Anda di halaman 1dari 4

REVITALISASI FILSAFAT ISLAM DALAM WACANA KONTEMPORER

Oleh : Husain Heriyanto

Hancurkan dunia sampai berkeping-keping bila tidak sesuai dengan mu Dan ciptakan dunia yang lain dari kedalaman wujudmu Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup Di dunia yang diciptakan oleh manusia lain (Iqbal) PENGANTAR Salah seorang Muslim merdeka yang meyambut imbauan Iqbal di atas adalah Hasan Hanafi. Dia menolak modernitas Barat yang telah menciptakan dunia artifisial, dunia semu yang menghipnotis kaum Muslimin tidur dan rela dalam penindasan dan penjajahan mental, pikiran, budaya, politik dan ekonomi. Keprihatinan Hasan Hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Menurut Hasan Hanafi, membangkitkan semangat Tauhid merupakan suatu keniscayaan. Semangat Tauhid adalah inti dari revolusi Islam, kebangkitan Islam. Namun, pengertian semangat Tauhid tidak direduksi menjadi sekedar slogan-slogan literal yang dangkal-anti rasional sebagaimana dipahami kaum modernis. Revolusi Tauhid, menurut Hasan Hanafi, memiliki tiga (3) pilar, yaitu : 1) revitalisasi khazanah Islam klasik, 2) menentang imperialisme kultur dan peradaban barat; dan 3) analisis atas dunia Islam. Sasaran yang ingin dituju Hasan Hanafi adalah bagaimana kaum Muslimin kembali diperhitungkan dalam sejarah peradaban dunia. Dalam bukunya yang terbit dua tahun setelah Revolusi Islam di Iran 1979, yaitu Kiri Islam, Hasan Hanafi berkata, .. kaum muslimin masuk kembali dalam gerak sejarah setelah Revolusi Islam akbar Iran pada permulaan abad XV H. harapan ini pada dasarnya adalah sesuai dengan misi dan tanggung jawab yang diemban kaum Muslimun sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam Al-Quran Suci : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yagn munkar, dan beriman kepada Allah (Q. S. Ali Imran 110). Respons ad hoc Peradaban modern yang serba pragmatis-materialis dan kecenderungan pemikiran mutakhir yang bergerak menuju chaos, fragmatis, ambigiutas, nihilisme seperti yang melekat pada watak postmoderinisme di satu pihak, dan keterbelakangan kita dalam sosial ekonomi dan tradisi keilmuwan di lain pihak, membuat sebagian besar kaum Muslimin tanggap untuk mengantisipasi tantangan zaman. Kita seakan kapilah tersesat yang tidak mengenal medan gurun pasir di tenah-tengah ancaman serangan binatang buas. Sebagaimana kaum Muslimin mengambil sikap pasrah kepada peradaban barat, beranggapan dunia barat telah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin dunia. Mereka berpartisipasi sepenuhnya dengan nilai-nilai budaya barat sedemikian rupa sehingga identitas dan eksistensi mereka sebagai Muslim luntur dan larut. Sebagian kaum Muslimin lain berespon reaktif, ada yang berbentuk defensif dan ada pula yang mengambik sikap ofensif. Kaum Muslimin yang bereaksi defensif berusaha mengisolasi

