BER-ASWAJA DI PMII
Dengan tetap komitmen terhadap prinsip Al-Muhafadzatu 'alal-Qadimisshalih Wal
Akhdzu Bil Jadidil-Ashlah, yang artinya "Menjaga/memelihara hal-hal lama yang baik, dan
mengambil/mencari (discover) hal-hal baru yang lebih baik". Dengan prinsip (yang populer di
kalangan Nahdhiyyin) ini, PMII tegas untuk selalu memiliki sikap dan main-stream gerakan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai universal (humanisme), dinamika kemasyarakatan (sosio-kultural)
dan selalu kritis pada setiap perkembangan dan realitas yang terjadi di lingkungan mikro,
maupun makro masyarakat indonesia.
Mengenai akuntabelitas (keajegan) Aswaja dalam konteks korelasinya dengan islam,
Fajrul Falakh dalam buku penjelasan tentang NDP PMII, dia berasumsi bahwa Dalam upaya
memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Aswaja sebagai
Metoda, Aswaja dalam pengertian metoda tersebut adalah seperti ditegaskan Nabi Muhammad
Saw. "Ma Ana Alaihi Wa Ash-Haby", artinya Aswaja memiliki karakter seimbang dalam
berbagai aspek. Oleh karena itu, PMII meyakini bahwa Aswaja adalah pendekatan yang terbaik
dalam membuktikan dan mengamalkan kebenaran Islam.
Lebih praksisnya, PMII memiliki versi sendiri mengenai poin-poin prinsip Aswaja
sebagai acuan nilai ke-Islam-an dalam setiap sikap dan main-stream gerakannya. Poin-poin
prinsip tersebut adalah :
Maka disini dibutuhkan satu nilai lagi, yang dalam pendangan penulis sangatlah vital
untuk membuktikan adanya komitmen idealisme PMII sebagai salah satu elemen Gerakan
Mahasiswa di Republik Indonesia tercinta ini. Prinsip yang dimaksud adalahPrinsip At-
Taghayyur Al-Ijtima'iy (transformasi-sosial), yakni komitmen untuk terus mendorong terciptanya
perubahan positif bagi setiap entitas individu dan sosial masyarakat indonesia. Baik dalam aspek
sosial-budaya, ekonomi, politik dan agama, yang pada akhirnya diharapkan mampu mendorong
laju peradaban bangsa ini ke taraf yang lebih baik, dan terus mem-baik (good-better 'n be the
best), Amiiin!!!
* Mantan Koord. Dept. Kajian keilmuan Komisariat dan sekarang menjabat sebagai
Sekretaris Umum PC PMII Jombang
MEMAHAMI SEJARAH DAN MAKNA FILOSOFIS PMII 1)
Oleh : PKC PMII jatim
Historisitas PMII
PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam
bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah
lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri
buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak
muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena,
kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak
organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi,
SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah.
Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang
sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada
akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu
bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir
saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip
berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU
belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai
diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian
dep[artemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri
bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam
sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah(Sekarang UNSURI) Surabaya.
Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada
mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan
dan bukan ilmu untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960.
Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ).
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi
lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ) , bahwa HMI sudah berpihak
pada salah satu golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi, sehinggga wajar
kalau mahasiswa NU di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan
bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI
dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.
Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:
Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang
ada di Perguruan Tinggi .
PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim ( NU ) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi
underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan mahasiswa.
Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan
paham mereka ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap
menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.
Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung
dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang
memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang
sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir,
bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan
menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah
Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi
pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari
proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini
terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur,
taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati
secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta
bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga,
bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu,
menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun
tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang
berlandaskanPancasila.
APA itu identitas PMII, seperti empat huruf kata ‘PMII’, yaitu Suatu wadah atau perkumpulan organisasi kemahasiswaan
dengan label ‘Pergerakan’ yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan:
Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang;
1)Bertaqwa kepada Allah swt
2)Berbudi luhur
3)Berilmu
4)Cakap, dan
5)Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (Bab IV AD PMII)
Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna, yang kamil, yaitu mahluk Ulul Albab.
