Anda di halaman 1dari 17

MENGENAL WARNA ASWAJA PMII

Oleh : Zuhdy Sukary*


Prolog
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah sebuah organisasi kader yang
menjadi salah satu elemen gerakan mahasiswa di Indonesia. PMII merupakan wadah perjuangan,
kreativitas dan proses aktualisasi diri bagi semua kader, dengan catatan bahwa mereka memiliki
integritas, loyalitas dan komitmen yang kuat, serta tanggung jawab yang nyata sebagai bagian
dari elemen gerakan mahasiswa.
Dalam setiap langkah dan geraknya (both the way to move 'n to act), PMII tetap
komitmen untuk selalu berpegang teguh pada setiap prinsip, kerangka nilai, lebih-lebih pada
setiap produk hukum (AD/ART) yang dihasilkan melalui mekanisme organisasi sehingga legal
secara hukum dan kuat dalam aspek legitimasinya (merupakan kesepakatan bersama sesuai
prosedur organisasi).
Sesuai dengan namanya, PMII mempunyai acuan prinsipil dari sumber-sumber ke-islam-
an (Khususnya Islam Aswaja) dan ke-Indonesia-an (Pancasila). Dua entitas sumber prinsipil
tersebut menjadi sangat penting bagi PMII, karena kedua sumber nilai tersebut sama memiliki
karakteristik nilai yang universal, fundamental (mendasar) dan bersifat terbuka satu sama
lainnya, bahkan bagi kemungkinan-kemungkinan dialog dengan nilai-nilai agama, keyakinan dan
ideologi lainnya.
Dari dua sumber acuan prinsipil tersebut (ke-Islam-an Aswaja dan ke-Indonesia-an), kita
akan lebih spesifik membahas, apa itu Aswaja? Dan apakah kaitan Aswaja dengan PMII sebagai
elemen pergerakan mahasiswa di indonesia tercinta ini?

ASWAJA (Ahlussunnah Wal Jama'ah)


Sejarah Singkat
Aswaja adalah sebuah aliran (Firqoh) dalam agama Islam yang lahir dari sebuah
pertentangan antara umat islam waktu itu, yakni setelah berakhirnya masa kepemimpinan
Rasulullah Saw. yang kemudian diteruskan pada periode Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar R.a.,
Umar R.a., Utsman R.a. dan Ali K.w. ).
Pada akhir periode kepemimpinan Ali K.w. terjadi sebuah peristiwa besar di kalangan
umat islam. Yakni peristiwa yang dikenal dengan "Perang Shiffin" (th. 37H), perang yang
melibatkan pihak Ali K.w. sebagai Khalifah pada waktu itu dengan pihak Muawiyah bin Abi
Sufyan R.a. (sebagai salah satu kelarga dekat Sahabat Utsman Bin Affan Ra.). Perang ini pada
akhirnya berakhir dengan proses arbitrase (perdamaian) yang dikomandani oleh Amr Bin Ash
yang mengangkat Mushhaf Kitab Suci Al-Qur'an di tengah-tengah kedua belah pihak yang
berperang, Peristiwa ini dikenal dengan istilah Tahkim(Ishlah). Peristiwa ini juga melahirkan
kelompok Khawarij (kelompok yang keluar dari Kelompok Ali Ra. Karena tidak sepakat dengan
keputusan Ali Ra. Yang mau berdamai dalam perang Shiffin).
Satu abad berikutnya, timbul golongan Mu’tazilah di bawah bendera kepemimpinan
Washil bin Atha’ (80-113 H) dan Umar bin Ubeid (w. 145 H). Kaum ini mengeluarkan fatwa
yang ganijl dan tentu saja bertolak belakang dengan i’tikad Nabi SAW, diantaranya; mereka
meyakini adanya manzilah bainal manzilatein, yakni tempat diantara dua tempat (surga dan
neraka), mereka juga meyakini bahwa sifat Tuhan tidaklah ada, bahwa mi’rajnya Nabi SAW
sekedar roh saja dan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Menyusul berikutnya paham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia punya otoritas
penuh atas dirinya sendiri, dengan kata lain Tuhan sama sekali tidak terlibat dalam urusan
manusia, sebaliknya muncul paham Jabariyah yang i’tikadnya bertolak belakang dengan
Qadariyah, artinya manusia sama sekali tidak punya ikhtiar dan usaha, karena Allah SWT
memang telah menciptakan skenario sedemikian rupa. Tidak hanya sampai di situ ada
juga paham Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, misal: Tuhan itu punya
kaki, tangan dan duduk di atas kursi, atau juga paham Ibnu Taimiyah yang “agak berlainan”
mengenai ziarah kubur, tawasshul dan istighatsah. Abad berikutnya (abad ke-3 H), sebagai
respon dari banyaknya golongan (firqah) itu, timbullah golongan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah.
Bisa dikatakan bahwa ideologi Ahlus-Sunnah wal Jama’ah ini lahir dari proses
dialektika, sebab dengan banyaknya paham dan aliran yang berkembang saat itu, dirasa perlu
adanya jalan tengah (middle path) agar kaum muslimin (terutama yang masih awam) tidak
terjerumus ke dalam kesesatan (akidah). Hal ini sedianya tidak lantas bermaksud memberikan
stigma atau juga konotasi bahwa paham Ahlus-Sunnah wal Jama’ah hanya pantas
“dikonsumsi” oleh orang-orang awam belaka.
Di sinilah, bermunculan berbagai kritik miring dan inisiasi negantif bahwa paham Ahlus-
Sunnah wal Jama’ah justru menghegemoni pengikutnya untuk kritis dan menggunakan daya
nalar yang jernih dalam memahami akidah. Dalam hal ini, tidak sedikit golongan-golongan yang
justru terjebak dalam fanatisme-sektarian yang sempit, sehingga menuding-nuding golongan
yang lain keliru, sesat dan sebagainya (Truth Claim).
Firqoh (golongan) Ahlussunnah wal Jama'ah dikembangkan pertama kali oleh 'Alimul
'allamah Abu Hasan Al-Asy'ari (260-324 H), sebagai seorang ulama' yang mempunyai kapasitas
intelektual di bidang aqidah (Ushuluddin) dan mempunyai perhatian terhadap kondisi sosio-
religius masyaraktnya pada waktu itu, yang dihegemoni (terkekang) oleh golongan Mu'tazilah
yang menjadi firqoh resmi negara, pada masa pemerintahan Al-Ma'un dari diansti Abbasyiah di
Irak dan sekitarnya.
Dengan demikian, acuan utama golongan Ahluss-sunnah wal Jama'ah ini adalah :
1. Bidang Aqidah (Tauhid) :
Mengacu pada pandangan-pandangan atau pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Mansyur Al-Maturidy (333 H).
2. Bidang Fiqh (Syari'at) :
Mengacu pada rumusan-rumusan fiqh (hukum islam) Madzhab yang empat, atau
dikenal dengan Madzahibul Ar-Bi'ah, yakni Madzhab Imam Syafi'i, Hanafi, Hanbali
dan Maliki.
3. Bidang Tasahawwuf :
Mengacu pada konsep-konsep tashawuf-nya Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazaly dan
Imam Juneid Al-Baghdady.

BER-ASWAJA DI PMII
Dengan tetap komitmen terhadap prinsip Al-Muhafadzatu 'alal-Qadimisshalih Wal
Akhdzu Bil Jadidil-Ashlah, yang artinya "Menjaga/memelihara hal-hal lama yang baik, dan
mengambil/mencari (discover) hal-hal baru yang lebih baik". Dengan prinsip (yang populer di
kalangan Nahdhiyyin) ini, PMII tegas untuk selalu memiliki sikap dan main-stream gerakan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai universal (humanisme), dinamika kemasyarakatan (sosio-kultural)
dan selalu kritis pada setiap perkembangan dan realitas yang terjadi di lingkungan mikro,
maupun makro masyarakat indonesia.
Mengenai akuntabelitas (keajegan) Aswaja dalam konteks korelasinya dengan islam,
Fajrul Falakh dalam buku penjelasan tentang NDP PMII, dia berasumsi bahwa Dalam upaya
memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Aswaja sebagai
Metoda, Aswaja dalam pengertian metoda tersebut adalah seperti ditegaskan Nabi Muhammad
Saw. "Ma Ana Alaihi Wa Ash-Haby", artinya Aswaja memiliki karakter seimbang dalam
berbagai aspek. Oleh karena itu, PMII meyakini bahwa Aswaja adalah pendekatan yang terbaik
dalam membuktikan dan mengamalkan kebenaran Islam.
Lebih praksisnya, PMII memiliki versi sendiri mengenai poin-poin prinsip Aswaja
sebagai acuan nilai ke-Islam-an dalam setiap sikap dan main-stream gerakannya. Poin-poin
prinsip tersebut adalah :

1. Ta'adul/Equal (bersikap adil) :


Dengan nilai ini, PMII mendorong setiap kadernya untuk selalu bertindak dan bersikap adil
dalam setiap aspek hidup dan masalah apapun yang dihadapinya.
2. Tasamuh/Tolerance (bersikap toleran) :
Toleransi adalah hal yang paling kunci dalam setiap interaksi dan komunikasi dengan
siapapun, karena dengan toleransi berarti kita membuka diri untuk selalu menghargai
eksistensi orang lain yang mungkin berbeda dengan kita dalam banyak hal.
3. Tawassuth/Moderat (berpikir moderat) :
Prinsip moderat merupakan nilai yang tidak bisa ditawar dalam versi PMII, karena PMII
lahir untuk bisa berdiri dan bermanfaat bagi semua pihak, dalam hal ini manusia secara
umum.
4. Tawaazun/Balance (berpikir dan bersikap seimbang) :
Ke-seimbangan berpikir dan bertindak dalam segala hal adalah pintu gerbang menuju
harmony kehidupan yang tidak hegemonik dan diskriminatif, tapi lebih mengedepankan
sikap terbuka (wel-coming community) bagi seluruh kemungkinan adanya kritik dan
perbedaan-perbadaan lainnya.
Namun demikian, prinsip-prinsip di atas tidak ada artinya ketika tidak diproyeksikan untuk
mengambil peran utama dalam proses dan keberpihakan terhadap kaum-kaum marginal
(terpinggirkan oleh sistem yang ada).

Maka disini dibutuhkan satu nilai lagi, yang dalam pendangan penulis sangatlah vital
untuk membuktikan adanya komitmen idealisme PMII sebagai salah satu elemen Gerakan
Mahasiswa di Republik Indonesia tercinta ini. Prinsip yang dimaksud adalahPrinsip At-
Taghayyur Al-Ijtima'iy (transformasi-sosial), yakni komitmen untuk terus mendorong terciptanya
perubahan positif bagi setiap entitas individu dan sosial masyarakat indonesia. Baik dalam aspek
sosial-budaya, ekonomi, politik dan agama, yang pada akhirnya diharapkan mampu mendorong
laju peradaban bangsa ini ke taraf yang lebih baik, dan terus mem-baik (good-better 'n be the
best), Amiiin!!!

Wallahu A'lamu Bi Kullil Amri wal Hal


Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamitthorieq

* Mantan Koord. Dept. Kajian keilmuan Komisariat dan sekarang menjabat sebagai
Sekretaris Umum PC PMII Jombang
MEMAHAMI SEJARAH DAN MAKNA FILOSOFIS PMII 1)
Oleh : PKC PMII jatim

Historisitas PMII

PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam
bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah
lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri
buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak
muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena,
kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak
organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi,
SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah.
Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang
sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada
akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu
bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir
saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip
berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU
belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai
diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian
dep[artemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri
bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam
sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah(Sekarang UNSURI) Surabaya.
Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada
mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan
dan bukan ilmu untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960.
Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ).
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi
lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ) , bahwa HMI sudah berpihak
pada salah satu golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi, sehinggga wajar
kalau mahasiswa NU di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan
bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI
dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.
Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:
Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang
ada di Perguruan Tinggi .
PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim ( NU ) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi
underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan mahasiswa.
Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan
paham mereka ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap
menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.

Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung
dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang
memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang
sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir,
bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan
menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah
Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi
pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari
proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini
terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur,
taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati
secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta
bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga,
bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu,
menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun
tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang
berlandaskanPancasila.

Identitas dan citra diri PMII

APA itu identitas PMII, seperti empat huruf kata ‘PMII’, yaitu Suatu wadah atau perkumpulan organisasi kemahasiswaan
dengan label ‘Pergerakan’ yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan:
Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang;
1)Bertaqwa kepada Allah swt
2)Berbudi luhur
3)Berilmu
4)Cakap, dan
5)Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (Bab IV AD PMII)
Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna, yang kamil, yaitu mahluk Ulul Albab.

Kata ‘Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia’ jika diudar lebih lanjut adalah:
1.Pergerakan bisa didefinisikan sebagai ‘lalu-lintas gerak’, gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik
dari ordinat A ke ordinat B. Jadi ‘Pergerakan’ melampaui ‘gerak’ itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang
terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada
Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke
Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan
gawang dan …… Itu yang namanya pergerakan bola. Kesimpulannya, pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh
stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalaam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif
adalah kepekaan dan kekritisan, dan kekritisan butuh kecerdasan.
Kenapa ‘Pergerakan’ bukan ‘Perhimpunan’?, kalau berhimpun terus kapan bergeraknya….. Artinya bahwa, ‘pergerakan’
bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/organisasi tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu
sendiri.
2.Mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan
yang melekat, mahasiswa sebagai ‘wakil’ rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijaakan penguasa dll
3.Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasam sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang
berlandaskan agama. Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam ditambah dengan rujukan
selanjutnya, sunnah nabi dan para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah
waljama’ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja –dengan varian didalamnya– sebagai
landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
4.Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata ‘Indonesia’ pada organisasi ini, tidak lain untuk
menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan
nasionalis, punya tanggung-jawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami
sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang.
(kalo’ mencari organisasi mahasiswa yang nasionalis dan agamis maka pilihan itu jatuh pada PMII)

Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia, yang mendasarkan pada agama Islam dan
sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan.
Islam-Indonesia (dua kata digabung) juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/Indonesia, Islam
Indonesia adalah Islam lokal –bukan Islam Arab secara persis–, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang
‘bersinkretisme’ dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan
ajaran aswaja.