diri dari pemikiran-pemikiran barat seraya mempertahankan tradisi secara ketat. Di satu sisi, mereka berhasil menjaga warisan khazanah Islam, namun di lain sisi mereka terjebak ke dalam apa yang disebut M. Arkoun proses taqdis al-afkar al-diniy (pensakralan pemikiran keagamaan). Proses ini terjadi karena hilangnya tradisi keilmuwan yang melatih sikap kritiskomparatif sehingga tidak mampu membedakan meminjam istilah Arkoun aspek normatif yang universal dengan aspek historis kemanusiaan yang relatif. Kaum Nahdatul Ulama (NU) di Indonesia dan kaum Wahabi di Saudi Arabia telah mematok empat mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) dan teologi Asyariyah atau Ibn Taimiyah sebagai ajaran-ajaran suci yang tidak boleh diinterprestasi ulang, apalagi dikritik. Sikap fatalis-non kreatif ini pada gilirannya membuat mereka tidak mampu membendung pengaruh pemikiran dan budaya barat yang pada mulanya ingin mereka hindari, karena nilai-nilai peradaban barat telah menjelma dan tersektruktur dalam sistem pendidikan, ekonomi, politik dan teknologi komunikasi global yang menguasai dunia. Pemimpin kaum ortodoks- meminjam istilah Fazhur Rahman- tersebut akhirnya mengidap penyakit inferiority complex (penyakit mental rendah diri), sehingga betapapun mereka mencoba sok kritis (sampai malah membingungkan umat) tetapi amat ramah dan membebek kepada barat dan pihak asing. Sementara itu, kaum Muslimin yang bereaksi ofensif berusaha bersikap pro aktif terhadap peradaban barat modern dengan menyerap nilai budaya barat yang dianggap sesuai ajaran Islam, misalnya rasionalitas, kritis, progresif, disiplin seraya membuang nilai-nilai barat modern yang bertentangan dengan Islam, seperti individualisme, materialisme, sekulerisme. Mereka juga membuka kembali pintu ijtihad yang diserukan dengan penuh semangat oleh Iqbal sejak awal abad ke-20. Dalam banyak hal, mereka memang berhasil membangun sistem pendidikan dan ekonomi modern yang tidak begitu kalah jauh dari sistem barat. Kaum Muhammadiyah di Indonesia, jamiat Islami di pakistan, Ikhwanul Muslim di Mesir-Syria, atau FIS (Front Penyelamatan Islam) di Aljazair telah melahirkan banyak sarjana dan cendikiawan kritis yang mampu berkomunikasi secara elegan pada level global. Akankah mereka menjadi lokomotif kebangkitan Islam ?. Jawabannya adalah tidak ! mengapa ? Ada satu hal yang teramat penting yang mereka lupakan, yaitu prinsip dissemination of culture (penyebaran, penaburan budaya). Mereka lupa bahwa kebangkitan barat modern sejak abad ke-17 dalam sains dan teknologi tidak lahir dari kevakuman kebudayaan. Sains dan teknologi barat berkembang, secara revolusioner melalui apa yang disebut dengan Revolusi Copernicus yang ditafsirkan secara filosofis sebagai kebangkitan subyektivitas manusia. Filsafat dan sains barat modern lahir dari pemberontakan terhadap tradisi teologi dan nilai-nilai agama seraya memproklamirkan manusia sebagai pengganti Tuhan dalam menguasai alam semesta. Lalu, apa hubungannya dengan prinsip diseminasi kultur ? Sejarawan ternama, Arnold J. toynbee, mengisahkan peristiwa dimintanya ahli-ahli militer barat oleh Turki Utsmani untuk memperkuat Angkatan Laut Turki guna menghadapi Eropa yang di luar dugaan telah memiliki armada yang tangguh. Penasehat dan teknisi militer yang dibayar mahal tersebut bersedia dengan konsesi dibolehkannya keluarga mereka ikut serta e Turki. Konsesi ini pada gilirannya juga memaksa Kerajaan Utsmani membolehkan kehadiran dokter-dokter Eropa guna merawat kesehatan keluarga teknisi militer Eropa tersebut. Dokterdokter Eropa ini sering menggunakan waktu senggangnya untuk menyelidiki kesehatah masyarakat Turki, dan beberapa kali sempat menyelamatkan warga dari penyakit akut. Suatu ketika, dokter Eropa yang kesemuanya laki-laki tersebut menyelamatkan seorang wanita hamil, dan ini berarti melanggar tradisi pergaulan laki-laki dan wanita yang begitu ketat diterapkan di Turki Utsmani ketika itu.

