Anda di halaman 1dari 10

PARADIGMA DAN TEORI PERUBAHAN BERBASIS ASWAJA

Muhammad mustafied

A. Muqoddimah
Sejarah menunjukkan keragaman pemikiram dan tradisi Islam yang pada
awalnya adalah satu. Islam dalam pengertian otentik, teks Al-Qur’an dan Hadits
Sahih, disepakati adalah satu dan memiliki kebenaran mutlak. Seiring proses
sejarah, Islam menyebar ke berbagai belahan dunia yang memiliki latar struktur
sosial dan kultural beragam. Islam juga berproses dalam berbagai pergulatan
politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Proses ini telah menghasilkan sekian
tafsir, pemaknaan, dan gerakan keislaman yang majemuk. Penafsiran dan
gerakan ini begitu beragam, yang dipengaruhi oleh situasi struktural historis
yang partikular. Terjadilah proses negosiasi dan kontestasi makna Islam.
Paparan tersebut menghendaki aswaja pun harus dipahami sebagai sebuah
produk sejarah yang akan terus bergulir dan berdialog dengan realitas sosial.
Aswaja pada awalnya dilekatkan pada satu firqoh, yang membedakannya dengan
beragam firqoh yang lain, yang secara ensiklopedis dipetakan oleh Sahristani
dalam al-milal wan-nihal. Oleh warga UNU, aswaja merupakan sebentuk
keislaman yang dianggap paling sahih di antara sekian aliran dalam Islam. Dalam
periode klasik, aswaja membedakan dirinya dengan mu’tazilah, qodariyyah,
jabbariyyah, mujassimah, syiah, dan lainnya.
Sekali lagi, jika kerangka awal di atas disepakati, maka aswaja pun
meniscayakan untuk selalu ditafsirkan dan dimaknai ulang. Aswaja bukanlah
sesuatu yang statis dan haram untuk dipahami ulang. Pendek kata, aswaja
meniscayaan kontekstualisasi, jika tidak ingin membatu. Apalagi kalau kita
sejenak melihat sejarah, aswaja pertama-tama baru dinyatakan secara tegas
oleh Az-Zabidi, penulis syarah ihya, pada abad ke -12. Tidak berlebihan jika Said
Aqiel mengatakan bahwa belum ada rumusan definitif aswaja. Rumusan aswaja
memang mustahil dirumuskan sekali untuk semua waktu, kondisi, dan konteks.
Begitu dibagukan secara tertutup, aswaja akan kehilangan relevansinya, entah
sosial atau intelektual.
Selain tantangan epistemologis di atas, aswaja juga membutuhkan kaki,
membutuhkan seperangkat instrumen, membutuhkan konstruksi organisasi
yang kuat, agar operasional, kontekstual, dan bisa disebarpenjurukan ke seluruh
nusantara dan dunia.

B. Selintas Aswaja Indonesia


Sejarah aswaja di Indonesia pun menunjukkan proses formasi wacana yang
terus mengalami transformasi dalam periode sejarahnya. Pada awalnya, aswaja
masuk ke nusantara dalam struktur yang dominan corak tasawufnya. Beragam
tasawwuf masuk, menembus jantung kultural masyarakat, dan belum
membedakan secara ketat mana yang mu’tabaroh dan ghoiru mu’tabaroh,
bahkan yang bersenyawa dengan syiah pun masuk. Tidak heran jika Gus Dur
pernah mengatakan bahwa Islam Indonesia secara akidah adalah suni namun
secara kultural adalah syiah seperti terefleksikan dalam praktek-praktek
keagamaan masyarakat.
Seiring perkembangan zaman, terutama sejak Demak dideklarasikan, wacana

