BAB VI
ISLAM DAN STUDI AGAMA:
SEBUAH PELACAKAN SEJARAH
117
Studi Islam di Perguruan Tinggi
118
Islam dan Studi Agama
selama itu pula diapresiasi secara positif namun kritis. Kondisi ini
menyebabkan Islam dan pemikiran yang dikembangkan oleh suatu
masyarakat di wilayah tertentu bisa berlainan bentuk ekspresi dan
karakteristiknya dari masyarakat di wilayah yang lain. Dengan kata lain,
ketika Islam normatif memasuki wilayah kesejarahan, antara yang satu
dengan yang lain akan berbeda eskpresinya. Sebagai contoh, pemikiran
Islam yang berkembang di Timur Tengah dalam babakan sejarah yang
panjang cenderung dikuasai oleh pandangan yang mendudukkan Islam
semata-mata sebagai norma. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari
konteks ajaran Islam yang formulasinya menggunakan instrumentasi
Arab. Kasus India menunjukkan hal yang berbeda; sebagai bagian dari
masyarakat India secara umum, Muslim di negara tersebut, akibat dari
kehidupannya yang masih sulit terhindarkan dari konflik antar agama
dan atau kelompok masyarakat9, pola keberagamaannya mengalami
ekstremisasi. Kasus di dua negara tersebut berbeda dengan kasus yang
terjadi Indonesia; Islam yang berkembang di wilayah ini bisa dikatakan
pula sudah mengalami persemaian dan sekaligus pembuahan dengan
budaya lokal. Hal ini secara sederhana dibuktikan, misalnya, oleh
kasus tahlilan, tingkeban, dan lain-lain. Selain itu, respon kaum Muslim
Indonesia terhadap agama-agama lain yang bersifat teduh, toleran, dan
menjaga nilai harmonisasi sosial dapat dijadikan alat pembukti ke
sekian kali bagi masalah karakteristik Islam di wilayah ini.
Sebagai bukti lebih jauh dari kasus Indonesia, eksistensi
kelompok-kelompok keagamaan sempalan dan atau radikal10 tidak
terlalu mendapatkan tempat di kalangan kaum Muslimin. Kelompok
semacam tersebut jauh dari populer, apalagi untuk dapat melakukan
gerakan yang secara keagamaan dan politik signifikan. Kenyataan ini,
menurut Azyumardi Azra, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
Islam di Indonesia sepanjang sejarahnya tidak pernah mengalami
ekstrimisasi sebagaimana yang dialami kaum Muslimin Timur Tengah.
Perkembangan Islam di wilayah ini pada umumnya berlangsung secara
damai. Kedua, berkenaan dengan faktor pertama tadi, kaum Muslimin
Indonesia pada umumnya adalah orang-orang yang akomodatif, kalau
tidak cenderung dapat dikatakan sinkretik, sehingga ekstrimisme dan
radikalisme tidak populer. Ketiga, Pancasila sebagai dasar negara dan
119
Studi Islam di Perguruan Tinggi
120
Islam dan Studi Agama
121
Studi Islam di Perguruan Tinggi
122
Islam dan Studi Agama
123
Studi Islam di Perguruan Tinggi
124
Islam dan Studi Agama
125
Studi Islam di Perguruan Tinggi
126
Islam dan Studi Agama
127
Studi Islam di Perguruan Tinggi
128
Islam dan Studi Agama
129
Studi Islam di Perguruan Tinggi
130
Islam dan Studi Agama
131
Studi Islam di Perguruan Tinggi
132
Islam dan Studi Agama
133
Studi Islam di Perguruan Tinggi
134
Islam dan Studi Agama
135
Studi Islam di Perguruan Tinggi
136
Islam dan Studi Agama
137
Studi Islam di Perguruan Tinggi
138
Islam dan Studi Agama
139
Studi Islam di Perguruan Tinggi
140
Islam dan Studi Agama
141
Studi Islam di Perguruan Tinggi
142
Islam dan Studi Agama
143
Studi Islam di Perguruan Tinggi
144
Islam dan Studi Agama
145
Studi Islam di Perguruan Tinggi
146
Islam dan Studi Agama
147
Studi Islam di Perguruan Tinggi
yang berbeda dari wajah Islam Timur Tengah dikatakan mereka hanya
pada dataran kultural historis semata akibat proses adaptasi, asimilasi
dan akulturasi dalam jangka waktu yang relatif panjang, bukan pada
dataran substantif doktrinalnya.
Sebagai bukti bahwa proses transmisi keislaman di Indonesia
berlangsung secara unik dan kompleks bisa dijustifikasi melalui proses
belajar mengajar yang berlangsung di lembaga pesantren yang
mengambil bentuk dan modus operandi cukup unik.97 Di daratan
Arab sendiri tidak ditemui padanan istilah pesantren yang secara
terminologis berarti tempat berlangsungnya proses belajar mengajar
antara kyai dan santri di sebuah asrama bersama antara mereka. Istilah
santri sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan berasal dari
bahasa Jawa kuno (Pallawa), cantrik, yang berarti murid atau siswa
yang sedang menuntut ilmu-ilmu kerohanian. Pengadopsian khasanah
budaya domestik ini menjadi legitimasi betapa Islam Indonesia sarat
dengan muatan-muatan material nonIslam yang tidak bisa dijumpai di
negara asalnya, Arab. Keunikan di tingkat budaya ini menjadi penguat
proses pelembagaan kajian keislaman di wilayah nonArab seperti
Indonesia.
