yang terdapat di dalam peristiwa
masa lalu tersebut. Sejarah lokal yang pokok bahasannya mencakup
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada lokasi yang kecil, desa atau kota kecil
seringkali dianggap tidak menarik perhatian karena tidak mempunyai dampak
luas. Namun ada saatnya sejarah lokal menjadi pokok bahasan yang menarik
yaitu karena sejarah lokal mengungkapkan permasalahan-permasalahan
tentang manusia secara khusus dan detail.

Berbagai produk yang dihasilkan sejarawan tentang sejarah lokal


masih sangat terbatas. Padahal banyak sekali kasus-kasus kedaerahan yang
belum pernah dimunculkan kedalam sejarah nasional. Contoh dari kasus
tersebut yaitu seperti yang tercermin pada peristiwa Proklamasi Kemerdekaan

9
Ibid, hlm. 497 .

10
Republik Indonesia. Dalam buku-buku sejarah kebanyakan mengulas
mengenai bagaimana jalan serta proses yang terjadi di dalam peristiwa
tersebut. Namun disisi lain terdapat hal penting yang luput dari pembahasan
sejarawan, misalnya mengenai sejarah tempat yang menyebabkan tercetusnya
Proklamasi, yaitu Rengasdengklok. Dalam skala lokal, Rengasdengklok
menjadi sangat penting karena dari aspek budaya tempat ini menjadi latar
belakang dari peristiwa besar yang sangat berpengaruh terhadap alur sejarah
bangsa Indonesia sendiri. Masih belum banyak sejarawan yang mengulas
tentang sejarah Rengasdengklok dari lingkup kehidupan lokalitasnya. Hal ini
menunjukkan bahwa minat sejarawan terhadap minat menulis sejarah masih
berada dalam kiblat sejarah nasional. Sebagaimana dengan sejarah nasional,
sejarah lokal pun dapat menjadi sebuah kajian yang penting jika
diintegrasikan kedalam sejarah nasional. Dengan adanya hubungan yang
terjalin antara sejarah lokal dan nasional tersebut akhirnya timbul sebuah
generalisasi sejarah.

Di Indonesia sejarah lokal mengalami kendala yang sangat serius di


dalam hal pengumpulan sumber. Sementara ini sumber-sumber yang
digunakan dalam sejarah hanya terbatas karena objek dari sejarah lokal
tersebut berupa sejarah mikro.10 Sebagaimana dengan sejarah mengenai
peristiwa kecil atau lokal, sehingga di dalam proses penelusuran sumber pun
juga mengalami berbagai kendala. Di dalam hal inilah sejarawan diuji
kemampuannya untuk bisa merekonstruksi peristiwa masa lalu dalam bingkai
lokalitas. Sejarah lokal sudah lama berkembang di Indonesia sebelum
perkembangan sejarah nasional. Sejarah lisan atau disebut sebagai sejarah
tradisional tersebut umumnya bersifat irrasional atau tidak masuk akal,
karena banyak bercerita tentang mitos, legenda serta cerita rakyat yang terjadi
pada suatu daerah. Dalam sejarah ilmiah (sejarah yang disusun berdasarkan
fakta-fakta ilmiah), keberadaan sejarah tradisional dianggap sebagai sumber
sekunder, karena keabsahan datanya yang masih perlu dipertanyakan.
10
Sartono, Op.Cit, hlm. 74.

11
Meskipun keberadaan sejarah lokal dianggap sebagai sumber sekunder,
namun hal ini bisa digunakan sebagai pembanding dan pelengkap fakta
sejarah.11

Keuntungan yang didapat dalam sejarah lokal ini yaitu adanya


pelestarian terhadap sejarah yang berhubungan dengan peristiwa unik dalam
tingkat lokal. Jika dalam sejarah nasional kita tidak bisa menemukan asal-
usul terjadinya sebuah desa yang dibumbui dengan berbagai mitos di
dalamnya maka kita bisa mendapatkannya dengan mempelajari sejarah lokal
tersebut. Dalam hal ini sejarah lokal berperan untuk memperkaya khazanah
dalam hal sejarah tradisional yang didalamnya memuat berbagai mitos,
legenda yang terjadi di daerah masing-masing. Hal ini sangat berguna bagi
kekayaan literasi sejarah kita, karena kita dapat mengetahui berbagai
peristiwa masa lalu dalam lingkup lokal yang hanya bisa diketahui melalui
pembelajaran sejarah lokal.

11
Dalam “Sejarah Lokal: Pengertian, konteks, dan pengajaran” diakses dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/197101011999031WAWAN_DARM
AWAN/Peng_sej_Lokal.pdf ( 9 september 2015 pukul 12:00)

12
2.2 Hubungan (Relasi ) Antara Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional

Sejarah tentang Indonesia adalah berbicata tekait sejarah bekas wilayah


Hindia Belanda. Batasan sejarah nasional bersifat politis administratif sebagai
‘sejarah bangsa Indonesia’ yang eksistensi politisnya resmi sejak proklamasi.
Sejarah Nasional Indonesia selanjutnya diturunkan dalam sejarah daerah yang
meliputi sejarah berbagai daerah di Indonesia dengan batasan administratif
propinsi atau kabupaten.12

Penulisan sejarah lokal mempunyai makna penting, baik untuk


kepentingan akademis maupun pembangunan masyarakat, terutama
kepentingan masyarakat dalam mempelajari pengalaman masa alalu nenek
moyangnya.13 Sejarah lokal dapat menjadi jembatan yang cukup ampuh bagi
masyarakat komunitas lain untuk mengetahui tradisi lokal dari suatu daerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah lokal cukup memiliki peranan penting
bagi kestabilitasan suatu daerah dalam berbagai bidang.

Elastisitas sejarah lokal mampu menghadirkan berbagai fenomena, baik


berkaitan mulai dari latar belakang keluarga (family history), sejarah sosial
dalam lingkup lokal, peranan pahlawan lokal dalam perjuangan lokal maupun
nasional, kebudayaan lokal, asal-usul suatu etnis dan berbagai peristiwa yang
terjadi dalam tingkat lokal.14 Kondisi ribuan pulau yang dimiliki oleh
Indonesia, menjadi poin penting bagi keberagaman sejarah lokal di Indonesia.
Seperti yang telah diungkapkan oleh Supardi bahwa keberagaman yang
terdapat di suatu daerah telah memberikan sumbangsih bagi besar bagi
historiorafi sejarah lokal. Alasan lain adalah mengenai beragamnya kondisi
geografis yang membwa dampak terhadap beragamnya cerita-cerita yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Supardi, “Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran Sejarah Lokal” dalam Jurnal


12

Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol.2, Nomor 1, 2014, hlm.5


13
Supardi, loc.cit
14
Supardi, op.cit., hlm 7

13
Periode dinamika perkembangan ilmu sejarah di Indonesia ketika
memasuki tahun 1950-an disebut oleh Taufik Abdullah sebagai periode
pencarian makna. Hal ini dapat dilihat ketika dilaksanakannya Seminar
Sejarah Nasional pertama pada tahun 1957.15 Seminar pertama tersebut
membawa dampak dengan munculnya kesadaran perlunya penulisan sejarah
nasional. Kesadaran untuk memulai menulis terkait segala hal yang berbau
sejarah menjadi sangat keren pada saat itu. Fenomena serta keadaan politik
yang selalu bergejolak, menjadi salah satu landasan dalam menulis sejarah.
Karena pada dasarnya, sejarah tidak akan pernah berjauhan dengan politik.

Pada tahun 1970-an, berlangsung Seminar Sejarah Nasional kedua.


Seminar ini merupakan pertemuan para sejarawan Indonesia untuk
menyampaikan hasil penelitian mereka mengenai peristiwa dan masalah di
bidang ilmu sejarah.16 Di antaranya adalah Sartono Kartodirdjo yang
memperoleh kepercayaan menjadi ketua dari penulisan Sejarah Nasional
Indonesia. Pada mulanya, penulisan tersebut terdiri atas 6 jilid. Sartono
Kartodirdjo pun berpendapat bahwa tulisannya bukanlah menjadi buku
standar. Sehingga banyak terjadi pembaruan atas kritik yang dilontarkan oleh
sejarawan lain dari apa yang ditulis oleh Satono Kartidordjo. Oleh karena itu,
mulai memunculkan nama Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia.

Di negara-negara maju, penulisan sejarah menjadi modal utama dalam


memperkenalkan produk tradsional yang dimiliki. Pengolahan yang baik dan
menarik, dapat menarik minat wisatawan dalam mengunjungi, mengetahui
bahkan mempelajari sejarah mereka. Maka, penulisan sejarah Indonesia
diyakini oleh sejawaran sebagai jembatan masyarakat yang hidup di dunia
modern untuk dapat mengetahui keadaaan pada masa lalu. Penulisan sejarah
berkaca dari kejadian tentang masa lalu juga dapat menjadi pembelajaran

15
Taufik Abdullah, Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2006), hlm.137
16
ibid, hlm. 138

14
tersendiri bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam mengambil
keputusan.