Mustafied- 1|P a g e
fiqh mulai menguat. Struktur dewan wali merupakan pelembagaan wacana fiqh
yang mengalami proses negaranisasi. Kebijakan kerajaan dikendalikan dewan
tersebut, dan pada aras wacana sempat melahirkan kontestasi diskursus teologis
dengan Syaikh Siti Jenar. Runtuhnya Demak, dan munculnya Mataram Islam,
menggeser basis sosial aswaja dari pesisir ke kultur pedalaman. Periode ini
aswaja mengalami apa yang disebut sebagai limited islamization. Aswaja berada
dalam gerak pergulatan dengan budaya lokal yang melahirkan ekspresi
sosiologis yang amat beragam.
Sebuah catatan kecil penting untuk ditekankan dalam periode ini. Yakni
ketika aswaja mengalami proses “radikalisasi” ketika bersentuhan dengan
kesewenang-wenangan kolonialisme dan imperialism. Kajian sejarah
menunjukkan, bahwa kantong-kantong perlawanan adalah masyarakat tasawuf
dan komunitas pesantren. Tidak heran jika seorang antropolog dengan indah
menulis bahwa membaca sejarah nusantara sama halnya membaca lembaran
berabad-abad perjuangan kaum santri dalam melawan penjajahan. Spirit
perlawanan dan anti-terhadap kezaliman menjadi ruh aswaja saat itu.
Jika kita melompat pada akhir abad ke-19, atau awal ke-20, aswaja
dilembagakan dalam organisasi NU. Artinya, jauh sebelum NU berdiri, aswaja
sebenarnya telah beratus tahun mengalir dalam nafas agama dan budaya
nusantara. Mulai saat itu, aswaja dimaknai, dirumuskan, dan menjadi definisi
operasional. Secara kelembagaan, NU menta’rifkannya sebagai pemahaman
keislaman yang dalam bidang fiqh menganut 4 mazhab, dalam bidang akidah
menganut Imam Abul-Hasan Al-Asya’ry, dan dalam bidang tasawwuf menganut
Imam Junaid dan Imam Ghozali. NU memegang teguh rumusan “idza utliqo bi-
ahlus-sunnah, walmurod bihi asy’ariyyah walmaturidiyyah”. Namun, meski sudah
dilembagakan, aswaja masih mewarisi spirit perjuangan anti-penjajahan. Mbah
Hasyim melontarkan “man tasabbaha biqoumin wahuwa minhum”.
Pengharaman memakai celana panjang dan atribut kolonial lain merefleksikan
semangat resistensi total.
Sejarah mencatat, pergeseran basis sosial mentransformasikan konsep
aswaja. Aswaja bersentuhan dengan modernitas sosial dan ilmu-ilmu sosial
humaniora, sekaligus penelusuran yang lebih serius sejarahnya dengan
menggunakan literature kunci seperti dilakukan Said Aqiel Siraj. Perjumpaan
tersebut menggerakkan transformasi dari aswaja sebagai semata-mata sebagai
bangun-akidah ke aswaja sebagai manhajul fikr. Dalam ranah fiqh, terjadi
pergeseran dari taqlid qouly ke taqlid manhaji.
Pada saat bersamaan, di tanah air muncul beragam aliran keislaman, dari
yang ekstrem sampai yang ultra-liberal. Merespons perkembangan itu, arah
gerak aswaja NU secara kelembagaan seperti dirumuskan dalam Munas
Lampung melaju ke arah moderasi wacana-wacana yang marak di tanah air, yang
oleh KH Ma’ruf Amin, disebut sebagai at-tashwiyyah (penjernihan).

C. Aswaja dan Globalisasi


Pada sisi lain, kompleksitas globalisasi, konstruksi ketidakadilan struktural di
tingkatan global, nasional, dan lokal, tidak cukup kuat menggerakkan
“radikalisasi” aswaja sebagaimana dulu di zaman kolonialisme dan imperialisme.
Wajah vulgar neoimperialisme tidak cukup mendapatkan jawaban responsif dari
aswaja. Dalam banyak hal, dan dataran, secara kasat mata justru terjebak dengan

