Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awalnya wilayah-wilayah Asia bagian tenggara termasuk Filipina,

semenanjung Asia Tenggara sampai daratan Malaysia dan termasuk kepulauan

Indonesia saat ini merupakan wilayah otoritas sebuah kebangsaan yang kuat

yang dikenal ssebagai entitas Nusantara. Dalam kajian Islam Nusantara,

entitas Nusantara saat ini dikenal dengan Indonesia.

Sejak digulirkan sebagai tema Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa

Timur, awal Agustus 2015, menjadi topik hangat yang diperbincangkan,

terutama oleh masyarakat muslim Indonesia. Tak jarang, perbincangan itu

berujung pada pro dan kontra. Diakui, kendatipun lahir dari rahim Nahdlatul

Ulama (NU), belum semua warga NU (Nahdliyin) mengetahui dan memahami

buah pikiran tersebut. Fenomena ini berpotensi pula memunculkan

kesalahpahaman, bahkan ―kegaduhan-kegaduhan‖ di tengah warga NU, baik

di masyarakat maupun pesantren, menyikapi Islam Nusantara yang

dipolemikkan oleh para tokoh agamanya. Selain dari sebagian warga

nahdliyyin, pihak kontra juga berasal dari luar organisasi massa Islam terbesar

di Indonesia itu. Mereka umumnya mengkritisi istilah, makna, dan tujuan di

balik gagasan Islam Nusantara .

Menurut Azhar Ibrahim, Universiti Nasional Singapura (nu.or.id), IN

belum menelurkan gagasan filsafat yang rasional (belum menghasilkan

kesarjanaan Islam yang tinggi). Frasa ini baru muncul sebagai konsep, ketika

1
akan diselenggarakannya muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur.

Sementara menurut kalangan intelektual NU, IN sudah dipraktekkan sejak

zaman Wali Songo di Jawa. Bahkan, IN diklaim NU sebagai konsep dakwah

Islam paling ideal dibanding Islam Timur Tengah

Pedebatan mengenai istilah IN di kalangan intelektual NU terletak pada

label kata “nusantara” yang mengikuti kata “Islam”. Kata ini bisa

memengaruhi makna Islam yang tidak hanya dimaknai secara normatif, tapi

juga variatif. Ketika Islam dan Nusantara menjadi frase Islam Nusantara,

artinya sangat beragam. Tergantung cara padang atau pendekatan keilmuan

yang dipakai.

Pertama,pendekatan filosofis memunculkan lima istilah. IN adalah istilah

yang bersifat non-positivistik, pisau analisa, islam subtantif , dan sebagai

sistem nilai. Sebagai istilah, Islam Nusantara, seperti diungkapkan Isom

Yusqi (nu.or.id), diposisikan sebagai salah satu pendekatan dalam mengkaji

Islam yang akan melahirkan berbagai displin ilmu. Seperti

fikih nusantara, siyasah nusantara, muamalah nusantara, qanun nusantara,

perbankan Islam Nusantara, ekonomi Islam nusantara, dan berbagai cabang

ilmu Islam lain atas dasar sosio-episteme ke-nusantara-an.

Makalah ini bertujuan untuk mengupas seluk beluk hingga eksistensi

Islam Nusantara sampai sekarang, disamping untuk memenuhi wawasan

dalam Matakuliah Islam Nusantara.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa pengertian Islam Nusantara ?

2
1.2.2 Bagaimana ruang lingkup Islam Nusantara ?

1.2.3 Bagaimana Eksistensi Islam Nusantara ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui pengertian Islam Nusantara

1.3.2 Mengetahui ruang lingkup Islam Nusantara

1.3.3 Mengetahui Eksistenti islam Nusantara

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Islam

Islam merupakan salah satu agama resmi dengan pemeluk terbesar di

Indonesian bahkan di dunia . Islam sejak masa awal kedatanganya hingga

sekarang telah melampaui berbagai dinamika zaman , mulai dari masa masa

kerajaan Hindu , Budha , dimana Islam diperkenalkan oleh para ulama dan

edagang antar Negara , pada masa kerajaan – kerajaan islam , hingga masa

pembaharuan Islam yang sedemikian anjang tersebut telah memengaruhi

corak keislaman Islam Nusantara dengan karakteristik umat islam diberbagai

Negara dibelahan dunia.

