Islam lahir dalam bentuk peradaban yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Islam, meskipun bersifat given, tetap membutuhkan interpretasi dengan kerangka berpikir (manhaj al-fikr) yang dipengaruhi aspek sosiologis- geografis. Perbedaan interpretasi inilah yang mengakibatkan kebudayaan Islam antar kawasan tidak sama. Perbedaan tersebut tidak berarti bahwa Islam bukan agama universal. Fenomena ini justeru menunjukkan bahwa Islam bersifat dinamis, dengan intensitas dan respon yang berbeda, sehingga melahirkan berbagai pemahaman dan aliran yang berbeda pula. Namun perbedaan-perbedaan yang ada tersebut menimbulkan kesadaran, yang diiringi dengan sebuah kesatuan pemahaman, ketika kolonialisme Barat telah mencengkeram dunia Muslim. Kesadaran itu sendiri merupakan hasil dari adanya kontak dan konfrontasi mereka dengan budaya kolonial (colonialism culture), dalam waktu yang cukup lama, baik secara politik, militer, ekonomi, sosial ataupun intelektual. Meskipun pada awalnya lebih bersifat emosional, namun respon tersebut tetap bersifat entusiastik. Respon terhadap kolonialisme inilah, di samping awalnya lebih disebabkan dekadensi moral dalam komunitas Muslim itu sendiri, yang mampu memotivasi para intelektual Muslim untuk mengadakan reinterpretasi doktrin dalam rangka menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Jika alam pikir Islam sebelumnya telah mewarnai periode pembentukan yang melahirkan berbagai aliran dalam Islam, seperti fiqh, tafsir, filsafat, teologi, mistisisme dan periode pembinaan yang mendeskripsikan adanya perpecahan yang menonjol dalam komunitas Muslim, baik yang disebabkan pengaruh negatif dari intervensi alam pikir non- Islam maupun pengaruh destruktif terhadap Islam oleh bangsa Mongol, sebagaimana yang digagas Ibnu Taimiyyah, Gerakan Wahabiyyah, Aliran Sanusiyah dan sebagainya, maka ketika terjadi kontak dengan kolonialisme Barat, alam pikir Islam perlu mengadakan reformasi sebagaimana yang dilakukan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad, Abduh, Sir Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan dan sebagainya. Periode reformasi inilah yang mampu mendorong kelahiran periode modernisasi. Puncak kejayaan peradaban Islam pada akhirnya menemui masa kemundurannya. Hal ini disebabkan adanya krisis spiritualitas dalam komunitas Muslim, yang ditunjukan dengan kemerosotan moral yang merajalela dan taqlid buta yang menjadi kecenderungan berpikir ketika itu. Kemunduran ini diperparah oleh kolonialisme Barat yang membawa komunitas Muslim ke dalam lembah kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan dan keterbelakangan. Keadaan inilah yang hendak dirubah oleh gerakan-gerakan pembaharuan demi menunjukkan superioritas dan supremasi Islam kembali. Jika gerakan revivalisme lebih menekankan perjuangannya untuk mengikis faktor internal, yaitu kemerosotan moral dan taqlid buta, maka gerakan modernisme lebih berorientasi kepada perumusan sikap komunitas Muslim terhadap kolonialisme Barat. Meskipun demikian, keduanya telah mampu menyadarkan komunitas Muslim yang lain untuk menemukan identitas dan kodrat rasional Islam terhadap perubahan- perubahan modern serta sikap anti kolonialisme. Kontribusi positif inilah yang, dalam perkembangannya lebih lanjut, mendorong kelahiran inspirasi nasionalisme untuk merealisasikan kemerdekaan dunia Muslim. Kedua gerakan tersebut, dengan kondisi dan waktu yang berbeda, tentu memiliki perbedaan dalam merealisasikan gagasan-gagasannya. B. Dampak Implementasi Al- Quran Dan Sunnah Dalam Peradaban Islam Setiap generasi mempunyai beban tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Pada masa generasi awal Islam, tanggung jawab sejarah yang diemban adalah membumikan ajaran- ajaran Islam dalam domain segala aspek praktik sosial. Tugas ini secara paripurna telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan dibantu oleh para sahabat. Rasulullah, secara