Kata ‘Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia’ jika diudar lebih lanjut adalah:
1.Pergerakan bisa didefinisikan sebagai ‘lalu-lintas gerak’, gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik
dari ordinat A ke ordinat B. Jadi ‘Pergerakan’ melampaui ‘gerak’ itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang
terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada
Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke
Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan
gawang dan …… Itu yang namanya pergerakan bola. Kesimpulannya, pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh
stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalaam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif
adalah kepekaan dan kekritisan, dan kekritisan butuh kecerdasan.
Kenapa ‘Pergerakan’ bukan ‘Perhimpunan’?, kalau berhimpun terus kapan bergeraknya….. Artinya bahwa, ‘pergerakan’
bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/organisasi tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu
sendiri.
2.Mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan
yang melekat, mahasiswa sebagai ‘wakil’ rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijaakan penguasa dll
3.Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasam sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang
berlandaskan agama. Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam ditambah dengan rujukan
selanjutnya, sunnah nabi dan para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah
waljama’ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja –dengan varian didalamnya– sebagai
landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
4.Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata ‘Indonesia’ pada organisasi ini, tidak lain untuk
menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan
nasionalis, punya tanggung-jawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami
sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang.
(kalo’ mencari organisasi mahasiswa yang nasionalis dan agamis maka pilihan itu jatuh pada PMII)
Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia, yang mendasarkan pada agama Islam dan
sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan.
Islam-Indonesia (dua kata digabung) juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/Indonesia, Islam
Indonesia adalah Islam lokal –bukan Islam Arab secara persis–, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang
‘bersinkretisme’ dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan
ajaran aswaja.
Kesimpulaan:
Identitas PMII adalah Keislaman dan Keindonesia (kebangsaan)
Kata Kunci: Pergerakan, Mahasiswa, Islam, dan Indonesia
Pada paruh kedua abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok intelektual ‘kiri’ Eropa yang
mendasari new-left movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok madhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas
bahwa perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya.
Kritik itu seputar perannya sebagai ‘wadah’ atau ‘tempat’ kebenaraan atau bahkan sebagai ‘sumber’ kebenaran itu sendiri,
yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang dianggaab sebaagaai laandasan kebenaaran yang paling fundaamental (mendasar) makanya tidak
terlalu salah bila ddisebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya
kemudiaan ideologi ada tidak bebas dari kepentingan –prinsip peng-ada-an; sesuatu materi diciptakan/diadakan pasti
punya maksud dan tujuan–, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada
pengistemewaan/pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi
tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya, tujuaan ‘hanya kekuasaan’
misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki ummat,
ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak
menindas sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya ideologi masih diperlukan.
Dibawa dalam ranah PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya –yang pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai
identitas PMII– yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan
materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam qonun azasi di PMII atau itu tadi yang disebut…
Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola
relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan
manusia, antar manusia dan antara manusia dengan sekelilingnya.
Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP
dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Sublimasi ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal,
transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang
dimaksud bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus disadari bahwa sungguhpun Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia juga menampakkan diri
sebagai entitas dengan identitas sangat kultural, antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradoks —-atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition—
menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang
ganda itu mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan lil alamin.
Dari sini, mengharuskan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai salah satu sublimasi identitas
kelembagaan. Ini berarti, PMII menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap meyakini universalitas,
transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan
sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam
dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap
gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong,
berada diawang-awang dan jauh dari latar sosial dan bahkan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri dalam satu
ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu
menempatkan identitas besar itu menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan terhadap
lingkungan besarnya, “Indonesia”. Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan
yang selalu relevant, realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII
dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi,
lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan
normatif, melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi
institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan
melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu
mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaanya.
