Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PEMIKIRAN KH. M.

HASYIM ASY’ARI TENTANG AGAMA

Imam Kukuh Andrianto


Fakulttas Ekonomi, Universitas Hasyim Asy’ari
imamkukuha@gmail.com

Umi Rosyida
Fakulttas Ekonomi, Universitas Hasyim Asy’ari
gnhfg

ABSTRAK
Pendahuluan
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah seorang pendiri lembaga peasantren di semping
sebagai tokoh yang memiliki pemikiran di berbagai disiplin, diantaranya teologi, tasawuf, fiqh,
dan kependidikan. Bahkan, masyarakat Indonesia agaknya lebih mendukung beliau sebagai
tokoh awal yang membuat mata rantai trasionalisme di Indonesia, gara-gara dia meletakkan
kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama’, sebuah organisasi sosial keagamaan yang saat ini
terbesar di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan pemimpin dan ulama yang berhaluan islam tradisional.
Tradisionalisme di ambil dari kata “tradisional” dan “isme” yang secara sederrhana mengandung
arti sebuah paham yang mementingkan pemeliharaan unsur tradisonal. Tradisional meupakan
derivasi dari akar kata tradisi. Menurut Steenbrink, kata tardisi bersifat elastic, dapat di artikan
secara berbeda-beda dan penuh perdebatan. slam tradisonal sebenarnya adalah islam murni, yaitu
islam yang berupaya melaksanakan islam sesuai warisan atau tradisi yang di terima dari generasi
pendahulunya. Akan tetapi, permasalahan akan menjadi lain apabila yang di laksanakan atau
yang di lestarikan itu merupakan tradisi yang berasal dari agama lain, yang islam sendiri tidak
menoleransi kebenarannya. Oleh karena itu makalah ini akan membahas mengenai pemikiran
KH. M. Hasyim Asy’ari mengenai agama, awal mula penyebaran agama islam di-Indonesia
akhir abad 19 hingga awal abad 20.

Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif yang menjelaskan atau menerangkan suatu peristiwa.
[ CITATION Suh06 \l 1033 ]. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah
untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.([ CITATION Muh05 \l 1033 ].