Kesimpulaan:
Identitas PMII adalah Keislaman dan Keindonesia (kebangsaan)
Kata Kunci: Pergerakan, Mahasiswa, Islam, dan Indonesia

Seputar ideologi PMII

Pada paruh kedua abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok intelektual ‘kiri’ Eropa yang
mendasari new-left movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok madhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas
bahwa perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya.
Kritik itu seputar perannya sebagai ‘wadah’ atau ‘tempat’ kebenaraan atau bahkan sebagai ‘sumber’ kebenaran itu sendiri,
yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang dianggaab sebaagaai laandasan kebenaaran yang paling fundaamental (mendasar) makanya tidak
terlalu salah bila ddisebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya
kemudiaan ideologi ada tidak bebas dari kepentingan –prinsip peng-ada-an; sesuatu materi diciptakan/diadakan pasti
punya maksud dan tujuan–, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada
pengistemewaan/pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi
tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya, tujuaan ‘hanya kekuasaan’
misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki ummat,
ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak
menindas sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya ideologi masih diperlukan.
Dibawa dalam ranah PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya –yang pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai
identitas PMII– yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan
materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam qonun azasi di PMII atau itu tadi yang disebut…
Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola
relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan
manusia, antar manusia dan antara manusia dengan sekelilingnya.

Jadi kesimpulaan yang bisa diambil adalah:


1)Ideologi masih relevan dijadikan sebagai rujukan kebenaran
2)Ideologi PMII terangkum (terwujud) dalam rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang merupakan sublimasi keislaman
dan keindonesiaan

Landasan Teologis dan Filosofis PMII

Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP
dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Sublimasi ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal,
transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang
dimaksud bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus disadari bahwa sungguhpun Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia juga menampakkan diri
sebagai entitas dengan identitas sangat kultural, antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradoks —-atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition—
menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang
ganda itu mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan lil alamin.
Dari sini, mengharuskan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai salah satu sublimasi identitas
kelembagaan. Ini berarti, PMII menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap meyakini universalitas,
transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan
sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam
dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap
gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong,
berada diawang-awang dan jauh dari latar sosial dan bahkan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri dalam satu
ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu
menempatkan identitas besar itu menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan terhadap
lingkungan besarnya, “Indonesia”. Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan
yang selalu relevant, realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII
dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi,
lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan
normatif, melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi
institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan
melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu
mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaanya.
Endingnya, proses yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium
pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang tidak
hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia beriman yang normatif dan verbalis, melainkan
juga sebagai believer kreatif dan membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mengujudkan PMII
secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulil albab.

Kesimpulan:
1.Landasan teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
2.Identitas filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi transformatif dan Ruang ke-
Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.
3.Tranformasi dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan tampilnya identitas personal dan
kelembagaan yang ulil albab.

CITRA DIRI MAHLUK ULUL ALBAB


Kader PMII Dapat Mewujudkan:
TRI MOTTO: DZIKIR FIKIR AMAL SHOLEH
TRI KHIDMAD: TAQWA INTELEKTUAL PROFESIONAL
TRI KOMITMEN: KEBENARAN KEJUJURAN KEADILAN

Landasan Filosofis Lambang PMII

Pencipta lambang : H. Said Budairy


Makna Lambang :

I.Bentuk
Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
5 (lima) bintang sebelah atas, menggambarkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (Khulafa’ur Rasyidin)
4 (empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat madzhab yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
9 (sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti ganda, yaitu:
a.Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat imam madzhab ASWAJA itu laksana bintang yang selalu
bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
b.Sembilan bintnag juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam di Indonesia yang disebut Wali
Songo.
II.Warna
biru, sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan,
biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan wawasan
nusantara.
Biru muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu, budi pekerti dan taqwa.
kuning, sebagaimana perisai sebelah atas, berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang
kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.

Wallahu A’lam

1. Usaha Merumuskan “Aswaja Ethic” PMII


Gagasan mengenai Ahlussunnah wal Jama’ah (selanjutnya disebut Aswaja) sebagai etik sebetulnya
bukan sesuatu hal yang baru. Elemen-elemennya diartikulasikan secara beragam. Misalnya dalam
dimensi tasawuf dipahami sebagai “kritik sosial” (Kiai Said Aqil Siraj), dalam dimensi fiqih disebut “fiqih
sosial” (Kiai Sahal Mahfudz), dan lain sebagainya. Sebutan yang berbeda ini sama sekali tidak
menunjukkan substansi yang bertentangan satu sama lain, tetapi memperlihatkan betapa nilai dan
keyakinan itu diartikulasikan oleh penganutnya secara khas. Meskipun dalam suatu komunitas ideologis
sering dijumpai bentuk artikulasi ini tidak terlalu berbeda, namun setiap artikulasi individu tentulah
mengandung suatu karaktekstik yang menjadi tekanan akibat perbedaan pengalaman, bacaan terhadap
kondisi sosial dan konsep yang diinspirasikan oleh konsern pelakunya.
Usaha untuk memikirkan kembali Aswaja sebagai etik di kalangan PMII, menurut kami, adalah suatu
upaya perenungan kembali yang lahir dari suatu kesadaran iman yang menginspirasikan tindakan,
konsern terhadap kondisi- sosial kontemporer yang menuntut respon yang tak spontan serta kesadaran
komunitas sebagai basis sosial dan nilai dimana konsern itu berasal dan mau diabdikan. Karena itu
perumusannya tidak semata eklektik yakni dengan tanpa rasa enggan mengambil kebaikan dari pikiran-
pikiran dalam peradaban dunia. Tetapi terutama dilandasi oleh kekaguman besar terhadap warisan tradisi
keulamaan nusantara dan upaya pencarian yang sungguh-sungguh terhadap kemungkinan-kemungkinan
baru, dalam suatu dunia yang baru.