Mustafied- 2|P a g e
gerak kolaboratif dan kooptatif dengan kekuatan penindasan. Apa makna dan
konsekuensi sosial ke-aswaja-an kita ketika dihadapkan kemiskinan yang
semakin massif dan eskalatif? Ketika dihadapkan dengan trafficking yang
mengorbankan ribuan remaja putri kita? Ketika dihadapkan pada PKL yang
dikejar-kejar seperti maling? Ketika dihadapkan dengan jutaan anak yang gagal
mengakses pendidikan dasar? Ketika dihadapkan dengan korupsi dan kebijakan
yang antikerakyatan? Ketika dihadapkan dengan demoralisasi masyarakat?
Kegelisahan yang menggedor-gedor qolbu tersebut justru dijawab dengan
pertengkaran-pertengkaran kekuasaan, perebutan sumber daya ekonomi dan
politik, yang memuakkan, yang berbasis kepentingan personal ataupun klik.
Lihatlah bagaimana masyarakat politik NU saling pukul dan menghancurkan
dalam kerangka non-kontradiksi pokok, bagaimana, bagaimana NU menjadi
ladang pencarian keuntungan materi dan kuasa tanpa moralitas kolektif,
bagaimana lapis mudanya sudah akrab dengan money-politics.
Di titik inilah, tulisan ini mencoba untuk merumuskan manhaj perjuangan
(teori tafsir sejarah dan teori perubahannya) yang diturunkan dari aswaja, agar
kembali menjadi kekuatan sejarah transformasional. Manhaj aswaja yang
mencoba mengelak dari jebakan global dan penjinakan neoliberal, sekaligus
pemaknaan yang naïf, dan respons terhadap pembajakan aswaja oleh kalangan
wahhabi dan salafi semata. Aswaja yang bukan sekedar dibenturkan dengan
wacana dan praktek kekerasan serta sikap antitradisi dan kemajemukan kultural
yang berbasis agama, namun aswaja yang berusaha menggerakkan perubahan
sosial.

D. Sejenak Kembali Menengok Sejarah


Sebelum lebih jauh, mari kita tengok sejenak sejarah mandat sosial
pesantren. Ada konteks sosial yang menjadikannya demikian, sebab
kepemimpinan sosial pesantren tidak datang dengan sendirinya, atau given sejak
masyarakat terbentuk. Pada awalnya, kepemimpinan politik, sosial, budaya, dan
ekonomi dipegang oleh para priyayi atau pangreh praja (mulai dari bupati, patih,
wedana, mantra, hingga juru tulis). Karena pergeseran geopolitik Eropa, yakni
jatuhnya Belanda ke tangan Napoleon dan keberhasilan Swedia melepaskan diri
dari penjajahn Belanda di satu sisi, dan di sisi lain kejatuhan tersebut
menguntungkan Inggris, sehingga menggantikan koloninya seperti Afrika
Selatan dan Sri Langka.
Lepasnya ketiga koloni tersebut menjadikan sumber dana Belanda berkurang
yang kemudian dikompensasikan menjadi kebijakan tanam paksa di Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang umumnya petani menjadi objek eksploitasi. Untuk
menjinakkan para pangreh praja, Daendels, Gubernur Hindia Belanda saat itu,
menyogok dengan memberikan bantuan berupa gaji dari pemerintah kolonial.
Penggantinya, Van Den Bosch, menambahnya dengan semacam bonus baik
berupa konsesi, tunai, maupun hasil tanam paksa. Kondisi ini membuat mereka
jinak, tidak kritis, kehilangan jati diri, idealisme manunggaling kawulo-gusti
runtuh, dan akhirnya menjadi ujung tombak pelaksanaan tanam paksa.
Akibatnya, para kawula merasakan bahwa para pangreh praja telah kehilangan
keberpihakan, telah melupakan rakyat, dan menjadi kaki tangan penjajah.
Di sinilah kemudian muncul para kyai menjadi figur alternatif yang dapat
menjadi tumpuan harapan masyarakat. Mereka pun menjadikan kyai sebagai