Hasil dan Pembasan


Menurut [ CITATION Ahm10 \l 14345 ] dalam bukunya yang berjudul pemikra KH. M Hayim
Asy’ari menjelaskan mengenai pemikiran keagamaan pada awal abad ke-20, sebagaimana yang
akan dijelaskan dibawah ini:
1. Penyebaran paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di Nusantara
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam dinamika keagamaan Nusantara dan terutama di
pulau jawa, merujuk pada praktek keagamaan muslim yang memegang teguh pada salah satu
madzab populer (maliki, hanafi, syafi’i, hambali). Catatan penting lainnya bahwa Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah Juga menunjuk pada seseorang, kelompok, organisasi atau gerakan
yang begitu afirmatif terhadap budaya setempat (local culture) dalam konteks nusantara dan
terutama jawa, misalnya berbagai artikulasi kebudayaan yang sebelumnya tumbuh dan
berkembang tetap dipertahankan oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Bahkan tradisi
keagamaan yang datang dari luar dirinya, shi’ah misalnya, juga diadopsi dan diafirmasi
menjadi bagian dari artikulasi keagamaan dikalangan komunitas Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah.
Mengacu pada deskripsi singkat tersebut, pada dasarnya penyebaran paham Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah dapat diamati sejak masuknya islam pertama kali di nusantara. Tradisi
keagamaan bermadhab yang merupakan tipikal komunitas sunni dibangun oleh para
pendakwah islam dan didukung para penguasa di peurlak, pasai, dan aceh. Ibnu batutah
misalnya, dalam testimoni mengenai kedatangannya di samudra pasai pada tahun 1345 M,
menuturkan bahwa, pengajaran fiqh madzab syafi’i ketika dilakukan didekat istana dengan
raja sendiri sebagai tenaga pengajarannya [ CITATION zuh79 \l 14345 ].
Kerajaan pasai mengalami puncak kejayaannya ketika masa pemerintahaanya Sultan
Ahmad Bahuan Syah Malik Al-zahir (727-750H/1326-1345M). mengenai orang ini
Syamsudin mencatatnya sebagai, “Sebagai orang muslim penganut paham Ahl al-sunnah wa
al-jama’ah, sangat patuh terhadap agamanya, gemar mengadakan musyawarah dengan para
ulama dan ahli fiqh istananya, tumpuan penyiar-penyiar agama islam dan orang-orang yang
berilmu, juga pemimpin perang yang agung” [ CITATION Muh99 \l 14345 ].
Dinamika penyebaran paham ini juga dapat dilihat pada laporan A. Hasjmi, bahwa masa
awal penyebaran Islam di Indonesia, diwarnai perebutan pengaruh dan kekuasaan antara para
pendukung paham shi’ah dan ahl al-sunnah. Kondisi ini berlangsung cukup lama, terutama di
kerajaan islam Peurlak sepanjang masa kekuasaan Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas
(285-300 H/888-913 M) dan sultan Alaiddin Maulana Ali Mughaiyat Syah (302-305 H/915-
918M) [ CITATION AHa83 \l 14345 ].
Di pulau jawa, penyebaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dimulai sejak munculnya
jaringan walisongo, penerimaan terhadap kebudayaan lokal atau penggunaan pendekatan
budaya (cultural approads) menjadi bagian terpenting dari strategi dakwah jaringan walisongo
tersebut. Jaringan walisongo lebih menggunakan pendekatan yang lebih berusaha
menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut
agam dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-
masing [ CITATION Rid05 \l 14345 ].