2. Apa “Etik Aswaja” bagi PMII?

“Etik Aswaja” bukanlah adaptasi terhadap apa yang ditemukan Max Weber dalam nilai-nilai sekte Kalvinis
dan Lutheran dalam agama Protestan yang menjadi landasan kultural bagi berkembangnya etos
kapitalisme di Barat. Bukan pula ia mengemban semangat “Protestantisme Islam” yang didengungkan
kalangan modernis Islam beberapa tahun lalu untuk mendorong dan melegitimasi semangat kapitalisme
dalam Islam.
Namun demikian kami meyakini bahwa “Etik Aswaja” yang mau kita gali sungguh-sungguh dari gugusan
nilai-nilai dalam tradisi Islam Aswaja dan kita hayati, kita pedomani serta lalu kita amalkan secara
sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan tuntunan kemaslahatan dalam semua
bidang kehidupan. Bidang-bidang ini bukan hanya meliputi kehidupan ekonomi an sich, tetapi juga
kemasyarakatan, kepolitikan, kebudayaan, kebangsaan, kenegaraan dan keagamaan.
Nilai-nilai ini kita gali dari “Qanun Asasy”-nya Syekh Hasyim Asy’ari, “Khittah Nahdliyah”-nya Kiai Ahmad
Siddiq, “Fiqih sebagai Etika Sosial”-nya Kiai Sahal Mahfudz, “Tasawuf sebagai Kritik Sosial”-nya Pak Said
Aqil Siraj, pesan kemandirian “Pesantren sebagai Subkultur” dan “Republik Bumi di Surga”-nya Kiai
Abdurrahman Wahid, “Agama Keadilan”-nya Pak Masdar F Mas’udi, “Arus Balik Kaum Pinggiran”-nya
Muhaimin Iskandar hingga “NU Studies”-nya Ahmad Baso. Nilai-nilai itu juga kita gali dari sikap dan
tindakan para kiai dan cendekiawan umat, komitmen kemanusiaan dan pengabdian para pekerja sosial,
hingga sikap konsistensi birokrat dan para politisi yang jujur. Tak lupa nilai-nilai itu kita timba dari
semangat demonstrasi mahasiswa anti-kedzaliman, teriakan pengunjuk rasa antiglobalisasi neoliberal
hingga suara kaum subaltern yang tak pernah didengarkan dan pengalaman hidup para korban yang
dipinggirkan. Inilah sumber refleksi tak terbatas dari “Etik Aswaja” dalam PMII yang hendak dirumuskan.
Ibarat “Islam Indonesia” sebagai perwujudan partikular Islam universal, “Etik Aswaja” dalam PMII adalah
perwujudan partikular dari pandangan dunia universalisme Aswaja. Oleh karena itu bisa dinyatakan
bahwa “Etik Aswaja” adalah pandangan dunia warga PMII dengan karakter dan warna khas yang
dipengaruhi oleh spektrum historisitas pengalamannya sendiri. Ia merupakan artikulasi kultural warga
PMII yang hendak diwujudkan secara kolektif sebagai panggilan profetik yang sah dan bisa
dipertanggungjawabkan sebagai organisasi mahasiswa dan kaum muda progresif, selama itu tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Refleksi atas “Etik Aswaja” bukanlah refleksi kosong tanpa metodologi. Kendati demikian metodologi
(tidak melulu tunggal) dalam refleksi ini dimanfaatkan sebagai sebuah alat. Dasarnya yang paling
fundamental adalah komitmen keimanan, keislaman, ke-PMII-an, dan kesungguhan hati dan tekad
bersama warga yang mendalam untuk menghadapi tantangan sejarah yang memerlukan respon demi
kemaslahatan warga, masyarakat dan bangsa.
Setiap warga PMII adalah pribadi, agen dalam sejarah. Ia bukanlah pribadi yang pasif, dan sebagai agen
ia mengkontruksi kenyataan dalam tindakannya. Tindakan pribadi yang menyejarah berarti tindakan itu
bersifat intensional, sadar terhadap kebersituasian diri (situatedness), kontekstual dan berada dalam
suatu power relation. Salam kemenyejarahan, dalam tindakan intensional itu, agen terlibat dalam
mengkonstruksi makna dan menciptakan kenyataan baru. Dengan demikian kenyataan baru yang
tercipta itu adalah konstruksi subjek. Tentu saja keberadaan subjek yang menyejarah tidak dipandang
hanya membatasi peran dan imajinasinya, tetapi sekaligus memungkinkan imajinasi baru dan tindakan-
tindakan baru pula. Agen adalah subjek kreatif sejarah.
Dengan menegaskan bahwa agen manusia adalah subjek kreatif sejarah, maka warga PMII lebih leluasa
memaknai kaidah fiqh “al-muhafadzatu alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. Lebih-lebih
pandangan yang pernah dilontarkan Pak Said Aqil Siraj telah memberikan landasan kultural yang kuat
lewat ungkapannya “... wal ijaadu bil jadidil ashlah”. Ini berarti Pak Said memberi tekanan baru pada
“kreativitas mencipta” (al-ijaadu) dalam upaya mewujudkan kemaslahatan umat manusia –suatu nilai
yang kini sudah menjadi panggilan bagi kader muda bangsa, kader PMII, dewasa ini. Tentu saja, boleh-
boleh saja kalau “nilai kreativitas” ini dipandang sebagai elective affinity, suatu pertemuan dalam
kekerabatan dari dua sikap penting yang saling memperkuat dan amat berguna bagi kehidupan kini dan
mendatang.

3. Dunia Kehidupan PMII dan Tantangan Masa Kini


Bagaimanapun setiap warga PMII memiliki suatu citra diri unggul dalam memandang hidupnya, yakni
perannya sebagai pengemban khalifah fil ardh. Konsep ini adalah ontologi diri PMII sebagai komunitas
muslim. Berbekal karunia hati dan akal budi, ia diberikan tanggung jawab primordial oleh Allah untuk
memimpin umat manusia, mengatur dan mengembangkan kehidupan di bumi ini untuk mencapai taraf
yang lebih baik. Singkatnya, kader PMII hidup dalam sebuah misi.
Dalam menjalankan misi ini PMII tidak bisa tidak dihadapkan pada kesiapan kondisi internalnya di satu
pihak dan di pihak lain ruang lingkup historisnya yang terus-menerus berubah dan memberikan
tantangan-tantangan baru yang harus dijawab. Tantangan itu misalnya globalisasi teknologi dan
informasi, globalisasi budaya dan politik dan globalisasi pasar neoliberal berikut seluruh implikasinya
dalam kehidupan masyarakat. Tantangan-tantangan semacam ini menuntut respons yang tidak semata-
mata berupa respons “reaktif”, tetapi juga respons “kreatif” yang memerlukan kesiapan dan kematangan
internal.
Sudah banyak literatur penelitian yang akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa cara kerja globalisasi,
misalnya, tidaklah selalu bersifat linear. Demikian pula implikasinya tidak bisa dibaca dalam dimensi yang
bersifat tunggal. Juga sering kita jumpai tipe-tipe “local responses” (biasanya artikulasi literatur tersebut
berbunyi: “local responses to globalized capital” atau “local responses to global capitalism”, atau “global
challenges and local responses”, dan semacamnya) terhadap gejala itu baik pada level negara, institusi
ekonomi domestik, maupun masyarakat lokal. Literatur ini bisa disebut diantaranya: “Friction: An
Ethnography of Global Connection” (Anna Tsing), “The Chinese response to globalization” (Ding Lu),
“Reassesing Japanese response to globalization” (Masao Ishikura), “Global challenges and local
responses” (Jang-Sup Shin), “Negotiating African Culture” (Ioan Davies), “Global Fragments: A Second
Latinamericanism” (Alberto Moreiras) dan lain-lainnya. Literatur ini menunjukkan bahwa globalisasi bukan
hanya dilihat sebagai masalah semata, tetapi menuntut respons kreatif dalam seluruh segi kehidupan
baik untuk mengantisipasi, melawan, maupun bersiasat dan mencuri peluang di dalamnya.
3. Penutup
“Etik Aswaja PMII”, demikian bila rumusan yang mau dibahas bersama dalam Lokakarya Aswaja ini boleh
disebut, adalah nilai dan semangat yang berasal dari produk perjumpaan antara unsur teologis dalam
Aswaja dan suatu analisis terhadap perkembangan sosial masa kini dan mendatang, untuk tujuan
kemaslahatan bersama dalam jangka panjang.
Dalam sejarah, setidaknya sejarah NU, konsep sejenis yang menyerupai “Etik Aswaja” ini sebenarnya
bisa ditemukan presedennya dalam perumusan “Kembali ke Khittah”, meskipun orientasinya terbatas
pada kehidupan politik saja. Karakternya sebagai etik terutama bisa dilihat manakala ketetapan “Kembali
ke Kittah” seolah-olah menjadi pandangan dunia orang NU dalam kehidupan politik (selain
konsep tawassuth, tawazun, i’tidal, dan lain-lain di dalamnya) dan ini terbukti ketika ia selalu menjadi
diskursus yang tak ada habis-habisnya untuk selalu dipertahankan, dihayati dan dibela sebagai suatu
dignitas (martabat) NU.
Karakter “Etik Aswaja PMII” juga demikianlah adanya. Ia merasuk dalam pandangan dunia warga PMII,
atau dalam apa yang diistilahkan oleh Ignas Kleden sebagai methodische Lebensfuehrung atau “cara
hidup secara metodis”, yang dihidupkan dan dihidupi dalam kaderisasi, ceramah, perbincangan,
pergaulan dan praktek sehari-hari.
Di dunia yang semakin menuntut peran dan kreativitas kaum muda, sebagaimana perubahan sosial
dipicu oleh penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut kreativitas, “Etika Aswaja”
diupayakan menjadi habitus sosial warga pergerakan.

Warga PMII sebagai Individu, Anggota Komunitas Sosio-Budaya dan Komunitas Global

1. Warga PMII sebagai Individu


Warga PMII adalah individu-individu. Sebagaimana individu manusia lainnya, ia tertanam di dalam suatu
kebudayaan tertentu (a culturally embedded). Di dalam dunia kultural, individu-individu hidup, tumbuh dan
mengembangkan potensi-potensi dirinya. Mereka menata hidup dan mengorganisasikan hubungan-
hubungan sosialnya berdasarkan sistem nilai komunitasnya. Sistem nilai inilah yang membentuk identitas
diri semua manusia di dunia.
Begitu juga halnya warga PMII. Mereka hidup dan tumbuh di dalam lingkungan budayanya sendiri yang
sekaligus membentuk identitasnya. Identitas sosial dan kultural warga PMII ini dibentuk oleh berbagai hal,
diantaranya: (1) lingkungan tradisional yang kental dengan nilai-nilai keagamaan Islam Ahlussunnah wal
Jamaah, (2) ingatan-ingatan kolektif yang bersumber dari sejarah pendahulunya, tradisi budaya bersama
komunitasnya, kenangan tentang suka, duka dan penderitaan masyarakatnya (memmoria passionis),
perjuangan dan komitmen keislaman dan kebangsaan yang menjadi cita-citanya, serta (3) ikatan
solidaritas yang dijunjung tinggi para anggota komunitasnya.
Warga PMII bukanlah individu-individu yang terisolasi atau tercerabut dari akar kulturalnya. Ia juga tidak
merasa terpenjara atau terbelenggu apalagi terhina atau terasing di dalam sistem budayanya sendiri.
Melalui pengalaman-pengalaman baru, kemampuan reflektif yang dimilikinya dan persentuhannya
dengan kebudayaan, nilai dan peradaban lain, ia mampu mengevaluasi diri secara kritis, mengoreksi
sebagian keyakinan dan praktek budayanya, dan memperbaikinya “dari dalam”. Melalui tradisi, hati
nurani dan akal budinya, warga PMII membangun apa yang didefinisikan sebagaicommon-
good (kebaikan bersama) dari komunitas tersebut.
Dengan kata lain, warga PMII sebagai individu-individu selalu terikat pada sistem nilai bersama, yang
dalam arti tertentu setia pada nilai bersama itu yang diyakininya akan membawa kebaikan hidup semua
anggota komunitas di dalamnya.

2. Warga PMII sebagai Anggota Suatu Komunitas Budaya


Warga PMII pertama-tama menyadari dirinya sebagai suatu anggota komunitas sosial-budaya yang
tertentu.
Secara antropologis, setiap kebudayaan merepresentasikan sistem makna dan tujuan hidup baik
tertentu (common-good) anggota komunitas budayanya yang dirumuskan bersama sebagai suatu
kesadaran kolektif. Nilai-nilai bersama ini dipelihara dan dipertahankan di dalam ritual-ritual, baik ritual
keagamaan maupun ritual organisasi, yang akhirnya membentuk suatu kolektivitas yang kohesif.
Namun demikian, warga PMII juga menyadari bahwa setiap kebudayaan hanya merealisasikan
kemampuan-kemampuan (intelektual dan spiritual) dan emosi-emosi manusia secara terbatas. Oleh
karena itulah mereka juga menyadari bahwa sistem budayanya tidak pernah cukup-diri, atau berupa
suatu pandangan dunia yang menyeluruh dan komprehensif, sempurna dan tertutup. Maka warga PMII
memandang penting perlunya berinteraksi dan berdialog dengan kebudayaan lain untuk memperkaya
kebudayaannya, mengambil banyak pelajaran dari yang lain, memperluas horison moral dan
intelektualnya serta menghindari keinginan untuk mengabsolutkan kebudayaannya sendiri. Dalam dialog
kebudayaan itu perlu dilakukan secara sehat, fair, berkeadilan, partisipatoris, arif dan seimbang.
Mengingat setiap kebudayaan pada dasarnya bukanlah sebuah totalitas yang tertutup, maka kita juga
menyadari bahwa sistem budaya yang dihayati oleh warga PMII secara internal adalah plural dan
merepresentasikan percakapan terus menerus antara diri dan tradisi yang dihidupinya di satu sisi, dan
pemikiran-pemikiran atau pengalaman yang berbeda di sisi yang lain. Kendati identitas yang dimiliki oleh
individu-individu dalam sebuah kebudayaan itu bersifat plural dan cair (ini terlihat dari keragaman
orientasi pemikiran maupun ‘pandangan dunia’ berbasis gender, lokalitas, pangkal konsern, dan lainnya)
ia kurang lebih tetaplah memiliki koherensi yang dibimbing oleh suatu tujuan bersama (common
good) komunitasnya.
Dalam pandangan dunia semacam ini, maka warga PMII: (1) menyadari bahwa dirinya memiliki common-
good yang menjadi tujuan komunitas warga pergerakan; (2) mengakui bahwa ia perlu belajar
pengetahuan dari manapun datangnya untuk memperkaya cakrawala dan horizon budayanya; dan (3)
dalam merealisasikan common-good itu, ia perlu membangun solidaritas, kerjasama, saling menghormati
dan saling berta’awun antara anggota pergerakan.
Dengan demikian PMII sebagai komunitas sosial-budaya serentak menghargai kreativitas individu-
individu sejauh diabdikan sepenuhnya untuk kebaikan bersama komunitasnya. Begitu pula individu-
individu di dalam komunitas itu saling menghargai keanekaragaman penghayatan di dalam komunitas,
sejauh tidak merugikan integritas budaya dan nilai komunitas.

3. Warga PMII sebagai Anggota Komunitas Global


Warga PMII baik sebagai individu maupun anggota sebuah komunitas budaya menyadari diri
sepenuhnya berada di tengah-tengah komunitas global. Bahkan ia sendiri menyadari menjadi bagian dari
“anak kandung” globalisasi dalam arti yang paling genuin dan netral. Yakni sebagai hasil dari pergulatan
kebudayaan dan saling pengaruh-mempengaruhi dalam interaksinya dengan kemajuan teknologi
transportasi, komunikasi dan informasi. Ini artinya ia sudah menjadi bagian dari suatu komunitas dunia
yang sangat beragam dengan sistem nilai yang berbeda baik liberal maupun non-liberal, berideologi kiri
maupun kanan, progresif maupun konservatif.
Kendati warga PMII menjadi bagian dari komunitas global dan sedikit banyak telah belajar dan menyerap
dari khazanah peradaban dunia, hal itu bukan berarti melenyapkan tradisi budayanya sendiri tempat
dimana mereka berakar dan menyusun kepentingan bersamanya (common-good). Menyadari bahwa
umat manusia hidup dalam ruang sosial dan budaya yang sangat beragam serta sistem nilai dan
pandangan hidup yang berbeda-beda, maka hidup dalam tata dunia global diperlukan sikap saling
menghargai dan menghormati antar komunitas yang beragam tersebut. Memaksakan satu sistem nilai
tertentu kepada masyarakat lain dalam pergaulan global berarti pula merusak perdamaian sosial, tidak
manusiawi dan karenanya melawan peradaban(uncivilized).
Warga PMII memandang bahwa setiap kebudayaan memiliki suatu common good bagi anggota
komunitas kebudayaan itu, sehingga klaim validitas universal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan baik
secara moral maupun intelektual. Sebagian komunitas itu berorientasi komunal dan percaya bahwa “hak-
hak” anggotanya mungkin sah untuk dibatasi demi kepentingan pandangan hidup tradisional yang lebih
besar. Sebagian mereka menganut kebebasan berbicara dan berekspresi (freedom of speech and of
expression), tetapi tidak untuk suatu kebebasan memperolok atau menghina teks-teks Kitab Suci,
keyakinan, atau ritual mereka. Komunitas itu mungkin saja membatasi hak milik, hak berdagang, atau hak
memperjualbelikan tanah, yang dilakukan karena bisa merusak etos solidaritas sosial dan etos komunal
yang menjadi basis pandangan dunianya. Karena itu dalam pergaulan global, prinsip tata dunia yang baik
hanya bersifat universal danmengikat dalam isi maupun cakupan, sejauh prinsip-prinsip itu
dinegosiasikan secara bebas oleh semua komunitas yang terlibat dan didasarkan pada konsensus global
yang lebih luas --tidak dipaksakan oleh negara-negara Barat semata atau institusi-institusi ekonomi
global.
Atas dasar inilah warga PMII sebagai anggota komunitas global menganut demokrasi politik dan ekonomi
yang menguntungkan bagi kebaikan bersama komunitasnya, yang dengan kata lain berbasis common-
good para anggotanya.

