Anda di halaman 1dari 16

Don't Ghosob. . . .!!

Dont Ghosob, hampir setiap pesantren pasti ada tulisan-tulisan semacam itu. pasti
anda bingung. karena ghosob bukanlah bahasa inggris. he rancau memang kata di
atas. namun sebaiknya anda baca sampai selesai agar anda paham.

Bagi sebagian orang mungkin istilah GHOSOB adalah hal yang asing, tapi kalo
dikalangan para santri pondok, ghosob adalah sebagian dari hidup mereka dalam
kehidupan pondok yang tidak akan lepas. sampai-sampai setiap sudut pesantren
selalu ada tulisan.

Ghosob adalah mengambil barang orang lain dengan gholim atau mengambil haq
orang lain dengan paksaan.

misalkan saya ingin pergi ke masjib tapi sandal saya hilang, kemudian saya
mengghosob sandal orang lain tapi nanti saya kembalikan atau ada sebuah tanah
yang saya tanami tanpa ijin padahal itu bukan tanah saya tapi tanah temen saya.
kesemuanya ini adalah GHOSOB, hampir mirip dengan pencurian namun bukan
mencuri.

hal seperti ini jelas sangat dilarang karena termsauk dari hal yang merugikan orang
lain atau hablum minannas. dalam sebuah hadits disebutkan :

"Barang siapa yang mengghosob sejengkal tanah orang lain dengan cara dhalim,
maka kelak akan dikalungkan 7 bumi pada lehernya"
(H.R Muslim)

karena hal ini bukan mencuri kadang kita meremehkannya. toh kan nanti kita
kembalikan namun tetap saja hal ini bukanlah hal yang baik, karena merupakan
perbuatan dhalim yang harus ditaubati.

"Barang siapa yang pernah berbuat dhalim terhadap sesamanya hendaklah


meminta dihalalkan sebelum datang hari di mana harta benda tak berharga lagi,
sebab pada hari itu orang yang didhalimi akan diambilkan kebaikan dari orang
yang mendhalimi sepadan dengan kedhalimannya dan bila kebaikan orang yang
mendhalimi telah habis maka kejelekan orang yang didhalimi dibebankan kepada
orang yang mendhalimi"
(HR Bukhari)

memang sepele tapi kalau saudara atau temen kita g ikhlas??? hayooo??

Apa yang Dimaksud dengan ghosob dan bagaimana hukumnya?

Ghosob adalah meminjam sesuatu milik orang lain dan menggunakanya tanpa izin.
Mungkin Ghosob merupakan hal yang lumrah yang terjadi pada diri kita. Tapi
sebenarnya Ghosob adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan.

Contoh yang biasaterjadi adalah ketika kita sedang dalam perkumpulan, kita ingin
bepergian, namun kita tidak punya sandal sehingga kita meminjam sandal orang
lain tanpa bilang terlebih dahulu kepada pemiliknya. Hal ini yang disebut Ghosob
dan kita tidak boleh melakukanya. Apabila keadaan darurat dan kita harus
melakukanya, maka hal yang wajib kita lakukan adalah kita harus bilang kepada
pemiliknya kalau kita telah meminjam sandalnya.
Contoh lain dalam kasus Ghosob adalah Ketika kita sedang berbincang dengan
seorang kawan kita. Kawan kita punya makanan, namun makananya milik dia
sendiri, tidak disuguhkan kepada kita. Kemudian teman kita pergi, lalu kita
memakanya. Setelah kita memakanya, lalu kita langsung berlari keluar untuk
membeli makanan yang sama persis dengan makanan tersebut. Maka hal tersebut
juga TIDAK BOLEH karena hal itu sama saja kita meminjam milik orang lain
tanpa izin. Ingat, Ghosob tidak boleh kita abadikan, Kebiasaan Ghosob tidak boleh
kita lestarikan. Karus Kita hanguskan.

Sesungguhnya segala kebenaran yang ada dalam blog ini semuanya berasal dari
ALLAH SWT. Dan segala kesalahan yang ada, semuanya berasal dari diri saya
pribadi. Semoga ALLAH senantiasa memberi rahmatnya kepada kita, Amin.