Endingnya, proses yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium
pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang tidak
hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia beriman yang normatif dan verbalis, melainkan
juga sebagai believer kreatif dan membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mengujudkan PMII
secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulil albab.
Kesimpulan:
1.Landasan teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
2.Identitas filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi transformatif dan Ruang ke-
Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.
3.Tranformasi dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan tampilnya identitas personal dan
kelembagaan yang ulil albab.
I.Bentuk
Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
5 (lima) bintang sebelah atas, menggambarkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (Khulafa’ur Rasyidin)
4 (empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat madzhab yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
9 (sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti ganda, yaitu:
a.Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat imam madzhab ASWAJA itu laksana bintang yang selalu
bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
b.Sembilan bintnag juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam di Indonesia yang disebut Wali
Songo.
II.Warna
biru, sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan,
biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan wawasan
nusantara.
Biru muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu, budi pekerti dan taqwa.
kuning, sebagaimana perisai sebelah atas, berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang
kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.
Wallahu A’lam
“Etik Aswaja” bukanlah adaptasi terhadap apa yang ditemukan Max Weber dalam nilai-nilai sekte Kalvinis
dan Lutheran dalam agama Protestan yang menjadi landasan kultural bagi berkembangnya etos
kapitalisme di Barat. Bukan pula ia mengemban semangat “Protestantisme Islam” yang didengungkan
kalangan modernis Islam beberapa tahun lalu untuk mendorong dan melegitimasi semangat kapitalisme
dalam Islam.
Namun demikian kami meyakini bahwa “Etik Aswaja” yang mau kita gali sungguh-sungguh dari gugusan
nilai-nilai dalam tradisi Islam Aswaja dan kita hayati, kita pedomani serta lalu kita amalkan secara
sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan tuntunan kemaslahatan dalam semua
bidang kehidupan. Bidang-bidang ini bukan hanya meliputi kehidupan ekonomi an sich, tetapi juga
kemasyarakatan, kepolitikan, kebudayaan, kebangsaan, kenegaraan dan keagamaan.
Nilai-nilai ini kita gali dari “Qanun Asasy”-nya Syekh Hasyim Asy’ari, “Khittah Nahdliyah”-nya Kiai Ahmad
Siddiq, “Fiqih sebagai Etika Sosial”-nya Kiai Sahal Mahfudz, “Tasawuf sebagai Kritik Sosial”-nya Pak Said
Aqil Siraj, pesan kemandirian “Pesantren sebagai Subkultur” dan “Republik Bumi di Surga”-nya Kiai
Abdurrahman Wahid, “Agama Keadilan”-nya Pak Masdar F Mas’udi, “Arus Balik Kaum Pinggiran”-nya
Muhaimin Iskandar hingga “NU Studies”-nya Ahmad Baso. Nilai-nilai itu juga kita gali dari sikap dan
tindakan para kiai dan cendekiawan umat, komitmen kemanusiaan dan pengabdian para pekerja sosial,
hingga sikap konsistensi birokrat dan para politisi yang jujur. Tak lupa nilai-nilai itu kita timba dari
semangat demonstrasi mahasiswa anti-kedzaliman, teriakan pengunjuk rasa antiglobalisasi neoliberal
hingga suara kaum subaltern yang tak pernah didengarkan dan pengalaman hidup para korban yang
dipinggirkan. Inilah sumber refleksi tak terbatas dari “Etik Aswaja” dalam PMII yang hendak dirumuskan.
