Anda di halaman 1dari 5

PERADABAN ISLAM ABAD KE 21

A. Kemunduran Umat di Zaman Modern


Islam lahir dalam bentuk peradaban yang bersifat dinamis sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya. Islam, meskipun bersifat given, tetap membutuhkan
interpretasi dengan kerangka berpikir (manhaj al-fikr) yang dipengaruhi aspek sosiologis-
geografis. Perbedaan interpretasi inilah yang mengakibatkan kebudayaan Islam antar
kawasan tidak sama. Perbedaan tersebut tidak berarti bahwa Islam bukan agama universal.
Fenomena ini justeru menunjukkan bahwa Islam bersifat dinamis, dengan intensitas dan
respon yang berbeda, sehingga melahirkan berbagai pemahaman dan aliran yang berbeda
pula. Namun perbedaan-perbedaan yang ada tersebut menimbulkan kesadaran, yang diiringi
dengan sebuah kesatuan pemahaman, ketika kolonialisme Barat telah mencengkeram dunia
Muslim. Kesadaran itu sendiri merupakan hasil dari adanya kontak dan konfrontasi mereka
dengan budaya kolonial (colonialism culture), dalam waktu yang cukup lama, baik secara
politik, militer, ekonomi, sosial ataupun intelektual. Meskipun pada awalnya lebih bersifat
emosional, namun respon tersebut tetap bersifat entusiastik.
Respon terhadap kolonialisme inilah, di samping awalnya lebih disebabkan dekadensi
moral dalam komunitas Muslim itu sendiri, yang mampu memotivasi para intelektual Muslim
untuk mengadakan reinterpretasi doktrin dalam rangka menemukan solusi dari permasalahan
yang dihadapi. Jika alam pikir Islam sebelumnya telah mewarnai periode pembentukan yang
melahirkan berbagai aliran dalam Islam, seperti fiqh, tafsir, filsafat, teologi, mistisisme dan
periode pembinaan yang mendeskripsikan adanya perpecahan yang menonjol dalam
komunitas Muslim, baik yang disebabkan pengaruh negatif dari intervensi alam pikir non-
Islam maupun pengaruh destruktif terhadap Islam oleh bangsa Mongol, sebagaimana yang
digagas Ibnu Taimiyyah, Gerakan Wahabiyyah, Aliran Sanusiyah dan sebagainya, maka
ketika terjadi kontak dengan kolonialisme Barat, alam pikir Islam perlu mengadakan
reformasi sebagaimana yang dilakukan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad, Abduh, Sir
Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan dan sebagainya. Periode reformasi inilah yang
mampu mendorong kelahiran periode modernisasi.
Puncak kejayaan peradaban Islam pada akhirnya menemui masa kemundurannya. Hal
ini disebabkan adanya krisis spiritualitas dalam komunitas Muslim, yang ditunjukan dengan
kemerosotan moral yang merajalela dan taqlid buta yang menjadi kecenderungan berpikir
ketika itu. Kemunduran ini diperparah oleh kolonialisme Barat yang membawa komunitas
Muslim ke dalam lembah kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan dan keterbelakangan.
Keadaan inilah yang hendak dirubah oleh gerakan-gerakan pembaharuan demi menunjukkan
superioritas dan supremasi Islam kembali. Jika gerakan revivalisme lebih menekankan
perjuangannya untuk mengikis faktor internal, yaitu kemerosotan moral dan taqlid buta, maka
gerakan modernisme lebih berorientasi kepada perumusan sikap komunitas Muslim terhadap
kolonialisme Barat. Meskipun demikian, keduanya telah mampu menyadarkan komunitas
Muslim yang lain untuk menemukan identitas dan kodrat rasional Islam terhadap perubahan-
perubahan modern serta sikap anti kolonialisme. Kontribusi positif inilah yang, dalam
perkembangannya lebih lanjut, mendorong kelahiran inspirasi nasionalisme untuk
merealisasikan kemerdekaan dunia Muslim. Kedua gerakan tersebut, dengan kondisi dan
waktu yang berbeda, tentu memiliki perbedaan dalam merealisasikan gagasan-gagasannya.
B. Dampak Implementasi Al- Quran Dan Sunnah Dalam Peradaban Islam
Setiap generasi mempunyai beban tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan
kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Pada masa generasi awal Islam, tanggung jawab
sejarah yang diemban adalah membumikan ajaran- ajaran Islam dalam domain segala aspek
praktik sosial. Tugas ini secara paripurna telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan
dibantu oleh para sahabat. Rasulullah, secara cerdas telah mewujudkan konseptualisasi al-
Quran dalam bentuk sunnah dan praktik keseharian yang aplikatif sesuai dengan kadar
kebudayaan yang berlaku pada masa itu. Uniknya, apa yang telah diwujudkan oleh
Muhammad tersebut merentang jauh sampai saat ini, menembus ruang dan waktu, dan
bahkan berlaku di wilayah geografis dengan keragaman kadar kebudayaan. Generasi
selanjutnya, para Khulafaur Rasyidin, mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan apa
yang telah dimaterialkan oleh Rasulullah, sekaligus menebarkannya ke seluruh penghujung
dunia. Tanggung jawab ini diteruskan oleh para khalifah berikutnya sampai pada masa
runtuhnya kekhalifahan Islam. Secara resmi, kekhalifahan Islam runtuh pada tanggal 3 Maret
1924 yang ditandai dengan beralihnya kekuasaan Turki Utsmaniyah ke tangan Mustafa
Kemal “Attaturk” Pasha. Turki berubah menjadi Republik sekuler. Pada masa- masa tersebut,
umat Islam telah menghiasi dunia dengan kecemerlangan kebudayaan yang merentang
meliputi wilayah Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, Eropa Tenggara,
wilayah Erasia dan Rusia. Sekarang, generasi pasca runtuhnya kekhalifahan, dimana matahari
peradaban telah berpindah ke Barat, kaum muslim khususnya mereka yang terpelajar
mempunyai amanah untuk merekonstruksi paradigma keilmuan yang saat ini sedang
mengalami keruntuhan spiritual. Spiritualisasi keilmuan adalah jihad akbar yang menjadi
amanah sejarah kaum muslim di abad ke-21 untuk kembali menghantarkan umat manusia
pada kecemerlangan peradaban.
Di saat Eropa mengalami masa kegelapan pada abad pertengahan, di Benua lain
(Asia) muncul peradaban baru yang sedang tumbuh dan berkembang menuju puncak
keemasannya. Peradaban baru ini, sama persis dengan yang terjadi di Eropa pada masa itu
merupakan bentuk peradaban ideasional. Jika di Eropa abad pertengahan sumber pengkajian
ilmu pengetahuan adalah kitab suci injil, maka di Asia ketika itu adalah kitab suci al- Quran.
Kedua peradaban ideasional ini hadir dalam rentang kesejarahan yang hampir bersamaan
tetapi menghasilkan sentuhan akhir (finishing touch) peradaban yang berbeda, bahkan
bertolak belakang. Eropa Barat terpuruk dalam kubangan kegelapan. Sementara itu, Asia
Barat menjelma menjadi peradaban agung. Di puncak keemasannya, peradaban Asia Barat ini
menghasilkan universitas-universitas terbaik dunia. Ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Ilmu hitung (aljabar), kimia, astronomi, fisika, arsitektur, sastra, kedokteran, etika (akhlak
atau adab) berkembang menjadi pilar penyangga peradaban. Kondisi keemasan peradaban
Asia Barat (Islam) ini oleh Saunders digambarkan sebagai peradaban yang mampu
menghasilkan kedamaian dan keamanan internal. Kemegahan peradaban Asia Barat ini
lambat-laun mempengaruhi peradaban Eropa. Gagasan intelektual sebagai produk
kebudayaan Asia Barat banyak dipelajari oleh para intelektual Eropa pada masa itu sekaligus
membentuk image baru masyarakat Eropa tentang dunia. Eropa yang ketika itu masih
terbelakang banyak belajar dari peradaban Asia Barat ini, bahkan dalam hal mandi pun, orang
Eropa belajar dari peradaban Islam. Kontribusi besar peradaban Asia Barat (Islam) terhadap
kemajuan peradaban Eropa, secara jelas dideskripsikan sebagai berikut,
“Ketika kita mencermati segala bentuk konfrontasi antara Kristen dan Islam pada
abad pertengahan, jelas bahwa pengaruh Islam terhadap Umat Kristen Barat adalah
lebih besar daripada yang selama ini disadari. Islam tidak hanya telah memberi begitu