Salah satu anggota terlibat dalam jaringan walisongo, yaitu Sunan Kalijaga dalam
melakukan Islamisasi tanah Jawa dalam menggunakan pendekatan budaya. Beliau
menggunakan media seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan majapahit.
Melalui pewayangan, sunan kalijaga berusaha menggunakan unsucr-unsur lokal sebagai
media dakwanya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-
alatnya. Para wali juga mengafirmasi tradisi-tradisi keagamaan Hindu Jawa yang sebelumnya
telah mapan, misalnya selamatan bagi orang yang telah meninggal. Upacara kematian – pada
hari ke 3,7,40,100 dan 1000 dari kematiannya—diterima dan dimodifikasi sehingga tetaap
dalam kerangkan monoterisme islam. Termasuk di dalamnya menyertakan bacaan tahlil, yaitu
membaca kalimat tayyibah, la ilah illa alllah, secara bersma-sama sebagai cara efektif untuk
menanamkan tawhid. Disamping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi islam juga
dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan, contoh dari simbol ini adalah bentuk
arsitektur bangunan masjid masih berbentuk pura dan candi, kemudian penamaan pintu
gerbang dengan istana “gapura” nama yang diambil dari bahasa arab ghafura yang berarti
pengapuran [ CITATION Rid05 \l 14345 ]. Simbol-simbol kebudayaan sebagai sebagai bentuk
akulturasi, yang dapat dikemukakan pada pesantren. Selain kata sebutan “pesantren” yang
berasal dari bahasa kawi (kawa kuno), juga site plan (tata letak bangunan/ komplek pesantren)
yang mencerminkan perpaduan antara kosmologi jawa dan spirit ke-islaman.
Tradisi keagamaan bermadzab dengan segala ramifikasinya yang merupakan tipikal
komunikas sunni, telah mengakar lama dan begitu kuat pada kaum muslim di Nusantara.
Sampai kemudian pada abad 19 mengalami persinggungan dengan orientasi keagamaan baru
yang merupakan kelanjutan dari dinamika keagamaan di Tnnur Tengah. Effendi mencatat dua
orientasi keagamaan yang saling berhadapan pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20
di Nusantara, yaitu mazhabiyah madzhabiyah dan tradisionalism dan salafiyah ortodoxy
[CITATION Eff08 \l 14345 ]. Yang pertama menunjuk pada ekspresi keagamaan Muslim
Nusantara sejak era awal penyebaran Islam, sedangkan yang kedua menunjuk pada kelanjutan
gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah yang mengkoreksi orientasi ideologi yang sudah
establish (mapan) sebelumnya.
Namun, secara organisatoris Ahl al-Sunnah wa al-jamaah mengalami pelembagaan di
tengah-tengah Muslim Nusantara sejak kehadiran Kyai Hasyim dan generasi Muslim pada
zamannya Bersama kolega-koleganya,  Kyai Hasyim berhasil mempelopori beedirinya
organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang secara legal mengklaim berbasis pada Ahl al-
Sunnah wa al-Jamaah. Dalam anggaran dasar hasil Muklamarnya yang ketiga pada tahun
1928 M, secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran NU bertujuan membentengi artikulasi fiqh
empat madhhab di tanah air. Sebagaimana tercantum pada pasal 2 Qanun Asasi li Jam'iyat
Nahdat al-Ulama' (Anggaran Dasar NU), yaitu:
a. Memegang teguh pada salah satu-dari madhhab empat (yaitu madhhabnya Imam Muhammad
bin Idris al-shafi'i, imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu'man, dan Imam Ahmad
bin Hanbal);
b. Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan kemashlahatan agama Islam.

