Anda di halaman 1dari 16

Bahan Presentasi

Halaqah Kebangsaan
Islam Wasathiyah Menolak Komunisme dan Terorisme
Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon (STAIC)
Cirebon, 28 Desember 2016
Pendahuluan
Reformasi yang terjadi di Indonesia telah membuka
masuknya arus liberalisme. Akibatnya terjadi kontestasi
ideologi dan gerakan sosial bebas dan brutal tanpa kendali
dan kontrol.
Di satu sisi, kondisi ini menghilangkan sekat-sekat kultural,
ideologis bahkan teologis sehingga menghancurkan norma,
nilai dan etika yang menjadi pijakan sekaligus sistem
kontrol dalam kehidupan. Di sisi lain menimbulkan arus
balik yang ditandai dengan menguatnya sentimen
primordian dan SARA sebagai bunker pelindung atas
desakan arus liberalisme. Kondisi ini sangat berhaya karena
bisa mengarah pada terjadinya benturan ideologi yang
berujung pada munculnya konflik sosial dan kondisi
anomi
Posisi dan Kondisi Kekinian
Posisi Indonesia saat ini berada dalam pusaran global karena banyaknya
kepentingan global yang sedang bermain di Idonesia dengan
pertimbangan tiga aspek utama: geografis (untuk kepentingan
pertahanan dan geopolitik Internasional); demografis (kepentigan
pasar) dan sumberdaya alam (kepentingan material/ekonomi)