Agama Islam mempunyai pengertian yang lebih luas dari pengertian

agama pada umumnya. Di sini, kata Islam berasal dari Bahasa Arab yang

mempunyai bermacam-macam arti, diantaranya

sebagai berikut:8

a. Salam yang artinya selamat, aman sentosa dan sejahtera, yaitu

aturan hidup yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan

akhirat. Kata salam terdapat dalam al-Qur‟an Surah al-An‟am

ayat 54; Surah al-A‟raf ayat 46; dan surah an-Nahl ayat 32.

b. Aslama  yang artinya menyerah atau masuk Islam, yaitu agama

yang mengajarkan penyerahan diri kepada Allah, tunduk dan taat kepada

hukum Allah tanpa tawar- menawar. Kata aslama

terdapat dalam al-Qur‟an surah al-Baqarah ayat 112; surah al-

Imran ayat 20 dan 83; surah an-Nisa ayat125; dan surah al-

4
An‟am ayat 14.

c. Silmun yang artinya keselamatan atau perdamaian, yakni agama

yang mengajarkan hidup yang damai dan selamat.

d. Sulamun  yang artinya tangga, kendaraan, yakni peraturan yang

dapat mengangkat derajat kemanusiaan yang dapat

mengantarkan orang kepada kehidupan yang bahagia.

Adapun kata Islam menurut istilah (terminologi) adalah

mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang

dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia.

Dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama

sepanjang sejarah manusia sejak Nabi Adam As hingga

Muhammad SAW., atau masa sekarang. Islam adalah agama dari

seluruh nabi dan rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT. Islam

merupakan agama bagi Adam As., Nabi Ibrahim, Nabi Ya‟qub,

Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Isa As., dan rasul

terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW. Hal demikian ditegaskan

dari ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an.

Islam sebagaimana dikemukakan di atas, adalah agama

yang memiliki ajaran luhur. Apabila ajaran-ajaran Islam diketahui

dan diamalkan setiap orang yang meyakininya (pemeluknya), maka

ia akan menuai rasa aman dan damai dalam hidupnya. Islam adalah

agama yang berisi ajaran yang lengkap (holistik), menyeluruh

(comprehensive) dan sempurna (kamil). Sebagai agama sempurna,

Islam datang untuk menyempurnakan ajaran yang dibawa oleh

5
Nabi-nabi Allah sebelum Nabi Muhammad. Kesempurnaan ajaran

ini menjadi misi profetik (nubuwwah) kehadiran Nabi Muhammad

SAW.11

Sedangkan dalam konteks Islam Nusantara (IN), pengertian Islam adalah

lekat dengan syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah untuk

umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang

berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang

berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh umat Muslim

semuanya.

Syariat Islam yang diberlakukan oleh Allah kepada manusia, memiliki

beberapa tujuan utama guna menjaga dan menarik kemaslahatan serta menolak

dan mengantisipasi timbulnya berbagai kerusakan pada lima hal pokok yang

menjadi sendi-sendi kehidupan seorang Muslim atau Muslimah yaitu:

1. Menjaga Jiwa (Hifzhun Nafsi)

Kedudukan jiwa dalam agama mendapat perhatian yang sangat besar dan

vital untuk dijaga dan dipelihara kelangsungannya serta mencegah segala hal

yang dapat mengancam atau menghilangkan jiwa/nyawa seseorang. 

2. Menjaga Akal (Hifzhul Aqli)

Akal adalah nikmat terbesar setelah nikmat kehidupan (nyawa). Dengan akal

itulah seseorang dapat memisahkan antara yang haq dan bathil, dapat memilah

dan memilih mana yang baik (maslahat) dan bermanfaat serta mana yang

merusak (mafsadat) dan merugikan (madharat).

3. Menjaga Agama (Hifzhud Diin)

6
Agama sebagai penuntun hidup manusia agar teratur, tertib, seimbang lahir dan

batin, serta mengarahkan manusia agar hidup bahagia, selamat dan mulia dunia

dan akhiratnya. Karena itulah Syariat menetapkan berbagai tuntunan untuk

menjaga, merawat dan mempertahankan eksistensi agama, seperti menegakkan

sholat lima waktu sebagai tiangnya agama, berjihad melawan penjajah yang

dapat membahayakan kelangsungan agama, menyebarkan dakwah Islam baik

dengan lisan (dakwah bil lisan), tulisan (dakwah bil kitabah), maupun aksi-aksi

sosial (dakwah bil hal)

4. Menjaga Keturunan (Hifzhun Nasli)

Keturunan ibarat separuh jiwa keberlangsungan hidup manusia yang diberi

anugerah berupa naluri seksual. Dengan berketurunan, manusia akan dapat

melanjutkan tugas kekhalifahannya untuk memakmurkan bumi dengan

berbagai hal yang bermanfaat bagi sesama sesuai dengan tuntunan ilahiyah.

