Anda di halaman 1dari 9

MEMAHAMI ALUR BERFIKIR M.C.

RICKLEFS
DALAM BUKUNYA: MENGISLAMKAN JAWA
Oleh Mudjahirin Thohir

1. Data buku

Pengarang : M.C. Ricklefs


Judul Buku : MENGISLAMKAN JAWA
Sejarah Islamisasi di Jawa
dan Penentangnya dari
1930 Sampai Sekarang.
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Tahun : 2013
Cetakan :I
Jumlah halaman : 887

2. Thesis Pengarang

Bahwa ada hubungan antara aspek politik dengan aspek religius, sosial dan
budaya pada masyarakat Jawa. Hubungan itu berjalan dalam banyak tikungan,
kelokan, dan kejutan. Bahwa dalam faktanya, kekuasaan politik bekerja tidak
terbatasi hanya pada kasus Jawa, Indonesia. Islam itu sendiri, sebagai peradaban
yang secara fundamental kultural, dan dalam banyak hal adalah berbeda dengan
peradaban Barat. Interaksi dalam berbagai kepentingan di antara orang Islam
dengan di luarnya – meminjam istilah Huntington ‐‐ terjadi benturan peradaban.
Benturan dalam konstruksi peradaban Jawa dan Islam – dilihat dari titian waktu
(dari tahun 1930 sampai 2013), menunjukkan tiga kecenderungan utama, yaitu:
(I) Sintesis Mistik; (II) Polarisasi Masyarakat; dan (III)Intensifikasi keagamaan.

1
3. Pendekatan Epistemologik
Secara makro, teori yang digunakan oleh Ricklefs (dalam bahasa ilmu sosial)
dikenal dengan istilah ekletik, yakni memanfaatkan banyak teori untuk dipakai
dan digabungkan berkaitan dengan fenomena yang ingin dijelaskan. Namun
secara khusus, lewat tiga tema yang dijadikan model kajian, dapat dirunut
sebagai berikut. Pertama, konsep yang diajukan yaitu “sintesis mistik” dalam
konteks pengislaman Jawa, Ricklefs cenderung memilih pandangan bahwa
“islamisasi Jawa” itu lewat jalur pengajaran sufisme. Dengan kata lain, penyiar
Islam ke tanah Jawa lebih banyak oleh guru sufi, meskipun kehadirannya juga
disertai dengan berdagang. Dengan ajaran sufi berarti lewat jalur kultural, yaitu:
datang (penyiar)  masuk (ke tanah Jawa)  menjadi (bagian warga)  lalu
menyatukan dalam arti mempersandingkan antara pandangan hidup sufistik
pandangan hidup Jawa yang bercorak hinduistik. Inilah kompromi budaya, yang
dikategorikan sebagai “budaya hibrid” dan dari sini pula Ricklefs
mengistilahinya dengan sintesis mistik.

Dia meng‐ilustrasi‐kan terjadinya sintesis mistik ini ke dalam narasi


metaforik sebagai berikut.

“Bukti dari adanya satu budaya hibrid di mana menjadi orang Jawa dan
orang Muslim sekaligus, tidak dipandang sebagai hal yang problematis;
suatu budaya di mana istilah‐istilah lokal yang lebih tua, misalnya Tuhan,
sembahyang, surga dan jiwa dipakai, bukan istilah‐istlah dari bahasa
Arab.
.........................
Kaum muslim asing menetap di suatu tempat dan menjadi orang Jawa,
sementara masyarakat lokal Jawa memeluk Islam dan menjadi orang
Muslim” (hlm. 30).
..........................
Pada awal abad ke‐17, dinasti yang berkuasa adalah dinasti Mataram –
Sultan Agung – mempertemukan dan mendamaikan keraton dan tradisi‐
tradisi Islami. Dalam hal ini, Sultan Agung tetap menjaga hubungan
mistisnya dengan ‘peguasa rohani tertinggi’ yaitu Ratu Kidul, tetapi dia
juga mengambil langkah tegas untuk menjadikan kerajaannya lebih
Islamik. ... Di antaranya, meninggalkan sistem penanggalan Jawa Kuno
(Saka) dan menggantikan penanggalan hijriyah (hlm. 32)