Dari Anggaran Dasar ini, tampak bahwa Ahl al-Sunnah wa al-jamaah lebih merupakan
perseorangan maupun organisasi yang mengharuskan para pengikutnya menjalankan fiqh
dengan memilih salah satu madhhab. Secara implisit, keteguhan memegang salah satu
madhhab itulah yang dimaksud dengan Ahl al-Sunnah wa al-jamaah . Proposisi ini didasarkan
atas pernyataan yang juga terdapat dalam AD hasil Muktamar III NU tersebut. Bahwa, salah
satu bentuk keteguhan memilih salah satu madhhab adalah, dengan jalan “memeriksa kilab-
kitab sebelumnya dipakai Untuk mengajar, supaya diketahui apakah itu daripada kitab-
kitabnya Ahl Sunnah wa al-jamaah atau kitab-kitabnya ahli bid'ah. pertanyaan ini
menunjukkan, kilab-kitab Ahl al-Sunmh wa al-jamaah adalah karya-karya di bidang fiqh yang
dibakukan oleh pendiri maupun pengikut empat madhhab. Sebaliknya, kitab-kitab yang tidak
berasal dan keluarga empat madhhab tersebut harus ditolaknya, karena tidak Ahl al-sunnah
wa al-jamaah, tetapi sebaliknya, hasil kaarya ahli bid'ah.

keteguhan memegang salah satu dari empat madhhab sebenarnya sudah terlihat dalam
Muktamar I NU pada tanggal 21-23 September 1926 di Hotel Muslimin, Peneleh (Surabaya).
Dalam Muktamar tersebut, tampak sekali keinginan peserta Muktamar untuk menempatkan
NU sebagai penjaga dan pelestari tradisi fiqh empat madhhab di Nusantara. Hal ini dibuktikan
oleh konsentrasi peserta pada isu-isu aktual yang mengemuka saat itu. Dari 21 isu aktual yang
dibahas peserta, masalah bennadhhab menjadi isu utama dan paling menonjol Muktamar
menegaskan keharusan bagi umat Islam untuk mengikuti salah satu dan' madhhab empat
dalam rangka menjalankan ajaran Islam Ahl al-Su'nnah wa al-jamaah.