Dalam posisi seperti ini, kondisi Indonesia saat ini seperti Padang
Kurusetro, medan pertempuran Bharata Yuda dalam kisah Mahabarata.
Bahkan lebih rumit dan complicated karena pertarungan yang terjadi
tidak hanya bipolar (Pandawa vs Kurawa) tetapi multy polar; Ideologi
(komunisme, kapitalisme, materialisme, fundamentalisme), budaya
(pragmatis, konsumeris, tradisionalis, modernis) dan agama (puritan,
ekstrim, mederat). Diantara ekspresi pertarungan multy polar adalah
munculnya gerakan Komunisme dan Terorisme di Indonesia
Islam Wasathiyah Sebagai Benteng
Pertahanan
Sebagai negara berke-Tuhanan (bukan negara agama),
maka agama menjadi sesuatu yang vital dan memiliki peran
strategis dalam menghadapi tantangan, meski harus diakui
agama juga bisa menjadi problem dan pemicu konflik jika
dipahami secara tidak tepat.
Sebagai negara yang mayoritas muslim, Islam memiliki
peran penting dalam menghadapi gerakan Komunisme dan
Teorisme. Namun demikian hal ini harus selektif, tidak
semua faham Islam bisa digunakan sebagai benteng
menolak Komunisme dan terorisme karena ada gerakan
fundamentalis yang menebarkan teror atas nama Islam.
Atas dasar ini maka yang paling tepat menolak Komunisme
dan terorisme adalah Islam Wasathiyah
Pengertian Islam Wasathiyah
Islam Wasathiyah adalah Islam yang tidak ekstrim atau anti
ekstrimitas. Menolak berbagai tindakan dan pemikiran ekstrim yang
bisa merusak tatanan dan menimbulkan kemadharatan. Berdiri tegak
di tengah untuk menjaga keadilan demi terwujudnya kemaslahatan.
Istilah ini dipopulerkan oleh Yusuf Qardawi yang berasumsi bahwa
semua prinsip dasar agama Islam baik aqidah, syariah maupun akhlak
dilandasi atas nilai wasatiyah.
Dari sisi ayat qauliyahIslam wasathiyah berpijak pada QS. Al-Baqarah;
143 yang menyebut ummatan wasthan sebagai type ideal ummat yang
mampu berdiri tegak di tengah-tengah dalam menjaga dan
menegakkan keadilan. Karakter wasathiyah ini kemudian dijelaskan
dalam QS. Ali Imran; 110 yang menyatakan maksud ummatan wasatha
adalah khoira ummah (umat terbaik). Hampir semua ahli tafsir
sepakat bahwa wasathiyah mengandung makna yang terbaik, yang
ideal, yang seimbang, yang proposional (A. Suharto, 2014).
Dari ayat kauniyah pijakan Islam wasthiyah adalah tatanan alam
semesta yang bisa berjalan secara baik karena ada harmoni dan
keseimbangan.
Karakter Dasar Islam Wasathiyah
Fleksibel dan elastis namun tegas; menerima dan bisa
menyesuaikan kondisi pada hal-hal yang bersifat furuiyah
dan muamalah (kultural) namun bersikap tegas terhadap
hal-hal yang bersifat mendasar (Ushul) dan prinsip
(teologis).
Mengedepankan kearifan dan akhlak dalama menerapkan
ajaran Islam termasuk dalam menjalankan syariah Islam.
Menolak tindakan dan pemikiran ekstrim karena hal ini
bisa menyebabakan terjadinya ketidak adilan. Sikap dan
pandangan yang ekstrim akan membuat manusia terjebak
hanya pada satu sisi, mengabaikan dan menutup sisi yang
lain sehingga tidak bisa bersikap seimbang dan adil.
Akar Historis Kultural IW di Nusantara
Dalam konteks Indonesia, akar historis kultural Islam Wasthiyah (IW)
bisa dilihat pada gerakan Walisongo dalam proses Islamisasi
Nusantara/Jawa (Agus Sunyoto, 2011). Gerakan dakwah Walisongo
inilah yang kemudian menghasilkan suatu konstruksi budaya dan
pemikiran yang dikenal dengan Islam Nusantara
IW merupakan bagian strategi dakwah yang menjadi solusi atas
kevakuman penyebaran Islam di Nusantara selama hampir 8 abad.
Sejarah munjukkan Islam masuk Nusantara akhir abad ke 7 (Harry W.
Hazard, 1954; Gerini, 1909; Sayed Naguib Al Attas,1976) dan awal abad
ke 8 (M. Junus Djamil dan H. Anas M. Yunus, 2005; Hamka, 1996 dan
A. Hasjmy, 1990). Namun demikian Islam baru bisa diterima dan
berkembang pada abad ke 15, pada era Walisongo (lih. Catatan
Marcopolo dalam Larner, 1999).
Islam Wasathiyah Dalam Islam
Nusantara
Islam Nusantara (IN) adalah cara memahami dan
mengajarkan Islam dari dalil dan sumbernya yang otentik
dengan menggunkan konstruk keilmuan yang diproduksi
ulama Nusantara yang sesuai dengan teritori, kondisi
alam, tradisi dan konstruk budaya Nusantara agar Islam
lebih mudah dipahami dan diamalkan (Ahmad Baso, 2015).
Islam Nusantara bertumpu pada empat nilai dasar yang
sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Nusantara
yang beragam yaitu; Tawassuth/wasathiyah, tasammuh,
tawazzun dan Itidal. Jelas di sini terlihat Wasathiyah
merupakan bagian dari Islam Nusantara. Ini artinya IW
memiliki akar sosio-kultural yang kuat di bumi Nusantara
Efektivitas dan Daya Tahan IW
Sejarah menunjukan IW sebagai bagian dari IN memiliki
kemampuan yang efektif sebagai sarana menyebarkan dan
mengajarkan ajaran Islam. Selain itu IW mampu meningkatkan
daya tahan ummat Islam Nusantara dari berbagai gempuran
peradaban dan tekanan kolonial. Lebih dari 3,5 abad ummat Islam
mengalami kekalahan dan hidup dalam tekanan kolonial tapi tidak
mampu meluluhkan keislaman bangsa Nusantara, padahal usia
ummat Islam pada saat itu belum sampe satu abad ketika kaum
kolonial memasuki Nusantara. Bandingkan dengan Islam Spanyol
yang langsung hilang dan kembali ke kayakinan semula ketika
Islam tidak berkuasa, meskipun Islam sudah tertanam hampir 6
abad di Spanyol. Ini artinya Islam Nusantara yang wasathiyah yang
berbasis pada kekuatan kultural lebih memiliki daya tahan
menghadapi tekanan dan perubahan dibanding dengan Islam
politik yang berbasis pada kekuasaan.
IW dan Terorisme
Secara paradigmatik filosofis terjadi hubungan yang
kontraditif antara terorisme dan IW, karena terorisme
merupakan ekspresi sikap ekstrim sedangkan IW ekspresi
sikap anti ekstrimisme. Dengan demikian secara intrinsik
dan instinktif IW yang merupakan antitesa dari
ekstrimisme akan menolak dan menentang terorisme,
sehingga IW bisa menjadi spirit melawan terorisme.
Selain itu IW lebih compatble (sesuai) dengan budaya
Nusantara yang harmoni dan toleran sehingga lebih
mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Ini artinya IW
juga memiliki legitimasi kultural sehingga lebih memiliki
nilai strategis untuk menolak dan melawan teorisme yang
tidak sesuai dengan kultur Nusantara.
IW dan Komunisme
IW akan bisa menjadi isntrumen efektif untuk menolak
Komunisme jika Komunisme menggunakan cara-cara ekstrim
seperti anarkhi dan teror. Tetapi jika kemunis menggunakan cara
kultural maka IW harus dijabarkan dalam bentuk strategi
kebudayaan yang operasional dan fungsional agar mebisa
menolak komunis secara efektif dan akurat.
Dalam konteks Indonesia ketika Komunis menggunakan strategi
kultural justru bisa menarik simpati ummat seperti tercermin
dalam gerakan SI Merah yang mampu menggerakkan pemimpin
dan ummat Islam menerima ajaran Komunisme (Syamsul Bakri,
2015), Pemberontakan Komunis Banten yang banyak melibatkan
kyai thareqah (Michael William C. 2003; Salim Makmun, 1970),
Pemberontakan Komunis Silungkang yang juga melibatkan para
tokoh Islam (zed Mestika, 2004) dan sebaginya.
Strategi Kultural IW
Agar bisa menghadapi gerakan kultural Komunis, maka IW
harus menggunakan pendekatan budaya dan tetap menjadi
bagian dari gerakan Islam Nusantara. Ini artinya pola gerakan
Walisongo, ulama-ulama Nusantara dan kyai-kyai yang
terlibat dalam pergulatan ideologi saat pendirian bangsa
yang lebih mengutamakan kearifan dan akhlakul karimah
serta menempatkan syariah formal secara proporsional harus
menjadi pijakan utama dalam merumuskan strategi gerakan
dan mengaktualisasikan IW. Dengan cara IW akan bisa
menjadi instrumen menolak Komunisme karena pendekatan
kebudayaan akan menumbuhkan pemikiran kreatif yang
konvergen hingga melahirkan gerakan yang sulit dipatahkan.
Sebaliknya jika IW hanya berorieantasi pada syariah yang
legal formal simbolik maka akan terjebak dalam gerakan
reaksioner yang mudah justru dipatahkan
Kembali Ke Akar Sejarah dan Tradisi
Untuk memperkuat strategi kebudayaan IW agar memiliki
daya tahan yang kokoh dalam menolak Komunisme dan
terorisme maka perlu pemahaman yang kuat terhadap
sejarah keislaman dan kenusantaraan. Sejarah ini inilah
yang akan menjadi referensi hidup (marojiul hayah)
sekaligus sumber pengetahuan (resources) untuk
diaktualisasikan dalam menghadapi pertarungan.
Kedua memahami akar-akar tradisi sebagai jangkar dan
spirit agar tidak mudah hanyut dan larut dalam tekanan
arus dan silau oleh kenyataan. Dengan berbekal pada
kedua hal inilah Walisongo dan Ulama Nusantara mampu
melahirkan berbagai macam karya budaya dan pemikiran
hingga bisa bertahan menghadapi tekanan dan tampil
menjadi pemenang.
Daftar Pustaka
Agus Sunyoto (2011), Atlas Wali Songo, Tangerang, Transpustaka