Ibarat “Islam Indonesia” sebagai perwujudan partikular Islam universal, “Etik Aswaja” dalam PMII adalah
perwujudan partikular dari pandangan dunia universalisme Aswaja. Oleh karena itu bisa dinyatakan
bahwa “Etik Aswaja” adalah pandangan dunia warga PMII dengan karakter dan warna khas yang
dipengaruhi oleh spektrum historisitas pengalamannya sendiri. Ia merupakan artikulasi kultural warga
PMII yang hendak diwujudkan secara kolektif sebagai panggilan profetik yang sah dan bisa
dipertanggungjawabkan sebagai organisasi mahasiswa dan kaum muda progresif, selama itu tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Refleksi atas “Etik Aswaja” bukanlah refleksi kosong tanpa metodologi. Kendati demikian metodologi
(tidak melulu tunggal) dalam refleksi ini dimanfaatkan sebagai sebuah alat. Dasarnya yang paling
fundamental adalah komitmen keimanan, keislaman, ke-PMII-an, dan kesungguhan hati dan tekad
bersama warga yang mendalam untuk menghadapi tantangan sejarah yang memerlukan respon demi
kemaslahatan warga, masyarakat dan bangsa.
Setiap warga PMII adalah pribadi, agen dalam sejarah. Ia bukanlah pribadi yang pasif, dan sebagai agen
ia mengkontruksi kenyataan dalam tindakannya. Tindakan pribadi yang menyejarah berarti tindakan itu
bersifat intensional, sadar terhadap kebersituasian diri (situatedness), kontekstual dan berada dalam
suatu power relation. Salam kemenyejarahan, dalam tindakan intensional itu, agen terlibat dalam
mengkonstruksi makna dan menciptakan kenyataan baru. Dengan demikian kenyataan baru yang
tercipta itu adalah konstruksi subjek. Tentu saja keberadaan subjek yang menyejarah tidak dipandang
hanya membatasi peran dan imajinasinya, tetapi sekaligus memungkinkan imajinasi baru dan tindakan-
tindakan baru pula. Agen adalah subjek kreatif sejarah.
Dengan menegaskan bahwa agen manusia adalah subjek kreatif sejarah, maka warga PMII lebih leluasa
memaknai kaidah fiqh “al-muhafadzatu alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. Lebih-lebih
pandangan yang pernah dilontarkan Pak Said Aqil Siraj telah memberikan landasan kultural yang kuat
lewat ungkapannya “... wal ijaadu bil jadidil ashlah”. Ini berarti Pak Said memberi tekanan baru pada
“kreativitas mencipta” (al-ijaadu) dalam upaya mewujudkan kemaslahatan umat manusia –suatu nilai
yang kini sudah menjadi panggilan bagi kader muda bangsa, kader PMII, dewasa ini. Tentu saja, boleh-
boleh saja kalau “nilai kreativitas” ini dipandang sebagai elective affinity, suatu pertemuan dalam
kekerabatan dari dua sikap penting yang saling memperkuat dan amat berguna bagi kehidupan kini dan
mendatang.
Warga PMII sebagai Individu, Anggota Komunitas Sosio-Budaya dan Komunitas Global
KONSEP “ANTARA”: TITIK KESEIMBANGAN ANTARA “NAFS DAN QOLB” DALAM DIMENSI KE-
AKU-AN
Selain itu, Individu warga PMII berkarakter:
(i) Individu non-formalistik (=anti terhadap “Ana-nya Iblis” yakni i’timad ‘alal amal)
(ii) Individu non-materialistik (=anti terhadap “Ana-nya Firaun” yakni ana rabbukumul a’la i’timad ‘alal maal)
(iii) Produk diri Individu INSAN KAMIL => Ahlul -Dzikr
Dengan demikian, implikasi langsung dari jati diri individu ASWAJA dengan sendirinya sebetulnya
berkarakter tawassuth, tawazun dan ta’adul.
3. Pendekatan
Trilogi Islam, Iman dan Ihsan pada hakikatnya adalah sumber ontologis Aswaja. Dalam kehidupan sehari-
hari, ketiganya menjadi pegangan dasar bagi setiap aktivitas dan tindakan berkomunitas dan bergaul
semua anggota warga pergerakan. Baik dalam bidang agama, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik,
maupun berkebudayaan.
Dalam rangka memberikan panduan praktis dalam bertindak dan bergaul ini terutama menyangkut hal-
ikhwal kehidupan bermuamalah, warga PMII menggunakan sejumlah pendekatan keilmuan. Dalam
kehidupan sosial, pendekatan itu meliputi dimensi syari’at (kaidah syari’at) dan dimensi sosial (kaidah
sosial waqi’i), sebagai berikut:
a. Pendekatan berdimensi syari’at:
Pendekatan ini bertumpu pada prinsip:
(1) Kaidah maqosidus syari’at
Kaidah ini meliputi prinsip-prinsip berikut ini:
a. Hifdzun nafs, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan pada perlindungan
terhadap eksistensi kehidupan manusia
b. Hifdzud din, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk mempertahankan
dan melindungi kebenaran keyakinan agamanya.
c. Hifdzul `aqli, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk melindungi dan
menjamin kreativitas berpikir manusia sejauh tidak merusak nilai-nilai common goodkomunitas yang
disepakati di dalam masyarakat.
d. Hifdzul maal, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk melindungi dan
menjamin hak yang sama uuntuk mengakses dan memperoleh sumberdaya ekonomi, dan oleh
karenanya melawan monopoli ekonomi.
e. Hifdzul nasab, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk melindungi dan
menjamin regenerasi budaya, regenerasi keilmuan, bahkan regenerasi biologis warga pergerakan.
(2) Kaidah Al-muhafadhotu alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Kaidah ini menjadi patokan bagi setiap warga PMII dalam merespon perkembangan zaman dan
pertumbuhan pemikiran. Pemeliharaan terhadap “yang lama yang baik” di sini meliputi: (i) tradisi Islam
yang bersumber pada trilogi Aswaja di atas; (ii) hidup berkelompok yang saling ber-ta’awun, dalam arti
hidup dalam komunitas basis; dan (iii) nilai-nilai budaya yang dianggap sebagai common good bagi
kehidupan warga PMII.
Adapun “mengambil dan menciptakan yang baru yang lebih baik” meliputi: (i) produk pemikiran atau
peradaban dunia yang bisa memperkaya kehidupan warga; dan (ii) perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang pesat yang bisa mendukung kemajuan dan integritas komunitas.
(3) Dalam berpikir dan bertindak, warga pergerakan berpegang pada karakteristik sebagai berikut:
a. ‘Adamu ijabi birra’yi. (tidak merasa paling benar)
b. ‘Adamuttasyau’ (tidak terpecah belah).
c. ‘Adamulkhuruj (tidak keluar dari golongan)
d. Alwasatu (selalu berada di tengah-tengah)
e. Luzumuljamaah (selalu berjamaah)
f. ‘Adamu itbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu)
5
Etik Aswaja PMII
“Etik Aswaja” pertama-tama merupakan pengejawantahan partikular dari pandangan dunia universalisme
Aswaja. Ia berbicara pada taraf aksiologi Aswaja bagi PMII yang diharapkan menjadi panduan praktis
bagi semua warga pergerakan. Oleh karena itu bisa dinyatakan bahwa Etika Aswaja adalah pandangan
dunia warga PMII dengan karakter dan warna khas yang dipengaruhi oleh spektrum historisitas
pengalamannya sendiri.
Etik Aswaja merupakan artikulasi kultural warga PMII yang hendak diwujudkan secara kolektif sebagai
panggilan profetik yang sah dan bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan diterima secara
moral oleh semua warga dan penganut paham Islam Aswaja. Keyakinan ini dilandaskan pada
pengejawantahannya yang progresif dan sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal
pandangan dunia Aswaja.
1. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, warga PMII membangun akses dan penguasaan ekonomi yang sebesar-
besarnya ditujukan untuk pengembangan komunitas dan bangsa. Hal ini dimanifestasikan dalam
tindakan:
a. Penguasaan akses sumberdaya ekonomi di dalam pemerintah (lokal dan nasional), hidup dalam etos
kerja entrepeneurship dan mengembangkan potensi kreativitas warga pergerakan di segala bidang.[2]
b. Menumbuhsuburkan semangat tolong-menolong (ta’awun) sebagai jiwa dasar warga PMII dalam hidup
berkooperasi dan tindakan berkorporasi.
c. Warga PMII melawan ketidakadilan tata penyelenggaraan ekonomi adalah sebagian dari iman (syu’bul
iman)
d. Setiap orag mempunyai kewajiban dalam bekerja (Imam An-Nawawi al-Bantani). Ikhtiar lebih utama
daripada hasil
2. Bidang politik
Dalam tindakan politik, semua warga pergerakan seyogyanya meletakkan secara proporsional antara
ruang privat atau “ruang keintiman” sesama komunitas pergerakan dan ruang publik-politik atau “ruang
kompetitif”. Ini berarti:
a. Ruang politik-kompetitif tidak boleh merongrong “ruang keintiman” komunitas warga PMII yang berpotensi
memecah belah komunitas.
b. “Ruang keintiman” pada hakikatnya adalah ruang komunitas yang dibangun dan dipertahankan
melalui ta’awun (kooperasi), kepercayaan (trust), dan kerjasama.
c. Warga PMII berperan sebagai kekuatan strategis yang bersinergi dengan penguasa (pemerintah),
sekaligus juga menjadi alat kontrol yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah.
3. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial, warga pergerakan seyogyanya memiliki etika dalam segala tindakan, yang meliputi:
a. Peka terhadap realitas sosial, memiliki tanggung jawab sosial, dan tanggap terhadap berbagai problem
sosial di dalam kehidupan masyarakat.
b. Bersikap positive thinking; yakni memandang setiap anggota pergerakan mempunyai potensi kebaikan
masing-masing. Warga PMII juga memiliki kesadaran self-criticism (nashoihul ‘ibadh)
c. Warga pergerakan bersikap saling menghormati baik secara internal maupun dengan komunitas
eksternal lainnya, serta saling menasehati dan mengingatkan satu sama lain.[3]
d. Warga PMII mengembangkan solidaritas sosial dan menjalankan mandat (peran) sosial dalam rangka
mewujudkan common good komunitas dan bangsa.
e. ‘Adabu mu’asyarah (Sirajul Tholibin, KH. Ihsan Al-Jampes)
f. Warga pergerakan berprinsip bahwa melawan ketidakadilan atau kesewenang-wenangan adalah bagian
dari iman (syubul iman)
4. Bidang Kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan, warga PMII memiliki komitmen berpikir dan bertindak sebagai berikut:
a. Menyerap khasanah kebudayaan dan peradaban lain dari manapun datangnya untuk memperkaya dan
memperkuat nilai dan kebudayaan komunitas.
b. Mengembangkan kreativitas kebudayaan dalam rangka meng-counter ekspansi kebudayaan asing dan
sekular.
c. Mengembangkan budaya organisasi yang sehat atas dasar nilai ta’awun.
6
Penutup
Demikianlah pokok-pokok Etika Aswaja PMII yang menjadi panduan bertindak dan berpikir dalam
kehidupan sosial kontemporer. Pokok-pokok tersebut meliputi bidang ekonomi, politik, sosial,
kebudayaan, pergaulan sehari-hari dan dalam kepemimpinan organisasional. Bila hendak dinyatakan
dalam satu kalimat, maka Etika Aswaja berpusat pada semangat ta’awun dalam semua bidang
kehidupan.
Secara internal komunitas warga, semangat ta’awun mendekontruksi kompetisi menjadi kooperasi;
sementara dalam berhadapan dengan kekuatan eksternal, semangat ta’awun mendekontruksi dari
kerumunan menjadi kekuatan berkompetisi. []
[1] Draft Aswaja ini merupakan rumusan dari Lokakarya Aswaja yang di
selenggarakan oleh PKC PMII DKI Jakarta pada tanggal 27-30 Juli 2009
bertempat di Jakarta dan dihadiri oleh beberapa perwakilan PKC dan PC PMII
se-Indonesia. Draft ini sangat terbuka untuk direspon melalui kritik atau
tanggapan.