Kedua, dia ajukan tesis “ Polarisasi Masyarakat Jawa’ (lihat hlm. 43 sd


91). Konsep polarisasi ini, dia memanfaatkan cara berfikir peneliti‐peneliti

2
sejarah sosial masyarakat Jawa, di antara Clifford Geertz. Jika Clifford Geertz
menggunakan model trikotomi: Abangan – Santri – Priyayi, tetapi Ricklefs lebih
memilih model dikotomis: santri – abangan.
Ketiga, dia ajukan konsep intensifikasi agama. Dalam pendekatan ini,
nampak kerangka pemikiran Huntington digunakan. Dalam kontruksi
kekuasaan di Jawa (Indonesia), secara internal terjadi tarik silang secara
trikotomi: religius (Islam) – Nasionalis ‐‐‐ Kristiani. Sedang pada tataran global,
intensifikasi agama ini lebih ditekankan pada persaingan pengaruh agama dalam
kehidupan dewasa ini, baik dalam lingkaran kekuasaan maupun peradaban.
Untuk itu, intensifikasi agama – dalam kacamata Ricklefs, lebih dilihat pada
bermunculannya gerakan dan faham agama (pasca lengsernya Soeharto) yang
meredifinisi ulang tentang peran agama, yaitu: al Islam hua ad din wa daulah.

4. Metodologi Penelitian
Buku tebal berisi lebih 877 halaman karya Ricklefs ini, dilakukan dengan
menggunakan angle historis antropologis. Pendekatan historis secara diakronis
bertumpu pada referensi kesejarahan, baik dalam bentuk dokumen‐dokumen
sejarah maupun referensi hasil kajian peneliti‐peneliti lain yang lebih baru.
Pendekatan antropologi (politis) dia lakukan dalam bentuk kajian lapangan
berupa studi‐studi kasus dengan mengambil daerah Surakarta dan Kediri.
Setelah secara intens mengkaji di dua daerah tersebut, dia lalu juga melakukan
studi lapangan di Kudus (meski tidak lama), lalu menyempurnakan kerja
lapangannya di Yogyakarta. Pilihan ke daerah‐daerah itu, tentu saja dikaitkan
dengan inti topik kajiannya: interaksi agama dan politik pada (masyarakat) Jawa,
dalam rentang waktu 1930 – 2013 (tahun penerbitan buku ini).
Kegiatan selama penelitian lapangan, lebih banyak digunakan untuk
wawancara dan berdiskusi dengan para ahli di bidangnya. Di luar itu, dia juga
dibantu oleh kontributor; kolaborator; dan peneliti pendamping, baik untuk
mensurvei maupun untuk mengumpulkan dokumentasi yang dianggap relevan
(lihat hlm. 795 s.d. 808).
Cara bagaimana Ricklefs menganalisis atas data yang “dianggap
melimpah”, nampaknya berpatokan pada tujuan dari studi kualitatlif, yaitu:
memahami (see hlm. 796) topik permasalahan yang dijadikan perhatinnya,

3
bukan untuk menguji. Itu pula sebabnya, model analisisnya terasa lebih cair
lewat lorong yang dia kehendaki. Dengan demikian, kalau kita melakukan lewat
lorong lain, bisa jadi berbeda penjelasannya.

5. Temuan dan Mendiskusikan Tema‐tema Kunci

a. Sintesis Mistis
Sebagaimana saya sebutkan di atas, konsep “sintesis mistik” yang dipakai
Ricklefs, bisa dijelaskan ke banyak hal. Dari segi substansi ajaran keagamaan
dan wujud tindakan masyarakat Jawa pada strata sosial masyarakat umum dan
pada golongan elite. Pada strata umum, sintesis ini bermakna pada “tradisi saling
meminjamkan”. Orang Jawa yang telah memiliki tradisi yang serba bersifat
“mistik” memperoleh pengkayaan baru dari tradisi‐tradisi sufistik yang dibawa
oleh penyiar Islam. Sementara pembawaan Islam yang masuk ke Jawa adalah
Islam yang “menerima” (atau setidaknya, tidak secara vulgar
mempertentangkan) kepada tradisi‐tradisi lokal, sebagaimana yang
direpresentasikan oleh walisongo khususnya Sunan kalijaga dalam strategi
dakwahnya. Pada saat yang sama, penyiaran Islam yang bermuara pada tiga
pilar: iman, islam, dan ihsan juga dijalankan secara efektif, sehingga lewat proses
seperti ini – Islam diterima secara damai.
Tetapi di kalangan bangsawan, penerimaan Islam itu lebih dilihat
sebagai “politik identitas”. Dalam konteks seperti ini, penerimaan raja‐raja atau
bangsawan Jawa terhadap “Islam” dikonstruksi ke dalam dua kepentingan, yaitu
dalam satu sisi, penerimaan Islam karena “tidak menggoroti” kekuasaan dan
kewibawaan para raja Jawa; dan dalam segi yang lain “berbagai doktrin pra‐
Islam, karya sastra, dan praktik‐praktik lain (yang bertentangan dengan ajaran
Islam, seperti madat) tetap dipertahankan di dalam istana, dipahami sesuatu
yang Islami” (lihat hlm. 34).
Apa yang disajikan Ricklefs seperti itu, perlu dilihat sebagai sebuah
lorong untuk menjelaskan “mengislamkan Jawa”, tetapi “jangan dibaca” satu‐
satunya. Sebab dalam lorong yang lain, sebetulnya ada banyak pihak (rakyat)
Jawa yang telah memiliki kepercayaan pada tradisi‐tradisi Jawa dan leluhur
Jawa, tidak setuju bahkan merasa terancam. Karena itu, mereka melakukan

4
counter culture (perlawanan budaya). Lahirnya karya‐karya sastra Jawa seperti
Gatoloco, termasuk cerita‐cerita rakyat yang sepenuhnya “membenci” ajaran
Islam, merupakan contoh yang tidak bisa diabaikan oleh Ricklefs. Ujung dari
proses Islamisasi dan perlawanan balik terhadapnya, melahirkan tiga kategori
keagamaan orang Jawa: Jawa Santri, Jawa Abangan, dan jawa Sinkretik
hinduistik.
Tiga kategori ini oleh Clifford Geertz (lihat dalam buku Abangan, Santri,
dan Priyayi) dikaji melalui inti struktur sosial Jawa yang bergerak pada lokus
kegiatan: pasar, sawah, dan kantor. Pasar menjadi arena kegiatan kaum santri,
yang bermakna sebagai orientasi kehidupan lebih pada berdagang atau
berwiraswasta dan memiliki semangat berorganisasi dalam berbagai lingkup
organisasi keagamaan. Sawah gambaran dari kaum petani, yang menerima Islam
sekaligus mengamalkan kepercayaan dan tradisi‐tradisi lokal, sehingga “agama”
mereka adalah “kejawen” yang corak keberagamaannya adalah sinkretik.
Sedang kantor merupakan pusat kegiatan kaum priyayi. Keduanya, yakni petani
dan priyayi yang mengaku beragama Islam, namun keislamannya itu bercorak
sinkretik. Di antara cirinya itu menurut Koentjaraningrat (1984) ialah
“beragama Islam tetapi sebagian besar tidak menjalankan kelima rukun Islam
secara serius”.
Karena alasan itu pula, kalangan santri – berpaut pada kaidah syariah ‐‐
menempatkan bahkan menuduh mereka sebagai “orang‐orang yang tidak patuh
atas ajaran agama yang dipeluknya”. Ketidakpatuhan itu – dalam ungkapan
santri disebut kaum aba’an, yang dilisankan menjadi abangan. (analog
pengucapan: ‘usman – ngusman). Sedang kaum santri– karena menjalankan
syariat agama secara penuh dan patuh ‐‐ menyebut dirinya kaum “muthi’an”
yang dilisankan menjadi kaum putihan atau islam putihan. Di lapangan, orang‐
orang Jawa yang mengaku beragama Islam namun ‘belum’ menjalankan rukun
Islam secara baik, biasanya tidak menyebut diri sebagai wong abangan,
melainkan menyebut diri sebagai Orang Nasional atau Nasionalis, atau Orang
Islam Jawa (untuk membedakan kaum santri sebagai Orang Islam Arab). Mereka
tidak mau menyebut diri sebagai “wong Abangan” karena wong abangan
dikonotasikan kepada laku “mo‐limo” . (Bandingkan balik dengan Ricklefs, hlm.
49).