Ahmad Suharto (2014), Ayat-ayat Perjuangan, Pnorogo, Pustaka pesantren Gontor

Al-Faruqi, Ismail, R. (1986). The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan publishing company.

Baso, Ahmad (2015), Islam Nusantara; Ijtihad Jenius dan Ijma Ulama Indonesia, Tangerang Selatan,
Pustaka Afid

Djamil, M. Junus dan H. Anas M. Yunus. (2005). Gerakan Kebangkitan Aceh (Kumpulan Sejarah
Muhammad Junus Djamil). CV. Jaya Mukti, Bandung

G. E. Gerini (1909), Researches on Ptolemy's geography of Eastern Asia (further India and Indo-Malay
archipelago), London, Royal Asiatic Society, Asiatic Society Monographs, vol.1

Hamka, (1996), Sejarah Ummat Islam, Published by Pustaka Nasional Pte. Ltd. Singapura

Hasjmy, Ali, (1990), Sejarah kabudayaan Islam di Indonesia. Bulan Bintang, Banda Aceh:

Harry W. Hazard (1954), Atlas of Islamic History , Princeton, N.J. : Princeton University
Daftar Pustaka
Larner, John. (1999) Marco Polo and the Discovery of the World. (New Haven: Yale
University Press,.

Mestika Zed (2004) Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di
Sumatera Barat
Yogyakarta, Syarikat

Salim, Makmun (1970), Suatu Tinjauan Tentang Peranan Adjaran Islam Dalam
Pemberontakan Nopember 1926 di Banten, makalah yang dipresentasikan dalam Seminar
Sedjarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970 di Yogyakarta

Sayed Naguib Al Attas (1976), A General Theory of The Islamization of The Malay
Archipelago, Profils of Malay Culture, Historiagraphy, Religion, and Politics, Sartono
Kartodirdjo (Ed.),Jakarta, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Syamsul Bakri (2015), Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-194, Yogyajarta, LKiS

William, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit; Pemberontakan Komunis 1926
di Banten. Terj. Yogyakarta: Syarikat
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai