Anda di halaman 1dari 9

RESUME

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD


“BERBAGAI PANDANGAN TERHADAP PEMBELAJARAN MATEMATIKA”

Oleh :

Janet Putri Vauliza


18129267
18 AT 01

Dosen Pembimbing:
Melva Zainil ST, M.Pd

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
A. Pandangan terhadap Pembelajaran Matematika Menurut Para Ahli
1. Menurut Ebbut dan Straker
Menurut Ebbutt dan Straker (dalam Kesumawati, 2008:232-233) asumsi tentang
pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:
a. Siswa akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi.
Implikasi pandangan ini bagi guru adalah: (1) menyediakan kegiatan yang
menyenangkan, (2) memperhatikan keinginan siswa. (3) membangun pengertian
melalui apa yang diketahui oleh siswa, (4) menciptakan suasana kelas yang
mendukung kegiatan belajar, (5) memberikan kegiatan belajar yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran, (6) memberikan kegiatan yang menantang, (7) memberikan
kegiatan yang memberikan harapan keberhasilan, dan (8) menghargai setiap
pencapaian siswa.
b. Siswa mempelajari matematika dengan caranya sendiri.
Implikasi pandangan ini adalah: (1) siswa belajar dengan cara yang berbeda
dan dengan kecepatan yang berbeda, (2) tiap siswa memerlukan pengalaman
tersendiri yang terhubung dengan pengalamannya diwaktu lampau, (3) tiap siswa
mempunyai latar belakang social-ekonomi-budaya yang berbeda. Oleh karena itu
guru perlu: (1) mengetahui kelebihan dan kekurangan para siswanya, (2)
merencanakan kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, (3)
membangun pengetahuan dan ketrampilan siswa, baik yang dia peroleh di sekolah
maupun di rumah, (4) menggunakan catatan kemajuan siswa (assessment).
c. Siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama
dengan temannya.
Implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah: (1) memberikan
kesempatan belajar dalam kelompok untuk melatih kerjasama, (2) memberikan
kesempatan belajar secara klasikal untuk memberi kesempatan saling bertukar
gagasan, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatannya
secara mandiri., (4) melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan tentang
kegiatan yang akan dilakukannya, dan (5) mengajarkan bagaimana cara
mempelajari matematika.
d. Siswa memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari
matematika.
Implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah: (1) menyediakan dan
menggunakan berbagai alat peraga, (2) memberikan kesempatan belajar
matematika diberbagai tempat dan keadaan, (3) memberikan kesempatan
menggunakan matematika untuk berbagai keperluan, (4) mengembangkan sikap
menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan problematika baik di
sekolah maupun di rumah, (5) menghargai sumbangan tradisi, budaya dan seni
dalam pengembangan matematika, dan (6) membantu siswa menilai sendiri
kegiatan matematikanya.

2. Menurut Suherman
Pandangan terhadap pembelajaran matematika di sekolah menurut Suherman (dalam
Surya, 2013:78) yaitu sebagai berikut:
a. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap) Materi pembelajaran diajarkan
secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang
sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar.
b. Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral Setiap mempelajari konsep
baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya.
Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari.
Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan
memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (Spiral melebar dan
menaik)
c. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif Matematik adalah
deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun demikian harus
dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam
pembelajaran belum sepenuhnya menggunakan pendekatan deduktif tapi masih
campur dengan deduktif.
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi

3. Menurut Sumarmo
Sumarmo (dalam Surya, 2013:79-80) menyatakan untuk dapat melaksanakan
kegiatan-kegiatan di atas, selain guru matematika harus menguasai matematika dengan
baik, guru juga harus mempunyai pandangan terhadap pembelajaran matematika yang
lebih menekankan kepada:
a. Pengertian kelas sebagai komunitas matematika daripada hanya sebagai
sekumpulan individu
b. Pengertian logika dan kejadian matematika sebagai verifikasi daripada guru
sebagai penguasa tunggal dalam memperolehjawaban benar
c. Pandangan terhadap penalaran matematika daripada sekadar mengingat prosedur
atau algoritma saja
d. Penyusunan konjectur, penemuan dan pemecahan masalah daripada penemuan
jawaban secara mekanik, dan
e. Mencari hubungan antara ide-ide matematika dan penerapannya daripada
matematika sebagai sekumpulan konsep yang saling terpisah