Tidak hanya itu, NU juga membentuk perkumpulan jam'iyyag yang akan mencetak agen
transmisi ajaran bermadhhab. jam'iyyah ini lebih merupakan media pendadaran bagi santri
untuk dididik menjadi guru dan muballigh (pendakwah Islam). Anggota komunitas
melakukan diskusi reguler mengenai berbagai keilmuwan Islam. Diskusi lebih terfokus pada
penguatan kapasitas anggota dalam bidang teologi, fiqh, dan tasyawuf. Yang menarik, seluruh
proses mengacu dan merujuk pada sumber-sumber yang mereka pandang otoritatif, seperti
kitab Fath al-Qarib, Tafdir al-jalalayn, Kifayat Al-Awam dan seterusnya. Keluaran yang
hendak dicapai dari Jam'iyah ini adalah, terbentuknya kader-kader militan yang siap
mengawal transmisi kehidupan bermadhhab dan serangan pembaru Islam.

Pada saat yang sama, NU juga bergerak lebih jauh dengan pelestarian dan melindungi
tradisi keagamaan Jawa yang sebelumnya telah mapan dari ancaman kepunahan. Pelestarian
terhadap tradisi itu, dipahami sebagai bentuk artikulasi dari prinsip dasar toleransi (tasamuh)
secara religius yang melekat dalam diri Ahl al-Sunnah wa al-jamaah.

Toleransi religius misalnya, telah mengakomodir proses pertukaran dan pembauran


yang menciptakan keunikan warna Islam dalam kehidupan masyarakat jawa. Saling
pengertian religius ini telah membawa suatu harmoni sebagai satu elemen penting dalam
kehidupan religius santri, yakni ajaran Subni yang telah dimodifikasi, yang tidak
menghambat tradisi dan adat setempat. Paling tidak, konsep harmoni ini berhubungan
dengan tiga elemen, Tuhan, individu dan linhkungannya termasuk mereka yang berbeda
agama. Filosofi ini diyakini mampu mewujudkan "kehidupan bersama yang penuh
kedamaian" dalam suatu masyarakat yang beragam, dan tentunya sejalan dengan falsafah
jawa yang menekankan persatuan, stabilitas, dan harmoni. Sebagai tambahan, pola yang
fleksibel ini menyerap elemen-elemen lokal dan asing, namun tetap mempertahankan prinsip-
prinsip islam.
Pengejawantahan dari toleransi secara religius ini yang membuka jalan bagi NU untuk
selalu terbuka terhadap lokalitas, termasuk dalam penerimaan terhadap tradisi keagamaan
setempat. Fakta tak terbantakan, bahwa NU menerima dan bahkan melestarikan berbagai
ragam bentuk slametan (kenduren), tahlilan, ziara kubur, manaqib Shaykh ‘Abd al-Qadir al-
jilarii, dan sebagainya. Dengan toleransinya itu, berbagai bentuk tradisi keagamaan Jawa yang
diyakini sangat dipengaruhi tradisi Hindu-Budha berhasil disubordinasikan ke dalam bendera
Ahl al-Sunnah wa al-jamaah.

