Anda di halaman 1dari 10

Apa yang Politik dan Apolitis dari Islam: Kegagalan Dalam Membaca

Kompleksitas Pemikiran Islam di Indonesia

 12 Februari 2014
 Ahmad Syarif Syechabubakr

Kritik terhadap Amin Mudzakkir

ARTIKEL saudara Amin Mudzakkir mengenai lahir dan menangnya liberalism


Islam di Indonesia sangat menarik. Artikel itu mengajak kita untuk kemudian
menyelidiki kelahiran Islam liberal di Indonesia. Sayangnya artikel saudara
Amin terkesan sangat terburu-buru dalam mendefiniskan gerakan Islam
liberal, terutama ketika ia memasukkan Nurcholis Madjid (Cak Nur),
Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Ulil Abshar Abdalla ke dalam satu
lingkaran liberal yang seakan-akan ketiganya lahir dari tradisi intelektual yang
sama. Saya rasa itu kecelakaan besar dalam artikel itu. Kompleksitas ide para
intelektual Islam kemudian disadur begitu sederhana ke dalam liberalisme.
Apalagi saudara Amin tidak mendahului dengan mendefinisikan liberalisme
jenis apa yang dibayangkannya. Sesaat kita bisa melihat ide liberal yang
dimaksud adalah semangat terjun bebas melampaui adab dan tradisi dalam
tafsir, seperti yang dilakukan Ulil. Tetapi kalau memang itu yang dimaksud,
maka buku Akal dan Wahyu karangan Harun Nasution yang
menjelaskan Akal tidak pernah steril dari kepentingan dan kemashalatan
Umat telah membantah ide tafsir terjun bebas ala Ulil. Atau apabila
liberalisme adalah kemerdekaan subyek dari ikatan komunalnya, maka
bagaimana menjawab Gus Dur yang dianggap sebagai pemersatu Umat di
pesantren-pesantren di Jawa, yang bentuknya sangat komunal? Tidak ada
individu yang merdeka dalam kaidah liberalisme di dalam pesantren, yang
pola hubungannya sangat patron-kilen (Kiai-Santri). Gus Dur di dalam
pesantren tidak ditafsirkan sebagaimana Gusdurian borjuis dan JIL tafsirkan.

Uniknya, kelompok Islam fundamentalis dan liberal sepertinya sepakat tanpa


debat dengan liberalnya Gus Dur, Cak Nur dan Harun Nasution, dan
kemudian juga sepakat bahwa Ulil Abshar adalah pewaris liberalisme mereka.
Ini jelas menyesatkan!

Bahkan, jangan-jangan, Cak Nur, Harun Nasution dan Gus Dur adalah korban
dari tafsir sederhana dari kelompok fundamentalis dan politisasi dari
kelompok liberal yang memerlukan nama besar untuk menjalankan
agendanya. Mengenai jargon-jargon pemikiran yang dipolitisasi adalah hal
lumrah dalam konteks politik modern. Kita, misalnya, pernah melihat
bagaimana konsep Ubersmensch Nietzsche kemudian digunakan oleh Nazi
untuk melegitimasi ide-ide fasismenya.

Sepertinya ada kesalahan umum yang kita lakukan dalam membaca gerakan
inteletualisme dan politik Islam di Indonesia, terutama dalam membaca
gerakan intelektual tradisionalis. Saya akan membagi tulisan ini ke dalam dua
bagian: Pertama, memberikan gambaran singkat mengenai tradisi Politik
Islam di Indonesia, terutama dalam perspektif tradisional. Kedua mengenai
lahirnya apa yang sekarang sering disebut sebagai cikal-bakal yang di klaim
sebagai liberal Islam oleh banyak kalangan.

Islam: antara tradisi politik modern dan tradisional?