cerdas telah mewujudkan konseptualisasi al- Quran dalam bentuk sunnah dan praktik keseharian yang aplikatif sesuai dengan kadar kebudayaan yang berlaku pada masa itu. Uniknya, apa yang telah diwujudkan oleh Muhammad tersebut merentang jauh sampai saat ini, menembus ruang dan waktu, dan bahkan berlaku di wilayah geografis dengan keragaman kadar kebudayaan. Generasi selanjutnya, para Khulafaur Rasyidin, mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan apa yang telah dimaterialkan oleh Rasulullah, sekaligus menebarkannya ke seluruh penghujung dunia. Tanggung jawab ini diteruskan oleh para khalifah berikutnya sampai pada masa runtuhnya kekhalifahan Islam. Secara resmi, kekhalifahan Islam runtuh pada tanggal 3 Maret 1924 yang ditandai dengan beralihnya kekuasaan Turki Utsmaniyah ke tangan Mustafa Kemal “Attaturk” Pasha. Turki berubah menjadi Republik sekuler. Pada masa- masa tersebut, umat Islam telah menghiasi dunia dengan kecemerlangan kebudayaan yang merentang meliputi wilayah Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, Eropa Tenggara, wilayah Erasia dan Rusia. Sekarang, generasi pasca runtuhnya kekhalifahan, dimana matahari peradaban telah berpindah ke Barat, kaum muslim khususnya mereka yang terpelajar mempunyai amanah untuk merekonstruksi paradigma keilmuan yang saat ini sedang mengalami keruntuhan spiritual. Spiritualisasi keilmuan adalah jihad akbar yang menjadi amanah sejarah kaum muslim di abad ke-21 untuk kembali menghantarkan umat manusia pada kecemerlangan peradaban. Di saat Eropa mengalami masa kegelapan pada abad pertengahan, di Benua lain (Asia) muncul peradaban baru yang sedang tumbuh dan berkembang menuju puncak keemasannya. Peradaban baru ini, sama persis dengan yang terjadi di Eropa pada masa itu merupakan bentuk peradaban ideasional. Jika di Eropa abad pertengahan sumber pengkajian ilmu pengetahuan adalah kitab suci injil, maka di Asia ketika itu adalah kitab suci al- Quran. Kedua peradaban ideasional ini hadir dalam rentang kesejarahan yang hampir bersamaan tetapi menghasilkan sentuhan akhir (finishing touch) peradaban yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Eropa Barat terpuruk dalam kubangan kegelapan. Sementara itu, Asia Barat menjelma menjadi peradaban agung. Di puncak keemasannya, peradaban Asia Barat ini menghasilkan universitas-universitas terbaik dunia. Ilmu pengetahuan berkembang pesat. Ilmu hitung (aljabar), kimia, astronomi, fisika, arsitektur, sastra, kedokteran, etika (akhlak atau adab) berkembang menjadi pilar penyangga peradaban. Kondisi keemasan peradaban Asia Barat (Islam) ini oleh Saunders digambarkan sebagai peradaban yang mampu menghasilkan kedamaian dan keamanan internal. Kemegahan peradaban Asia Barat ini lambat-laun mempengaruhi peradaban Eropa. Gagasan intelektual sebagai produk kebudayaan Asia Barat banyak dipelajari oleh para intelektual Eropa pada masa itu sekaligus membentuk image baru masyarakat Eropa tentang dunia. Eropa yang ketika itu masih terbelakang banyak belajar dari peradaban Asia Barat ini, bahkan dalam hal mandi pun, orang Eropa belajar dari peradaban Islam. Kontribusi besar peradaban Asia Barat (Islam) terhadap kemajuan peradaban Eropa, secara jelas dideskripsikan sebagai berikut, “Ketika kita mencermati segala bentuk konfrontasi antara Kristen dan Islam pada abad pertengahan, jelas bahwa pengaruh Islam terhadap Umat Kristen Barat adalah lebih besar daripada yang selama ini disadari. Islam tidak hanya telah memberi begitu banyak produk material dan penelitian teknologi pada Eropa Barat; Islam juga tidak hanya telah menstimulasi Eropa secara intelektual dalam bidang sains dan filsafat; tetapi (lebih dari itu-pen) Islam telah memprovokasi Eropa ke dalam pembentukan sebuah image baru tentang dirinya sendiri. Karena Eropa selama ini terlalu bereaksi (antipasti-pen) melawan Islam, ia menganggap remeh pengaruh kaum Saraken serta terlalu