B. Pandangan terhadap Pembelajaran Matematika Secara Umum


Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat
kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui
pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi
siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun
untuk memasuki dunia kerja (Sutarto Hadi, 2005).
Paradigma baru pendidikan saat ini masih diharapkan lebih menekankan pada peserta didik
(siswa) sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif
dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang
disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas
tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah
pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri.
Namun, di sisi lain, para pendidik dalam konteks ini adalah guru matematika, diharapkan
mampu mereduksi anggapan awal siswa bahwa matematika sebagai pelajaran yang sulit.
Anggapan ini tidak terlepas dari persepsi yang berkembang di masyarakat tentang matematika.
Anggapan banyak orang bahwa matematika pelajaran yang sulit tanpa disadari telah
mengkooptasi pikiran siswa. Sehingga siswa juga beranggapan demikian, ketika berhadapan
dengan matematika. Pandangan bahwa matematika ilmu yangkering, abstrak, teoritis, penuh
dengan lambang-lambang dan rumus yang sulit dan membinggungkan. Anggapan ini ikut
membentuk persepsi negatif siswa terhadap matematika.
Akibatnya pelajaran matematika tidak dipandang secara objektif lagi. Matematika sebagai
salah satu ilmu pengetahun kehilangan sifat netralnya. Tentu saja anggapan yang berkembang di
masyarakat tidak dapat disalahkan begitu saja. Anggapan itu muncul karena pengalaman yang
kurang menyenangkan terhadap pembelajaran matematika.
Untuk menghilangkan persepsi pada siswa bahwa matematika sulit, harus dimulai dari diri
guru. Pertama, guru seharusnya nya mengubah paradigma pembelajaran tradisional ke
paradigma pembelajaran progresif. Pada paradigma tradisional pembelajaran matematika di
sekolah cenderung didominasi oleh transfer pengetahuan. Materi yang banyak dan sulit, serta
tuntutan untuk menyelesaikan materi pembelajaran telah membuat guru membelajarkan
matematika dengan cepat tapi tidak mendalam. Pembelajaran matematika dilakukan dengan pola
instruksi, bukan konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan. Bahkan tanpa memberi kesempatan
pada siswa untuk menentukan sendiri arah mana siswa ingin berekplorasi dalam menemukan
pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Akibatnya pembelajaran matematika di sekolah hanya
bersifat hafalan dan bukan melatih pola pikir. Kedua, guru seharusnya mengubah paradigma
tentang matematika. Matematika bukan sekedar alat bagi ilmu yang lain, tapi matematika juga
merupakan aktivitas manusia. Hans Freudental berpendapat bahwa matematika merupakan
aktivitas insani (mathematics as human activity). Menurutnya siswa tidak bisa di pandang
sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receivers of ready-made
mathematics).
Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali matematika di bawah bimbingan
orang dewasa dan tentunya melalui berbagai kegiatan yang diharapkan mampu menjadikan
matematika sebagai pembelajaran yang bermakna. Pada kegiatan pembelajaran, termasuk
pembelajaran matematika, jika guru dapat mengatikan antara materi yang dibahas dengan
kondisi siswa, baik hobi Atau kebutuhan siswa, perkembangan kognitif, lingkungan keseharian,
dan bekal yang telah dimiliki siswa, maka akan berdampak positif bagi siswa yaitu pembelajaran
yang dilakukan dalam mempelajari suatu konsep matematika menjadi menyenangkan (joyful
learning).
Pembelajaran ini bisa diterapkan melalui penggunaan masalah kontekstual sebagai jembatan
pemahaman siswa terhadap matematika, karena penggunaan masalah kontekstual merupakan
konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan
secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak “bekerja” dan “mengalami” sendiri
apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya”.

Konsepsi seorang guru terhadap matematika dipandang sebagai keyakinan secara sadar yang tertanam dalam
lubuk hati mengenai konsep-konsep, makna, aturan-aturan, gambaran mental dan preferensi dalam disiplin ilmu
matematika Sedangkan hal-hal yang dipertimbangkan seorang guru untuk mencapai tujuan yang diinginkannya
melalui program matematika, perannya dalam pembelajaran, peranan siswa, perkiraan aktivititas di dalam kelas,
pendekatan dan penekanan pembelajaran yang diinginkan, prosedur matematika yang legitimate dan hasil yang
dapat diterima dalam pembelajaran merupakan konsepsi guru tentang pengajaran matematika. (Endang Mulyana,
2002:3).
Untuk mengetahui gambaran pandangan guru terhadap matematika, Goffree menyajikan suatu model melalui cara
buku pelajaran dikembangkan dan bagaimana guru menggunakan buku tersebut. Menurutnya buku dikelompokkan
ke dalam empat model yaitu; (a) mekanistik, (b) strukturalis, (c) empirisis, dan (d) realitistik atau terapan. Tiap-tiap
metode pengembangan buku pelajaran menggambarkan pandangan terhadap matematika. Kemudian Goffree
mengkaji silang dengan tiga cara guru menggunakan buku tersebut di dalam kelas yaitu: (1) Menggunakan buku
sebagai alat pelajaran, mengikuti urutan buku tersebut dan menyajikan materi mengikuti apa yang disarankan dalam
buku. (2) Menggunakan buku sebagai sebagai suatu pedoman, menyediakan pokok-pokok materi yang konstruktif,
diikuti dengan diskusi tentang konsep/prinsip/prosedur berdasarkan pengalaman guru. (3) Guru mengembangkan
kurikulum atas pandangan konstruktif dengan mengutamakan pengembangan pendekatan materi dan pendekatan
paedagogi
Cara lain untuk mengetahui konsepsi guru terhadap matematika adalah dengan mengobservasi pembelajaran yang
dilakukannya. Adapun aspek-aspek utama adalah sebagai berikut: (1) menyajikan konsep, (2) menyajikan aturan, (3)
menyajikan prosedur, (4) jenis pertanyaan yang diajukan, (5) menguji kebenaran jawaban, (6) membantu kesulitan
siswa (Mulyana, 2002:21 ).
Untuk berhasilnya pengajaran matematika, pertimbanganpertimbangan tentang bagaimana
anak belajar merupakan langkah awal yang harus diperhatikan. Dalam upaya untuk melakukan
hal tersebut, diperlukan beberapa prinsip dasar seperti yang akan dibahas di bawah ini. Prinsip-
prinsip tersebut merupakan implikasi dari teori belajar yang telah dikemukakan sebelumnya.