PENGERTIAN GHOSOB

GHOSOB

Secara harfiah, ghasab adalah mengambil sesuatu secara paksa dengan terang-
terangan. Sedangkan secara istilah, ulama bermacam-macam mendefinisikannya,
Mazhab Hanafi mendefinisikan gasab sebagai mengambil harta orang lain yang
halal tanpa izin sehingga barang itu berpindah tangan.

Mazhab Maliki mendefinisikan gasab sebagai mengambil harta orang lain secara
paksa dan sengaja, tetapi tidak dalam arti merampok.

Sementara mazhab Syafii dan Hanbali memaknai gasab sebagai penguasaan


terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.

Hukum Ghosob
Islam memberlakukan tiga macam hukuman. Pertama, dia berdosa jika ia
mengetahui bahwa barang yang diambilnya milik orang lain. Kedua, jika barang
tersebutmasih utuh wajib dikembalikan. Ketiga, jika barang telah hilang/rusak
karena dimanfaatkan, dia dikenakan denda.
Berapa besarnya denda? Dalam hal ini ada beberapa pendapat ualama.Ulama
mazhab hanafi dan Maliki berpendapat denda dikenakan sesuai dengan jenis
barang yang diambil. Bila tidak ada yang sama, dikenakan denda sesuai harga
tertinggi.

Menurut ulama mzhab Syafi'i, denda dikenakan sesuai harga tertinggi pada periode
sejak pengambilan sampai penentuan denda. sementara ulama mzhab Hambali
berpendapat denda sesuai harga patokan ketika benda itu tidak ada lagi di pasaran

Macam-macam Ghosob

1. Merampas barang milik:

a. Barang milik pribadi seperti; mengambil pena dan buku orang lain, atau
memecahkan kaca rumah orang lain.

b. Barang milik umum seperti; mengambil barang-barang sekolah, memecahkan


lampu jalan, tidak mengeluarkan khumus, atau tidak mengeluarkan zakat.

2. Merampas hak guna:

a. Hak guna pribadi seperti; menduduki bangku du-duk orang lain di kelas, atau
salat di tempat yang sudah dipilih oleh orang lain di masjid.

b. Hak guna umum seperti; mencegah orang lain dari menggunakan masjid, atau
jembatan, atau jalan, atau mencegah orang lain dari melintasinya.

GHASAB
A. Definisi Ghasab
1. Mazhab Hanafi: mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga
barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
2. Ulama Mazhab Maliki: mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja
(bukan dalam arti merampok)

3. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali: penguasaan terhadap harta orang lain
secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Maka dari itu menanami tanah ghasab termasuk haram karena mengambil manfaat
dari tanah ghasab dan menghasilkan harta.
Dari definisi tersebut diatas yang dikemukakan oleh para ulama jelas terlihat
bahwa
1. Bagi Mazhab Hanafi (selain Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Zufar bin
Hudail), ghasab harus bersifat pemindahan hak seseorang menjadi milik orang
yang menggasab.
2. Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, tidak dinamakan ghasab apabila
sifatnya tidak pemindahan hak milik.
3. Jumhur Ulama: menguasai milik orang lain saja sudah termasuk ghasab, apalagi
bersifat pemindahan hak milik.
Akibat dari perbedaan definisi ini akan terlihat pada tiga hal :
1. Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)
1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf: ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang
bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak mungkin terjadi ghasab.
Seperti rumah dan tanah
2. Jumhur Ulama: ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak.
Karena yang penting adlah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara
sewenang-wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang
menggasab tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara
material maupun secara manfaat.
2. Hasil dari benda yang diambil tanpa ijin.
1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf : hasil dari benda yang diambil merupakan amanah
yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi jika hasil dari benda itu
dibinasakan (melakukan kesewenangan terhadap hasil dari benda yang digasab)
maka ia dikenakan denda. Seperti : buah dari pohon yang dighasab.
2. Jumhur Ulama: Jika pengghasab menghabiskan atau mengurangi hasil barang
yang dighasabnya maka ia dikenakan denda
3. Manfaat dari benda yang dighasab.
1. Mazhab Hanafi: manfaat barang yang dighasab tidak termasuk sesuatu yang
digasab. Karena manfaat tidak termasuk dalam definisi harta bagi mereka. Seperti :
menggasab sandal kemudian dikembalikan lagi
2. Jumhur Ulama: Manfaat itu termasuk dalam definisi harta. Oleh sebab itu
dikenakan denda jika barang yang digasab tersebut dimanfaatkan orang yang
menggasabnya.
Dari definisi yang dikemukakan para ulama diatas terlihat jelas bahwa ghasab tidak
sama dengan mencuri, karena mencuri dilakukan secara sembunyi sedangkan
ghasab dilakukan secara terang-terangan dan sewenang-wenang. Bahkan ghasab
sering diartikan sebagai menggunakan/memanfaatkan harta orang lain tanpa seijin
pemiliknya, dengan tidak bermaksud memilikinya.
Contoh : si A mengambil sajadah si B dengan tidak bermaksud memilikinya tetapi
memanfaatkannya untuk shalat. Setelah itu dikembalikan lagi ke tempat semula.
Ghasab tidak hanya untuk harta benda saja tetapi juga kemanfaatan orang lain
seperti menyuruh pergi dari tempat duduknya dan contoh yang sering dijumpai
yakni memakai ataupun meminjam sandal orang lain tanpa ada izin.
Kita tak pernah menyangka ternyata perbuatan sekecil itu dilarang oleh agama.
Memang mudah sekali untuk berbuat serta mengumoulkan dosa, tetapi untuk
mencegahnya serta menghapusnya sulit sekali. Hawa nafsulah penyebabnya
makanya cobalah untuk melawan hawa nafsu.
Bagi orang yang ngasab dalam bentuk harta maka wajib baginya untuk
mengembalikan harta tersebut ke pemiliknya, jika barang tersebut telah kurang,
rusak, hilang maka penggasab wajib mengganti dengan barang yang sama ataupun
berupa uang yang jumlahnya sama seperti barang tersebut. Dengan demikian
ghosib bisa terhindar dari larangan dan dosa.
Sekalipun tujuannya adalah baik, tetapi karena memanfaatkan barang orang lain
tanpa ijin itu adalah perbuatan tercela dalam islam.
B. Dasar Hukum Ghasab
1. Surat An Nisa ayat 29
‫ض ذممننكمُ هوله تهمقنتلنوُا أمنفنهسنكمُ إنن ا‬ ‫هيأَيههاَ الذذيهن آهمننوُا له هتأَنكنلوُا أممهوُالهنكمُ بهمينهنكمُ ذباَلهباَذطذل إلل أمن تهنكوُهن تذهجاَهرةة هعمن هترَا ض‬
َ‫هكاَهن بذنكمُ هرذحيةما‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Surat Al Baqarah 188
‫هو له هتأَنكلنوُا أممهوُالهنكمُ بهمينهنكمُ ذباَملهباَذطذل هو تنمدنلوُابذههاَ إلهى مالنحنكاَذم لذهتأَنكلنوُا فهذرَيةقاَ ذممن أممهوُاذل اللناَ ذ‬
‫س ذباَ لثإذمُ هو أمننتمُ تهمعلهنموُهن‬
Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
3. Sabda Rasulullah
“Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari
Abi Bakrah)
“Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan
hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik.
C. Hukuman orang yang Ghasab
Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang
lain.
Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya
Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan
denda.
Mazhab Hanafi dan Maliki
Denda dilakukan dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang
dighasab.Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga
benda tersebut ketika dilakukan ghasab.
Mazhab Syafi’i –>denda sesuai dengan harga yang tertinggi
Mazhab Hanbali –> denda sesuai dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada
lagi di pasaran.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya
itu menjadi milik orang yang menggasabnya
Mazhab Hanafi –> orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia
melakukannya sampai ia membayar denda.
Mazhab Syafii dan Hanbali –> orang yang menggasab tidak berhak atas benda
yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.
Mazhab Maliki –> orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda
tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda
itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah
diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat
mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada
diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini
berdasarkan kepada sabda Rasulullah
“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh
orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud
dari Urwah bin Zubair)
D. Sulitnya Menghindari Gasab
Sulitnya menghindari Ghasab dalam kehidupan sehari-hari kita,karena terkadang
tanpa kita sengaja kita melkukan perbuatan Ghasab itu sendiri. Apalagi dalam
kehidupan sehari-hari sebagai Santri yang tinggal di Asrama suatu Pondok
pesantren Ghasab sudah menjadi realita. Pertama, hidup dalam “satu atap”
membuat perbuatan gasab hampir sulit dihindari. Kedua, gasab hampir menjadi hal
yang wajar (naudzubillah). Ghasab juga paling sering ditemui pada suatu lingkup
tempat tinggal dalam lingkungan sedang atau besar misalnya: selama kegiatan
Kuliah Kerja Nyata (KKN),perkemahan outbond (Camping), Rumah
susun,Asrama dll.
Emang di pesantren ada yang begituan? Ya, namanya hidup bersama di bawah satu
atap pesantren pasti lah kita bakal menghadapi masalah seperti ini. Kadang
kebiasaan ini dianggap hal yang sepele oleh santri. Padahal itu jelas tidak boleh
dan agama kita melarang untuk "menyerobot" sesuatu yang bukan hak milik kita.
Misalnya memakai sandal teman kita di depan asrama. Emang sih kita mungkin
cuma mau ke dapur atau sekadar ke kamar mandi untuk sikat gigi. Tapi kalau yang
empunya sandal juga mau keluar dan tiba-tiba saja sandalnya sudah raib
bagaimana? Pasti yang punya sandal bakal marah dan mencak-mencak seperti
kehilangan emas bergram-gram. Pasti kita bakalan kena damprat. Belum lagi kalau
sampai perbuatan kita dilaporkan kepada pihak "berwajib" alias keamanan
pesantren. Jangan harap kita akan lepas dari sanksi yang bakal dijatuhkan pada
kita. Nah, kena getah dua kali kan?
Makanya ada baiknya kalau kita ijin dulu kepada orang yang akan kita pinjamin
barangnya. Jangan sampai main "ngepot" saja. Mentang-mentang teman sekamar
atau teman sekelas. Mereka juga manusia, lho!
Dalam segi bentuk dan artinya Ghasab berbeda dengan mencuri. perbedaan ghasab
dengan mencuri. Mencuri dalam arti gasab tidak hanya barang tapi juga manfaat
barangnya, termasuk di dalamnya meminta dan meminjam tanpa izin pemilik
aslinya, sekalipun dikembalikan.
.Ada cerita, ada seseorang yang memakai sarung temannya tanpa minta izin dan
tidak diketahui pemiliknya dan di pakailah sarung itu buat shalat. Menurut hukum
fikih Ahlussunah, perbuatan ghasab tersebut adalah dosa dan haram tapi tidak
membatalkan salatnya (Al-Fiqh ‘alâ Al-Madzâhib Al-Khamsah). Istilahnya adalah
harâm lî ghairih yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, akan tetapi
dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat bagi manusia.
Sedangkan dalam fikih Ahlulbait, gasab tetap dihukumi sebagai dosa plus
perbuatan salatnya sendiri tidak sah. Sedemikian ketatnya hingga jika kita salat
tetapi ada sehelai benang pun yang ada ditubuh kita diperoleh dengan cara batil,
maka salat pun tidak sah. Sayidina Ali as. berkata kepada Kumail, “Wahai Kumail,
lihatlah di mana dan pada apa kamu salat. Jika itu didapatkan bukan dengan cara
yang benar maka tidak diterima salatnya.” (Fiqh Al-Imâm Ja’far)
Hal di atas menunjukkan bahwa meskipun kita beribadah menghadap Sang Khalik
untuk menunaikan hak-Nya, tetapi kita tetap tidak bisa mengabaikan hak manusia
yang lain. Wallahualam