2. Identitas Keagamaan Komunitas Islam di Jawa


Perkembangan penyebaran Ahl al-Sunnah wa al jamaah di Nusantara --terutama di
pulau jawa, tidak dapat dilepaskan dari identitas keagamaan Muslim tradisional. Karena pada
dasarnya, penyebaran tersebut lebih merupakan kelanjutan dari pelestarian religiusitas Islam
yang telah begitu lama establish di kalangan Muslim tradisional. Dalam kajian anthropologi,
Muslim tradisional tersebut lebih dikenal sebagai mereka yang memiliki identitas Islam
sinkretis, Islam lokalitas, Islam akulturatif, dan Islam kolaboratif. Hal ini berarti, Muslim
tradisional, terutama di Jawa memiliki identitas cukup beragam.
Greertz yang kali pertama mempopulerkan istilah islam sinkretis dalam kajian Islam di
indonesia. Dalam pandangan Geertz, islam sinkretis menunjuk pada komunitas Muslim
abangan yang memiliki pola keagamaan simkretis, "suatu integrasi yang berimbang antara
unsur-unsur animisme, Hindu dan Islam". Pola sinkretis dalam komunitas Muslim tradisonal
tampak dalam berbagai artikumulasi tradisi keagamaan yang dianutnya, terutama dalam
pelaksanaan slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, maupun praktek-praktek
pengobatan dan magis. Dalam berbagai tradisi keagamaan tersebut, ”kelihatannya dari luar
Islam, tetapi ketika dilihat secara mendalam, sebenarnya adalah agama sinkretis” [ CITATION
Cli83 \l 14345 ]
Tesis Geertz mendapat dukungan dari Andrew Beatty yang mengidentifikasi Islam
tradisional sebagai Muslim sinkretis. Melalui artikelnya yang berjudul Adam and Eve and
Vishnu: Syncretism in the javanewe slametan (1994), ia menggambarkan slametan
mengandung unsur sinkretisme ”Islam dengan berbagai keyakinan lokal lainnya. ” Dalam
pernyataan terpisah, Beatty memperkuat proposisi yang telah diajukan sebelumnya.
Saya tidak dapat menemukan seorang pun yang menganggap slametan ( berbeda dari
sedekah) adalah ritus Islami... Meski slametan mengandung unsur-unsur Islam, kebanyakan
orang menganggap slametan sangat berciri jawa dan pra Islam atau bahkan diilhami oleh
Hindu. konsep-konsep Islam disesuaika. dan dalam hal tertentu diberi pengertian yang
sepenuhnya berbeda daru yang dikenal oleh muslim, atau juga dikosongkam dari muatan
islam tertentu dengam mengubah pengertiannya menjadi simbol-simbol universal.
Di lain pihak, Mulder lebih mengidentifikasi Muslim tradisional sebagai Islam lokalitas.
Namun, Islam lokalitas pada dasarnya memiliki persamaan dan mendukung tesis Islam
sinkretis. Bagi Mulder, lokalitas menghadirkan adanya unsur yang selalu menyesuaikan,
Biasanya, yang hadir belakangan lah yang menyesuaikan. Islam adalah agama yang hadir
belakangan, dan sebab itu, akan mengadaptasikan diri dengan unsur lokal yang sesuai.
Dengan demikian, inti sesungguhnya adalah unsur lokalitas dan bukan Islam. Oleh karena itu,
meskipun dari luar yang tampak adalah Islam, namun hakekatnya adalah agama lokal Jawa
Berbeda dengan Islam sinkretis dan Islam lokalitas, teori Islam akulturatif lebih melihat
perpaduan antara Islam dan kebudayaan lokal secara kompatibel. Salah satu antropolog yang
melansir istilah Islam akulturatif adalah Max Woodward. Dalam pandangannya, interaksi
budaya Islam dan kebudayaan lokal ---termasuk tradisi keagamaa n lebih bersifat akulturatif
berdasarkan prosesnya masingmasing. Dengan demikian, perpaduan antara Islam dan
lokalitas "bukanlah sesuatu yang antonim tetapi kompatibel”. Hal yang samajuga ditegaskan
oleh Muhaimin AG berdasarkan hasil risetnya di Cirebon (Jawa Barat). Hasil risetnya
melaporkan, Islam di Jawa (Cirebon) lebih mencerminkan Islam lokal, pola ke-Islam-an yang
dalam kesehariannya bercorak akulturatif dengan kebudayaan lokal. Ketika Islam bersentuhan
dengan kebudayaan lokal tersebut, Intinya adalah islam.
sebaliknya, Nur Syam memberikan identitas muslim tradisional sebagai islam
kolaboratif. Menummya, baik Islam sinkretis, lokalitas yang juga  bagian dari sinkretis, dan
Islam akulturatif memiliki kelemahan mendasar,jika digunakan untuk menunjuk identitas
Muslim tradisional.
Konsep sinkretime jelas mengandung kelemahan, sebab mengabaikan adanya dialog yang
terjadi antara Islam dengan budaya lokal. Baik kajian yang dilakukan Greetz, Beatty,
Mulder, Budiwanti, Radam, dan Hutomo memberikan legitimasi bahwa Islam hanyalah
nominal saja, aspek luar, sebab inti dari semuanya adalah budaya lokal. Islam tidak mampu
menyentuh kedalaman budaya lokal yang adiluhung dan mendalam, sehingga ketika harus
berhadapan dengan budaya lokal, Islam harus tetap berada di luar. Kajian tentang Islam