melebih-lebihkan ketergantungannya pada warisan Yunani dan Romawi. Jadi saat ini, tugas bagi kita, masyarakat Eropa Barat, dalam rangka menuju ke dalam era “satu dunia”, adalah mengoreksi kesalahan sudut pandang ini dan sekaligus memberi penghargaan yang penuh atas hutang kita terhadap Arab dan dunia Islam” Salah satu kontribusi nyata peradaban Timur (Asia Barat atau Islam) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Eropa Barat adalah konsep angka nol (baca: titik), dapat dijelaskan bahwa Nol (0) dalam konsep ilmu hitung Arab ditulis dengan titik (٠), untuk menghilangkan kesan bahwa ilmu hitung Eropa dipengaruhi oleh Islam maka diganti dengan simbol Nol (0). Secara lengkap urutan angka dari 1 s/d 9 dalam sistem Arab adalah: ٠١٢٣٤٥٦ ٧٨٩ merupakan konsep dasar bagi ilmu hitung aljabar yang mana kata al- Jabbar diambil dari salah satu nama-nama indah (al Asma’ al Husna) Allah yang berarti Maha Perkasa. Contoh operasi al Jabbar sederhana sebagai berikut: 2 + 2 = 3 + 1 = 4 + 0 = 2 x 2 = 4 x 1 = 4. Ilmu hitung al- Jabbar dalam tingkatan yang lebih tinggi menghasilkan operasi penghitungan yang jauh lebih rumit dan canggih dibandingkan ilmu hitung ala Romawi yang diwarisi oleh masyarakat Eropa abad pertengahan (Inggris: Algebra). Selama dalam kekuasaan hegemoni gereja, Eropa mewarisi ilmu hitung ala Romawi yang tidak mengenal angka nol atau titik. Hal ini menyebabkan ilmu hitung tidak bisa dioperasikan secara sempurna dan berdampak luas pada stagnansi ilmu pengetahuan. C. Perkembangan Intelektual dan Spiritual Zaman Modern Ilmu pengetahuan menyadarkan para ilmuan tentang sebuah fakta bahwa intelektual dan spiritual adalah dua hal yang terpadu, tak dapat dipisah-pisahkan. Menghilangkan atau mengabaikan spiritualitas dalam ranah ilmu pengetahuan berarti melakukan desakralisasi keilmuan. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan, sekadar lahan untuk melakukan trial and error games, tanpa ada usaha untuk menemukan kebenaran sejati dan karenanya bersifat sakral. Desakralisasi keilmuan atau cara berpikir ini sudah barang tentu secara langsung berdampak pada desakralisasi hingga tata kehidupan yang lebih luas, seperti yang terjadi di Barat pada abad ke-16 hingga abad ke-21 ini. Singkatnya, tanpa spiritualitas ilmu pengetahuan menjadi sekular (the secularization of reason or knowledge), yang berimplikasi menimbulkan sekularisasi pada alam dan kehidupan (the secularization of the cosmos and life). Seyyed Hossein Nasr menyatakannya dengan: “the desacralization of knowledge was related directly to the descralization of cosmos”(desakralisasi pengetahuan berhubungan langsung dengan desakralisasi langit) Bagi para cendekiawan muslim, hal ini merupakan tantangan sekaligus harapan untuk mengembangkan keilmuan berasaskan pada pancaran wahyu. Dalam perspektif yang lebih luas, ilmu pengetahuan adalah fondasi utama dan pertama dalam membangun sebuah peradaban. Ilmu pengetahuan yang didasarkan pada empirisme, seperti telah nyata dieksperimenkan oleh intelektual Eropa, menghasilkan sebuah peradaban inderawi, yang saat ini sedang menuju pada titik nadir keruntuhannya. Sementara itu, ilmu pengetahuan yang berasaskan pada pancaran wahyu dan renungan-renungan abstrak akan menghasilkan bangunan peradaban ideasional. Di sinilah tantangan berat sekaligus harapan yang diemban dan diharapkan dari kaum cendekiawan muslim. Jeritan untuk kembali kepada Islam sejati dengan Al- Quran dan sunnah sebagai dasarnya merupakan tema sentral dalam pemikiran modernis Islam. Salah satu fenomena yang cukup menonjol dalam hal ini adalah hangatnya pembicaraan tentang cendekiawan Muslim. Fenomena mengenai hal ini muncul disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: a. Semakin dirasa pentingnya peran cendekiawan dalam tahapan pembangunan nasional dewasa ini, dengan demikian posisi cendekiawan makin diperhitungkan dibanding masa- masa lampau. b. Timbulnya kesadaran