Islam di Indonesia dan dimanapun di muka bumi ini, tidak pernah menjadi
sebuah gerakan ‘hanya ibadah’ saja. Dalam sejarah Indonesia, kita
mendapati Perang Jawa (Diponegoro 1825-1830), pemberontakan Petani
Banten (1888), Pemberontakan Aceh (1896-1901) dan lahirnya gerakan
Nasionalis dan Komunis di dalam SI (Sarekat Islam) yang menggunakan
warna Islam. Dalam momen-momen itu, Islam lahir sebagai sumber energi
dari mobilisasi politik. Dan Islam dalam gerakan di atas menikah dengan
ideologi yang lain, baik itu komunisme, ide-ide adat dan tentu saja kelompok
nbasionalis. Di sini kita bisa melihat Islam sebagai idiologi yang cair, mampu
menyerap yang lain di luar dirinya.

Sementara itu ada kelalaian dalam mendefiniskan politik Islam yang


sepertinya hanya berfokus kepada nafsu untuk merebut kekuasaan
institusional seperti Negara, dan mendirikan Negara Islam baik itu melalui
jalur demokratis maupun pemberontakan. Kesalahan jenis ini sepertinya
umum di lakukan oleh intelektual modern dalam menerjemahkan prilaku
politik dan prilaku non politik dalam Islam. Kekuasaan dan otoritas dalam ide
modern dipandang dalam konteks kekuasaan institusional, seperti Negara,
Partai Politik, Institusi Militer, dll. Kekuasaan dalam pemaknaan Islam
Tradisionalis tidak dipandang dan diukur melalui penguasaan atas institusi,
tetapi kepatuhan individu/tubuh.

Disinilah perbedaan utama Islam Modern dan Islam Tradisionalis. Islam


Modern mereproduksi kekuasaannya melalui sekolah-sekolah modern,
dimana tingkat pengetahuan diukur dengan cara modern seperti tingkatan
kelas, nilai raport dan prestasi individu dalam memahami pengetahuan-
pengetahuan alam yang sistemis dan rasional. Inilah yang dilakukan oleh
Muhammadiyah, Al-Irsyad dan organisasi Islam modern lainnya pada awal
1900an.

Sementara Itu Islam Tradisionalis memproduksi kekuasaanya melalui ritual-


ritual seperti Majelis Taklim, Maulid Nabi, Ziarah Kubur, membaca Wirid
dengan jumlah yang ditentukan, membaca Al-Quran dengan mengulang apa
yang diucapkan oleh Kiai. Transfer pengetahuan dalam Islam tradisionalis
berlansung dalam ritual-ritual itu, melalui pengalaman relijius yang terkadang
mistis. Melalui ritual-ritual inilah pengetahuan dan otoritas agama
direproduksi. Dan ritual-ritual itu acapkali di sebut sebagai bid’ah oleh
kalangan Islam Modernis.

Untuk menemukan bagaimana Islam Politik di definisikan di Indonesia, kita


harus mundur lebih jauh kepada Snouk Horgronje. Horgronje adalah
intelektual modern yang pertama kali mendefinisikan mengenai Islam Politik
secara sistemis ke dalam kategori-kategori tertentu. Sebelumnya Sir Thomas
Raffles berusaha melakukan itu, tetapi beliau tidak seberhasil Snouk
Horgronje. Horgronje mendefinisikan Islam di Indonesia ke dalam tiga
kategori: (1) Islam Ibadah (Ritual); (2) Islam dalam bidang sosial
kemasyarakatan; dan (3) Islam Politiek.[1] Bagi Horgronje Islam politik adalah
yang memberikan ancaman terhadap institusi-institusi kolonial, sehingga yang
Islam tradisionalis yang berfokus pada ibadah tidak dianggap berbahaya atau
apolitis. Klaim Horgronje ini kemudian diamini oleh studi-studi yang dipelopori
oleh Cornell University AS, mengenai Indonesia modern. Saya hendak
mengutip salah satu intelektual Islam modern paling berpengaruh, lulusan
Cornell, Delliar Noer: ‘Dapatkah benteng Islam di Indonesia yang berpusat
pada pesantren, surau, langgar dan masjid-mesjid itu yang bersifat tradisional
itu mampu menghadapi tantangan ini? (Kolonialisme).’[2] Petikan dari Noer itu
menyiratkan pesimisme atas kemampuan politik Islam Tradisionalis, dan di
dalam bukunya Noer telah memberikan perhatian yang terlalu besar terhadap
Islam Modern dan mengecilkan Islam Tradisionalis.
Pertanyaannya sekarang, apakah betul Islam Tradisionalis tidak ‘berpolitik?’
Jangan-jangan Horgronje benar, bahwa kelompok tradisionalis apolitis dan
tidak bisa ‘bergerak.’ Untuk menguji aktivitas politik Islam Tradisionalis di
Indonesia, kita sebenarnya bisa melihat pemberontakan-pemberontakan
Islam sebelum 1900. Pemberontakan-pemberontakan itu bisa didefinisikan
sebagai gerakan Islam tradisionalis, karena dipelopori oleh intelektual yang
diproduksi oleh institusi dan dengan metode tradisionalis.