Bagi orang yang mengghasab harta seseorang, maka wajib mengembalikan kepada
pemiliknya, meskipun ghasib(orang yang melakukan ghasab) itu terkena
tanggungan (mengganti) dengan berlipat ganda harganya. juga wajib bagi nya
untuk menambah kekurangannya. jika memang terdapat kekurangan pada harta
yang di ghasab. seperti contoh orang yang mengghasab pakaian kemudian dia
memakainya, atau harta itu berkurang tidak karena dipakai.maka wajib
memberikan biaya yang sama. sedangkan jika maghsub (barang yang di ghasab)
itu berkurang sebab harganya menjadi turun, menurut pendapat yang shahih,
ghasib tidak wajib menanggung nya.
Di dalam sebagaian keterangan dijelaskan bahwa siapa saja yang mengghasab
harta seseorang, maka dia harus dipaksa untuk mengembalikannya. apabila barang
yang di ghasab itu rusak, maka ghasib wajib menanggungnya dengan jumlah yang
sama dengan barang yang di ghasab tersebut. adapun yang lebih sah bahwa barang
itu adalah barang - barang yang dapat di ukur dengan takaran atau timbangan
(dapat di ukur dengan nilai).
Harga maghsub dapat berbeda beda dengan bentuk harga yang lebih tinggi dari
hari pada saat barang tersebut di ghasab sampai pada hari kerusakan barang yang
di ghasab. ghasib (orang yang meng-ghasab) dapat menjadi bebas setelah
mengembalikan barang maghsub (barang yang di ghasab) kepada pemiliknya dan
cukup meletakkan di sebelah pemiliknya. apabila di lupa siapa pemiliknya, maka
cukup dengan menyerahkannya kepada Qodli. (hakim)
Pengertian Ariyah,Ghosob,Hibah