C. Menyikapi berbagai pandangan pembelajaran matematika


Definisi sikap terhadap matematika sangat beragam. Sikap merupakan keteraturan
perasaan, pikiran, dan kecenderungan perilaku seseorang terhadap objek tertentu di
lingkungannya (Secord & Backman, 1964).

Pada dasarnya sikap terhadap matematika adalah perasaan emosional positif atau negatif
terhadap matematika (Zan, 2013). Sikap individu terhadap matematika merupakan cara yang
kompleks tentang perasaan yang berhubungan dengan matematika, keyakinan matematika,
meliputi sikap positif dan negatif, dan bagaimana siswa bertingkah laku terhadap matematika
(Hart, 2013). Selanjutnya, Hannula (2013) menyatakan bahwa sikap sebagai sifat emosional
terhadap matematika. Definisi tersebut mempunyai empat komponen yang meliputi:

a. Emosi pengalaman peserta didik selama kegiatan matematika.


b. Emosi yang terbentuk secara otomatis dalam konsep matematika.
c. Evaluasi tentang situasi yang dialami peserta didik sebagai akibat dari melakukan
kegiatan matematika.
d. Nilai matematika yang berhubungan dengan tinjauan peserta didik secara umum.

Siswa diharapkan mampu menguasai matematika sejak duduk di bangku pendidikan


dasar. Dasar-dasar matematika yang kuat dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan
anak dalam melakukan penalaran, berpikir kritis dan logis, kemampuan menganalisis, serta
kemampuan dalam menyelesaikan masalah (Sujiono, 2011). Ironisnya, sebagian besar siswa
memandang matematika sebagai pelajaran yang menakutkan, susah, abstrak, dan tidak bermakna
(Marpaung, 1986).

Dalam pendidikan formal di sekolah, kemampuan matematika siswa ditunjukkan melalui


tinggi rendahnya prestasi matematika. Prestasi matematika merupakan hasil dari berbagai faktor
yang saling berkaitan (Singh, Granville, Dika, 2002).

Sikap terhadap matematika perlu diperhatikan karena menentukan cara siswa dalam
mengevaluasi dan merespon pelajaran matematika berdasarkan organisasi dari faktor kognitif,
afektif, dan konatif. Siswa usia 11-13 tahun mungkin akan mengembangkan sikap terhadap
matematika yang negatif seiring dengan semakin abstraknya materi matematika yang dipelajari
(Aiken, 1986 dalam Cheung, 1988).

Secara kognitif, mereka menilai matematika sebagai pelajaran yang cukup susah untuk
dipahami. Secara afektif, mereka memiliki ketakutan-ketakutan terhadap matematika. Mereka
umumnya merasa takut tidak mampu menyelesaikan soal-soal matematika dan takut mendapat
nilai matematika yang jelek. Ketakutan tersebut memunculkan predisposisi perilaku yang kurang
baik, seperti bermain dengan teman dan tidak memperhatikan guru saat mengikuti kelas
matematika. Akan tetapi, mereka juga memiliki sikap yang positif terhadap matematika, yaitu
menilai matematika sebagai pelajaran yang berguna untuk menghadapi ujian, masa depan, dan
kehidupan sehari-hari. Siswa dalam tahap perkembangan kognitif ini perlu mendapat arahan
untuk mengembangkan kognisi, afeksi, dan predisposisi perilaku mengenai matematika yang
positif agar kemampuan berpikir logisnya dapat berkembang secara maksimal.

Siswa umumnya memiliki sikap terhadap matematika yang positif ketika pertama masuk
sekolah tetapi lama kelamaan sikap tersebut akan berkurang dan menjadi negatif saat memasuki
jenjang sekolah yang lebih tinggi.
DAFTAR RUJUKAN

Kesumawati, N. (2008). Pemahaman konsep matematik dalam pembelajaran matematika.


Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika, 2, 231-234.

Primasiwi, Yunika. 2012. Hubungan Antara Sikap Siswa terhadap Matematika dengan Prestasi
Belajar Matematika di Kalangan para Siswa Kelas X A semester I SMA BOPKRI 2
Yogyakarta Tahun Ajaran 2011/2012. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma

Surya, E. (2013). Analisis Pemetaan dan Pengembangan Model Pembelajaran Matematika SMA
di Kabupaten Tapteng dan Kota Sibolga Sumatera Utara. Jurnal Paradikma, 6(1), 75-88.

Anda mungkin juga menyukai