4. Warga PMII Sebagai Komunitas Hibrid


Warga PMII adalah komunitas hibrid. Sebagai suatu anggota komunitas global, ia berinteraksi dengan
berbagai budaya global, menyerap dan menyaring aliran budaya-budaya lain.
Karena secara historis setiap komunitas budaya mengalami berbagai perjumpaan kompleks semacam
itu, saling menjalin kontak satu sama lain, maka tidak ada budaya yang bersifat “murni”. Distingsi kultural
yang bersifat murni (pure culture) dan bersifat antagonistik (saling berhadap-hadapan) adalah warisan
kolonial yang harus ditolak. Seperti wacana Orientalisme yang membedakan Timur dengan Barat yang
secara kultural dianggap sebagai superior, lebih beradab, lebih tinggi, dan seterusnya untuk
mengabsahkan kolonialisasi terhadap Timur yang dianggap rendah, barbar, dan seterusnya. Reproduksi
wacana kolonialis yang nampak dalam wacana “clash of civilization”, oposisi Islam dan Barat, “Jihad vs
McWorld”, secara intelektual tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai komunitas hibrid, warga PMII adalah manusia tapal batas. Ia berada dalam ruang “di antara” (in-
between space) yang melalui proses interaksi intelektual dan kontak historis dengan peradaban dunia
melahirkan “budaya antara” (in-between culture). “Budaya antara” yang dimaksud adalah kebudayaan
hasil pergulatan warga PMII dalam memaknai kenyataan baru yang diterangi oleh tradisinya sendiri. Ia
sekaligus.

Ahlussunnah Wal Jama’ah


1. Trilogi Aswaja
Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dalam pemahaman ideologis PMII adalah suatu konsep organis.
Yang dimaksud ialah suatu pemahaman spiritual yang memandu totalitas hidup manusia muslim untuk
membangun peradaban umat manusia. Pemahaman ini pada dasarnya bersumber pada trilogi Aswaja:
Islam, Iman dan Ihsan, yang menjadi basis paradigma teologis Aswaja.
Konsep Islam, dalam perkembangannya, terinstutusionalisasi dalam rumusan syariat. Syariat ini dalam
Aswaja dimaksudkan sebagai jalan untuk menata kehidupan lahiriyah seorang muslim. Praktek penataan
dalam Syari’at bernama ibadah. Guna memudahkan pemahaman dan pandangan, maka dalam
peradaban umat Islam ulama merumuskan praktek ini dalam berbagai tradisi bernama fiqh. Apa yang
dalam Aswaja dikenal sebagai tradisi bermadzhab yakni madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali
adalah rumusan tradisi fiqh yang ditujukan pertama-pertama sebagai suatu usaha untuk menjalankan
Syariat Allah, menata kehidupan lahiriyah manusia.
Paradigma teologis Aswaja yang kedua adalah Iman. Iman adalah paradigma agama untuk menata
kehidupan batin umat muslim (ishlahul bawathin). Pada dasarnya ruang lingkup iman adalah batiniy,
bukan intelektualitas, bukan pula akal rasional. “Al-iman tasydiqun bil qalb”, iman itu pembenarannya
dalam hati, bukan dalam pikiran. Bila yang lahiriyah ditata dengan pengamalan syariat, maka wilayah
batin ditata oleh Iman. Lalu apa praktek iman untuk menata batiniah ini?
Praktek iman itu adalah ‘ubudiyah. Prinsip ‘ubudiyah itu adalah “an-taqsyuda”, hendaknya seorang
muslim menuju Allah. Berbeda dengan tekanan Islam yang terletak pada praktek “an-ta’buda”
(menyembah Allah), maka panggilan iman adalah kehendak untuk menuju Allah (an-taqsyuda). Apa
perbedaan antara praktek keduanya?
Dalam praktek syari’ah, manusia beribadah karena menyembah Allah; dan mengapa menyembah Allah,
karena berharap masuk surga, ingin pahala, takut ancaman neraka, dan lainnya. Adapun dalam praktek
iman atau batiniah, manusia menyembah Allah karena ingin menuju Allah semata, bukan karena surga
atau menghindari neraka karena keduanya hanya mahluk Allah. Bila praktek dalam Islam dipandu
oleh ‘ulumus-syari’ah (ilmu-ilmu syariat), maka dalam iman dipandu oleh ‘ulumut-thariqah wal
haqiqah(ilmu tariqat dan hakikat). Dalam konteks ini maka dalam peradaban Islam Aswaja kemudian
dikenal sejumlah praktek ber-thariqah diantaranya sebagaimana dalam thariqah mu’tabarah (seperti
qadiriyah dan naqsabandiyah). Dengan demikian sebagai totalitas organis, Aswaja sesungguhnya
mencakup penataan kehidupan manusia baik lahiriyah maupun batiniah lewat pengamalan Islam dan
Iman ini.
Paradigma teologis Aswaja yang ketiga adalah ihsan. Ihsan adalah jalan untuk menata kehidupan
“rahasia batin” manusia, as-sirru (ingat: bukan batin!). Bila dalam praktek islam terangkum dalam
imperative “an-ta’buda”, sementara iman “an taqsyuda”, maka ihsan dinyatakan dalam “an-tasyhada”
yakni hidup menyaksikan Allah. Wilayah as-sirr ini bukanlah kemampuan akal/intelektual untuk
menyaksikannya, bukan pula hati. Ia adalah wilayah rahasia batin (ma’rifat) yang hanya bisa ditembus
dengan praktek ilmu tasawuf.
Dari pemahaman terhadap trilogi Aswaja tersebut di atas kemudian bisa ditarik benang inti bahwa Aswaja
sebenarnya merupakah suatu konsep reformasi, perbaikan atau ishlah. Aswaja adalah sebuah totalitas
perbaikan yang menyangkut tiga dunia sekaligus (sirr, batin dan lahiriyah) yang hanya bisa ditempuh
dalam hidup tauhid (aqidah), hidup bersyariat (madzhab), dan hidup bertasawuf. Dengan sendirinya,
Aswaja juga mencakup suatu disiplin diri, suatu disiplin laku yang menyangkut hati, pikiran dan tindakan
yang diterangi oleh Cahaya Ilahi.
Hidup “Beraswaja” dengan demikian berketetapan hati hidup dalam jalan Allah dan menuju pada
Allah, sebagaimana nampak dalam skema berikut:
2. Jati diri personal individu dalam Aswaja
Masalah fundamental bagi warga PMII sebagai manusia adalah apa jati diri person individual dalam
pandangan dunia Aswaja?
Mengacu pada pemahaman terhadap trilogi Aswaja di atas, maka kedirian warga PMII tidak dibentuk oleh
individu-individu yang kosong dari spiritualitas, yang hidup di dalam rasionalitas akal belaka. Individu
warga PMII adalah individu yang mampu menguasai “ke-AKU-an” dalam kerangka praktek ber-trilogi
Aswaja yang mencakup “al aql-al fikr”, “an nafs-al qolb”, “ar ruh-as sirr”, tanpa jatuh ke dalam posisi
ekstrimisme. Yakni: mampu menempatkan dimensi “al aql-al fikr”, “an nafs-al qolb”, “ar ruh-as sirr” secara
proporsional. Ini berarti:
(i) Tidak formalistik dan ektrimis: yakni secara tidak proporsional menempatkan hal ikhwal yang terkait
dengan “ar ruuh” di dalam domain “al aql”. Misalnya, jihad dengan melakukan tindakan terorisme.
(ii) Tidak fatalistik: yakni secara proporsional menempatkan hal ikhwal yang terkait dengan kerja “al ‘aql” di
dalam domain “al ruuh”. Misalnya, tawakkal. Tempat tawakkal ada di dalam hati, bukan dalam pikiran,
bukan pula di alam dzahir. Kalau tawakkal dipaksakan di alam dzahir, seperti tawakkal pikiran, maka kita
tidak akan pernah belajar dan hanya melamun saja berharap dari Allah.