Mustafied- 3|P a g e
sosok pengayom, pelindung, dan tempat berkeluh kesah dari persoalan spiritual
sampai material. Kedekatan ini juga mempercepat proses “radikalisasi” kyai
sehingga banyak yang terjun langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda.
Perlahan namun pasti kyai memegang kepemimpinan sosial. Kyai dan pesantren
menjadi simbol perjuangan dan keberpihakan pada masyarakat. Inilah awal
mula terbangunnya posisi strategis kyai sehingga memilki basis massa yang riil
dan kuat.
Institusi pencetak Kaum muda NU paling progesif, UNU, jika ingin
menegakkan kepemimpinan moral, sosial, politik, ekonomi, dan perubahan di
masyarakat, maka meniscayakan belajar pada sejarah, bagaimana kyai menjadi
history-maker.

 
I. Aswaja sebagai Landasan Epistemologi Sosial
Cara Berfikir: Cara berfikir menurut aswaja sebagai refleksi
ahlussunah wal jama’ah adalah metode berfikir kritis-dialektis yang memadukan
antara dalil naqli (doktrin/wahyu), dalil aqli (rasio/akal), dalil irfani (instuisi,
ilham), dan dalil waqi’i (empiria). Dengan demikian, aswaja menolak
rasionalisme murni, sebagaimana yang dikembangkan kaum pemikir liberal
yang mengagungkan rasio teoretik, menolak positivisme ortodoks seperti yang
dikembangkan  materialistis yang abai dengan kenyataan metafisik, dan menolak
kaum batiniah yang menolak kenyataan empiris. Pun Demikian, aswaja menolak
pemahaman dhahiriah dan kelompok skripturalis, karena tidak memungkinkan
memahami agama dan realitas social secara mendalam.
Cara Bersikap: aswaja memandang dunia sebagai realitas yang plural
dan bertingkat-tingkat, karena itu pluralitas diterima sebagai kenyataan. Namun
juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan pluralitas tersebut agar
kehidupan menjadi harmoni, saling mengenal (litaa’rofu) dan memperkaya
secara budaya. Sikap moderat dan toleran menjadi spirit utama dalam mengelola
pluralitas tersebut. Dengan demikian aswaja juga menolak semua sikap yang
merusak dan menghancurkan keanekaragaman atau pluralitas budaya tersebut.
Cara Bertindak: Dalam bertindak, aswaja mengakui adanya kehendak
Allah swt (taqdir) tetapi aswaja juga mengakui bahwa Allah swt telah
mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak,
aswaja tidak bersikap pasif fatalis dalam menghadapi kehendak Allah swt, tetapi
berusaha untuk mencapai taqdir-NYA yang dalam teologi dikenal dengan istilah
kasab (berjuang). Aswaja percaya perubahan sejarah tidak datang dari langit
dengan tiba-tiba yang tinggal ditunggu tanpa ikhtiar. Namun demikian tidak
bersifat antroposentris, bahwa manusia sebagai pusat segala-galanya, pusat
ukuran nilai, dan karenanya bebas berkehendak (seperti Qodariyah). Tindakan
manusia tidak perlu dibatasi dengan ketat, karena dengan sendirinya akan
dibatasi oleh alam, oleh sejarah. Sementara Allah swt tidak dibatasi oleh faktor-
faktor itu. Dengan demikian tindakan ala aswaja bukan tindakan yang sekular
melainkan sebuah dialektika keimanan yang mengejawentah dalam seluruh
aspek kehidupan.