Fungsi sejarah sebagai pengingat dan alat legitimasi bagi sebagian


penguasa, telah membuat munculnya beragam sejarah dengan berbagai
perspektif. Hal tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sehingga
kritik sejarah dalam mengarahkan sejarah menuju keobjektifan, menjadi
sangat penting dilakukan. Salah satunya gejolak politik yang terjadi di suatu
bangsa, mengindikasikan bahwa sejarah dapat dibuat dan dijalankan atas
nama penguasa.

Di Indonesia, tiras surat kabar, majalah, dan tabloid mandek di sekitar


15 juta eksemplar selama belasan tahun terakhir masa Orde Baru. Ketika
jumlah terbitan pers melonjak dua kali lipat atau lebih pada masa reformasi,
dari hanya 300 menjadi 600 sampai 700, pertambahan tiras paling-paling
hanya beberapa ribu eksemplar.17 Pada masa tersebut, akses informasi yang
beredar di masyarakat adalah melalui tulisan dan radio. Radio yang
berkembang saai itu, masih memiliki saluran gelombang suara) yang relatif
pendek. Hal tersebut berdampak pada kurangnya informasi yang didapat oleh
daerah-daerah terpencil.

Menjelang tahun 1965 suasana kehidupan pers sangat mencekam dan


dipenuhi rasa ketakutan. Pejabat Presiden/Panglima Tertinggi Djuanda selaku
Penguasa Perang tertinggi (Peperti) telah mengeluarkan peraturan Peperti no
10 tahun 1960 tanggal 12 Oktober 1960 yang melarang penerbitan surat kabar
atau majalah tanpa izin terlebih dahulu dari Penguasa Keadaan Bahaya.18
Untuk melakukan izin penerbitan, pihak pers diminta melakukan beberapa
syarat yang termuat dalam formulir terkait perizinan.

17
Atmakusumah Astraatmadja, “Internet dan media Pers Masa Depan: Pesaing Mematikan
atau Pembebas Manusia?” dalam Indonesia Abab XXI di Tengah Kepungan Perubahan Global,
(Jakarta: Kompas Media Nusantara), 2000, hlm. 826
18
Asvi Warman Adam, “Pers Indonrsia Selepas Orde Baru” dalam Indonesia Abab XXI di
Tengah Kepungan Perubahan Global, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2000), hlm. 833

15
Dalam formulir permohonan izin tersebut, pihak pers harus
menandatangani pernyataan tentang 19 hal yang wajib dilakukan;19
1)Mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan/atau akan dikeluarkan oleh
Peperti dan lain-lain instansi pemerintah yang berwenang mengenai
penerbitan; 2) Wajib menjadi pendukung dan pembela Manifesto Politik RI
secara keseluruhan; 3) Program pemerintah; 4) Dekrit Presiden 1959; 5)
Undang-Undang Dasar 1945; 6) Pancasila; 7) Sosialisme Indonesia; 8)
Demokrasi Terpimpin; 9) Ekonomi Terpimpin; 10) Kepribadian nasional
Indonesia; 11) Martabat Negara Republik Indonesia; 12) Wajib menjadi alat
untuk memberantas imperialisme dan kolonialisme, liberalisme,
federalisme/separatisme; 13) Wajib menjadi pembela/pendukung dan alat
pelaksana dari politik bebas dan aktif negara Republik Indonesia tiak menjadi
pembela/pendukung dan alat dari perang dingin antarblok negara asing; 14)
Wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap
Pancasila; 15) Manifesto Politik RI; 16) Wajib membantu usaha
penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik;
17) Tidak akan memuat tulisan-tulisan atau lukisan-lukisan/gambar-gambar
yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak; 18) Yang mengandung
penghinaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara
asing yang bersahabat dengan negara Republik Indonesia, dan terakhir; 19)
Yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau
dilarang berdasarkan Penetapan Presiden nomor 7 tahun 1959 dan Peraturan
Presiden nomor 13 tahun 1960.

