12 Februari 2014
Ahmad Syarif Syechabubakr
Bahkan, jangan-jangan, Cak Nur, Harun Nasution dan Gus Dur adalah korban
dari tafsir sederhana dari kelompok fundamentalis dan politisasi dari
kelompok liberal yang memerlukan nama besar untuk menjalankan
agendanya. Mengenai jargon-jargon pemikiran yang dipolitisasi adalah hal
lumrah dalam konteks politik modern. Kita, misalnya, pernah melihat
bagaimana konsep Ubersmensch Nietzsche kemudian digunakan oleh Nazi
untuk melegitimasi ide-ide fasismenya.
Sepertinya ada kesalahan umum yang kita lakukan dalam membaca gerakan
inteletualisme dan politik Islam di Indonesia, terutama dalam membaca
gerakan intelektual tradisionalis. Saya akan membagi tulisan ini ke dalam dua
bagian: Pertama, memberikan gambaran singkat mengenai tradisi Politik
Islam di Indonesia, terutama dalam perspektif tradisional. Kedua mengenai
lahirnya apa yang sekarang sering disebut sebagai cikal-bakal yang di klaim
sebagai liberal Islam oleh banyak kalangan.
Islam di Indonesia dan dimanapun di muka bumi ini, tidak pernah menjadi
sebuah gerakan ‘hanya ibadah’ saja. Dalam sejarah Indonesia, kita
mendapati Perang Jawa (Diponegoro 1825-1830), pemberontakan Petani
Banten (1888), Pemberontakan Aceh (1896-1901) dan lahirnya gerakan
Nasionalis dan Komunis di dalam SI (Sarekat Islam) yang menggunakan
warna Islam. Dalam momen-momen itu, Islam lahir sebagai sumber energi
dari mobilisasi politik. Dan Islam dalam gerakan di atas menikah dengan
ideologi yang lain, baik itu komunisme, ide-ide adat dan tentu saja kelompok
nbasionalis. Di sini kita bisa melihat Islam sebagai idiologi yang cair, mampu
menyerap yang lain di luar dirinya.
Salah satu yang bisa kita ambil contoh sebagai bahan diskusi adalah
Pemberontakan Diponegoro. Banyak intelektual beranggapan bahwa
pemberontakan Diponegoro adalah pemberontakan politik ekonomi ketika
Belanda hendak mengakusisi Tegalrejo. Pendapat seperti ini, menurut saya,
salah dalam mengenali posisi Islam di dalam pemberontakan tersebut.
Meminjam ungkapan David. J. Banks, Islam dalam pemberontakan
Diponegoro ‘as a progressive source of adat (Local Custom), and potential
vehicle for the transformation of society.[3]’ Dalam konteks pemberontakan
Diponegoro, Islam dan budaya Jawa berasimilasi melawan kolonial yang
pada waktu itu merusak kosmologis Jawa, ketika sebagian pangeran Jawa
berselingkuh dengan kolonial untuk mengganti hubungan produksi ekonomi
yang berbasis Kawula-Gusti dengan basis Buruh-Majikan. Melalui
penggantian itu, perkebunan dan pertanian tidak lagi meladeni tata-aturan
budaya Jawa dengan ritual-ritualnya, tetapi meladeni pasar global di Eropa.
Jawa dan wilayah Indonesia lainnya sudah diperkenalkan oleh Islam dengan
kata Adil, Haq dan Hukum, sebelum sistem order colonial diakui sebagai tata-
aturan publik pada 1900an. Tetapi kata-kata itu tidak kemudian sama seperti
yang digunakan Islam Arab, dia berasimilasi mencerap dan dicerap oleh
budaya Jawa, sehingga menghasilkan kata yang popular dikalangan
masyarakat Jawa seperti Ratu Adil. Disinilah keunikan utama tradisi Politik
Islam di kalangan Tradisionalis, yaitu sifatnya yang luwes sehingga mampu
mencerap dan dicerap oleh ideologi selain dirinya.
Perang Diponegoro memberikan tiga hal kepada kita yang bisa digunakan
untuk menganalisis gerakan Islam politik di Indonesia: pertama, Islam hadir
sebagai ideologi yang luwes, yang kemudian membantu Umat dalam
menjawab permasalahan kekinian; kedua, Islam memiliki komitmen yang kuat
kepada Umat sehingga klaim terhadap kepentingan Umat
dan ukhuhwah (persatuan) menjadi penting dalam gerakan politik Islam,
termasuk mengenai kesejahteraan dan kebutuhan relijius dan duniawi
(ekonomi politik). Umat dalam pengertian Islam Tradisionalis cenderung
terikat pada lokalitas tempat ia berada, sementara dalam definisi Islam
Modern relatif lebih menglobal. Ketiga, maka dari itu sebagai sebuah entitas
baik Islam tradisional dan Modern tidak steril dari konstelasi politik ekonomi
tempat ia berada.
Setelah 1965 Islam Politik, terutama yang terlibat didalam politik praktis
mengalami banyak sekali tekanan. Soeharto menolak merehabilitasi
Masyumi, sementara NU yang aktif membantu Orba dalam meruntuhkan PKI,
malah di minimalisir peranannya di dalam politik praktis. Pada 1970an, fusi
partai dilakukan, gerakan politik Islam praktis mengalami pukulan besar.
Mereka bukan hanya gagal mendapat dukungan dari umat, tetapi juga
menunjukkan prilaku yang korup dan gagal menjawab keresahan Umat.
Cak Nur yang pernah di juluki Natsir Muda ini, juga memiliki keresahan yang
sama dengan apa yang dialami oleh koleganya di Jogjakarta. Tetapi beliau
relatif berani memformulasikan permasalahan Umat Islam pada waktu itu,
lebih lagi karena ia memiliki posisi yang strategis untuk mendefiniskan
permasalahan tersebut. Cak Nur, mengamati betul bagaimana organisasi
Islam pada era Orde Baru mengalami kemunduran yang luar biasa, bukan
hanya konsekuensi dari sikap represif Orde baru terhadap Islam Politik, tetapi
juga karena praktik korup politisi Islam baik dalam mencari keuntungan
maupun dukungan politik. Sementara permasalahan Umat yang lebih luas
seperti moralitas politik dan hilangnya ruang interpretasi atas permasalahan
hidup Umat Islam semakin terdegradasi.
Salah satu yang juga penting di dalam pemikiran Cak Nur adalah posisi Umat
yang menjadi pusat perhatiannya. Permasalahan akses terhadap keadilan
dan haq dalam politik dan ekonomi adalah apa yang dihadapi Muslim di
Indonesia.
Cak Nur melihat bahwa penyebab utama dari hal tersebut adalah pensakralan
beberapa jargon politik Islam, yang sepertinya lepas dan tidak boleh lagi di
kritik. Salah satunya adalah Negara Islam dan memasukkan Sharia kepada
hukum positif, sehingga sharia adalah permasalahan bagaimana memberikan
hukuman bagi yang melanggar, bukan masalah mengatur kehidupan Umat.
Siapapun yang mengritik Negara Islam kemudian dianggap tidak Islami. Ini
yang diresahkan oleh Cak Nur.
Maka dari itu, Cak Nur merasa perlu mereformasi pemikiran Islam. Untuk itu
beliau mempelopori program reformasi pemikiran Islam dengan (1)
Sekularisasi; (2) kebebasan pemikiran; dan (3) ide pembaruan dan sikap yang
terbuka. Sekilas ide-ide program Cak Nur terlihat sangat Liberal.
Konsekuensi dari desakralisasi ini adalah tidak ada lagi yang membedakan
antara dunia spiritual dan dunia material. Bagi Cak Nur, hanya dengan cara
inilah kita bisa menjadi Muslim secara Kaffah (Menyeluruh). Contoh yang
paling kentara mengenai pemisahan antara dunia dan agama: ketika seorang
Ustad yang tertangkap korupsi lengkingan Allahuakbar dikumandangkan,
dimana bagi pengikutnya si Ustad adalah representasi kealiman, sehingga
umat buta akan perilaku korupnya. Perilaku seperti itu yang di kritik oleh Cak
Nur sebagai akibat dari pemisahan yang sakral dan yang duniawi, yang
menyebabkan kesadaran palsu atas realitas beragama.
Program sekularisasi Cak Nur ini mendapat tantangan dari kelompok Politik
Islam Modern yang merasa mendesakralisasi Negara Islam akan
membahayakan legitimasi dari usaha untuk mendirikannya. Sementara
kelompok Islam puritan merasa program sekularisasi ini akan membahayakan
elite Islam, karena dengan sekularisasi peta kekuasaan elite Islam dan ulama
akan mengalami perubahan yang drastis.
Tentu saja sekularisasi Cak Nur berbeda dengan sekulerisme ‘Barat’ yang
mencoba memisahkan moralitas agama dari kehidupan administratif
bernegara. Contoh yang paling baru adalah usaha Kanada untuk
mempraktikkan undang-undang yang melarang simbol agama (seperti, jilbab,
kalung salib, topi Yahudi, sorban Sikh dan lainnya) dipakai oleh pegawai
negeri. Sekularisasi Cak Nur malah ingin menemukan kembali moralitas
agama dalam kehidupan bernegara. Ketika Cak Nur memperkenalkan
slogan Islam Yes, Partai Islam No, dia sedang mengritik gerakan Islam politik
modern yang mereproduksi pensakralan ide-ide seperti Negara Islam dan
Hukum Sharia yang untouchable dari kritik, bukan mendepolitisasi Islam.