II. ASWAJA SEBAGAI LANDASAN IDEOLOGI

Mustafied- 4|P a g e
            Dari kaedah tersebut dijabarkan dalam konsep ideologi sosial aswaja.
Karena aswaja berangkat gerak sirkular dari nalar dialektis antara teks-konteks-
rasionalitas, dan berangkat dari historisitas perjalanan bangsa ini, maka
perjuangan ideologi aswaja bersifat:

1. Nasionalistik
Mengingat bangsa ini terdiri dari berbagai suku, adat, budaya dan agama,
maka prinsip kebangsaan sangat tepat untuk mewadahi pluralitas yang
terbentuk sejak zaman awal sejarah Nusantara. Selain itu prinsip kebangsaan
juga sangat penting untuk membentengi bangsa ini dari intervensi dan
penjajahan bangsa lain, baik penjajahan secara politik, militer maupun
neokolonialisme-imperialisme pengetahuan dan kebudayaan. Dengan adanya
komitmen kebangsaan itu kedaulatan rakyat, kedaulatan Negara serta martabat
bangsa bisa dipertahankan dan dijunjung tinggi.

2. Kerakyatan
  Kebangsaan yang terbentuk secara budaya itu dengan sendirinya
dibentuk secara bersama oleh keseluruhan warga bangsa (rakyat), maka
nasionalisme aswaja berwatak antropologis, bukan politis an sich. Karena itu
seluruh gerak bangsa ini baik yang bersifat politik, ekonomi, kultural harus
diorientasikan pada kepentingan rakyat, karena memang tumbuh dari rakyat.
Maka nasionalisme borjuis sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa karena
cenderung pragmatis dan berwatak kolaborator terhadap kekuatan kolonial.
Sementara nasionalisme populis menolak segala bentuk kolaborasi dengan
kekuatan imperialis sebab hanya akan merusak keutuhan dan meruntuhkan
martabat bangsa.

3. Pluralis
Terbentuknya kekuatan nasional baik secara politik maupun kebudayaan
sering berbenturan dengan realitas lokal yang plural. Maka nasionalisme tidak
boleh dibiarkan melebur corak-corak lokal, tetapi harus terus menjaga
keanekaragaman budaya baik yang diekspresikan oleh etnis, agama atau tradisi
yang lain. Disini kebangsaan harus aktif menjaga pluralitas dan bertindak tegas
terhadap setiap pengancam pluralitas bangsa baik yang dibawa oleh globalisme
maupun oleh agama-agama universal.
 

III. PRINSIP
            Setiap gerakan di samping punya aqidah, idologi, harus juga menegakkan
prinsip-prinsip agar gerakan tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh dan
penuh kayakinan. Adapun prinsip-prinsip gerakan aswaja adalah:

1. Ukhuwah
            Sebuah gerakan mengandaikan sebuah kolektivitas, karena itu perlu diikat
dengan ukhuwah atau solidaritas yang kuat (al urwatul wutsqo) sebagai perekat
gerakan tersebut. Adapun gerakan ukhuwah gerakan aswaja adalah meliputi :

a. Ukhuwah UNU-iah
Ukhuwwah UNU-iah merupakan elemen dasar dari ukhuwwah yang lebih

Mustafied- 5|P a g e
makro. Dia menjadi ruang, arena, dan kawah yang untuk pertama kalinya akan
menguji kekuatan dan konstruksi ukhuuwah yang dibangun. Kegagalan dalam
membangun ukhuwwah di tingkatan unit terkecil organisasi ini akan
meniscayakan merajut ukhuwwah lebih makro dalam arti sesungguhnya.
Ukhuwwah UNU-iah dibangun atas dasar kesamaan pandangan, analisis,
persepsi, paradigma mengenai realias dan apa yang harus dilakukan dalam
kerangka kinds of social movements, digerakkan oleh idealisme yang layak
diperjuangkan bersama-sama, dan kepercayaan akan pentingnya perjuangan ini.
Ukhuwwah UNU-iah dibangun di atas dasar bangunan kolektivitas,
solidaritas, amanah, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas.