A. Hukum ‘Ariyah

‘Ariyah berasal dari kata ‘Aara yang berarti pergi dan datang kembali dengan cepat. Sedangkan
menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat, diantaranya:

1. Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat secara Cuma-Cuma.”

2. Menurut Malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.”

3. Menurut Syafi’iyah, ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya
yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya.”

4. Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari
peminjam atau yang lainnya.”

5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada
orang lain dengan tanpa di ganti.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan
manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis).

B. Dasar Hukum ‘Ariyah:

Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan
hukumnya dari nash Alquran ialah: “Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa
dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”( Terjemahan Al-Maidah:2).
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, yang artinya:“barang peminjaman
adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Daud).

Pada dasarnya, hukum ‘ariyah adalah sunnah. Hukum ‘ariyah terkadang bisa menjadi wajib,
seperti meminjamkan pakaian agar tidak terkena sengatan panas dan dingin, meminjamkan sesuatu
yang bisa menyelamatkan orang dari tenggelam, seperti tali ataupun yang lainnya, meminjamkan pisau
untuk menyembelih hewan yang bisa dimakan yang mana hewan tersebut akan segera mati jika tidak
langsung disembelih. Terkadang hukum ‘ariyah tersebut bisa menjadi makruh, seperti meminjamkan
budak islam kepada orang kafir. ‘ariyah terkadang dihukumi mubah, seperti meminjamkan sesuatu
kepada orang yang tidak terlalu membutuhkan terhadap barang yang dipinjam.

Dalam bab ‘ariyah terdapat empat rukun, diantaranya:

Ø Mu’ir (orang yang memberi pinjaman), dengan syarat orang tersebut meminjamkan barangnya tidak
merasa terpaksa atau meminjami dengan sukarela.

Ø Musta’ir (orang yang meminjam), dengan syarat orang yang meminjam harus jelas

Ø Mu’ar (barang yang dipinjamkan), dengan syarat barang tersebut harus halal diambil manfaatnya serta
barang tersebut keadaannya tetap dan tidak mudah rusak. Jika seseorang meminjam sesuatu dan ia tidak
menjelaskan barang yang akan dipinjam, seperti “Pinjamkanlah kepadaku seekor hewan”, kemudian
orang yang memberi pinjaman mengatakan kepada orang tersebut “Masuklah ke dalam kandang dan
ambillah sesukamu”, maka hukum ‘ariyah dalam hal tersebut dianggap sah.