baru di kalangan cendekiawan Muslim sendiri, kesadaran untuk mengaktualkan potensinya ditengahtengah keterbelakngan dan ketinggalan ummat. c. Adanya pergeseran atensi (harapan, kepercayaan, minat, perhatian) masyarakat dan pemerintah dari kekuatan sosial politik praktis ke kekuatan-kekuatan sosial lain, yang diharapkan dapat menunjang kepentingannya. D. Dinamika Islam di Abad 21 Indonesia dikenal sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, artinya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sekalipun tidak disebutkan dalam konstitusi sebagai negara agama. Terlepas dari argumenargumen intelektual sebagian besar rakyat dalam memahami ajaran Islam, baik karena faktor sejarah ataupun kultural, Islam di Indonesia adalah suatu agama yang hidup dan vital, yang kini sedang terlibat dalam proses tranformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas. Prospek Islam di Indonesia nampaknya banyak bergantung pada kemampuan intelektual Muslim, para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam yang lain juga memahami realitas masyarakat mereka, kemudian menghubungkannya dengan ajaranajaran Islam sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Alquran dan Hadits Nabi. Oleh karena itu, perlu kita melihat bagaimana proses transformasi yang terjadi dalam Islam di Indonesia, dari kuantitas menuju kualitas. Hal ini menjadi trend baru Islam abad 20 hingga abad sekarang ini (abad 21). Selain itu, fenomena lain yang cukup menonjol di penghujung abad 20 dan memasuki abad 21, adalah pengaruh globalisasi juga memberikan warna tersendiri pada dinamika organisasi dan pergerakan Islam di Indonesia. Organisasi Islam yang telah mapan secara kultural, struktural maupun institusional yaitu Nahdhlatul Ulama dan Muhammadiyah harus siap bersaing dengan dinamika pergerakan Islam yang semakin berkembang dengan tumbuhnya pergerakan Islam yang mengadopsi atapun menyatakan sebagai bagian ataupun cabang dari organisasi Islam dari luar Indonesia. Diantaranya Hizbut Tahrir, Salafiyah, Jamaah Tabligh, Tarbiyah, ataupun gerakan bawah tanah Jamaah Jihad walaupun kurang menunjukkan eksistensinya dipermukaan. Selanjutnya, pertengahan tahun 2001, nama “Islam Liberal” mulai dikenal luas di Indonesia. Nama itu menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Khususnya kaum Muslim Indonesia. Dengan semboyannya yang indah menawan, “Islam yang membebaskan”, kelompok yang kemudian mengusung bendera “Jaringan Islam Liberal” (JIL) berhasil menarik perhatian banyak kalangan, baik yang pro maupun kontra. Dalam trend Islam awal abad 21, maka kita melihat bahwa ada beberapa kategori, yaitu cendekiawan Muslim, organisasi-organisasi, serta yang masih hangat dibicarakan hingga kini adalah JIL. Ketiga kategori tersebut saling berpacu memberikan pandangan- pandangannya tentang Islam kepada masyarakat. Gerakan modernitas awal dalam sejarah pemikiran Islam menempatkan Islam sebagai fenomena sosiologis yang berubah sesuai dengan peradaban manusia, di samping tentunya tetap merupakan sebuah doktrin. Dalam konteks pemikir-pemikir Arab, Islam dipandang sebagai fakta historis sekaligus sosio-psikologis dengan orientasi pendekatan interpretasi yang liberal. Hal ini menyebabkan perbedaan respon yang diberikan, yang disebabkan oleh (1) kebijakan pemerintah kolonial secara menyeluruh (2) perkembangan pendidikan dan kebudayaan Islam sebelum kolonialisme (3) karakter institusi ulama’ dalam berhubungan dengan pemerintah sebelum kolonialisme (4) posisi suatu negara dengan bangsa kolonial. Namun, sebenarnya perbedaan tersebut dikondisikan oleh sifat intelektualisme Islam periode pertengahan yang seragam, sebagai produk keseragaman pendidikan sistem madrasah yang menakjubkan.
Abraham Maslow, dari hierarki kebutuhan hingga pemenuhan diri: Sebuah perjalanan dalam psikologi humanistik melalui hierarki kebutuhan, motivasi, dan pencapaian potensi manusia sepenuhnya