b. Ukhuwah nahdliyyah
Sebagai gerakan yang berbasis aswaja tentu ukhuwah nahdhiah-ah harus
menjadi prinsip utama sebelum melangkah ke ukhuwah yang lain. Ini bukan
untuk memupuk fanatisme kelompok, sebaliknya sebagi pengokoh ukhuwah
yang lain sebab hanya kaum aswaja yang mempunyai sistem pemahaman
keagamaan yang mendalam dan bercorak sufistik yang moderat yang penuh
toleransi serta gigih menjaga kemajemukan budaya, tradisi adat, kepercayaan
dan agama yang ada.
Karena itu aktifis aswaja yang mengabaikan ukhuwah nahdhiah dengan
dalih mengutamakan ukhuwah yang lebih luas, yakni ukhuwah Islamiyah,
Wathoniyah, atau Basyariyah, apalagi hanya demi kepentingan politik personal
atau klik politik, adalah sebuah penyimpangan bahkan dalam kadar tertentu
bisa disebut sebagai pengkhianatan. Sebab ukhuwah tanpa dasar aqidah yang
kuat akan mudah pudar karena tanpa dasar dan sering dimanipulasi untuk
kepentingan pribadi atau klik politik. Ukhuwah nahdhiah -ah berperan sebagai
penggodokan dan pemotongan ukhuwah yang lain karena ukhuwah bukanlah
reaksi spontan melainkan sebuah keyakinan, penghayatan, dan pandangan yang
utuh serta matang yang secara terus menerus perlu di kuatkan.

b.      Ukhuwah Islamiyah


Ukhuwah Islamiyah bersepektrum lebih luas yang melintasi aliran dan
madzhab dalam Islam. Oleh sebab itu ukhuwah ini harus dilandasi dengan
kejujuran, cinta kasih, dan rasa saling percaya. Tanpa landasan tersebut
Ukhuwah Islamiyah sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk
mendominasi yang lain, sehingga menjadi ukhuwah kusir kuda, yang satu
menjadi tuan besar yang lain diperlakukan sebagai kuda tunggangan.
Ukhuwah islamiyah semacam itu harus ditolak, harus mengembangkan
ukhuwah islamiyah yang jujur dan amanah serta adil. Dan itupun dijalankan
untuk kesjahteraan umat islam serta tidak diarahkan untuk menggangu
ketentraman agama atau pihak yang lain. aswaja sebagai Islam toleran
berkewajiban mengawal agar ukuwah islamiya terus terjaga dengan demikian
ukhuwah yang lain juga bisa dikembangkan.
Dengan ukhuwah islamiyah yang jujur dan adil itu umat islam seluruh
indonesia seluruh dunia bisa saling mengembangkan, menghormati, melindungi
seta membela dari gangguan kelompok lain yang membahayakan eksistensi
iman budaya dan masyarakat islam secara keseluruhan.

c.       Ukhuwah Wathaniyah

Mustafied- 6|P a g e
Sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan, maka aswaja
berkewajiban untuk mengembangkan dan menjaga ukhuwah wathoniyah
(solidaritas nasional). Dalam kenyataannya bangsa ini tidak hanya multi ras,
multi agama dan multi budaya tetapi juga multi ideologi.
Bagi aswaja yang lahir dari akar budaya bangsa ini tidak pernah
mengalami ketagangan dengan konsep kebangsaan yang ada. Sebab aswaja
adalah bentuk dari Islam Indonesia (Islam yang berkembang dan melebur
dengan tradisi dan budaya indonesia) bukan Islam di Indonesia (Islam yang baru
datang dan tidak berakar dalam budaya Indonesia). Karena itu aswaja
berkewajiban turut mengembangkan ukhuwah wathoniyah untuk menjaga
kerukunan nasional. Karena dengan adanya ukhuwah wathoniyah ini eksistensi
aswaja, umat Islam dan agama lain terjaga. Dan bila seluruh elemen bangsa ini
solid akan disegani bangsa lain dan mampu menahan serangan dari bangsa lain
yang ingin menjajah bangsa ini. Dalam kepentingan itulah aswaja selalu gigih
menegakkan ukhuwah wathoniyah sebagai upaya menjaga keutuhan dan
menjunjung martabat bangsa Nusantara.

