Umi Rosyida
Fakulttas Ekonomi, Universitas Hasyim Asy’ari
gnhfg
ABSTRAK
Pendahuluan
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah seorang pendiri lembaga peasantren di semping
sebagai tokoh yang memiliki pemikiran di berbagai disiplin, diantaranya teologi, tasawuf, fiqh,
dan kependidikan. Bahkan, masyarakat Indonesia agaknya lebih mendukung beliau sebagai
tokoh awal yang membuat mata rantai trasionalisme di Indonesia, gara-gara dia meletakkan
kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama’, sebuah organisasi sosial keagamaan yang saat ini
terbesar di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan pemimpin dan ulama yang berhaluan islam tradisional.
Tradisionalisme di ambil dari kata “tradisional” dan “isme” yang secara sederrhana mengandung
arti sebuah paham yang mementingkan pemeliharaan unsur tradisonal. Tradisional meupakan
derivasi dari akar kata tradisi. Menurut Steenbrink, kata tardisi bersifat elastic, dapat di artikan
secara berbeda-beda dan penuh perdebatan. slam tradisonal sebenarnya adalah islam murni, yaitu
islam yang berupaya melaksanakan islam sesuai warisan atau tradisi yang di terima dari generasi
pendahulunya. Akan tetapi, permasalahan akan menjadi lain apabila yang di laksanakan atau
yang di lestarikan itu merupakan tradisi yang berasal dari agama lain, yang islam sendiri tidak
menoleransi kebenarannya. Oleh karena itu makalah ini akan membahas mengenai pemikiran
KH. M. Hasyim Asy’ari mengenai agama, awal mula penyebaran agama islam di-Indonesia
akhir abad 19 hingga awal abad 20.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif yang menjelaskan atau menerangkan suatu peristiwa.
[ CITATION Suh06 \l 1033 ]. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah
untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.([ CITATION Muh05 \l 1033 ].
Dari Anggaran Dasar ini, tampak bahwa Ahl al-Sunnah wa al-jamaah lebih merupakan
perseorangan maupun organisasi yang mengharuskan para pengikutnya menjalankan fiqh
dengan memilih salah satu madhhab. Secara implisit, keteguhan memegang salah satu
madhhab itulah yang dimaksud dengan Ahl al-Sunnah wa al-jamaah . Proposisi ini didasarkan
atas pernyataan yang juga terdapat dalam AD hasil Muktamar III NU tersebut. Bahwa, salah
satu bentuk keteguhan memilih salah satu madhhab adalah, dengan jalan “memeriksa kilab-
kitab sebelumnya dipakai Untuk mengajar, supaya diketahui apakah itu daripada kitab-
kitabnya Ahl Sunnah wa al-jamaah atau kitab-kitabnya ahli bid'ah. pertanyaan ini
menunjukkan, kilab-kitab Ahl al-Sunmh wa al-jamaah adalah karya-karya di bidang fiqh yang
dibakukan oleh pendiri maupun pengikut empat madhhab. Sebaliknya, kitab-kitab yang tidak
berasal dan keluarga empat madhhab tersebut harus ditolaknya, karena tidak Ahl al-sunnah
wa al-jamaah, tetapi sebaliknya, hasil kaarya ahli bid'ah.
keteguhan memegang salah satu dari empat madhhab sebenarnya sudah terlihat dalam
Muktamar I NU pada tanggal 21-23 September 1926 di Hotel Muslimin, Peneleh (Surabaya).
Dalam Muktamar tersebut, tampak sekali keinginan peserta Muktamar untuk menempatkan
NU sebagai penjaga dan pelestari tradisi fiqh empat madhhab di Nusantara. Hal ini dibuktikan
oleh konsentrasi peserta pada isu-isu aktual yang mengemuka saat itu. Dari 21 isu aktual yang
dibahas peserta, masalah bennadhhab menjadi isu utama dan paling menonjol Muktamar
menegaskan keharusan bagi umat Islam untuk mengikuti salah satu dan' madhhab empat
dalam rangka menjalankan ajaran Islam Ahl al-Su'nnah wa al-jamaah.
Tidak hanya itu, NU juga membentuk perkumpulan jam'iyyag yang akan mencetak agen
transmisi ajaran bermadhhab. jam'iyyah ini lebih merupakan media pendadaran bagi santri
untuk dididik menjadi guru dan muballigh (pendakwah Islam). Anggota komunitas
melakukan diskusi reguler mengenai berbagai keilmuwan Islam. Diskusi lebih terfokus pada
penguatan kapasitas anggota dalam bidang teologi, fiqh, dan tasyawuf. Yang menarik, seluruh
proses mengacu dan merujuk pada sumber-sumber yang mereka pandang otoritatif, seperti
kitab Fath al-Qarib, Tafdir al-jalalayn, Kifayat Al-Awam dan seterusnya. Keluaran yang
hendak dicapai dari Jam'iyah ini adalah, terbentuknya kader-kader militan yang siap
mengawal transmisi kehidupan bermadhhab dan serangan pembaru Islam.
Pada saat yang sama, NU juga bergerak lebih jauh dengan pelestarian dan melindungi
tradisi keagamaan Jawa yang sebelumnya telah mapan dari ancaman kepunahan. Pelestarian
terhadap tradisi itu, dipahami sebagai bentuk artikulasi dari prinsip dasar toleransi (tasamuh)
secara religius yang melekat dalam diri Ahl al-Sunnah wa al-jamaah.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Djohan, E. (2008). A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of a New Discouse
in Indonesia Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era. Yogyakarta:
Interfidei.
Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hasjmi, A. (1983). Shi'ah dan Ahlussunah, Saling Sebut Pengaruh dan kekuasaan Sejak Awal
Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu.
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ridwan. (2005). Dialek Islan dengan Budaya Jawa. Jurnal Ibda', 3, 5.
Samsyu, M. (1999). Ulama pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarna. Jakarta: Lentera.
Syam, N. (2005). Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
Zuhri, A. M. (2010). Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Surabaya: Khalista.
zuhri, s. (1979). sejarah kebangkitan islam dan perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al-
Ma'arif.