Koran Harian Rakyat yang menjadi corong PKI bisa terbit tangal 2
Oktober 1965. Hal ini yang dijadikan pemerintah Orde Baru sebagai bukti
keterlibatan partai tersebut dalam G30S. Di dalam buku putih yang disunting
oleh Kolonel Alex Dinut dicantumkan isi Harian Rakyat yang terdiri dari
Pojok (‘Gerakan 30 September sudah menindak Dewan Djendral. Simpati
dan dukungan rakyat di pihak Gerakan 30 September’). Tajuk surat kabar itu

19
Asvi Warman Adam, op.cit, hlm.833-834

16
antara lain menyatakan “Tetapi bagaimanapun juga persoalan tersebut adalah
persoalan intern Angkatan Darat. Tetapi kita rakyat yang sadar akan politik
dan tugas-tugas revolusi meyakini akan benarnya tindakan yang dilakukan
oleh Gerakan 30 September untuk menyelamatkan revolusi rakyat”.20

Kelahiran Orde Baru , 1 Oktober 1965, diawali dengan pembredelan


pers. Meskipun sampai tahun 1974 pers Indonesia dinilai ralatif cukup kritis,
setelah itu dunia media massa nasional memang sangat tergantung dari
kekuasaan pemerintah. Monopoli informasi sejak awal bergulirnya Orde
Baru, telah memvonis bahwa versi mengenai peristiwa tersebut. Kekuasaan
suatu pemerintah menjadi hal yang sangat penting dalam pengakuan antara
kebenaran yang dibuat oleh pemerintah.

Berdasarkan contoh yang dijabarkan di atas, sejarah lokal dan sejarah


nasional memiliki relasi yang cukup signifikan. PKI yang notabene adalah
sejarah lokal, akibat dari dimuatnya berita tersebut di koran nasional, maka
statusnya pun berubah menjadi sejarah nasional. Informasi yang disebarkan
oleh koran tersebut, dapat dinikmati oleh seluruh kalangan nasional atau
bahkan luar negeri. Dengan demikian, dampak yang diberikan oleh PKI
selain di daerah ia berasal, juga terhadap daerah lain.

PKI yang dianggap sebagai komunitas orang sesat, memberi dampak


kepada komunitas lain yang dirasa oleh pemerintah memiliki kepercayaan
tidak jelas, sama dengan PKI. Misalnya masyarakat Tengger yang notabene
sangat menjunjung tinggi rasa hormat terhadap nenek moyang, dimasukkan
dalam keyakinan agama Hindu dalam sensus penduduk. Padahal sebenarnya
masyarakat Tengger berkeyakinan bahwa ritual merea sangat berbeda dengan
Hindu.

Sejarah lokal memiliki relasi yang sangat kuat dengan sejarah nasional.
Sejarah lokal biasanya berusia lebih lama daripada sejarah nasional. Namun

20
ibid , hlm.836

17
pelestarian sejarah lokal yang tidak segencar sejarah nasional, membuatnya
menjadi sejarah asing di negerinya sendiri. Hanya sebagian orang saja yang
mengetahui adanya sejarah lokal daerah tertentu. Maka, keberadaan sejarah
lokal seharusnya dapat berjalan bersama dengan sejarah nasional. Semangat
nasionalisme pada masa Orde Baru telah menjadi bukti bahwa sejarah
nasional sangat dijunjung tinggi keeksistensiannya daripada sejarah lokal.

Kesadaran mengenai dimensi waktu dalam penulisan sejarah tampak


dalam dua tulisan mengenai pendidikan, yaitu karangan U.M.Napitupulu, “
Pendidikan Sebagai Dinamisasi Dan Integrasi Masyarakat Tapanuli Utara
Selama Kurun Waktu Satu Dasawarsa Menjelang Berakhir Perang Dunia
Kedua Dan Setelah Kemerdekaan ”, dan B.A.Simanjutak, “Kemajuan
Pendidikan Dan Cita Kemerdekaan Di Tanah Batak (1861-1940)”.

Tulisan pertama sebenarnya lebih banyak menuturkan mengenai


pengaruh sosial dari pendidikan atau sosiologi pendidikan. Tulisan ini tidak
banyak didukung oleh fakta, lebih sebagai suatu generalisasi. Lebih spesifik
dan historis ialah tulisan kedua, oleh Simanjutak. Tulisan ini dapat
dikembangkan sebagai sejarah sosial atau sejarah intelektual. Sejarah sosial,
jika dikonseptualisasi, seperti masalah mobilitas sosial, lebih ditekankan.
Sejarah intelektual, jika konsep “humajuon” menjadi fokus tulisan.21

Pada umumnya orang memakai istilah sejarah untuk menunjuk cerita


sejarah, pengetahuan sejarah, gambaran sejarah, yang kesemuanya itu
sebenarnya adalah sejarah dalam arti subjektif. Disebut subjektif tidak lain
karena sejarah memuat unsur-unsur dan isi subyek (pengarang, penulis) baik
pengetahuan maupun gambaran sejarah adalah hasil penggambaran atau