Maka menjaga keturunan menjadi perhatian penting dalam Syariat Islam agar

tercipta harmonisasi kehidupan sosial mulai dari lingkungan rumah tangga,

komunitas masyarakat hingga tatanan bangsa yang mendukung ketahanan

sebuah negara

5. Menjaga Harta (Hifzhul Maal) :

Harta merupakan wasilah (perantara) tercapainya berbagai keinginan,

hidup bahagia (meski sifatnya relatif), juga bisa mendukung pelaksanaan

ibadah. Dengan harta orang bisa membeli pakaian untuk menutup aurat-yang

notabene salah satu syarat sahnya sholat, digunakan untuk bersedekah,

berzakat, wakaf, hibah, berhaji, mendukung kesuksesan acara-acara Peringatan

Hari Besar Islam (PHBI) dan lain sebagainya. Karena itulah harta harus

7
dilindungi eksistensinya karena bisa mendukung tegaknya atau suksesnya

perjuangan agama.( jabar.nu.or.id).

2.2 Ruang Lingkup Islam Nusantara

Ruang lingkup kajian Islam Nusantara adalah berikhtiar mengintegrasikan,

menginterkoneksikan dan menginternalisasikan tiga peradaban Islam yang

telah menyejarah dan membumi di Nusantara. Ketiga peradaban tersebut

yaitu Peradaban Teks (Hadharatun Nash), Peradaban Ilmu dan Budaya

(Hadharat al-‘Ilm wa al-Thaqafah) dan Peradaban Setempat (local

wisdom/Hadharah Mahalliyyah/Waqi‘iyyah). Bertitik tolak dari kerangka

dasar di atas kajian Islam Nusantara akan mengkonstruksi pendidikan Islam

yang non-dikotomis, non-dualistik dan berkarakter yang utuh. Dengan

demikian sebagai langkah awal kajian ini menggali dan membangun teori

ilmu-ilmu keislaman yang berwatak sosial-Nusantara seperti kajian

kepesantrenan (pesantren studies), geneologi keilmuan (sanad ilm), tahqiq

turath ulama Nusantara, talaqqi pembelajaran al-Qur‘an dan lain sebagainya.

Selain itu kajian Islam Nusantara bertujuan mengkonversi ekspresi-ekspresi

keberislaman muslim Ahlussunnah Wal-Jama‘ah melalui tradisi-tradisi

keagamaan seperti pembacaan Aurat/wiridan, Ratib, Ruqyah, Manaqib,

Maulid Nabi SAW, Nasyid, Istighasah dan Ziarah makam para wali dan

ziarah ke orang-orang shalih disingkat: ARUMANIZ) dan Marawisy, Hadrah,

Barzanji dan Nasyidahan (disingkat: MARHABAN). Kemudian pada sisi

metodologi dakwah dalam menyikapi khazanah, peradaban, dan kearifan

lokal (local wisdom) yang ada di wilayah Nusantara, baik sikap terhadap

8
tradisi baik (‗urfun shahih) dan tradisi tidak baik (‗urfun fasid) kajian Islam

Nusantara akan melakukan rekayasa-rekayasa sosial dengan cara-cara

amputasi, asimilasi, dan minimalisasi sehingga ajaran Islam tetap sesuai pada

setiap waktu dam tempat (shalihun li kulli zaman wa makan). Pembumian

ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jama‘ah (baca : Islam Nusantara) dengan

metode dakwah yang paralel dengan karakteristik Nusantara dan kearifan

lokal masyarakatnya. Tradisi baik akan diterima, dalam arti sesuatu yang

telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan,

yang dilegitimasi oleh syari‘at (tidak menghalalkan yang haram dan tidak

membatalkan yang wajib), atau syari‘at tidak membahasnya, yang sifatnya

adalah berubah dan berganti. Sementara tradisi tidak baik, yaitu sesuatu yang

telah dikenal oleh masyarakat tetapi bertentangan dengan syari‘at, akan

disikapi dengan tiga pendekatan (approach), yaitu amputasi, asimilasi, atau

minimalisasi. Metode ini telah terbukti dapat diterima masyarakat Nusantara,

tanpa resistensi tinggi atas perubahan tradisi yang sebelumnya mereka jalani.