Sebuah diseminasi budaya baru dimulai. Masyarakat Turki segera menyadari keterbelakangannya dalam sains dan teknologi dibanding musuhnya, Eropa. Kesadaran ini memuncak dengan tumbangnya kekhalifahan Turki Utsmani dan berdirinya Republik Turki sekuler yang dipimpin Kemal Mustafa. Pemimpin sekuleristik Turki ini tidak lagi hanya mengundang teknisi barat, tetapi juga mengimpor seluruh bangunan pemikiran barat, termasuk penggantian huruf Arab menjadi huruf Latin. Itulah sebuah kisah diseminasi budaya Barat yang terjadi pada Turki yang kehilangan kepercayaan diri pada tradisi khazanah Islam. Alih-alih menjadi negara kuat yang mampu menyaingi Barat, Turki justru jatuh menjadi negeri sekuler yang mengemis-ngemis kepada Barat untuk diterima sebagai anggota Uni Eropa. Nasib Turki yang tragis tersebut pada level yang lebih rendah juga terjadi pada negaranegara Muslim yang terlena dengan proyek modernisasi Islam tanpa apresiasi terhadap kekayaan khazanah intelektual Muslim sebagai latar belakang budaya mereka. Pakistan, Mesir, Aljazair dan Indonesia adalah negeri-negeri Muslim yang secara politis, ekonomi, pendidikan bergantung kepada Barat. Lebih jauh lagi, nilai-nilai budaya dan peradaban mereka lebih berfungsi sebagai satelit-satelit dari peradaban dunia global Barat. Revitalisasi Filsafat Islam Uraian di muka menggambarkan pentingnya supra-sistem nialai budaya sebagai basis pengembangan sistem-sistem ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan iptek yang bermuatan nilai-nilai Islam. Tanpa latar belakang kesadaran budaya dan world-view Islam yang kokoh, program Islamisasi apa pun akan menemui kebuntuan. Nilai-nilai Islam bukanlah sebuah produk manufaktur yang instan sehingga dapat diamalkan begitu saja tanpa basis diskursus intelektualepistemologis yang matang. Sebagai contoh, program Islamisasi ilmu pengetahuan yang dikumandangkan sesuai Konperensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam tahun 1977 sampai kini belum berjalan seperti yang diharapkan. Konsep Islamisasi sains yang ditawarkan Ismail Raji Al-Fariqi dengan mensintesikan ilmu-ilmu tradisional Islam ke dalam buku-buku daras sains modern mendapat kritikan tajam dari sarjana Muslim sendiri. Yang dilakukan Al-Faruqi tidak lebih dari mencangkokan kepingan-kepingan ilmu Islam ke dalam kultur organis sains modern, tanpa menawarkan pradigma positivisme yang merupakan fundasi sains (epistemologi) Barat modern sama sekali tidak digubris, padahal pokok persoalan Islamisasi sains justru terletak pada bagaimana kita memanfaatkan sains sebagai salah satu unsur dalam stuktur pengetahuan Islam dalam menyikap realitas. Dengan demikian, program Islamisasi sains tidak akan berjalan tanpa didahului pengkajian epeistemologi (filsafat pengetahuan) Islam. Studi epistemologi Islam pada gilirannya juga menuntut studi ontologi-metafisika Islam, yaitu mengenai pandangan Islam tentang realitas dari prinsip-prinsip kemaujudan> Oleh karena itu, Munawar A. Anees menyambut gembira usaha Sayyed Hossein Nasr memperkenalkan citra baru sains Islam yang ditopang olehelaborasi khazanah filsafat Islam klasik. Nasr dalam bukunya The Encounter of Man and Nature : The Crisis of Modern Man berhasil meluluhlantakkan argumen-argumen yang memandang sains barat modern sebagai bebas nilai. Sains modern, IPA maupun IPS ternyata sarat dengan bias ideologi Barat.