KONSEP “ANTARA”: TITIK KESEIMBANGAN ANTARA “NAFS DAN QOLB” DALAM DIMENSI KE-
AKU-AN
Selain itu, Individu warga PMII berkarakter:
(i) Individu non-formalistik (=anti terhadap “Ana-nya Iblis” yakni i’timad ‘alal amal)
(ii) Individu non-materialistik (=anti terhadap “Ana-nya Firaun” yakni ana rabbukumul a’la i’timad ‘alal maal)
(iii) Produk diri Individu INSAN KAMIL => Ahlul -Dzikr
Dengan demikian, implikasi langsung dari jati diri individu ASWAJA dengan sendirinya sebetulnya
berkarakter tawassuth, tawazun dan ta’adul.

3. Pendekatan
Trilogi Islam, Iman dan Ihsan pada hakikatnya adalah sumber ontologis Aswaja. Dalam kehidupan sehari-
hari, ketiganya menjadi pegangan dasar bagi setiap aktivitas dan tindakan berkomunitas dan bergaul
semua anggota warga pergerakan. Baik dalam bidang agama, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik,
maupun berkebudayaan.
Dalam rangka memberikan panduan praktis dalam bertindak dan bergaul ini terutama menyangkut hal-
ikhwal kehidupan bermuamalah, warga PMII menggunakan sejumlah pendekatan keilmuan. Dalam
kehidupan sosial, pendekatan itu meliputi dimensi syari’at (kaidah syari’at) dan dimensi sosial (kaidah
sosial waqi’i), sebagai berikut:
a. Pendekatan berdimensi syari’at:
Pendekatan ini bertumpu pada prinsip:
(1) Kaidah maqosidus syari’at
Kaidah ini meliputi prinsip-prinsip berikut ini:
a. Hifdzun nafs, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan pada perlindungan
terhadap eksistensi kehidupan manusia
b. Hifdzud din, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk mempertahankan
dan melindungi kebenaran keyakinan agamanya.
c. Hifdzul `aqli, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk melindungi dan
menjamin kreativitas berpikir manusia sejauh tidak merusak nilai-nilai common goodkomunitas yang
disepakati di dalam masyarakat.
d. Hifdzul maal, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk melindungi dan
menjamin hak yang sama uuntuk mengakses dan memperoleh sumberdaya ekonomi, dan oleh
karenanya melawan monopoli ekonomi.
e. Hifdzul nasab, yakni segala tindakan dan perbuatan warga PMII harus diarahkan untuk melindungi dan
menjamin regenerasi budaya, regenerasi keilmuan, bahkan regenerasi biologis warga pergerakan.

(2) Kaidah Al-muhafadhotu alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Kaidah ini menjadi patokan bagi setiap warga PMII dalam merespon perkembangan zaman dan
pertumbuhan pemikiran. Pemeliharaan terhadap “yang lama yang baik” di sini meliputi: (i) tradisi Islam
yang bersumber pada trilogi Aswaja di atas; (ii) hidup berkelompok yang saling ber-ta’awun, dalam arti
hidup dalam komunitas basis; dan (iii) nilai-nilai budaya yang dianggap sebagai common good bagi
kehidupan warga PMII.
Adapun “mengambil dan menciptakan yang baru yang lebih baik” meliputi: (i) produk pemikiran atau
peradaban dunia yang bisa memperkaya kehidupan warga; dan (ii) perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang pesat yang bisa mendukung kemajuan dan integritas komunitas.
(3) Dalam berpikir dan bertindak, warga pergerakan berpegang pada karakteristik sebagai berikut:
a. ‘Adamu ijabi birra’yi. (tidak merasa paling benar)
b. ‘Adamuttasyau’ (tidak terpecah belah).
c. ‘Adamulkhuruj (tidak keluar dari golongan)
d. Alwasatu (selalu berada di tengah-tengah)
e. Luzumuljamaah (selalu berjamaah)
f. ‘Adamu itbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu)

b. Pendekatan berdimensi sosial (waqi’iyah):


Yang dimaksud adalah pendekatan yang berpijak pada “analisis sosial diri” dan “analisis sosial situasi”.
Analisis sosial diri yang dimaksud adalah berkaitan dengan kenyataan diri warga PMII dan komunitasnya.
Ini meliputi: potensi diri dan komunitas, capaian-capaian yang dihasilkan termasuk tradisi budaya para
pendahulu, peluang yang mungkin diciptakan berdasarkan potensi dan capaian-capaian yang telah ada,
dan lain sebagainya.
Dari analisis ini maka warga PMII menemukan di dalam dirinya diantaranya: bertradisi budaya
komunitarian dengan mengambil tradisi libertarian terbatas (lihat Bagian 3: “Manusia dan Masyarakat
dalam Dunia PMII), beridentitas Islam Aswaja, fleksibilitas, penghargaan terhadap lokalitas dan
kekenyalan dalam menghadapi perubahan sebagaimana tradisi walisongo dan para ulama, gemar
bersilaturahmi dan bekerjasama (ta’awun), dan seterusnya.
Adapun “analisis sosial situasi” yang dimaksud adalah berkaitan dengan pencermatan terhadap situasi
sosial, ekonomi dan politik kontemporer yang berkembang dan berpeluang mempengaruhi eksistensi
kehidupan warga PMII. Dari analisis ini, maka warga PMII menemukan pendekatan dan cara pandang
yang khas terhadap realitas sosial, ekonomi dan politik di sekitarnya, diantaranya: pendekatan sosial
kritis yang menyadari akan jaringan kekuasaan yang membentuk kenyataan, pendekatan poskolonial
yang sadar akan kebersituasian diri warga dijajah secara kultural dan ekonomi serta pentingnya identitas
dan integritas diri dan komunitas sosial, moral dan intelektual untuk menghadapi penyeragaman.
Racikan pendekatan ini ditujukan untuk merespon kenyataan sosial, menciptakan kesadaran diri yang
kreatif, sekaligus mengambil posisi yang strategis dan cerdik di dalamnya. []

5
Etik Aswaja PMII
“Etik Aswaja” pertama-tama merupakan pengejawantahan partikular dari pandangan dunia universalisme
Aswaja. Ia berbicara pada taraf aksiologi Aswaja bagi PMII yang diharapkan menjadi panduan praktis
bagi semua warga pergerakan. Oleh karena itu bisa dinyatakan bahwa Etika Aswaja adalah pandangan
dunia warga PMII dengan karakter dan warna khas yang dipengaruhi oleh spektrum historisitas
pengalamannya sendiri.
Etik Aswaja merupakan artikulasi kultural warga PMII yang hendak diwujudkan secara kolektif sebagai
panggilan profetik yang sah dan bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan diterima secara
moral oleh semua warga dan penganut paham Islam Aswaja. Keyakinan ini dilandaskan pada
pengejawantahannya yang progresif dan sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal
pandangan dunia Aswaja.
1. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, warga PMII membangun akses dan penguasaan ekonomi yang sebesar-
besarnya ditujukan untuk pengembangan komunitas dan bangsa. Hal ini dimanifestasikan dalam
tindakan:
a. Penguasaan akses sumberdaya ekonomi di dalam pemerintah (lokal dan nasional), hidup dalam etos
kerja entrepeneurship dan mengembangkan potensi kreativitas warga pergerakan di segala bidang.[2]
b. Menumbuhsuburkan semangat tolong-menolong (ta’awun) sebagai jiwa dasar warga PMII dalam hidup
berkooperasi dan tindakan berkorporasi.
c. Warga PMII melawan ketidakadilan tata penyelenggaraan ekonomi adalah sebagian dari iman (syu’bul
iman)
d. Setiap orag mempunyai kewajiban dalam bekerja (Imam An-Nawawi al-Bantani). Ikhtiar lebih utama
daripada hasil

2. Bidang politik
Dalam tindakan politik, semua warga pergerakan seyogyanya meletakkan secara proporsional antara
ruang privat atau “ruang keintiman” sesama komunitas pergerakan dan ruang publik-politik atau “ruang
kompetitif”. Ini berarti:
a. Ruang politik-kompetitif tidak boleh merongrong “ruang keintiman” komunitas warga PMII yang berpotensi
memecah belah komunitas.
b. “Ruang keintiman” pada hakikatnya adalah ruang komunitas yang dibangun dan dipertahankan
melalui ta’awun (kooperasi), kepercayaan (trust), dan kerjasama.
c. Warga PMII berperan sebagai kekuatan strategis yang bersinergi dengan penguasa (pemerintah),
sekaligus juga menjadi alat kontrol yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah.

3. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial, warga pergerakan seyogyanya memiliki etika dalam segala tindakan, yang meliputi:
a. Peka terhadap realitas sosial, memiliki tanggung jawab sosial, dan tanggap terhadap berbagai problem
sosial di dalam kehidupan masyarakat.
b. Bersikap positive thinking; yakni memandang setiap anggota pergerakan mempunyai potensi kebaikan
masing-masing. Warga PMII juga memiliki kesadaran self-criticism (nashoihul ‘ibadh)
c. Warga pergerakan bersikap saling menghormati baik secara internal maupun dengan komunitas
eksternal lainnya, serta saling menasehati dan mengingatkan satu sama lain.[3]
d. Warga PMII mengembangkan solidaritas sosial dan menjalankan mandat (peran) sosial dalam rangka
mewujudkan common good komunitas dan bangsa.
e. ‘Adabu mu’asyarah (Sirajul Tholibin, KH. Ihsan Al-Jampes)
f. Warga pergerakan berprinsip bahwa melawan ketidakadilan atau kesewenang-wenangan adalah bagian
dari iman (syubul iman)

4. Bidang Kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan, warga PMII memiliki komitmen berpikir dan bertindak sebagai berikut:
a. Menyerap khasanah kebudayaan dan peradaban lain dari manapun datangnya untuk memperkaya dan
memperkuat nilai dan kebudayaan komunitas.
b. Mengembangkan kreativitas kebudayaan dalam rangka meng-counter ekspansi kebudayaan asing dan
sekular.
c. Mengembangkan budaya organisasi yang sehat atas dasar nilai ta’awun.

5. Bidang Pergaulan Sehari-hari


Dalam pergaulan sehari-hari, warga PMII mengembangkan etika pergaulan sosial yang meliputi:
a. Yang tua (senior) membimbing dan memuliakan yang muda, dan sebaliknya yang muda hormat terhadap
orang tua sebagai sesama pengemban etik aswaja.
b. Mengapresiasi setiap capaian, kesuksesan dan keberhasilan setiap kader yang berprestasi dan
memberikan dukungan terhadapnya.
c. Mengucapkan “terimakasih”, “thanks”, “syukron” dan sejenisnya setiap menerima bantuan, nasehat, atau
pemberian dari yang lain.
d. Berjabat tangan kepada setiap kader
e. Berpandangan bahwa setiap kader adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah pergerakan. Berprinsip
bahwa setiap pembelajar adalah pengajar, dan setiap pengajar adalah pembelajar.

6. Kepemimpinan dalam organisasi


Dalam rangka mengawal pelaksanaan Etik Aswaja, setiap warga PMII memilih seorang pemimpin yang
berkarakter:
a. Shiddiq (transparan)
b. Amanah (tanggung jawab, trust)[4]
c. Fathonah
d. Tabligh (komunikatif, menyerap aspirasi, dan mampu menyuarakan aspirasi) yang bisa
menjaga common-good komunitas
e. Menjadi teladan[5]
f. Ta’at pada nilai bersama (common good)

6
Penutup
Demikianlah pokok-pokok Etika Aswaja PMII yang menjadi panduan bertindak dan berpikir dalam
kehidupan sosial kontemporer. Pokok-pokok tersebut meliputi bidang ekonomi, politik, sosial,
kebudayaan, pergaulan sehari-hari dan dalam kepemimpinan organisasional. Bila hendak dinyatakan
dalam satu kalimat, maka Etika Aswaja berpusat pada semangat ta’awun dalam semua bidang
kehidupan.
Secara internal komunitas warga, semangat ta’awun mendekontruksi kompetisi menjadi kooperasi;
sementara dalam berhadapan dengan kekuatan eksternal, semangat ta’awun mendekontruksi dari
kerumunan menjadi kekuatan berkompetisi. []

[1] Draft Aswaja ini merupakan rumusan dari Lokakarya Aswaja yang di
selenggarakan oleh PKC PMII DKI Jakarta pada tanggal 27-30 Juli 2009
bertempat di Jakarta dan dihadiri oleh beberapa perwakilan PKC dan PC PMII
se-Indonesia. Draft ini sangat terbuka untuk direspon melalui kritik atau
tanggapan.

[2] Karena sumberdaya ekonomi di negara-negara Asia Tenggara pada


umumnya berpusat di local government, maka membangun akses di
dalamnya adalah suatu keniscayaan.

[3] (An-Nawawi al-Bantani; Qomiyut-Tughyan),

[4] Kullukum ro’in wa kullukum mas’uulun au ro’yatih

[5] La tash hab man la yunhidluka ilaallahi haaluhu, wala yadulluka


maqooluhu

Anda mungkin juga menyukai