Amputasi adalah metode dakwah dengan memotong tradisi yang

menyimpang. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi

suatu tradisi yang secara prinsip tidak dapat diakomodasi dalam syariat Islam.

Contohnya adalah keyakinan dinamisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu

mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan

atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup) dan animisme

(kepercayaan kepada roh yang diyakini mendiami semua benda, seperti

pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya). Meskipun dilakukan dengan

cara memotong hingga ke akarnya, namun dakwah model ini dilakukan

9
secara bertahap dan berproses. Hal ini seperti yang dilakukan Nabi

Muhammad shallallahu ‗alayhi wa sallam, dalam menyikapi keyakinan

paganisme (kepercayaan atau praktik penyembahan terhadap berhala) di

kalangan masyarakat Arab. Nabi Muhammad shallallahu ‗alayhi wa sallam

menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran,

kebudayaan, dan pedoman hidup pagan. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan,

namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan kota

Makkah (Fath Makkah) pada 630 M / 8 H, atau ketika dakwah Islam telah

berusia 21 tahun.

Asimilasi adalah metode dakwah dengan menyesuaikan atau melebur

tradisi menyimpang menjadi tradisi yang tidak bertentangan dengan syari‘at

Islam. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi suatu

tradisi yang secara praksis dapat diakomodasi dalam syari‘at Islam, dengan

cara ‗membelokkan‘ dari tradisi tidak baik menjadi baik. Contohnya adalah

tradisi tumpeng yang pada mulanya merupakan tradisi purba masyarakat

Indonesia untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang,

atau arwah leluhur (nenek moyang). Tradisi ini diasimilasi dengan sentuhan

filosofi Islam, bahwa ―Tumpeng‖ merupakan akronim dalam bahasa Jawa

―Yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-

sungguh).‖ Pada bagian makanan bernama ―Buceng‖, dibuat dari ketan;

akronim dari: ―Yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan

sungguh-sungguh).‖ Sedangkan lauk-pauknya berjumlah tujuh macam, atau

pitu dalam bahasa Jawa, bermakna Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat

akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam Surat al Isra‘ ayat ―Dan

10
katakanlah, ‗Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan

keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku

dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.‖ (QS. Al-Isra: 80)

Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud

empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16,

sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan

vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang

sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Istilah ini secara perdana

resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama

pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang

selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.

Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang

mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam

merumuskan fikihnya.Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara

terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan

bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya

Indonesia.

2.3 Eksistensi Islam Nusantara

Indonesia, sebagaimana yang telah dikenal sejak puluhan bahkan

ratusan tahun yang lalu merupakan sebuah entitas kebangsaan yang sangat

multikultural dengan jumlah etnis dan kebudayaan yang banyak dan beragam.

Tidak hanya dengan jumlah masyarakat yang besar, Indonesia secara historis

juga dikenal sejak dulu sebagai satu bangsa yang cukup kuat dengan wilayah

11
teritorinya yang luas. Oleh sebab itu maka tak heran jika sejarah mencatat

begitu banyak negara-negara koloni yang saling berebut untuk menguasai

wilayah ini. Lebih jauh lagi menelisik sejarah Indonesia, maka diketahui

bahwa Indonesia beberapa abad yang lalu merupakan satu kesatuan bangsa

yang jauh lebih kuat yang lebih dikenal dengan sebutan Nusantara.

Dengan mengangkat keistimewaan pluralitas sebagai hal yang sangat

unik dan istimewa, entitas kebangsaan ini kemudian terus mengalami

dinamika revolusi namun sangat kuat untuk berpegang teguh dalam

menjunjung perbedaan dalam satu kesatuan. Oleh sebab itulah maka hingga

saat ini entitas Nusantara atau yang kini dikenal dengan nama Indonesia

masih berpegang teguh pada semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya

nilai berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan ini pada dasarnya memiliki

makna dan tujuan untuk berusaha mengakarkan rasa solidaritas dan rasa

persatuan yang cenderung “imajiner” sebagai bagian dari kesatuan Indonesia.

Menjadi menarik dalam membahas lebih lanjut bagaimana kondisi

keberagaman komposisi masyarakat Indonesia menghadapi tantangan

dinamika sosial dan evolusi dari berbagai bentuk ancaman seperti gerakan-

gerakan separatis, diskriminasi kaum minoritas, perbedaan derajat dalam

pergaulan dan lingkungan sosial, dan masalah-masalah sosial lainnya yang

menyangkut perbedaan latar belakang personal. Agama, sebagai salah satu

perbedaan yang sangat sensitif tidak jarang menjadi pemicu dan penyebab

utama munculnya pergolakan permasalahan-permasalahan tersebut menjadi

lebih besar. Agama mayoritas yang mengalami pergeseran dan pergantian

dari hindu ke budha dan kemudian ke Islam menjadi faktor penting alasan

12
mengapa indikator agama menjadi sebuah sentimen dalam pergaulan

masyarakat di Indonesia. Hal itu pula yang juga kemudian diduga menjadi

main trigger dari munculnya berbagai gerakan-gerakan separatis dan tindakan

diskriminasi blatarbelakang keagamaan. Hal ini tentunya merupakan sesuatu

yang rasional mengingat faktor agama berbicara mengenai kepercayaan dan

cenderung menjadi prinsip dan ideologi seseorang dalam berinteraksi dengan

lingkungan sosialnya. Itulah mengapa sedikit saja sentimen yang

menyaangkut keagamaan ini terangkat di lingkungan sosial maka sangat

rentan memicu terjadinya gesekan sosial dan konflik yang lebih besar dan

berkepanjangan.

Dalam upaya menjaga kesatuan wilayah dan rasa solidaritas

kebangsaan Indonesia maka sudah seharusnya berbagai tantangan ini

dipikirkan oleh banyak pihak dan segera diberikan solusi yang efektif guna

mencegah terjadinya perpecahan dan konflik yang berkepanjangan. Salah

satunya adalah dengan kemudian menanamkan rasa solidaritas itu sendiri

kepada tiap individu masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Penanaman

nilai-nilai kesatuan ini bahkan ditanamkan ke masyarakat sosial sejak usia

belia/kanak-kanak, remaja hingga orang tua. Hal ini guna mengakarkan rasa

solidaritas dan nilai-nilai persatuan dalam satu identitas kebangsaan

Indonesia, termasuk menjadikan perbedaan yang ada (termasuk perbedaan

agama) sebagai sebuah keunikan; keistimewaan dan bukan menjadi

penghalang terhadap terwujudnya perdamaian dan ketentraman di lingkungan

masyarakat. Masyarakat Indonesia yang dihadapkan dengan keadaan yang

plural diharapkan dapat saling menghargaai dan menghormati perbedaan satu

13
sama lain demi terwujudnya perdamaian dan perasaan saling menghormati

satu sama lain.

Dari gagasan inilah kemudian berangkat sebuah pemikiran tentang

Indonesia dengan nilai utamanya adalah mengangkat kesatuan dan persatuan

masyarakat Islam Nusantara, sebuah sudut pandang yang diklaim sebagai

pembawa perdamaian bagi bangsa Indonesia utamanya pagi pemeluk agama

Islam, agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia melalui rasa

menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan

agama demi terwujudnya masyarakat yang harmonis dan saling menghormati

antar umat beragama. Pada dasarnya konsepsi Islam Nusantara hingga saat ini

menjadi sebuah perdebatan serius yang menghadapkan dua perspektif besar;

Islam universal dengan Islam yang lebih konvensional dengan berpegang

teguh pada nilai-nilai kebenaran Islam yang hakiki.

Pandangan Islam Nusantara berusaha menanamkan bagaimana nilai-

nilai Islam dapat dimplementasikan ke tengah-tengah masyarakat tradisional

Indonesia sehingga dalam praktiknya kemudian terjadi peleburan budaya

Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh sebab itu pandangan Islam

Nusantara memercayai bahwa kedamaian dan ketentraman masyarakat akan

lebih mudah dicapai dengan ditumbuhkannya rasa solidaritas masyarakat

Indonesia tanpa menjadikan perbedaan agama dan perbedaan-perbedaan

lainnya sebagai pemicu permasalahan.

Orang-orang yang mengangkat ide Islam Nusantara ini memegang

erat pada kepercayaan bahwa peerbedaan dan perselisihan di kalangan

masyarakat Indonesia adalah suatu hal yang krusial. Olehnya itu, solusi

14
terhadap ancaman perpecahan dan gangguan ketentraman masyarakat

menjadi seuatu yang mendesak untuk diperhatikan secara serius.

Ciri khas islam nusantara adalah pandangan agama Islam yang

melebur dengan kebudayaan dan perspektif lokal sehingga masyarakat

mampu memadukan kebudayaan lokalnya dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Tujuannya tentu sebuah hal yang mulia, bagaimana nilai-nilai keislaman

mampu diimplementasikan dengan lebih fleksibel terhadap kelompok

masyarakat tradisional.

Hal yang menjadikan Islam Nusantara ini kontroversial di tengah

masyarakat adalah karena pendapat kelompok sebagian orang yang menilai

bahwa konsepsi Islam Nusantara jelas tidak sesuai dengan ajaran agama

Islam yang semestinya dimana Islam yang dileburkan dengan kebudayaan

lokal tradisional itu artinya sama halnya mencampur-adukkan antara

kebenaran dan kebathilan. Hal ini sebagaimana yang tercantum di dalam QS

al-Baqarah [2]:

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil

dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui

beliau berkata, “Allah melarang orang Yahudi mencampuradukkan perkara

yang batil dengan yang hak, melarang menyembunyikan yang hak dan

menampakkan kebatilan. Allah melarang mereka dua perkara ini. Sebaliknya,

Allah memerintah mereka agar menampakkan kebenaran, karena mereka

mengetahui yang benar.”

Tentu sebuah hal yang perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai

bagaimana standarisasi kebathilan (sesuatu yang salah/melenceng dari jalan

15
lurus) itu sendiri ditetapkan oleh kelompok penganut Islam garis keras yang

menentang Islam Nusantara yang menjadikannya alasan yang konkret

menentang konsepsi Islam Nusantara.

Bahkan di beberapa media, kelompok penentang Islam Nusantara

garis keras menyatakan bahwa Islam Nusantara yang kaya dengan warisan

Islam (Islamic legacy) justru akan berpotensi besar menjadi harapan renaisans

peradaban Islam global yang akan berakulturasi dengan Tatanan Dunia Baru

Ciptaan Dajjal (The New World Order).[2] Merupakan pemikiran yang

dangkal dalam melihat Islam Nusantara sebagai suatu aancaman terhadap

Islam dan mengaitkannya pada tatanan dunia baru ciptaan Dajjal dan

konstruksi negatif sejenis lainnya sebab Islam Nusantara pada dasarnya

bertujuan untuk memudahkan implementasi nilai-nilai Islam ke dalam

masyarakat tradisional dan bukan berarti mencampur-adukkan kedua

peradaban yang berbeda.

Selama implementasi konsepsi Islam Nusantara diimplementasikan

dengan sesuai syariat yang berlaku maka tentunya pemikiran ini bukanlah

sesuatu yang keliru sepenuhnya. Terlebih lagi dalam upaya menjaga keutuhan

NKRI dari ancaman gerakan separatis dan kelompok-kelompok separatis

maka ide atau pemahaman ini menjadi sebuah hal positif yang akan mampu

mempertahankan bahkan meningkatkan rasa menghargai dan menghormati

perbedaan satu sama lain dan tentunya secara langsung maupun tidak

langsung dapat menjaga solidaritas keutuhan masyarakat karena mampu

mengimplementasikan ajaran agama Islam yang dibaawa serta tetap

menghormati kebudayaan lokal yang sudah ada sebelumnya. Dengan begitu

16
maka tentunya hal ini akan berimplikasi positif terhadap solidaritas keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri secara universal. Oleh sebab

itu hal ini tidak ada salahnya untuk dipertahankan bahkan dikembangkan

lebih luas lagi selama hal ini tidak terbukti bertentangan dengan nilai dan

ajaran agama Islam itu sendiri.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Dalam pengertian Islam Nusantara arti Islam mengacu pada syariat

menjalani amaliyah sehari-hari umat Muslim Nusantara.

2. Islam Nusantara memiliki ruang lingkup sosial-Nusantara dengan

mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia yang

merupakan kontekstualisasi Islam yang moderat.

3. Keberadaan Islam Nusantara sebagai NKRI harga mati patut dipertahankan

selama tidak menyimpang dari syariat Islam.

3.2 Saran

Saran kami tujukan kepada pembaca. Dalam penyusunan makalah ini kami

menyadari masih banyak kekurangan. Namun tetap dapat dijadikan sebagai

salah satu referensi bacaan untuk menambah wawasan tentang Islam

Nusantara.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://jabar.nu.or.id/detail/prinsip-prinsip-dasar-syariat-islam.

https://www.dakwah.id/pengertian-syariat-islam

http://webcache.googleusercontent.com:ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/sh

ahih

Luthfi, Khabibi Muhammad. 2016.Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya

Lokal. Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Pati.

19

Anda mungkin juga menyukai