10 Juni 2016
Dendy Raditya Atmosuwito
TULISAN ini lahir setelah melalui diskusi dengan teman saya Nias Phydra.
Diskusi yang bermula ketika Maarif Institute merilis hasil penelitiannya tentang
Indeks Kota Islami. Hasil penelitian Maarif Institute yang dirilis 17 Mei 2016
tersebut menuai polemik, karena menempatkan kota yang penduduknya
mayoritas bukan Muslim, Denpasar, sebagai salah satu kota paling ”Islami”.
Indikator yang digunakan oleh Maarif Institute dalam mengukur seberapa
Islami sebuah kota adalah seberapa Aman, Sejahtera, dan Bahagia sebuah
kota tersebut.
Diskusi saya dengan teman saya pun berlanjut, pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apa indikator dari ukuran sebuah kota itu Islami? Misalnya,
apakah jika pemerintah kota tersebut menghalalkan Khamr, perjudian, dan
prostitusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta menggunakan
sistem perekonomian kapitalistik yang didalamnya terdapat penghisapan dan
penindasan kelas majikan kepada kelas pekerja, yang menurut kami berdua
sama sekali tidak Islami, tetapi masyarakat di dalam kota tersebut merasa
Aman, Sejahtera, dan Bahagia maka kota tersebut pantas disebut sebagai
kota yang Islami?
Islami secara simbolik dapat ditemukan secara mudah di layar televisi ketika
bulan Ramadhan tiba. Jika Anda punya waktu luang, cobalah perhatikan
pakaian apa saja yang digunakan oleh para artis saat bulan Ramadhan,
kemudian kostum apa yang mereka gunakan sebelum dan sesudahnya. Jika
diamati, maka kostum yang dipakai para seleb tersebut akan berbeda antara
“musim puasa” dengan “musim non-puasa”. Saat “musim puasa,” para seleb
lelaki lebih sering menggunakan baju koko, sorban melilit di leher sebagai
pengganti syal dan terkadang berpeci segala. Sedangkan seleb perempuan
akan lebih cenderung mengenakan kerudung ala kadarnya yang sekedar
menempel di kepala dengan tetap memperlihatkan jambul depannya,
ditambah pakaian yang lumayan panjang meskipun terkadang masih eksplisit
untuk menerjemahkan “bahasa tubuh”. Islami secara simbolik ini juga bisa
Anda lihat pada perilaku ormas-ormas yang bisa dengan mudah memukul
saudaranya sesama muslim sambil meneriakkan takbir.
Beralih membahas Islami secara substantif, saya jadi teringat kembali dengan
ungkapan Muhammad Abduh yang lain, yaitu “Saya menemukan Islam di
Paris, meski tidak ada orang Islam di sana. Dan saya tidak menemukan Islam
di Mesir, meski banyak orang Islam di sini.” Dalam perspektif Islami secara
substantif ini makna Islami didefinisikan lebih kepada kesalehan sosial seperti
mengasihi orang lain, menjaga kebersihan, membebaskan orang lain dari
belenggu ketertindasan, dan lain-lain. Ada definisi Islami yang menurut saya
cukup menarik dari Intelektual Muslim asal India Ashgar Ali Engginer. Dalam
bukunya yang berjudul Islam and Liberation Theology, beliau mengatakan
bahwa “Any society which perpetuates exploitation of the weak and the
oppressed cannot be termed as an Islamic Society, even if other Islamic
rituals are enforced”. Masyarakat apapun yang didalamnya masih terdapat
eksploitasi kepada kaum yang lemah dan tertindas tidak bisa disebut Islami
walaupun ritual-ritual Islam dijalankan bahkan diformalkan sebagai hukum.
Definisi ini bisa dibilang sangat sosialistik dan menurut saya definisi ini
berakar dari surat Al Ma’un.
Jika agama hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seseorang dan
Tuhan-Nya, maka agama hanya membuat manusia “terlena” dengan
kenikmatan ritual tanpa peduli dengan realitas di sekelilingnya. Menurut
Asghar Ali Engginer, konsep tauhid bukan sekedar bermakna keesaan Tuhan
tapi juga bermakna kesatuan manusia. Tauhid adalah jalan untuk
pembebasan kemanusiaan. Untuk itu, penanaman tauhid yang kokoh
mestilah diikuti dengan komitmen kemanusiaan yang kokoh pula. Menurut
Hasan Hanafi, pada dasarnya Islam memiliki perangkat yang cukup untuk
melakukan perlawanan terhadap penindasan. Selama ini, kita sering
menjadikan ritual-ritual sebagai tujuan. Padahal, ikrar kita bahwa tiada Tuhan
selain Allah berarti ikrar bahwa setiap penindasan harus dihancurkan. Karena
penindasan adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Tuhan.
Washatiyah Jawabannya
Lalu bagaimana kita sebagai muslim menyikapi perbedaan makna dan definisi
“Islami” ini? Diskusi kami berdua sendiri belum sampai pada tahap ini, namun
saya mencoba menwarkan solusi untuk menyikapi kontestasi makna “Islami”
ini. Menurut saya pribadi, Washatiyah atau moderasi adalah solusi dari
polemik ini. Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah.
Wasathiyah juga bisa didefinisikan dengan sikap yang
tidak ghuluw (berlebihan) dan apa yang dibatasi oleh Allah, dan tidak
pula muqashshsir (kurang) sehingga mengurangi dari sesuatu yang telah
dibatasi oleh Allah. Wasathiyah dalam agama adalah berpegang teguh
dengan Sunnah Rasulullah SAW, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa
mengurangi.
Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW
mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa
di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Komentar Nabi tentang
dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa
ibadah ritual saja belum cukup, ia mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.
Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji
kesalehan orang lain di depan Nabi, lalu Nabi bertanya, “Mengapa ia kau
sebut sangat saleh?” Sahabat itu menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk
masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia
masih saja khusyuk berdoa.” “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan
minum?” tanya Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi,
“Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.” Sahabat itu diam. Di sisi lain,
kesalehan sosial yang harus kita miliki tersebut juga jangan sampai membuat
kita lalai akan aspek kesalehan pribadi dan ibadah-ibadah yang diwajibkan
dalam Islam seperti Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji.
Semoga Ramadhan tahun ini membuat kita menjadi pribadi muslim yang lebih
baik. Aamiin Ya Rabbal Alamin. Wallahu A’lam Bishawab. ***