5
Jadi, konsep sintesis mistis dalam buku Rickles sebetulnya tidak berbeda
jauh dengan konsep‐konsep lain, seperti yang disebut Niels Mulder (1992)
dengan “Lokalisasi Agama Jawa”. Kalau Ricklefs menggambrkan ‘sintesis mistik’
sebagai “masyarakat Jawa di mana Islam dipahami secara lokal merupakan
sentralnya (hlm. 40), sementara konsep “lokalisasi Agama Jawa” Niels Mulder
ialah sebagai berikut:
“Gagasan yang menyoroti prakarsa dan sumbangan masyarakat lokal
sebagai tanggapan atas kontak budaya, dengan cara mencerap dan
mengolah lagi unsur‐unsur asing dengan membentuknya sesuai dengan
citranya sendiri. Proses lokalisasi unsur‐unsur asing harus menemukan
akar lokal, sebuah batang yang dapat menerima pencangkokannya.
Kemudian melalui peresapan cairan asli, unsur‐unsur tersebut baru dapat
berbunga dan berbuah” (Mulder, 1992: 282‐291).

b. Polarisasi Masyarakat Jawa


Kalau konsep “sintesis mistik” mengacu pada “penyatuan atau penyelarasan atau
pengakomodasian” terhadap sejumlah ajaran untuk diramukan, maka ia
memang jangan dibaca sebagai “entitas” yang berhenti, melainkan sebagai
tahapan atau “babakan” bagaimana masyarakat berkembang sesuai dengan
intensitas interaksi dengan dunia di luarnya, beserta dengan berlangsungnya
peristiwa penting pada zamannya. Ricklefs mengajukan dua variabel penting
yang kemudian memunculkan polarisasi Masyarakat Jawa (lihat hlm. 43 – 57),
yaitu terbukanya ruang bagi orang Muslim Indonesia untuk beribadah haji, dan
dampak lain dari diberlakukannya cultuurstelsel (tanam paksa) bagi petani Jawa.
Yang pertama (naik haji) menjadikan sejumlah orang Indonesia bisa belajar
tentang Islam di Arab Saudi (yang berpaham Wahabi). Faham Wahabiah yang
membawa semangat puritanisme yang keras demi memulihkan Islam pada
keadaan awalnya yang sempurna (Ricklefs, hlm. 43) rupanya mengilhami bagi
sebagian orang Indonesia untuk membawa semangat itu ke Indonesia termasuk
ke Jawa. Dari sudut ini kaum Islam (santri) terbelah ke dalam faham tradisionalis
dan faham rasionalis (wahabiyah). Sementara di Jawa, setelah berakhirnya
Perang Jawa pada tahun 1830, memungkinkan Belanda menerapkan sistem
tanam paksa. Yang menarik dari cara bagaimana Ricklefs mengambil angle di sini
ialah pada dampaknya, tidak hanya pada dampak politis dan sosial tetapi juga

6
pada perubahan religius. Menurut Ricklefs, pada abad 19 – yaitu setelah akhir
perang 1830 dan penerapan tanam paksa ‐‐ inilah pertama kalinya misi Kristen
merasakan keberhasilan di tanah Jawa (hlm. 44‐ 45).
Dari suasana seperti itulah benih polarisasi sudah mulai muncul, dan
kelompok sosial keagamaan masyarakat Jawa menjadi beragam, di mana
keragaman itu melahirkan polarisasi, baik secara sosial, keagamaan, maupun
politik. Benarkah? Tentu masih terbuka lebar untuk didiskusikan dalam frame
dan angle yang berbeda‐beda, tetapi Ricklefs telah menyodorkan analisis seperti
itu. Dan tugas dia sebagai sejarawan memang menuliskan fakta‐fakta yang
tersedia sesuai dengan epistemologi yang digunakan. Di luar itu, memang bukan
masalah dia.