21
Ibid, hlm147

18
rekonstruksi pengarang, maka mau tak mau memuat sifat-sifatnya, gaya
bahasanya, struktur pemikiranya, pandanganya, dan lain sebagainya.22

Di Indonesia penulisan sejarah lokal pada umumnya menghadapi kesulitan


sumber-sumber. Sumber yang cukup lengkap dibutuhkan karena oleh karena
biasanya sejarah lokal berupa sejarah mikro, suatu jenis yang menuntut
metodologi khusus, yaitu yang memiliki kerangka konseptual cukup halus
agar dapat melakukan analisis yang tajam, sehingga pola-pola mikro dapat
diekstrapolasikan.23

Mengenai pengertian sejarah lokal, Kelihatanya sampai sekarang


belum ada rumusan yangmemuaskan tentang apa Sejarah lokal , Menurut :
H.P.R. Finberg (Sejarawan Inggris) BukunyaLokal History, Obyektive And
Pursuit tidak ada yang mengemukakan yang lebih eksplisit.Namun demikian
disini bisa mencoba memulai dengan rumusan sederhana , yaitu: Sejarahlokal
bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang
terbatas pada Lokalitas tertentu, jadi terbatas lingkup terutama dikaitkan
dengan dengan unsur wilayah.

Menurut Taufik Abdullah sejarah lokal adalah suatu peristiwa yang


terjadi di tingkat lokal yangbatasannya dibuat atas kesepakatan atau
perjanjian oleh penulis sejarah. Batasan lokal inimenyangkut aspek geografis
yang berupa tempat tinggal suku bangsa, suatu kota, atau desa(Abdullah,
1982).

Ahli lain mengatakan bahwa sejarah lokal adalah bidang sejarah yang
bersifat geografis yangmendasarkan kepada unit kecil seperti daerah,
kampung, komunitas atau kelompok masyarakattertentu (Abdullah, 1994:
52). suatu peristiwa yang terjadi di daerah yang merupakan imbasatau latar

22
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, ( yogyakarta ;
Ombak, 2014 ).hlm.16-17
23
Loc.cit,hlm.84

19
terjadinya peristiwa nasional.Sebaliknya, Wasino (2009: 2) mengatakan
bahwa sejarah lokal adalah sejarah yang posisinyakewilayahannya di bawah
sejarah nasional. Sejarah baru muncul setelah adanya kesadaranadanya
sejarah nasional.

Namun demikian bukan berarti semua sejarah lokal harus


memilikiketerkaitan dengan sejarah nasional. Sejarah lokal bisa mencakup
peristiwa-peristiwa yangmemiliki keterkaitan dengan sejarah nasional dan
peristiwa-peristiwa khas lokal yang tidakberhubungan dengan peristiwa yang
lebih luas seperti nasional, regional, atau internasional.Di Indonesia
disamping istilah sejarah lokal, dikenal juga dengan istilah daerah. Sehingga
istilahsejarah lokal dan sejarah daerah digunakan seringkali berganti-ganti
tampa penjelasan yangtegas. Lokal dan daerah secara harfiah memiliki arti
yang sama, tetapi dalam kajian sejarahbanyak digunakan istilah lokal.

Dengan pertimbangan daerah selalu berkonotasi politis


(adanyastratifikasi pusat dan daerah: DATI I dan II) sehingga lebih digunakan
bahasa lokal karena lebihnetral dan tidak brkonotasi politis. Sedangkan
pengertian regional dan nasional. Regionalsecara internasional Negara yang
berada dalam lingkup regional disebut lokal. Contoh asiatenggara: Indonesia,
Vietnam, dan lain-lain. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan
bahwasejarah lokal adalah bidang kajian mengenai masa lalu dari suatu
kelompok atau masyarakatyang mendiami unit wilayah yang terbatas.

Dari beberapa batasan ini bisa disimpulkan bahwa ruang lingkup


sejarah lokal atas dasar jalanpikiran Jordan ialah keseluruhan lingkungan
yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti Desa,Kecamatan, Kabupaten, Kota
Kecil dll, kesatuan wilayah itu beserta unsur-unsur institusi sosialdan budaya
yang berada disuatu lingkungan itu seperti : Keluarga, pola pemukiman,
mobilityasprnduduk, kegotong royongan, pasar, tehnologi pertanian,lembaga
pemerintahan setempat,perkumpulan kesenian, monumen dll. Seperti
disebutkan diatas bahwa Sejarah Lokal ditentukan Scope areal, juga segi