Ø Adanya sighot (baik secara lafad maupun tulisan) dengan niat ataupun isyarat yang menunjukkan
perizinan untuk mengambil manfaat dari barang yang akan dipinjam tersebut. Seperti “ Saya
meminjamkan ini kepadamu ” atau “ Saya perbolehkan kamu mengambil manfaat dari barang ini ” atau

“ Kendarailah ini ” atau “ Ambillah manfaat dari benda ini “.

Perlu diketahui bahwa orang yang meminjam suatu barang pada orang lain itu tidak
diperbolehkan meminjamkan barang tersebut kepada orang lain tanpa seizin mu’ir (orang yang memberi
pinjaman).

Orang yang meminjam itu wajib menanggung kerusakan yang terdapat pada mu’ar (barang yang
dipinjam) jika terjadi kerusakan. Baik dengan cara mengganti harga barang tersebut ataupun dengan cara
yang lain. Adapun syarat kerusakan yang harus ditanggung itu hendaknya kerusakan barang tersebut
tidak digunakan dengan semestinya, jika kerusakan tersebut terjadi ketika orang yang meminjam
menggunakan barang dengan semestinya, maka orang itu tidak wajib menanggung kerusakan yang
terjadi.

Diperbolehkan bagi orang yang meminjam maupun orang yang memberi pinjaman melakukan
pencabutan kembali pada akad ‘ariyah, baik yang mutlak maupun yang dibatasi masa (waktu). Jika ada
seseorang meminjam tanah untuk mengubur mayat (selain mayat orang yang murtad dan kafir harby),
ketika si mayat sudah diletakkan di dalam liang lahat, maka bagi musta’ir ataupun mu’ir boleh melakukan
pencabutan akad dalam hal ‘ariyah tersebut, dengan syarat si mayat belum ditimbuni dengan tanah, Jika
si mayat sudah ditimbuni dengan tanah hingga setelah hancur tubuhnya, maka tidak diperbolehkan
melakukan pencabutan akad (‘ariyah).

Suatu permasalahan, apabila ada seseorang meminjam tanah untuk ditanami atau didirikan
bangunan di atasnya, maka hal itu hanya boleh dilakukan sekali, jika bangunan itu sudah dibongkar atau
tanaman itu telah hilang, maka orang yang meminjam tidak berhak membangun dan menanami untuk
kedua kalinya, kecuali setelah ia mendapatkan izin baru untuk hal itu, ataupun telah ia jelaskan terlebih
dahulu bahwa ia akan melakukan untuk kedua kalinya.

C. Bab Ghasab

Ghasab ialah menguasai atau mengambil hak orang lain secara dholim. Hal itu bisa terjadi
meskipun berupa mengambil kemanfaatan, seperti menyuruh berdiri orang yang sedang duduk di masjid
atau di pasar, duduk diatas tikar seseorang tanpa memindah ke tempat lain, menaiki binatang orang lain
tanpa seizin orang yang mempunyainya, memerintah budak milik orang lain, dan lain-lain. Ghasab itu
termasuk dosa besar. Adapun dalil yang melarang perbuatan ghasab yaitu:

1. Surat An Nisa ayat 29

‫هيأَيههاَ الذذيهن آهمننوُا له هتأَنكنلوُا أممهوُالهنكمُ بهمينهنكمُ ذباَلهباَذطذل إلل أمن تهنكوُهن تذهجاَهرةة هعمن هترَا ض‬
َ‫ض ذممننكمُ هوله تهمقنتلنوُا أمنفنهسنكمُ إنن ا هكاَهن بذنكمُ هرذحيةما‬
Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

2. Sabda Rasulullah
Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya
(HR.Daruquthni dari Anas bin Malik).

Wajib bagi orang yang mengghasab untuk mengembalikan barang yang dighasab dan
menanggung barang yang mutamawwal (bisa dihargai) yang rusak dengan perhitungan harga tertinggi
sejak waktu ghasab sampai rusaknya barang yang dighasab. Adapun harganya disesuaikan dengan mata
uang Negara yang berlaku (di tempat terjadinya kerusakan).