c. Intensifikasi Keagamaan

Modernisasi secara umum menumbuhkan sekularisasi bahkan profanisasi atas


paham‐paham keagamaan, tetapi Ricklefs tidak tertarik dan tergoda untuk
masuk ke premis ini. Dia justru lebih memilih melihat kasus Indonesia (Jawa)
pada tumbuhsuburnya gerakan‐gerakan keagamaan yang bercorak
fundamentalis. Dalam sebuah kesempatan, Ricklefs mengatakan berikut.

“Dahulu pada tahun 1960-an ada banyak pendapat bahwa modernisasi berarti
harus sekularisasi dan itu tidak betul. Sekarang, modernisasi sejalan dengan
intensifikasi agama, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri sendiri dan bukan
sebagai identitas budaya atau sosial, kecuali di Eropa Barat dan sejumlah
tempat lain,” kata Ricklefs.

Masuknya faham‐faham fundamentalis ini secara transparan muncul


pada saat berakhirnya era kepemimpinan Orde Baru. Ciri dari gerakan‐gerakan
yang diusung adalah simbol‐simbol agama dan Islam tidak hanya ditempatkan
sebagai “agama ritual” tetapi sebagai “agama negara”. Dengan demikian, cita‐cita
yang ingin diwujudkan adalah berlakunya syariah Islam untuk mengatur negara.
(Lihat BAB 12, hlm. 649 – 705).

Terhadap kemunculan gerakan‐geakan kesilaman fundamental ini, oleh


Masdar Helmy (Kompas, 2009: 6), dikatakan sebagai berikut.

Di negeri ini, Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai Negara-bangsa,


ibarat jiwa dan raga. Keduanya membentuk satu entitas Islam Indonesia,

7
bukan sekadar Islam di Indonesia. Demikian pula muslim yang hidup di
Nusantara ini pada dasarnya telah menjadi Muslim Indonesia, bukan
sekadar pemeluk agama Islam yang menumpang hidup atau indekos di
Indonesia.

Sementara A. Maftuh Abegebriel dalam bukunya Negara Tuhan (2004)


menjelaskan fenomena keagamaan itu ke dalam dua model pendekatan terhadap
Islam, yaitu pendekatan substantivis dan pendekatan formalis. Kalau diterapkan
dalam konteks Indonesia, pendekatan dan faham substantivis menempatkan
Pancasila menjadi dasar negara yang sudah final, sementara pada pendekatan
formalis melihat Islam sebagai ad din wa daulah (agama sekaligus negara atau
kekuasaan).

6. Penutup
Membaca buku karya Ricklefs yang lumayan tebal (877 halaman) ini, adalah
membaca bagaimana Islam hidup dan berkembang berliku dan berkelok sesuai
dengan siapa yang membawanya dan untuk motivasi apa, atau dalam ungkapan
Riclefs: interaksi agama dan politik.
Cara bagaimana Ricklefs melihat fakta-fakta yang ada, adalah lewat
kacamata sejarawan sosial politik, sehingga tuturan yang disampaikan bercorak
naratif (berkisah) sesuai dengan kronik waktu secara diakronik dan
menganalisisnya secara antropologi-politik. Dengan demikian, menilai karya ini
adalah juga dengan cara pandang itu, bukan dari sisi yang lain.
Terlepas soal kekurangan yang ada, buku ini memang memberi pendalaman
dan penajaman kita untuk melihat “pestas” Islam di tanah Jawa, sesuai dengan
aktor-aktor yang berperan dan mengambil peran sesuai dengan pemahman dan
tujuan diri dalam kehidupan ritual, sosial, maupun kekuasaan.***

8
9

Anda mungkin juga menyukai