Urgensi menghidupkan kembali filsafat Islam kian terasa jika disadari bahwa nilai-nilai materialisme, agnostisme dan positivisme peradaban Barat telah menjadi gurita dalam struktur kehidupan modern. Nilai-nilai yang mengikis fitrah kita sebagai manusia hanif (gandrung kepada kebenaran) tersebut bukan saja telah memasuki kamar-kamar tidur melalui TV, ruang-ruang kelas, perkantoran, pasar, kampus dan masjid, tapi juga telah membentuk pola berpikir kita memandang dunia. Nilai-nilai yang meracuni Tauhid ini memang subtil (halus), hampir tak nampak, sama halnya dengan sabda Nabi SAW : Kemusyikan itu halus, dan tidak nampak bagaikan semut hitam berjalan di atas batu pada kegelapan malam . Sebagaimana bahwa hanya orang-orang yang memiliki pandangan Tauhid mendalam saja yang dapat melihat kemusyrikan itu, demikian pula halnya, hanya orang-orang yang memahami filsafat Islam dan Barat saja yang dapat melihat penjajahan mental kaum Muslimin oleh nilai-nilai Barat. Sebuah contoh sebagaimana kaum Muslimin terjajah secara mental oleh Barat adalah keberhasilan Barat nemanamkan pandangan bahwa negara-negara Barat adalah Dunia pertama, negara-negara maju, sementara negara-negara Islam adalah Dunia Ketiga, negara-negara berkembang. Penggunaan istilah dunia ketiga mengesankan kita hanyalah ibarat penumpang dalam kapal yang dinahkodai Barat; duni ini milik Barat, kita harus ikut bersamanya jika ingin selamat mengarungi lautan dunia. Negara-negara Barat adalah negara maju yang menjadi model, standar dan referensi kita dalam tujuan-tujuan ekonomi, demokrasi, pendidikan, iptek, dan peradaban. Oleh karena itu, pembangunan negara kita yang dikatagiorikan sebagai negara berkembang harus mengacu kepada ukuran-ukuran, kriteria-kriteria, dan indekator-indekator yang diterapkan Barat melalui lembaga-lembaga internasional yang mereka bentuk, seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Amnesti International dan sebagainya. Pada gilirannya, pranata sosial ekonomi, politik dan hukum negara kita terpaksa dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan struktur pada pranata induk semang Barat. Maka, nasib ekonomi kita menjadi sangat tergantung kepada pasar internasional kapitalistik yang setiap saat membutuhkan tumbal agar roda ekonomi dunia berjalan. Krisis yang kita alami adalah sebuah contoh betapa lembaran-lembaran kertas dolar dapat mengobrak-abrik perekonomian kita dan menguras kekayaan alam kita yang menjadi begitu murah. Betapa berkuasanya sistem perekonomian dunia kapitalistik, sehingga dapat mengendalikan harga barang-barang negara dunia ketiga semua mereka hanya melalui permainan valuta asing. Penjajahan ekonomi ini bersumber dari penjajahan budaya, penjajahan mental pikiran, penjajahan pandangan hidup. Penutup Api yang berkobar pada jiwa eksistensialis Iqbal seperti yang terbaca pada kutipan syairnya pada pembuka tulisan ini dapat ditranformasikan ke dalam bentuk gerakan kebangkitan kebudayaan dan peradaban Islam. Kita memiliki kekayaan khazanah pengetahuan filsafat Islam yang belum banyak digali kembangkan. Karya-karya besar saintis dan filusuf Muslim seperti AlFarabi, Ikhwan al-Shafa, Ibn Sina, Al-Haitsam, Al-Biruni, Umar Khayyan, Ibn Nafis, Ath-Thusi, Quthbuddin Syirazi, Shurawardi dan Mulla Shadra masih tersimpan rapi dalam manuskripmanuskrip asli mereka. Agar revitalisasi filsafat Islam dapat beromunikasi dan berdialog dengan wacana kontemporer,maka kita membutuhkan filsuf Muslim yang juga menguasai filsafat barat modern/postmodern. Sarjana-sarjana seperti Hossein Nasr denfgan filsafat perennilnya, M. Arkoun dengan logosfer-hermeunetiknya, Mehdi Hairi Yazdi dengan epistemologi knowlegdge by prensence-nya dan Hasan Hanafi dengan semangat Tauhidnya adalah sejumlah kecil filsuf Muslim yang dapat menjadi likomotif diskursus filsafat Islam secara kontemporer sebagai fundasi rumah peradaban Islam.

Anda mungkin juga menyukai