dalam kansep akulturasi yang compatible juga menyasikan persoalan pada aras macam apa
dan bagaimana Islam dipahami dan sekaligus dikonstruksi seperti itu. jika Islam mengalami
proses saling menerima dan memberi dalam konteks ajaran dan praktek ritual, maka
semestinya terdapat gambaran bagaimna proses kontruksi Islam sebagaimana keadaannya
sekarang. dialektika itu yang tidak diperoleh dalam berbagai kajian tentang Islam akulturarif
[ CITATION Nur05 \l 14345 ].
Sebaliknya, Islam kolaboratif mengandaikan relasi Islam dan kebudayaan lokal secara
akulturatif-sinkretik. Corak kolaboratif dihasilkan atau dikonstruksi oleh para elit agama
secara bersama-sama dengan masyarakat melalui proses dialektika yang terjadi secara terus-
menerus. Catatan penting yang mesti ditegaskan adalah islam kolaboratif lebih bercirikan
pada "bangunan islam yang khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan
Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi terus menerus dengan
melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-
elit lokal.
Identifikasi Islam tradisional dengan beragam identitas Islam tersebut, di kalangan
anthropolog, pada dasarnya menguatkan tesis yang berlaku umum dari Greetz, bahwa, Islam
tradisional adalah mereka yang memiliki identitas Muslim abangan. Tentu saja, identitas
abangan untuk menunjuk keperbedaannya secara kontras dengan Muslim santri.
Dalam pandangan Geertz, Muslim abangan menunjuk pada ”satu titik berat pada aspek
animistis dari sinkretisme jawa yang melingkupi semuanya, dan secara luas dihubungan
dengan petani”. Sebaliknya, Muslim santri lebih mengandaikan ”Islam yang lebih murni” dan
menunjuk pada komunitas Muslim ”yang tidak saja terdiri dari pelaksanaan yang cermat dan
teratur atas pokok peribadatan Islam ---sembahyang, puasa, haji--- tetapi juga suatu
keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial, kedermawanan dan politik Islam”.
Tampak sekali dalam tesis Geertz lebih memberi pemihakan terhadap Muslim santri
yang selanjutnya diidentifikasi sebagai Islam modernis. Tesis yang lebih berpihak ini
menyebabkan munculnya gelombang kritik dari pakar studi Islam lainnya. Hodgson,
misalnya, dalam The Venture of Islam: Conscience cmd Histmy in a World Civilization, Vol.
III, mengklaim Geertz telah “membuat satu kesalahan sistemik” atas tesisnya tentang
dikotomi santri dan abangan tersebut.
Namun, nilainya yang tinggi pada umumnya dikaburkan oleh suatu kesalahan pokok
yanh sistematik. Karena dipengaruhi oleh, polemik dikalangan umat islam tertentu dari
madhzab modern syariah, greetz mengidemtifikasikan islam hanyalah dengan apa apa yang
kebetulan disetujui oleh madhzab kaum modernis ini. Sedangkan sebaliknya dihubungkan
dengan suatu latar belakang kepercayaannya asli atau hindu-budhistik. Tanpa alasan ini
mengecap banyak dari kehidupan keagamaan umat islam dijawa sebagai "bercorak hindu". Ia
mengidentifikasikan sebuah seri fenomena yang panjang, yang sebenarnya bercorak universal
bagi islam dan bahkan kadang kala dijumpai dalam al-quran sendiri, sebagai suatu yang tidak
islami. Oleh karena itu interpretasinya tentang masa lampau islam dan juga tentang reaksi-
reaksi anti-islam baru baru ini sepenuhnya menyesatkan.
Lepas dari kekurangan Geertz, ia telah memberi jalan bagi para pengkaji Islam di
Nusantara, terutama di pulau Jawa. Geertz berhasil memberi gambaran secara komprehensif
tentang kehidupan keagamaan masyarakat Muslim di Jawa. jika Islam abangan tidak
seutuhnya merepresentasikan identitas Islam, atau sebaliknya, namun terdapat kesamaan yang
hadir di antara keduanya. Pelestalian terhadap slametan dan tahlilan dengan berbagai
manifestasinya, misalnya, ternyata tidak hanya menjadi properti keagamaan Muslim abangan.
Di pesantren yang selama ini disebut-sebut sebagai basis Islam tradisional, bukan hanya
dilestarikan tetapi juga sangat dianjurkan.
Perlu ditambahkan, bahwa pesantren dengan demikian merupakan sub kultur
masyarakat muslim dijawa. Pesantren dalam hal ini merupakan lembaga kehidupan yang
dalam beberapa hal "menyimpang" dark pola kehidupan umum seperti diuraikan di atas ;
mengandung keberlangsungan proses pembentukan tata nilai yang tersendiri, lengkap dengan
simbol-simbolnya, dan ; berkembangnya suatu proses pengaruh-mempengaruhi dengan
masyarakat di luarnya, sebagai subkultur, pesantren memiliki keunikan-keunikan tersendiri
mengenai perspektif keagamaan dan termasuk tradisi-tradisi keagamaan yang
dikembangkannya. Oleh karena itu, hasil kajian anthropologis seputar keagamaan masyarakat
jawa tidak bisa mencerminkan secara utuh identitas keagamaan entitas pesantren.