20
Perspektif waktu , misal Sejarah Blambanganpada zaman VOC, Sejarah
Madiun pasca Perjanjian Giyanti, dsb.

Selain luas Areal dan waktu,didalam approach sejarah lokal dapat


ditentukan tema (Segi Permasalahanya) atauaspek-aspeknya seperti Aspek
Politik, Sosial Ekonomi, Kultural, Militer, religius atau yang lain.Disamping
pendekatan luas areal dan waktu serta tema dengan aspek-aspeknya
didalampenganalisaanya para penulis hendaknya melakukan pendekatan
multidimensional, bila kitamenginginkan hasil tulisan tersebut akan bisa
mengungkap diberbagai aspek hal ini telahdirintis oleh Prof. Dr. Sartono
Kartodirdjo, tercermin dalam karya-karyanya. Misal pembicaraantentang
Infrastruktur masyarakat Indonesia secara langsung menyangkut
approachmultidimensional, sebab untuk mengungkapkan infrastruktul itu kita
tidak cukup menggunakanmetode Diskriptif yang lazim dipakai dalam sejarah
konvensional, melainkan perlu memakaianalisa strukturil Untuk mencakup
suatu kehidupan histories yang bersegi banyak perludiadakan analisa
multidimensional yang mampu mengungkapkan faktor-faktor atauunsur-
unsur Ekonomis, Sosial, politik, Religius, dsb.

Arti Penting Kajian Sejarah Lokal, yaitu:

1. memperluas dan memperkaya sejarah nasional

2. memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah lokal

3. memperdalam kesadaran sejarah

4. mengenal sejarah lokal seluruh Indonesia secara lebih baik dan bermakna

5. sebagai bahan koreksi tehadap generalisasi sejarah indonsia yang sudah


ada.

6. meningkatkan pengertian antar kelompok etnis di Indonesia.

21
Secara lebih menyeluruh arti penting kajian sejarah lokal ditemukan
oleh sejarawan LB. Lapian yang pokok-pokoknya sebagai berikut: Pertama,
bahwa pengembangan penulisan sejarah yang bersifat Nasional seperti
sekarang ini sering memberi makna bagi orang-orang tertentu, juga kurang
dihayati denganbaik karena kurangnya pengetahuan detail tentang latar
belakang dari peristiwa-peristiwa yanghanya digambarkan dalam konteks
yang sangat umum, atau peristiwa-peristiwa detail itumemang sama sekali
tidak pernah diketahui sehingga ada bagian-Bagiam Sejarah Daerah Kita Kita
Sendiri Yang Luput dari perhatian masyarakat pembaca sejarah.

Untuk bisa mengadakan koreksi terhadap generalisasi yang sering


dibuat penulisansejarah Nasional, sebagai Ilustrasi Lapian antara lain
:Masalah Generalisasi yang menyangkut periodisasi sejarah Indonesia yang
sering diberi istilahJaman Hindu, menurut Lapian daerah Sangir, Talaud,
Sewu dan Rote dan ada pula daerahyang sampai sekarang masih berpegang
pada Hinduisme seperti Bali Lombok.Masalah Generalisasi tentang dualisme
perkembangan tehnologi di Indonesia denganmembuat pembedaan antara
tehnologi tradisional yang padat karya dan tehnologi modern yangpadat
modal yang dianggap tidak bisa diterapkan diseluruh Indonesia, terutama
didaerah luarjawa.

Lapian menekankan kepentingan yang lain dari penulisan sejarah


lokal yaitu:memperluas pandangan tentang Dunia Indonesia, maksudnya
adalah: untuk meningkatkansaling pengertian diantara kelompok-kelompok
etnis di Indonesia dengan jalan meningkatkanpengetahuan kesejarahan dari
masing-masing kelompok terhadap kelompok yang lain , Contoh: Kita lupa
misalnya sementara Belanda di jawa masih mengahadapi Invasi Jepang , di
Gorontalo, di Aceh telah berkibar Dwiwarna kita, di Tarakan dan Minahasa
penduduk telahdisuruh menyanyi lagu kebangsaan Nipon. Sementara
pemuda-pemuda kita berbaris sebagaipasukan Seinendan atau Heiho,dan
yang lain menjalankan Romusya, Bendera Belanda masihberkibar di
Meraoke.Pada waktu kemerdekaan diproklamasikan 17 Agustus 1945 di

22
Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Jayapura pada waktu itu bernama
Hollandia bersama Biak , Morotai dan KalimantanTimur sudah diduduki
Tentara Sekutu. Hal- hal seperti ini sering tidak terekam dalam sejarahmakro,
sehingga bisa terjadi masing-masing kelompok masyarakat kita berpikir yang
kurangtepat terhadap perkembangan sejarah di bagian-bagian lain di
Indonesia.yang selanjutnya bisamenumbuhkan Visi-visi sejarah yang kurang
wajar diatara sesama anggota bangsa Indonesia.24

Dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo, unit sejarah mengandung


pengertian : suatu bagian dari pengetahuan sejarah yang satu katagori serta
bidang yang dapat dipahami (Intelligible Field). Unit itu juga merupakan satu
kompleks problem-problem, tema-tema, dan topik-topik yangsemuanya
ditempatkan dalam pasangan waktu (Time Setting) yang penting dalam
katagori peristiwa sejarah seperti ini ialah adanya kerangka yangmewujudkan
kesatuan yang didalamnya mengandung pola-pola dari fakta-fakta yang
beradadlam satu kerangka tersebut. Juga didalamnya mengandung aspek
kesatuan temporal(waktu)serta kesatuan Spacial (Ruang/tempat) dari
rangkaian peristiwanya.

Aspek kesatuan temporal antara lain menyangkut babakan waktu atau


periodisasi yang didasarkan atas kreteria tertentubergantung pada pada
kreteria kontinuitas maupundiskontinuitas suatu perkembangan sejarah.
Dengan mana rentangan waktu perkembangan itu hendak dimasukan dalam
urutan perkembangan histories tertentu.

Aspek kesatuan Spacial dari unti historis ini terutama batas


kompleksnya peristiwa sejarah yang bervariasi dengan skop sangat luas
sampai unit yang terbatas, yang menjadi masalah disinikreteria yang
digunakan untuk membuat batasan itu.

buku/diktat ” Sejarah Lokal (Perspektif Pengajaran Sejarah)”Fakultas Keguruan dan


24

Ilmu Pendidikan Universitas 17 Agustus1945 Banyuwangi

23
Ada yang menggunakan aspek kehidupanpolitik, Ekonomi, serta sosio
budaya, tetapi perlu disadari batas politis bersifat lebih dinamisyaitu
berkembang lebih cepat, yang lebih bersifat statis adalah kategori sosio
culturalDengan Demikian Unit –unit histori itu terwujud dari berbagai
kategori yang menyebabbkanadanya variasi lingkup sejarah dari yang
melebar/meluas sampai dengan yang menyempitterbatas. Lingkup histories
yang meluas itu sering disebut dimensi Makro, atau sejarah makro.
sedangkan lingkup yangmenyempit terbatas disebut dimensi mikro atau
sejarah mikro.25

Seperti pernah dinyatakan suatu sejarah naratif menegenai peristiwa


kecil atau lokal tidak terlalu menarik. Baru mulai bermakana kalaupelbagai
fakta ditempatkan dalam suatu konteks atau mengandung struktur, pola, atau
kecenderungan tertentu. Disini ada titik pokok yang memungkinkan
perbandingan dengan konteks makro serta dapat dicakup dalam generalisasi,
umpamanya, seberapa jauh suatu kasus lokal itu representatif bagi gejala
umum tingkat nasional, antara lain dalam arangka proses inovasi atau
transformasi. Proses ini biasanya membawa dampak, antara lain konflik
sosial antara beberapa golongan elite. Mengenai proses seperti ini bukan
tingkat kejadianya yang penting, tetapi mengenai kualitasnya sama
pentingnya.

Memang sejarah lokal baru mendapatkan relief kalau ada pendekatan


struktural. Ada masalah tentang struktur agraris, struktur kekuasaan, struktus
sosial, dan lain sebagainya. Pendekatan strukturlah yang mampu
menempatkan peristiwa unik kedalam kerangka konseptual sehingga dapat
dibuat generalisasi; jadi, penuh makna. Dengan demikian, kita tidak
tenggelam dalam naratif rinci, yang dalam perspektif makro tidak bermakna
sama sekali.26

25
Ibid,hlm.19
26
Sartono Kartodirdjo,Loc.cit,hlm.84

24
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat organisasi gerakan sosial untuk
perubahan sosial: masyarakat terorganisir. Dewasa ini, gerakan sosial (social
movement) menjadi pokok bahasan yang populer bagi para sosiolog di Barat
khususnya di Amerika Serikat tahun 1950an dan 1960an, serta kajian
menegenai berbagai gerakan seperti gerakan mahasiswa tahun 1960an dan
1970an, gerakan lingkungan, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas
maupun gerakan perempuan pada tahun 1970an dan 1980an, kesemuanya
membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori tentang
gerakan sosial. Jenis kajian seperti ini juga berkembang di belahan dunia
lainya. Gerakan sosial yang dipilih untuk dijadikan bahan studi meliputi
beragam gerakan seperti gerakan perjuangan etnis/nasionalis di banyak
negara bagian (bekas) Uni Soviet, gerakan anti-Apharteid di Afrika Selatan,
serta berbagai bentuk gerakan sosial dunia ketiga untuk meningkatkan
kegiatan hidup dan memperjuangkan distribusi sumber daya ekonomi yang
lebih merata. Berbagai studi tersebut juga telah diperkaya pemahaman kita
mengenai gerakan sosial.27