Keunikan lain yang bisa dijumpai dari fenomena pesantren
adalah digunakannya bahasa "Arab pegon" (Arab Jawi), yakni
gabungan antara bahasa Jawa yang ditulis dengan karakter huruf Arab
sebagai sarana memahami sejumlah teks-teks kitab kuning yang
berbahasa Arab. Bahkan bahasa Arab pegon ini tidak saja digunakan
di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, tetapi juga digunakan di
dunia Melayu (kini Malaysia, Pattani, dan Brunei Darussalam).98 Tidak
seperti di belahan dunia Islam lainnya, terutama di Timur Tengah yang
tetap menggunakan bahasa Arab sebagai sarana pengkajian keislaman,
tradisi intelektual di Jawa berkembang dalam bahasanya sendiri,
sementara tidak meninggalkan nuansa bahasa Arab sebagai bahasa
penting bagi kajian keislaman secara umum.
Proses pelembagaan kajian Islam dalam pesantren terus
berlangsung seiring dengan terjadinya proses transformasi dan
modernisasi lembaga tradisional ini.99 Proses transformasi dan
modernisasi ini terjadi ketika kolonial Belanda memperkenalkan
148
Islam dan Studi Agama
149
Studi Islam di Perguruan Tinggi
150
Islam dan Studi Agama
151
Studi Islam di Perguruan Tinggi
152
Islam dan Studi Agama
153
Studi Islam di Perguruan Tinggi
154
Islam dan Studi Agama
----000-----
Catatan Akhir:
1992), h. 245.
4 Albert Hourani, A History of the Arab People, (New York: Warner Books,
155
Studi Islam di Perguruan Tinggi
1992), h. 10.
5 Ira M. Lapidus, A history of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1994), h. 13-14.
6 Komaruddin Hidayat, ―Pluralitas Agama dalam Masyarakat Madani,‖
156
Islam dan Studi Agama
Struktur dan Jarak Sosial,‖ dalam Konflik Sosial, ed. Mursyid Ali , h. 2-3.
15 Penjelasan secara panjang lebar mengenai hal tersebut lihat Amal
157
Studi Islam di Perguruan Tinggi
dilakukan oleh Mukti Ali. Lihat Mukti Ali, ―Sambutan Menteri Agama
RI pada Pembukaan Latihan Penelitian Agama tanggal 1 November
1976,‖ seperti dikutip M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktik, cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 35.
36 Mengenai teori yang membahas diskursus agama, baik dalam perspektif
158
Islam dan Studi Agama
h. xi.
46 Schimmel, Islam, h. 29.
47 Fazlur Rahman, Islam, cet. II, (Chicago: The University of Chicago
Scientific Study of Religion, ed. Allan W. Eister, (New York: John Wiley &
Sons, 1974), h. 5-6.
57 Ali, ―Metodologi Ilmu Agama,‖ h. 47.
159
Studi Islam di Perguruan Tinggi
Departemen Agama RI, 1986), 71-75, seperti dikutip oleh Atang Abd.
Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 9-10.
63 Abd. Hakim dan Mubarok, Metodologi Studi Islam, h. 10.
64 Mas‘ud, ―Kajian dan Penelitian Agama,‖ h. 20-21.
65 Mas‘ud, ―Kajian dan Penelitian Agama,‖ h. 15.
66 Lihat Robert N Bellah, ―Preface,‖ dalam Beyond Belief, (New York:
Modern Islamic World, vol. 2, (Oxford & New York: Oxford University
Press, 1995), h. 332.
69 Faisal Ismail, ―Studi Islam di Barat, Fenomena Menarik,‖ dalam
Pengalaman Belajar Islam di Kanada, ed. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta:
Permika dan Titian Ilahi Press, 1997), h. 35.
70 Ismail, ―Studi Islam di Barat,‖ hal. 35-36; Mudzhar, Pendekatan Studi
Islam, h. 24-25.
71 Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, 25; Abd. Hakim dan Mubarok,
160
Islam dan Studi Agama
yang diasuh oleh Issa J. Boullata, Classical Exegesis (Tafsir I), di Institute
of Islamic Studies, McGill University, Canada, semester Summer,
September-Desember 1997.
85 Arthur Jeffery, The Qur‟an as Scripture, (New York: Library of Liberal
Arts 1952). Lihat juga bukunya, Islam: Muhammad and His Religion, (New
York: Library of Liberal Arts, 1958).
86 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, (Baroda: oriental
1996).
161
Studi Islam di Perguruan Tinggi
1994).
91 Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo, (Paris: EHESS, 1994).
92 Clifford Geertz, The Religion of Java, (London: The Free Press of
Glencoe, 1960.)
93 Mark R. Woodward, Islam in Java, Normative Piety and Mysticism in the
East Java.‖ The Journal of Asian Studies, hal. 46:3 (August 1987), h. 533-
54.
96 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press,
1980), h. 45.
97 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985).
98 Anthony Reid, "Introduction," dalam Anthony Reid (ed.), The Making
37-48.
100 Azyumardi Azra, "The Making of Islamic Studies in Indonesia,"
162
Islam dan Studi Agama
163
Studi Islam di Perguruan Tinggi
164