banyak produk material dan penelitian teknologi pada Eropa Barat; Islam juga tidak
hanya telah menstimulasi Eropa secara intelektual dalam bidang sains dan filsafat;
tetapi (lebih dari itu-pen) Islam telah memprovokasi Eropa ke dalam pembentukan
sebuah image baru tentang dirinya sendiri. Karena Eropa selama ini terlalu bereaksi
(antipasti-pen) melawan Islam, ia menganggap remeh pengaruh kaum Saraken serta
terlalu melebih-lebihkan ketergantungannya pada warisan Yunani dan Romawi. Jadi
saat ini, tugas bagi kita, masyarakat Eropa Barat, dalam rangka menuju ke dalam era
“satu dunia”, adalah mengoreksi kesalahan sudut pandang ini dan sekaligus memberi
penghargaan yang penuh atas hutang kita terhadap Arab dan dunia Islam”
Salah satu kontribusi nyata peradaban Timur (Asia Barat atau Islam) terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan Eropa Barat adalah konsep angka nol (baca: titik), dapat
dijelaskan bahwa Nol (0) dalam konsep ilmu hitung Arab ditulis dengan titik (٠), untuk
menghilangkan kesan bahwa ilmu hitung Eropa dipengaruhi oleh Islam maka diganti dengan
simbol Nol (0). Secara lengkap urutan angka dari 1 s/d 9 dalam sistem Arab adalah: ٠١٢٣٤٥٦
٧٨٩ merupakan konsep dasar bagi ilmu hitung aljabar yang mana kata al- Jabbar diambil dari
salah satu nama-nama indah (al Asma’ al Husna) Allah yang berarti Maha Perkasa. Contoh
operasi al Jabbar sederhana sebagai berikut: 2 + 2 = 3 + 1 = 4 + 0 = 2 x 2 = 4 x 1 = 4. Ilmu
hitung al- Jabbar dalam tingkatan yang lebih tinggi menghasilkan operasi penghitungan yang
jauh lebih rumit dan canggih dibandingkan ilmu hitung ala Romawi yang diwarisi oleh
masyarakat Eropa abad pertengahan (Inggris: Algebra). Selama dalam kekuasaan hegemoni
gereja, Eropa mewarisi ilmu hitung ala Romawi yang tidak mengenal angka nol atau titik.
Hal ini menyebabkan ilmu hitung tidak bisa dioperasikan secara sempurna dan berdampak
luas pada stagnansi ilmu pengetahuan.
C. Perkembangan Intelektual dan Spiritual Zaman Modern
Ilmu pengetahuan menyadarkan para ilmuan tentang sebuah fakta bahwa intelektual dan
spiritual adalah dua hal yang terpadu, tak dapat dipisah-pisahkan. Menghilangkan atau
mengabaikan spiritualitas dalam ranah ilmu pengetahuan berarti melakukan desakralisasi
keilmuan. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan, sekadar lahan untuk melakukan trial and
error games, tanpa ada usaha untuk menemukan kebenaran sejati dan karenanya bersifat
sakral. Desakralisasi keilmuan atau cara berpikir ini sudah barang tentu secara langsung
berdampak pada desakralisasi hingga tata kehidupan yang lebih luas, seperti yang terjadi di
Barat pada abad ke-16 hingga abad ke-21 ini. Singkatnya, tanpa spiritualitas ilmu
pengetahuan menjadi sekular (the secularization of reason or knowledge), yang berimplikasi
menimbulkan sekularisasi pada alam dan kehidupan (the secularization of the cosmos and
life). Seyyed Hossein Nasr menyatakannya dengan: “the desacralization of knowledge was
related directly to the descralization of cosmos”(desakralisasi pengetahuan berhubungan
langsung dengan desakralisasi langit)
Bagi para cendekiawan muslim, hal ini merupakan tantangan sekaligus harapan untuk
mengembangkan keilmuan berasaskan pada pancaran wahyu. Dalam perspektif yang lebih
luas, ilmu pengetahuan adalah fondasi utama dan pertama dalam membangun sebuah
peradaban. Ilmu pengetahuan yang didasarkan pada empirisme, seperti telah nyata
dieksperimenkan oleh intelektual Eropa, menghasilkan sebuah peradaban inderawi, yang saat
ini sedang menuju pada titik nadir keruntuhannya. Sementara itu, ilmu pengetahuan yang
berasaskan pada pancaran wahyu dan renungan-renungan abstrak akan menghasilkan
bangunan peradaban ideasional. Di sinilah tantangan berat sekaligus harapan yang diemban
dan diharapkan dari kaum cendekiawan muslim.
Jeritan untuk kembali kepada Islam sejati dengan Al- Quran dan sunnah sebagai dasarnya
merupakan tema sentral dalam pemikiran modernis Islam. Salah satu fenomena yang cukup
menonjol dalam hal ini adalah hangatnya pembicaraan tentang cendekiawan Muslim.