Gerakan sosial yang terjadi didunia ketiga seringkali senantiasa


berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang
dominan (mainstream approach), yakni perubahan sosial yang direkayasa
oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai pembangunan (Development).
Pada umumnya pelbagai studi tersebut dimaksudkan untuk memahami watak
perlawanan dan kritik terhadap modernisasi, yakni suatu skenario yang
diasumsikan dan dirancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran di
dunia ketiga.28

Sejarah lokal sendiri memiliki sumbangsih yang cukup besar kaitanya


dengan kajian-kajian ilmu sosial setidaknya dalam tiga hal : (1) sejarah

27
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar,2004), hlm.37
28
Ibid,hlm.37-38

25
sebagai kritik terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial, (2) permasalahan
sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu-ilmu sosial, dan (3) pendekatan
sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial
yang sinkronis.29

29
Loc.Cit.hlm,84

26
BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

Sejarah lokal dan sejarah nasional keduanya saling memberikan


hubungan di dalan sejarah Indonesia. Keberadaan sejarah nasioanl yang
dianggap sebagai sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah lokal.
Sejak awal era kemerdekaan, keberadaan sejarah nasional menjadi konsumsi
yang tinggi di masyarakat hal ini dikarenakan untuk tujuan menumbuhkan
semangat nasionalisme pada masa itu. Namun setelah diadakannya seminar
sejarah lokal, kebutuhan penulisan sejarah lokal di Indonesia menjadi perlu
untuk dikembangkan. Realita kehidupan manusia yang bermula dari unit
terkecil yaitu desa kemudian berkembang menjadi kota hingga negara
merupakan bukti bahwa sejarah memang bermula dari hal-hal yang kecil
(lokal).

Kemampuan sejarawan dalam mengungkap peristiwa lokal di dalam


sejarah lokal memang sangat diperhitungkan. Bukan hal yang mudah untuk
bisa merekonstruksi sejarah lokal agar menjadi sejarah yang bisa
diintegrasikan dengan sejarah nasional. Sebagai pelaku sejarah sekaligus
subyek yang terlibat dalam narasi sejarah, kita harus mengetahui apa saja
yang menjadi unsur penting di dalam sejarah bangsa. Sejarah lokal maupun
nasional merupakan dua unsur penting dan saling berhubungan. Sebagai
akademisi yang berhubungan dengan dunia sejarah kita harus mampu
menyeimbangkan antara keduanya agar tidak terjadi ketidakadilan di dalam
penulisan historiografi Indonesia.

27
Sejarah lokal sendiri memiliki sumbangsih yang cukup besar kaitanya
dengan kajian-kajian ilmu sosial setidaknya dalam tiga hal : (1) sejarah
sebagai kritik terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial, (2) permasalahan
sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu-ilmu sosial, dan (3) pendekatan
sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial
yang sinkronis.

28
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal :

http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/197101011999031-
WAWAN_DARMAWAN/Peng_sej_Lokal.pdf
( 9 september 2015 pukul 12:00)

Supardi, “Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran Sejarah Lokal” dalam


Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol.2, Nomor 1,
2014, http://journal.uny.ac.id/index.php/jppfa/article/download/2621/21

Buku

buku/diktat ” Sejarah Lokal (Perspektif Pengajaran Sejarah)”Fakultas Keguruan


dan Ilmu Pendidikan Universitas 17 Agustus1945 Banyuwangi

Jakob Oetama, Indonesia Abab XXI di Tengah Kepungan Perubahan Global,


Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2000.

Mansour Fakih,Masyarakat Sipil Untuk Transformasi, Yogyakarta; Pustaka


Pelajar,2004.

Taufik Abdullah. Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 1985.

, Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,


2006.

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,


Yogyakarta ; Ombak, 2014

Sofia Rangkuti-Hasibuan, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia: Teori dan


Konsep, Jakarta: Dian Rakyat, 2002.

Storey, William Kelleher. Menulis Sejarah: Panduan Untuk Mahasiswa (Edisi


Kedua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

29

Anda mungkin juga menyukai