Barang mitsly itu itu ditanggung dengan mengembalikan barang yang sepadan, di manapun
tempatnya barang itu berada. Barang mitsly ialah barang yang bisa diukur dengan menggunakan
timbangan atau takaran dan bisa dipergunakan sebagai barang pesanan, seperti kapas, tepung, air,
minyak misik, tembaga, dirham, dinar, buah kurma, biji-bijian yang kering dan lain-lain. Jika tidak
terdapat barang yang sepadan dan barang tersebut, maka bisa di tanggung dengan harga
tertingginyayang pernah terjadi sejak ghasab hingga waktu di mana barang tersebut tidak bias
didapatkan.

Orang yang mengghasab menjadi bebas jika ia telah mengembalikan barang yang telah di ghasab
kepada pemiliknya. Adapun cara pengembaliannya yaitu cukup dengan meletakkan barang yang
dighasab di sebelah pemiliknya (di tempat semula), jika orang yang mengghasab tidak mengetahui
ataupun lupa pemilik barang yang dighasab, maka ia bisa menyerahkan barang itu kepada qodhi
( hakim ).

D. Hukuman Orang yang Ghasab:

1. Ia berdoasa jika ia mengtehui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.

2. Jika barang tersebut masih utuh, maka wajib dikembalikan.

3. Apabila barang tersebut hilang atau rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan
denda.

Adapun ukuran denda itu terdapat beberapa pendapat, diantaranya:


ü Mazhab Hanafi dan Maliki: Denda dilakukan dengan barang yang sesuai atau sama dengan barang yang
dighasab. Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut
ketika dilakukan ghasab.
ü Mazhab Syafi’i: Denda disesuaikan dengan harga yang tertinggi.

ü Mazhab Hanbali: Denda disesuaikan dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.

Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu menjadi
milik orang yang menggasabnya ataukah masih menjadi pemilik asal dari benda tersebut:

1. Mazhab Hanafi: orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya
sampai ia membayar denda.

2. Mazhab Syafii dan Hanbali: orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang
digasabnya walaupun sudah membayar denda.

3. Mazhab Maliki: orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika
masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan
ia bebas untuk memanfaatkannya.

E. Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab. Kata ( hibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa
syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta
ganti. Secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan
dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.

F. Dasar Hukum Hibah

Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin ''Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang
artinya sebagai berikut :

"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan
meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang
diberi Allah kepadanya".

G. Ruju' di dalam Hibah

Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ di dalam hibah itu haram, sekalipun hibah itu terjadi di
antara saudara atau suami isteri, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya, maka
ruju’nya diperbolehkan berdasarkan hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi dan dia mengatakan bahwa hadis
ini hasan lagi shahih.

Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah,
kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada
anaknya Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya
(menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu
kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali”.

H. Rukun Dan Syarat Sahnya Hibah

Rukun adalah unsur persyaratan yang wajib terpenuhi dalam sebuah kegiatan (ibadah).Rukun
hibah adalah sebagai berikut :

1. Penghibah , yaitu orang yang memberi hibah

2. Penerima hibah yaitu orang yang menerima pemberian

3. Benda yang dihibahkan

4. Ijab dan kabul.

Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :

1. Syarat-syarat bagi penghibah

a) Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan
barang milik orang lain.
b) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.

c) Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).

d) Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.


Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana
sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum
wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima
hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.

2. Syarat-syarat penerima hibah

Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan.
Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir.
Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang
dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian
memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.

3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan

a) Benda tersebut benar-benar ada.

b) Benda tersebut mempunyai nilai.

c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan.

d) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.

4. Ijab Qabul

Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk
lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan
kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah
menjawab : "Aku terima hibahmu".

Anda mungkin juga menyukai