Fenomena mengenai hal ini muncul disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain:
a. Semakin dirasa pentingnya peran cendekiawan dalam tahapan pembangunan nasional
dewasa ini, dengan demikian posisi cendekiawan makin diperhitungkan dibanding masa-
masa lampau.
b. Timbulnya kesadaran baru di kalangan cendekiawan Muslim sendiri, kesadaran untuk
mengaktualkan potensinya ditengahtengah keterbelakngan dan ketinggalan ummat.
c. Adanya pergeseran atensi (harapan, kepercayaan, minat, perhatian) masyarakat dan
pemerintah dari kekuatan sosial politik praktis ke kekuatan-kekuatan sosial lain, yang
diharapkan dapat menunjang kepentingannya.
D. Dinamika Islam di Abad 21
Indonesia dikenal sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, artinya mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam, sekalipun tidak disebutkan dalam konstitusi sebagai negara
agama. Terlepas dari argumenargumen intelektual sebagian besar rakyat dalam memahami
ajaran Islam, baik karena faktor sejarah ataupun kultural, Islam di Indonesia adalah suatu
agama yang hidup dan vital, yang kini sedang terlibat dalam proses tranformasi dari posisi
kuantitas ke posisi kualitas. Prospek Islam di Indonesia nampaknya banyak bergantung pada
kemampuan intelektual Muslim, para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam yang lain juga
memahami realitas masyarakat mereka, kemudian menghubungkannya dengan ajaranajaran
Islam sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Alquran dan Hadits Nabi. Oleh karena itu,
perlu kita melihat bagaimana proses transformasi yang terjadi dalam Islam di Indonesia, dari
kuantitas menuju kualitas. Hal ini menjadi trend baru Islam abad 20 hingga abad sekarang ini
(abad 21).
Selain itu, fenomena lain yang cukup menonjol di penghujung abad 20 dan memasuki
abad 21, adalah pengaruh globalisasi juga memberikan warna tersendiri pada dinamika
organisasi dan pergerakan Islam di Indonesia. Organisasi Islam yang telah mapan secara
kultural, struktural maupun institusional yaitu Nahdhlatul Ulama dan Muhammadiyah harus
siap bersaing dengan dinamika pergerakan Islam yang semakin berkembang dengan
tumbuhnya pergerakan Islam yang mengadopsi atapun menyatakan sebagai bagian ataupun
cabang dari organisasi Islam dari luar Indonesia. Diantaranya Hizbut Tahrir, Salafiyah,
Jamaah Tabligh, Tarbiyah, ataupun gerakan bawah tanah Jamaah Jihad walaupun kurang
menunjukkan eksistensinya dipermukaan.
Selanjutnya, pertengahan tahun 2001, nama “Islam Liberal” mulai dikenal luas di
Indonesia. Nama itu menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Khususnya kaum Muslim
Indonesia. Dengan semboyannya yang indah menawan, “Islam yang membebaskan”,
kelompok yang kemudian mengusung bendera “Jaringan Islam Liberal” (JIL) berhasil
menarik perhatian banyak kalangan, baik yang pro maupun kontra. Dalam trend Islam awal
abad 21, maka kita melihat bahwa ada beberapa kategori, yaitu cendekiawan Muslim,
organisasi-organisasi, serta yang masih hangat dibicarakan hingga kini adalah JIL. Ketiga
kategori tersebut saling berpacu memberikan pandangan- pandangannya tentang Islam
kepada masyarakat.
Gerakan modernitas awal dalam sejarah pemikiran Islam menempatkan Islam sebagai
fenomena sosiologis yang berubah sesuai dengan peradaban manusia, di samping tentunya
tetap merupakan sebuah doktrin. Dalam konteks pemikir-pemikir Arab, Islam dipandang
sebagai fakta historis sekaligus sosio-psikologis dengan orientasi pendekatan interpretasi
yang liberal. Hal ini menyebabkan perbedaan respon yang diberikan, yang disebabkan oleh
(1) kebijakan pemerintah kolonial secara menyeluruh (2) perkembangan pendidikan dan
kebudayaan Islam sebelum kolonialisme (3) karakter institusi ulama’ dalam berhubungan
dengan pemerintah sebelum kolonialisme (4) posisi suatu negara dengan bangsa kolonial.
Namun, sebenarnya perbedaan tersebut dikondisikan oleh sifat intelektualisme Islam periode
pertengahan yang seragam, sebagai produk keseragaman pendidikan sistem madrasah yang
menakjubkan.

Anda mungkin juga menyukai