d.     Ukhuwah Basyariyah
Walaupun aswaja memegang teguh prinsip ukhuwah Nahdliyah,
Islamiyah dan Wathoniyah, tetapi aswaja tidak berpandangan, berukhuwah
sempit, melainkan tetap menjunjunhg solidaritas kemanusiaan universal,
menolak ekspiotasi dan penjajahan satu bangsa dengan bangsa lain karean hal
itu mengingkari martabat kemanusiaan.
Menggugat kenyataan ini maka pencptaan tatadunia yang adil tanpa
penindasan dan peghisapan merupakan keniscayaan. Menggunakan isu
kemanusiaan sebagai sarana kolonialis merupakn tindakan moral yang harus
dicegah agar tidak meruntuhkan martabat kemanusiaan.
Ukhuwah Basyariyah memandang manusia sebagai manusia tidak
tersekat oleh sekat agama, ras atau ideologi semuanya ada dalam satu
persaudaraan universal. Persaudaran ini tidak bersifat pasif tetapi selalu aktif
membuat inisiatif dan menciptakan terobosan baru dengan berusaha
menciptakan tatadunia baru yang jauh dari penjajahan, yang lebih relevan bagi
kondisi manusia kontemporer.

2. Amanah
Dalam kehidupan yang serba materialistis sikap amanah mendapat
tantangan besar. Namun demikian perlu terus dipertahankan. Sikap amanah
ditumbuhkan dengan membangun kejujuran baik pada diri sendiri maupun
pihak lain.
Sikap tidak jujur akan menodai prinsip amanah, karena itu pelakunya
harus dikenai sangsi organisasi secara tegas. Amanah sebagai roh gerakan harus
terus dipertahankan dibiasakan sdan ditradisikan dalam sikap dan perilaku
sehari-hari.

3. Ibadah (pengabdian)
Berjuang dalam aswaja untuk masyarakat dan bangsa haruslah berangkat
dari semangat pengabdian baik mengabdi pada aswaja, umat, bangsa, dan
seluruh umat manusia. Dengan demikian mengabdi di ASWAJA bukan untuk
mencari pengahasilan mencari pengaruh atau mencari jabatan. Tetapi memiliki

Mustafied- 7|P a g e
tugas berat dan mulia.
Dengan semangat pengabdian itu mereka akan gigih dan ikhlas
membangun dan memajukan aswaja. Tanpa semangant pengabdian, aswaja
hanya dijadikan termpat mencari kehidupan, menjadi batu loncatan untuk
memproleh jabatan di pemerintahan. Selam ini aswaja terbengkalai karena
hilangnya rasa pengabdian bagi para pengurusnya sehingga tidak aktif dikantor
tidak terinisiatif menggerakkan aktifis organisasi dan tidak melakukan
terobosan pemikiran atau langkah terobosan yang konkrit, sepeti penataan
organisasi serta memanaj pola kerja.
Maka spirit pengabdian itu yang harus dinamakan dalam gerakan agar
ASWAJA berkembang lebih dinamis dengan banyaknya sukarelawan yang siap
berjuang mengembangkan organisasi.

4. Asketik
Sikap amanah dan pengabdian muncul bila seseorang memiliki jiwa
asketik (bersikap zuhud). Karena pada dasarnya sikap materialistik (hubbud
dunya) akan menggerogoti sikap amanah dan akan merapuhkan semangat
pengabdian karena diaswaja pamrih duniawi maka sikap zuhud suatu keharusan
bagi aktifis pergerakan aswaja sikap ini bukan anti duniawi anti kemajuan tetapi
menempuh hidup sederhana, tahu batas, tahu kepantasan sebagaimana
diajarkan oleh para salafus sholihun. Dengan sikap asketik itu integrasi aktifis
pergerakan aswaja akan terjaga, sehingga kekuatan moral yang dimiliki bisa
digunakan untuk menata bangsa ini.