Analisis Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Agama

Berdasarkan pemaparan diatas penulis dapat menganalisis bahwa pemikiran KH. M.


Hasyim Asy’ari tantang agama adalah sebagai berikut:
1. Akidah dan Syariah
Akidah
KH. M. Hasyim Asy’ari dalam memperjuangkan akidah dan syariah sangat
diutamakan, karena banyak paham-paham yang nyeleneh atau ajaran-ajaran yang
menyimpang yang harus diluruskan.
Sejak NU didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, Syeikh Hasyim Asy’ari
sudah mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham nyeleneh. Peringatan
tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan
akidah.
Pada sekitar tahun 1330 H terjadi infiltrasi beragam ajaran dan tokoh-tokoh yang
membawa pemikiran yang tidak sesuai dengan mainstream Muslim Jawa waktu, yakni
berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kyai Hasyim mengkritik orang-orang yang mengaku-aku pengikut Muhammad bin
Abdul Wahhab, dengan menggunakan paradigma takfir terhadap madzhab lain, penganut
aliran kebatinan, kaum Syiah Rafidhah, pengikut tasawwuf menyimpang yang menganut
pemikiranmanunggaling kawulo gusti.
Organisasi yang beliau dirikan, NU, bertujuan memperbaiki keislaman kaum
Muslim Nusantara dengan cara membangkitkan kesadaran ulama-ulama’ Nusantara akan
pentingnya amar ma’ruf nahi munkar. Diharapkan dengan wadah organisasi ini, para
ulama’ bersatu padu membela akidah Islam.
Paradigma takfir, dalam bidang furu’, tidaklah tepat karena akan memecah belah
kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam menyikapi perbedaan furuiyah, Kyai Hasyim
melarang untuk bersikap fanatik buta. Ia mendorong keras kepada para ulama’ untuk
bersama-sama membela akidah Islam. Maka, seruan untuk tidak fanatik buta terhadap
pendapat ijtihad merupakan salah satu cara untuk menggalang kekuatan pemikiran
dalam satu barisan.
Jika berdakwah dengan orang yang berbeda madzhab fikihnya, ia melarang untuk
bertindak keras dan kasar, tapi harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya, orang-orang
yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan
kepada akidah yang benar.
Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti
paham Syi’ah. Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan
madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi
persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun
madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli
bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi
li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9)
Syariah
Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat
mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai
Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi SAW. Mereka
berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi.
Selain itu KH. M. Hasyim Ays’ari juga mengamalkan dan mengajarkan masyarakat
tentang adab, akhalak dan juga memperbanyak ibadah kepada Allah SWT.
2. Kebudayaan
Pemikiran KH. M Hasyim Asy’ari tetang agama yang kedua yaitu di kebudayaan.
Beliau meyebarkan agama melalui kebudayaan adalah strategi untuk pendekatan sacara
langsung ke masyarakat agar dakwah islam mudah disampaikan dan di ikuti oleh
masyarakat indonesia. KH. M. Hasyim Asyari dalam pendekatan secara langsung ke
masyarakat beliau menggunakan metode walisongo yaitu berusaha menciptakan suasana
damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agam dan tradisi lain
yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing [ CITATION
Rid05 \l 14345 ].
Salah satu anggota walisongo yang berdakwah melalui kebudayaan yaitu sunan
kalijaga. Melalui pewayangan, sunan kalijaga berusaha menggunakan unsucr-unsur lokal
sebagai media dakwanya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk
fisik dari alat-alatnya. Para wali juga mengafirmasi tradisi-tradisi keagamaan Hindu Jawa
yang sebelumnya telah mapan, misalnya selamatan bagi orang yang telah meninggal.
Upacara kematian – pada hari ke 3,7,40,100 dan 1000 dari kematiannya—diterima dan
dimodifikasi sehingga tetaap dalam kerangkan monoterisme islam. Termasuk di
dalamnya menyertakan bacaan tahlil, yaitu membaca kalimat tayyibah, la ilah illa alllah,
secara bersma-sama sebagai cara efektif untuk menanamkan tawhid. Disamping
penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi islam juga dibuat dalam bentuk simbol-
simbol kebudayaan, contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjid
masih berbentuk pura dan candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istana
“gapura” nama yang diambil dari bahasa arab ghafura yang berarti pengapuran [ CITATION
Rid05 \l 14345 ]. Simbol-simbol kebudayaan sebagai sebagai bentuk akulturasi, yang dapat
dikemukakan pada pesantren. Selain kata sebutan “pesantren” yang berasal dari bahasa
kawi (kawa kuno), juga site plan (tata letak bangunan/ komplek pesantren) yang
mencerminkan perpaduan antara kosmologi jawa dan spirit ke-islaman.
Oleh karena itu dalam penyebaran islam di jawa KH. M. Hasyim Ays’ari
melakukan pendeketan ke masyarakat melalui budaya agar mudah terima oleh
masyarakat oleh masyarakat, sehingga ajaran islam akan menjadi panutan oleh
masyarakat indonesia.
Daftar Pustaka

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Djohan, E. (2008). A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of a New Discouse
in Indonesia Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era. Yogyakarta:
Interfidei.
Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hasjmi, A. (1983). Shi'ah dan Ahlussunah, Saling Sebut Pengaruh dan kekuasaan Sejak Awal
Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu.
Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ridwan. (2005). Dialek Islan dengan Budaya Jawa. Jurnal Ibda', 3, 5.
Samsyu, M. (1999). Ulama pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarna. Jakarta: Lentera.
Syam, N. (2005). Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS.
Zuhri, A. M. (2010). Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Surabaya: Khalista.
zuhri, s. (1979). sejarah kebangkitan islam dan perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al-
Ma'arif.

Anda mungkin juga menyukai