Salah satu yang bisa kita ambil contoh sebagai bahan diskusi adalah
Pemberontakan Diponegoro. Banyak intelektual beranggapan bahwa
pemberontakan Diponegoro adalah pemberontakan politik ekonomi ketika
Belanda hendak mengakusisi Tegalrejo. Pendapat seperti ini, menurut saya,
salah dalam mengenali posisi Islam di dalam pemberontakan tersebut.
Meminjam ungkapan David. J. Banks, Islam dalam pemberontakan
Diponegoro ‘as a progressive source of adat (Local Custom), and potential
vehicle for the transformation of society.[3]’ Dalam konteks pemberontakan
Diponegoro, Islam dan budaya Jawa berasimilasi melawan kolonial yang
pada waktu itu merusak kosmologis Jawa, ketika sebagian pangeran Jawa
berselingkuh dengan kolonial untuk mengganti hubungan produksi ekonomi
yang berbasis Kawula-Gusti dengan basis Buruh-Majikan. Melalui
penggantian itu, perkebunan dan pertanian tidak lagi meladeni tata-aturan
budaya Jawa dengan ritual-ritualnya, tetapi meladeni pasar global di Eropa.
Jawa dan wilayah Indonesia lainnya sudah diperkenalkan oleh Islam dengan
kata Adil, Haq dan Hukum, sebelum sistem order colonial diakui sebagai tata-
aturan publik pada 1900an. Tetapi kata-kata itu tidak kemudian sama seperti
yang digunakan Islam Arab, dia berasimilasi mencerap dan dicerap oleh
budaya Jawa, sehingga menghasilkan kata yang popular dikalangan
masyarakat Jawa seperti Ratu Adil. Disinilah keunikan utama tradisi Politik
Islam di kalangan Tradisionalis, yaitu sifatnya yang luwes sehingga mampu
mencerap dan dicerap oleh ideologi selain dirinya.

Perang Diponegoro memberikan tiga hal kepada kita yang bisa digunakan
untuk menganalisis gerakan Islam politik di Indonesia: pertama, Islam hadir
sebagai ideologi yang luwes, yang kemudian membantu Umat dalam
menjawab permasalahan kekinian; kedua, Islam memiliki komitmen yang kuat
kepada Umat sehingga klaim terhadap kepentingan Umat
dan ukhuhwah (persatuan) menjadi penting dalam gerakan politik Islam,
termasuk mengenai kesejahteraan dan kebutuhan relijius dan duniawi
(ekonomi politik). Umat dalam pengertian Islam Tradisionalis cenderung
terikat pada lokalitas tempat ia berada, sementara dalam definisi Islam
Modern relatif lebih menglobal. Ketiga, maka dari itu sebagai sebuah entitas
baik Islam tradisional dan Modern tidak steril dari konstelasi politik ekonomi
tempat ia berada.

Lahirnya Islam komunis, Islam nasionalis dan Islam liberal di Indonesia,


menurut saya, merupakan konsekuensi dari keluwesan Politik Islam. Tetapi
asumsi bahwa liberalisme yang menikah dengan Islam disamakan dengan
liberalisme á la ‘Barat’ adalah kesalahan fatal, karena ketika Islam mencerap
ide dan dicerap ide lain keduanya saling memodifikasi. Klaim liberal dari
kacamata liberalisme ‘Barat’ akan menjadi sumber masalah dalam melihat
mengapa Gus Dur menjadi sumber semangat komunal di pesantren di Jawa,
Harun Nasution menolak tafsir ultra-liberal atas Al-Quran, dan Cak Nur lebih
mengritik efektivitas organisasi Islam dalam menjawab kebutuhan umat.
Kelompok studi kritis Islam 1970an

Setelah 1965 Islam Politik, terutama yang terlibat didalam politik praktis
mengalami banyak sekali tekanan. Soeharto menolak merehabilitasi
Masyumi, sementara NU yang aktif membantu Orba dalam meruntuhkan PKI,
malah di minimalisir peranannya di dalam politik praktis. Pada 1970an, fusi
partai dilakukan, gerakan politik Islam praktis mengalami pukulan besar.
Mereka bukan hanya gagal mendapat dukungan dari umat, tetapi juga
menunjukkan prilaku yang korup dan gagal menjawab keresahan Umat.

Pada tahun 1970an, intelektual-intelektual muda Islam mengalami keresahan


luar biasa dengan situasi yang terjadi. Pada tahun 1970, kelompok studi yang
terdiri dari Ahmad Wahib, Djohan Efendi, dan Dawam Rahardjo di Jogjakarta,
melakukan diskusi rutin mengenai permasalahan dan ide-ide Islam di rumah
Rektor UIN Jogja Mukti Ali, yang kemudian hari menjabat sebagai Menteri
Agama. Djohan Efendi dan Ahmad Wahib adalah anggota aktif HMI yang
pada tahun 1960 di bredel oleh Sukarno, dan kemudian ikut aktif dalam
gerakan bawah tanah HMI pada era Sukarno. Setelah 1965, mereka merasa
kecewa betul dengan penolakan rehabilitasi Masyumi. Lebih lagi, mereka
kecewa dengan cara HMI mengambil langkah politiknya yang begitu mudah
dikooptasi oleh Orba. Sementara itu di Jakarta, gerakan kritisisme Islam di
pimpin oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur). Walau mayoritas anggota HMI di
Jakarta pada waktu itu berbasis di Universitas Indonesia, Cak Nur adalah
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Dia sangat popular sehingga terpilih dua
kali sebagai ketua HMI pada masa krusial pembentukan Orde Baru, 1966-
1969 dan 1969-1971.
Cak Nur cukup unik, dia lahir dari keluarga NU di Mojoanyar, Jombang, Jawa
Timur. Walau dibesarkan di keluarga Islam Tradisionalis dan lulusan Gontor,
Cak Nur menolak bergabung dengan NU, dia malah bergabung dengan
Masyumi yang basis pendukungnya dari Islam Modern. Di Masyumi dia malah
sering di cemooh karena berasal dari keluarga NU. Masyumi memiliki
kekecewaan luar biasa terhadap NU, apalagi setelah NU memutuskan untuk
keluar dari Masyumi setelah Muktamar di Palembang pada tahun 1952, dan
kemudian mendukung NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) Sukarno
yang mendepak Masyumi dan PSI.

Cak Nur yang pernah di juluki Natsir Muda ini, juga memiliki keresahan yang
sama dengan apa yang dialami oleh koleganya di Jogjakarta. Tetapi beliau
relatif berani memformulasikan permasalahan Umat Islam pada waktu itu,
lebih lagi karena ia memiliki posisi yang strategis untuk mendefiniskan
permasalahan tersebut. Cak Nur, mengamati betul bagaimana organisasi
Islam pada era Orde Baru mengalami kemunduran yang luar biasa, bukan
hanya konsekuensi dari sikap represif Orde baru terhadap Islam Politik, tetapi
juga karena praktik korup politisi Islam baik dalam mencari keuntungan
maupun dukungan politik. Sementara permasalahan Umat yang lebih luas
seperti moralitas politik dan hilangnya ruang interpretasi atas permasalahan
hidup Umat Islam semakin terdegradasi.

Sisa-sisa intelektual Masyumi pada waktu itu kemudian membentuk DDII


(Dewan Dakwa Islam Indonesia), yang kemudian secara massif menyebarkan
ide-ide Islam ke pelosok Indonesia. Tapi Cak Nur sepertinya tidak puas
dengan itu. Lebih lagi dia merasa ada gap yang jauh antara elite politik dan
intelektual Islam dengan umat Islam pada waktu itu.

Proyek reformasi Cak Nur

Salah satu yang juga penting di dalam pemikiran Cak Nur adalah posisi Umat
yang menjadi pusat perhatiannya. Permasalahan akses terhadap keadilan
dan haq dalam politik dan ekonomi adalah apa yang dihadapi Muslim di
Indonesia.

Cak Nur melihat bahwa penyebab utama dari hal tersebut adalah pensakralan
beberapa jargon politik Islam, yang sepertinya lepas dan tidak boleh lagi di
kritik. Salah satunya adalah Negara Islam dan memasukkan Sharia kepada
hukum positif, sehingga sharia adalah permasalahan bagaimana memberikan
hukuman bagi yang melanggar, bukan masalah mengatur kehidupan Umat.
Siapapun yang mengritik Negara Islam kemudian dianggap tidak Islami. Ini
yang diresahkan oleh Cak Nur.
Maka dari itu, Cak Nur merasa perlu mereformasi pemikiran Islam. Untuk itu
beliau mempelopori program reformasi pemikiran Islam dengan (1)
Sekularisasi; (2) kebebasan pemikiran; dan (3) ide pembaruan dan sikap yang
terbuka. Sekilas ide-ide program Cak Nur terlihat sangat Liberal.

Tetapi marilah kita membahas apa yang dimaksud dengan Sekularisasi á


la Cak Nur, dan di sini saya hendak meminjam definisi Greg Barton:
‘Sekularisasi is defined by Nurcholis in contradiction to Sekularisme, the latter
term being employed to designate the atheistic system of thought, or world
view, that is commonly intended by use of term secular
humanism. Sekularisasi he defines as being a process rather than a belief
system.[4]’ Bagi Cak Nur sekularisasi adalah proses desakralisasi atau
mematerialkan ide-ide Islam.
Cak Nur melalui tiga program reformasinya mencoba menurunkan ide-ide
Islam yang sakral dan tidak lagi bisa diperdebatkan ke bumi, sehingga bisa
digunakan dan menjawab permasalahan umat. Cak Nur berupaya menjadikan
konsep-konsep yang abstrak menjadi lebih materialis. Konsep mematerialkan
yang sakral ini dipinjam Cak Nur dari Muhammad Iqbal: ‘The Statement that
Islam is Bolshevism plus God (Iqbal), means Muslim posses similarity in
looking at the world and its problem with communist (realistic, objective, and
do not make excessive valuations regarding objective materials), the
difference lies in the fact that Islam holds a world-view (weltanschauung)
which correlates the existence of God.’ [5]
Pada tingkat ini, Cak Nur mengritik Politik Islam yang dijalankan oleh
kelompok Modern yang berpijak pada ide-ide Sakral yang tidak lagi boleh
diperdebatkan. Bagi Cak Nur, kesakralan Islam tidak terletak pada ide yang
kaku dan mati, tetapi bagaimana ide dan akal mampu menjawab
permasalahan Umat. Untuk itu mematerialkan (mendesakralisasi) ide-ide
Islam adalah hal yang mutlak. Walaupun Cak Nur menekankan pentingnya
penggunaan rasio dan akal dalam desakralisasi, tetapi dia juga mengamini
bahwa akal dan rasio adalah Amanah, sehingga harus digunakan sebagai
bagian dari tanggung jawab terhadap Umat. Bagi Cak Nur, semua yang
menyangkut kehidupan umat bisa di desakralisasi dan di materialkan kecuali
Tuhan. Disinilah afirmasinya atas ide Muhammad Iqbal yang terkenal dengan
jargon: Islam is Bolshevism plus God.

Konsekuensi dari desakralisasi ini adalah tidak ada lagi yang membedakan
antara dunia spiritual dan dunia material. Bagi Cak Nur, hanya dengan cara
inilah kita bisa menjadi Muslim secara Kaffah (Menyeluruh). Contoh yang
paling kentara mengenai pemisahan antara dunia dan agama: ketika seorang
Ustad yang tertangkap korupsi lengkingan Allahuakbar dikumandangkan,
dimana bagi pengikutnya si Ustad adalah representasi kealiman, sehingga
umat buta akan perilaku korupnya. Perilaku seperti itu yang di kritik oleh Cak
Nur sebagai akibat dari pemisahan yang sakral dan yang duniawi, yang
menyebabkan kesadaran palsu atas realitas beragama.

Program sekularisasi Cak Nur ini mendapat tantangan dari kelompok Politik
Islam Modern yang merasa mendesakralisasi Negara Islam akan
membahayakan legitimasi dari usaha untuk mendirikannya. Sementara
kelompok Islam puritan merasa program sekularisasi ini akan membahayakan
elite Islam, karena dengan sekularisasi peta kekuasaan elite Islam dan ulama
akan mengalami perubahan yang drastis.

Tentu saja sekularisasi Cak Nur berbeda dengan sekulerisme ‘Barat’ yang
mencoba memisahkan moralitas agama dari kehidupan administratif
bernegara. Contoh yang paling baru adalah usaha Kanada untuk
mempraktikkan undang-undang yang melarang simbol agama (seperti, jilbab,
kalung salib, topi Yahudi, sorban Sikh dan lainnya) dipakai oleh pegawai
negeri. Sekularisasi Cak Nur malah ingin menemukan kembali moralitas
agama dalam kehidupan bernegara. Ketika Cak Nur memperkenalkan
slogan Islam Yes, Partai Islam No, dia sedang mengritik gerakan Islam politik
modern yang mereproduksi pensakralan ide-ide seperti Negara Islam dan
Hukum Sharia yang untouchable dari kritik, bukan mendepolitisasi Islam.
Dengan demikian, sekularisasi Cak Nur tidak compatible dengan program
liberalisme ‘Barat’ yang mencoba memerdekakan individu dari ikatan dan
tanggung jawab komunalnya kepada Umat, apalagi mencoba mendepolitisasi
Islam.

Sementara itu, liberalisme Islam yang dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal
(JIL) adalah barang baru yang lahir paska 1998, ketika terjadi perubahan
drastis kebijakan ekonomi Indonesia dari kapitalisme patrimornial Orde Baru
ke kapitalisme neoliberal. Pada era Orba kompetisi bebas á la neoliberal tidak
pernah menemukan posisi yang nyaman, yang ada hanya kronisme Orba
yang menguasai ekonomi Indonesia. Barulah setelah 1998, neoliberalisme
diperkenalkan secara mapan, dengan deregulasi kebijakan fiskal dan
finansial, terutama dalam hal distribusi kredit dari bank, yang menaruh
persaingan bebas ke dalam jantung kehidupan masyarakat kita.
Neoliberalisme di Indonesia sebelum 1998 adalah neoliberal setengah hati,
dimana rezim hanya berpartisipasi di dalam konteks global khususnya di
produksi minyak. Sementara di dalam negeri, Soeharto masih segan
menderegulasi beberapa kebijakan dan menerapkan persaingan bebas di
Indonesia.
Konsekuensi neoliberalisme setelah 1998 adalah masyarakat di tekan untuk
menjadi kompetitif. Islam tradisionalis cenderung gagal berpartisipasi karena
mereka agak berjarak dengan pendidikan modern dan semangat taklid (patuh
pada kiai) tidak sesuai dengan agenda neoliberal. Di sinilah Ulil Abshar lahir,
di ruang dimana kebutuhan akan reformasi kehidupan Muslim yang lebih
sesuai dengan semangat neoliberal lahir. Bahwa ada kemiripan antara Ulil
dan Cak Nur tidak membenarkan adanya aliran intelektual yang sama antara
keduanya. Dan ide-ide Ulil bukanlah barang baru, sudah dibicarakan oleh
intelektual sebelum dia. Yang baru adalah Ulil menaruhnya dalam konteks
kebutuhan akan Muslim yang kompetitif bagi pasar tenaga kerja di era
neoliberal.

Gerakan Radikal Islam setelah 1998, juga berbeda dari gerakan Usro
Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir sebelum 1998. Gerakan radikal
Indonesia setelah 1998 mendapatkan dukungan dari kelas yang disebut
Gayatri Spivak sebagai unorganized labor atau oleh Marx sebagai Lumpen
Ploretariat, yakni mereka yang berprofesi sebagai pedagang gorengan, buruh
harian, pedagang kaki-lima dan asongan. Lumpen proletariat
atau Unorganized labor ini terjepit di antara Toserba, dicekik oleh preman-
preman, diseret Satpol PP dan terkadang hanyut di telan banjir. Mereka luput
dari amatan intelektual NU dan Muhammadiyah yang sedang sibuk
ikut interfaith dialoque atau meneruskan studi di Eropa dan Amerika,
sementara sampai sekarang kita belum melihat adanya organisasi kiri di
Indonesia yang fokus pada lumpen. Dan ketika mereka terserap oleh
organisasi garis keras dan melancarkan aksi seperti di Sampang Madura,
kelompok liberal mengecilkan isunya sebagai State failure atau minimnya
toleransi beragama. Di sini, jelas bahwa kaum liberal cenderung menghindari
analisis struktur politik ekonomi di belakang gerakan radikal di Indonesia
sekarang.

Singkat kata, intelektual Islam di Indonesia lahir dari pergulatan yang sengit
yang terkait pada masanya, sehingga mendefinisikan orang-orang seperti Cak
Nur, Gus Dur dan Harun Nasution ke dalam satu ‘kantong’ liberal adalah
bentuk dukungan kepada agenda liberalisme itu sendiri, dan juga
mengecilkan pergulatan intelektual mereka. Lebih lagi kalau hanya liberal
yang bisa kita baca dari mereka, jangan-jangan kita lupa bergulat dengan diri
sendiri.***

Ahmad Syarif Syechabubakr, anggota Ruang Studi Jatinangor (RSJ) dan


Chief Editor Jurnal Islam As-Syiasah

_________
[1] Suminto, H, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta, 1985. Hal
12.
[2] Delliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES.
Jakarta, 1982. Hal 36.
[3] David. J. Banks. Cited by William R. Roff Studies on Islam and Society in
Southeast Asia. NUS Press, Singapore, 2009. Hal 8.
[4] Greg Barton. Neo-Modernism: A Vital Synthesis of Traditionalist and
Modernist Islamic Thought in Indonesia. Studi Islamika, Indonesian Journal for
Islamic Studies. Vol 2, no 3, 1995. Page 19.
[5] Nurcholis Madjid cited Greg Barton. Neo-Modernism: A Vital Synthesis of
Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia. Studi Islamika,
Indonesian Journal for Islamic Studies. Vol 2, no 3, 1995. Page 20.

Anda mungkin juga menyukai