Dengan demikian, sekularisasi Cak Nur tidak compatible dengan program
liberalisme ‘Barat’ yang mencoba memerdekakan individu dari ikatan dan
tanggung jawab komunalnya kepada Umat, apalagi mencoba mendepolitisasi
Islam.
Sementara itu, liberalisme Islam yang dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal
(JIL) adalah barang baru yang lahir paska 1998, ketika terjadi perubahan
drastis kebijakan ekonomi Indonesia dari kapitalisme patrimornial Orde Baru
ke kapitalisme neoliberal. Pada era Orba kompetisi bebas á la neoliberal tidak
pernah menemukan posisi yang nyaman, yang ada hanya kronisme Orba
yang menguasai ekonomi Indonesia. Barulah setelah 1998, neoliberalisme
diperkenalkan secara mapan, dengan deregulasi kebijakan fiskal dan
finansial, terutama dalam hal distribusi kredit dari bank, yang menaruh
persaingan bebas ke dalam jantung kehidupan masyarakat kita.
Neoliberalisme di Indonesia sebelum 1998 adalah neoliberal setengah hati,
dimana rezim hanya berpartisipasi di dalam konteks global khususnya di
produksi minyak. Sementara di dalam negeri, Soeharto masih segan
menderegulasi beberapa kebijakan dan menerapkan persaingan bebas di
Indonesia.
Konsekuensi neoliberalisme setelah 1998 adalah masyarakat di tekan untuk
menjadi kompetitif. Islam tradisionalis cenderung gagal berpartisipasi karena
mereka agak berjarak dengan pendidikan modern dan semangat taklid (patuh
pada kiai) tidak sesuai dengan agenda neoliberal. Di sinilah Ulil Abshar lahir,
di ruang dimana kebutuhan akan reformasi kehidupan Muslim yang lebih
sesuai dengan semangat neoliberal lahir. Bahwa ada kemiripan antara Ulil
dan Cak Nur tidak membenarkan adanya aliran intelektual yang sama antara
keduanya. Dan ide-ide Ulil bukanlah barang baru, sudah dibicarakan oleh
intelektual sebelum dia. Yang baru adalah Ulil menaruhnya dalam konteks
kebutuhan akan Muslim yang kompetitif bagi pasar tenaga kerja di era
neoliberal.
Gerakan Radikal Islam setelah 1998, juga berbeda dari gerakan Usro
Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir sebelum 1998. Gerakan radikal
Indonesia setelah 1998 mendapatkan dukungan dari kelas yang disebut
Gayatri Spivak sebagai unorganized labor atau oleh Marx sebagai Lumpen
Ploretariat, yakni mereka yang berprofesi sebagai pedagang gorengan, buruh
harian, pedagang kaki-lima dan asongan. Lumpen proletariat
atau Unorganized labor ini terjepit di antara Toserba, dicekik oleh preman-
preman, diseret Satpol PP dan terkadang hanyut di telan banjir. Mereka luput
dari amatan intelektual NU dan Muhammadiyah yang sedang sibuk
ikut interfaith dialoque atau meneruskan studi di Eropa dan Amerika,
sementara sampai sekarang kita belum melihat adanya organisasi kiri di
Indonesia yang fokus pada lumpen. Dan ketika mereka terserap oleh
organisasi garis keras dan melancarkan aksi seperti di Sampang Madura,
kelompok liberal mengecilkan isunya sebagai State failure atau minimnya
toleransi beragama. Di sini, jelas bahwa kaum liberal cenderung menghindari
analisis struktur politik ekonomi di belakang gerakan radikal di Indonesia
sekarang.
Singkat kata, intelektual Islam di Indonesia lahir dari pergulatan yang sengit
yang terkait pada masanya, sehingga mendefinisikan orang-orang seperti Cak
Nur, Gus Dur dan Harun Nasution ke dalam satu ‘kantong’ liberal adalah
bentuk dukungan kepada agenda liberalisme itu sendiri, dan juga
mengecilkan pergulatan intelektual mereka. Lebih lagi kalau hanya liberal
yang bisa kita baca dari mereka, jangan-jangan kita lupa bergulat dengan diri
sendiri.***
_________
[1] Suminto, H, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta, 1985. Hal
12.
[2] Delliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES.
Jakarta, 1982. Hal 36.
[3] David. J. Banks. Cited by William R. Roff Studies on Islam and Society in
Southeast Asia. NUS Press, Singapore, 2009. Hal 8.
[4] Greg Barton. Neo-Modernism: A Vital Synthesis of Traditionalist and
Modernist Islamic Thought in Indonesia. Studi Islamika, Indonesian Journal for
Islamic Studies. Vol 2, no 3, 1995. Page 19.
[5] Nurcholis Madjid cited Greg Barton. Neo-Modernism: A Vital Synthesis of
Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia. Studi Islamika,
Indonesian Journal for Islamic Studies. Vol 2, no 3, 1995. Page 20.