5. Non Kolaborasi
Prinsip ke 5 ini perlu ditegaskan kembali mengignat dewasa ini banyak
lembaga yang disponsori kaum kapitalis yang menawarkan berbagai jasa dan
dana yang tujuannya bukan untuk memandirikan, melainkan untuk menciptakan
ketergantungan dan pengaburan terhadap khittah serta prinsip-prinsip gerakan
aswaja, melalui intervensi dan pemaksaan ide dan agenda mereka.
Karena itu untuk menjaga kemandirian, maka gerakan aswaja menolak
untuk berkolaborasi dengan kekuatan kapitalis-imperialis baik secara akademik,
politik, maupun ekonomi. Selanjutnya aktifis-aktifis aswaja berkewajiban
membangun paradigma keilmuan sendiri, sistem politik dan sistem ekonomi
sendiri yang berakar pada budaya sejarah bangsa nusantara sendiri.

6. Komitmen Pada Korp


            Untuk menerapkan prinsip-prinsip serta menggerakkan roda organisasi,
maka perlu adanya kesetiaan dan kekompakan dalam korp karena itu seluruh
korp harus secara bulat menerima akidah ideologi dan seluruh prinsip aswaja.
Demikian juga pimpinan tidak hanya cukup menerima ideologi akidah
serta prinsip pergerakan tetapi harus menjadi pelopor, teladan dan penggerak
prinsip-prinsip tersebut. Segala kebijakan pimipinan haruslah merupakan
representasi organisasi. Dengan demikian seluruh korp harus tunduk dan setia
pada pimpinan.
Dalam menegakkan prinsip dan melaksanakan program pimpinan harus
tegas memberi ganjaran dan sanksi pada korp, demikian juga harus berani
bersikap terbuka dan tegas pada pimpinan dan berani menegur dan meluruskan
bila terjadi penyimpangan.

Mustafied- 8|P a g e
7. Kritik-Otokritik
            Untuk menjaga mekanisme pergerakan serta memperlancar jalannya
program maka perlu adanya mekanisme organisasi untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya kemandekan atau bahkan penyimpangan maka
dibutuhkan mekanisme kontrol dalam bentuk kritik otokritik mekanisme. Kritik
otokritik ini bukan dilandasi semangat permusuhan tetapi dilandasi semangat
persaudaraan dan rasa kasih sayang demi lancarnya roda pergerakan.

IV. MODEL OF ANALYSIS DAN MODEL OF MOVEMENT

1. Multi Level Analisis


a. Sejarah
b. Politik
c. Ekonomi
d. Kebudayaan
e. Keagamaan

2. Tool of Analysis
a. Analisis Sejarah
b. Analisis Politik (kelembagaan/system, actor, geopolitik)
c. Analisis Ekonomi (analisis kritis, geo-ekonomi)
d. Analisis Kebudayaan (pascakolonial)
e. Analisis Keagamaan (critical and discourse analysis)

3. Multilevelstrategi
a. Ranah politik
b. Ranah Ekonomi
c. Ranah Kebudayaan
d. Ranah Pendidikan
e. Ranah Keagamaan
f. Ranag gerakan sosial
g. Ranah media

V. STRATEGI DASAR ASWAJA

1. Pribumisasi (agama, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya)>


TATA NILAI
2. Konservasi (budaya, alam,/culture-nature).
3. Nasionalisasi (sistem politik, sistem ekonomi, budaya)
KELEMBAGAAN

V. LANGKAH

1. Penyadaran (posisi UNU, Situasi Lokal, Nasional, Global).


2. Sosialisasi
3. Pembentukan Jaringan (intelektual, santri, mahasiswa, masyarakat

Mustafied- 9|P a g e
politik, ekonomi, pengusaha, militer, polisi, intelejen, ormas,, dll).
4. Campaign
5. Gerakan (agama, intelektual, sosial, budaya, politik, ekonomi)

VI. TAHAPAN GERAKAN


1. Fase UNU
2. Pasca UNU

Mustafied- 10 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai