Anda di halaman 1dari 29

FALSAFAH GERAKAN

PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)

I. MUQADDIMAH

“Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhan-mulah yang maha pemurah. Yang mengajarkan dengan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al „Alaq:1-5)

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang
beruntung.”(QS.Ali Imran:104)

”Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih
kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan
supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah
sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong”(QS. Al Hajj: 78).
Rasulullah SAW bersabda:
” Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan
tangannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika masih tidak mampu maka
dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” Di dalam riwayat lain:” dan
tiadalah di belakang itu iman barang seberat biji sawi pun”.(HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Surat Al-Alaq ayat 1-5 merupakan Firman Allah SWT yang pertama diterima oleh manusia pilihan
bernama Muhammad, seorang yang memiliki kesadaran penuh akan realitas masyarakatnya,
kejahiliahan dan tegaknya kemungkaran yang dirasakannya tidak menyejukkan dan memanusiakan.
Dia menerima sebuah petunjuk berharga yang pada masanya akan mengalami kejayaan dan
mempengaruhi peradaban manusia, dengan sebuah firman lanjutan

“Wahai orang yang berselimut! Bangkit dan berilah peringatan” (QS. Al Mudatstir;1-2)
Merupakan awal dari perjuangan membangun peradaban tersebut. Dimulai dari memberikan
peringatan kepada sanak saudara dan kaum kerabatnya untuk meninggalkan diri dari perbuatan
syirik dan mengimani Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah, perbuatan ini tidaklah
mudah ditengah perbedaan realitas yang sangat berbeda dan bertolak belakang selama 13 tahun
kegiatan tersebut dikerjakannya dari keluarga, sahabat, dan masyarakat Mekkah secara umum dan
sebagai sebuah rencana, maka pada tahun ke-14 kenabiannya, Rasulullah memerintahkan kepada
para muslimin untuk melakukan hijrah sebagai usaha untuk menjaga keimanan, pada fase inilah
proses perjuangan menegakkan Dienullah mengalami perubahan strategi dengan menemukan
komunitas yang mendukung, maka kaum muslimin memulai menata kehidupan mulai dari personal
sampai pada membangun sebuah negara yang beradab yang penuh dengan rahmat dan berkah dari
sang Khaliq, negara tersebut adalah Madinatul Munawarah
Non muslim dijamin hak-haknya sehingga hidup terjaga dan aman, tidak ada tindakan intimidasi
walaupun berada dalam komunitas muslim, semua bentuk kemunkaran dihapuskan syariat pun
dijalankan dengan konsisten, semua lini kehidupan terbangun dengan seimbang sampai akhirnya
kota Madina menjadi ikon sebuah masyarakat yang ideal dan menjadi referensi hingga detik ini
untuk membangun kembali masyarakat yang ideal tersebut.
Pada tahun kesepuluh hijrah Rasulullah melakukan perjalanan ke kota Mekkah guna untuk
melakukan haji dan hal tersebut merupakan haji perpisahan, pada haji tersebut Rasulullah
menyampaikan khutbah terakhirnya yang terkenal “Wahai manusia! Perhatikan kata-kataku dan
camkan dalam hatimu! Ketahuilah setiap muslim adalah bersaudara bagi muslim lainnya, dan bahwa
kalian berada dalam satu persaudaraan. Karena itu, kalian tidak boleh mengambil sesuatu yang
menjadi milik saudaranya, kecuali jika ia memberikannya dengan rela” (Al Hadits) dan akhirnya
dalam kesempatan tersebut Allah Swt berfirman

“.... pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam jadi agama bagimu. ...” (QS. Al Maidah : 3)
hal ini merupakan pertanda berakhirnya misi Muhammad sebagai Rasulullah di muka bumi ini dan
selanjutnya perjuangan menegakkan Dienullah menjadi tugas kaum muslim sekalian.
Di Indonesia, Islam mulai masuk melalui jalur perdagangan, hingga diawal tahun 1905 terorganisir
secara rapi dengan ditandai lahirnya Sarikat Dagang Indonesia (SDI) dalam perkembangannya
organisasi ini mengalami perpecahan menjadi dua kelompok yaitu kelompok integrasionis dan
isolasionis yang selanjutnya timbul kurun kedua yang menyalahkan kurun pertama demikian pula
Masyumi yang terdiri dari gabungan berbagai kelompok Islam pada saat itu dan gerakan ini pun
tidak mengalami nasib yang baik berakhir dengan perpecahan yang berujung pada pembubarannya,
pada perkembangan selanjutnya ummat Islam pun terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok, yang
terbesar adalah Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Hal ini menjadi sebuah bukti bahwa ummat
Islam di Indonesia awal dan sampai dengan sekarang terus mengalami perpecahan yang
melemahkan Islam itu sendiri.

Pada saat perkembangan dunia di seluruh aspek kehidupan mengalami percepatan yang sangat luar
biasa orang tidak perlu lagi menunggu berlama-lama cukup dengan hitungan perdetik sudah dapat
untuk melakukan gerakan baik itu gerakan ideologis atau pun gerakan-gerakan lainnya. Berkaitan
dengan tugas seorang muslim untuk menegakkan Dienullah dimuka bumi maka pada saat sekarang
hal tersebut menjadi tugas berat dan memerlukan energi yang ekstra, kekuatan untuk istiqomah dan
mengamalkan akhlaq rasul serta terus menyerukan seruan dakwah harus lebih variatif dan inovatif
namun tetap dalam kerangka ridho Allah. Pelajar Islam Indonesia pada saat bangkit telah
mengukuhkan diri menjadi bagian dari perjuangan ummat Islam dalam hal ini dititik beratkan pada
membanngun masyarakat yang peduli pendidikan dan mempu berbuat untuk menghadirkan suatu
pendidikan yang sesuai dengan Islam bagi rakyat Indonesia dan ummat manusia. Pengalaman
histotis telah mengkristalkan nilai-nilai yang dimiliki Pelajar Islam Indonesia (PII)

Dari semua instrumen organisasi PII yang menjadi dasar Paradigma Gerakan PII adalah Falsafah
Gerakan, karena Falsafah Gerakan memuat penjelasan aspek-aspek fundamental dari missi dan
eksistensi PII berupa kerangka idealitas PII tentang realitas. Artinya sesungguhnya pandangan
dunia PII termuat di dalam Falsafah Gerakan, dan kemudian akan menentukan pilihan instrumen
institusi dan aktualisasi gerak Pelajar Islam Indonesia (PII).

Aspek-aspek fundamental yang mestinya dijelaskan dalam Falsafah Gerakan adalah sebagai
berikut:
a. Pandangan Dunia Islam (Islamic World View)
b. Formulasi Cita-cita PII (Tafsir Tujuan) tentang masa depan
c. Karakteristik kader PII
d. Cara pandang PII terhadap eksistensinya (sebagai koridor pencapaian tujuan) berupa karakter
dan identitas gerakan PII yaitu: Tri Komitmen, Catur Bakti dan Karakteristik bangun
organisasi PII.

Dari kerangka aspek-aspek fundamental di atas, disusun Falsafah Gerakan PII dengan
sistematika sebagai berikut:

a. Pada bagian Bab I dan II adalah pendahuluan dan penjelasan tentang pengertian, fungsi dan
tujuan Falsafah Gerakan PII
b. Pada bagian Bab III menjelaskan cara pandang Dunia Islam dan sistem perjuangan. Bab ini
merupakan formulasi pandangan dunia Islam yang menjadi inti dari pandangan dunia PII,
dan karena itu membutuhkan elaborasi. Pada bagian pertama menjelaskan hakikat Islam
yang meliputi; Tuhan, alam, manusia, Al-Qur'an, ar-Rasul. Pada bagian kedua menjelaskan
karakteristik ajaran Islam yaitu: substansi ajaran Islam, sumber ajaran, dan pokok-pokok
ajaran. Dan bagian ketiga menjelaskan kerangka sistem perjuangan Islam yang meliputi cita
perjuangan Islam, cita-cita kemasyarakatan Islam, marhalah, manhaj dan problematika
perjuangan Islam.
c. Pada bagian Bab IV menjelaskan tentang cara pandang PII terhadap aspek-aspek penting dari
missi dan eksistensinya. Pada bagian pertama menjelaskan tafsir tujuan PII yaitu tentang
konsepsi pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam. Pada bagian kedua
menjelaskan tentang persoalan kaderisasi dan karakteristik kader PII sebagai subyek
gerak/garap PII. Pada Bagian ketiga Tri-Komitmen PII, bagian keempat Catur Bakti PII dan
bagian kelima karakteristik bangun organisasi PII.
d. Pada bagian V adalah Penutup, berisi penegasan ulang tentang pentingnya Falsafah Gerakan
bagi PII dalam aktualisasi kader-kadernya.

II. PENGERTIAN, FUNGSI, DAN TUJUAN

a. Pengertian
Falsafah Gerakan adalah formulasi konsepsional cara pandang PII terhadap aspek-aspek fundamental
dari misi dan eksistensinya yang menjadi dasar paradigma gerakan PII.
b. Fungsi
Falsafah Gerakan PII berfungsi sebagai Dasar Paradigma Gerakan PII yang menjadi sumber inspirasi
dan motivasi, kerangka nilai dan cara pandang bagi PII dan kader-kadernya dalam melakukan aktifitas
perjuangannya.
c. Tujuan
Falsafah Gerakan PII bertujuan untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap aspek-aspek
fundamental gerakan PII dan menentukan setiap aktualisasi gerak dan langkah PII dan kader-kadernya
dalam perjuangan
III. CARA PANDANG ISLAM (ISLAMIC WORLD VIEW)

Pelajar Islam Indonesia (PII) mendasarkan aktualisasi gerakannya di atas konstruksi kesadaran berupa
kerangka berfikir dan cara pandang dalam melihat dan menyikapi realitas kehidupan. Sebagai organisasi
yang mempunyai komitmen ke-Islaman yang kuat, kerangka fikir dan cara pandang tersebut tentunya
berupa pandangan dunia Islam (Islamic World View). Untuk mengetahui pandangan dunia Islam tersebut
dapat digunakan kerangka analisis filosofis yang meliputi hakikat Islam tentang aspek-aspek ontologis
dari realitas, kerangka epistemologis, serta implikasi aksiologisnya. Dengan kerangka ini akan didapatkan
pemahaman tentang pandangan dunia Islam.
A. Hakikat Islam
Islam diketahui dengan cara memahami dan mempelajari aspek-aspek kunci dari ruang lingkup
ajaran Islam. Aspek-aspek tersebut meliputi pengertian Islam, siapa yang menurunkan Islam, di
mana dan kepada siapa diturun-kan Islam, melalui apa Islam dapat dipahami, dan melalui
siapa Islam disampaikan dan ditemukan dalam realitas historis.
a. Pengertian Islam
Secara etimologi, Islam berasal dari kata kerja aslama yang berarti: berserah diri, menunaikan
perintah, damai, keselamatan, kesejahteraan, dan bersih dari pencemaran. Dari pengertian ini,
Islam dipahami sebagai ajaran yang menyelamatkan dan menyejahterakan. Juga dimaknai sebagai
penyerahan diri secara sukarela kepada kehendak Ilahi dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-
Nya, serta mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk dan patuh kepadaMu. Dan
jadikanlah diantara anak cucu kami umat yang tunduk kepada Engkau.” (QS. Al Baqarah
[2]: 128).

Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah akan menjamin keselamatan dan kesejahteraan
hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat.

“Bahkan, barang siapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah SWT sedang dia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2]: 112)

Islam dalam pengertian ajaran yang menyelamatkan dan mensejahterakan, tampil dalam
terma ad-dien atau agama. Kata ad-dien sering disandingkan dengan kata Islam menjadi ad-
dien al-Islam atau Dienullah dan ad-dien al-haq. Hal ini untuk menunjuk Islam sebagai
suatu sistem ajaran.

Ad-Dien secara bahasa berarti tunduk, taat, patuh, pembayaran, perhitungan, dan hukum atau
perundang-undangan. Dengan demikian jika Islam disandingkan dengan dien dapat diartikan
sebagai suatu sistem ajaran dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia yang akan menyelamatkan dan menyejahterakan kehidupan manusia, tentunya jika
manusia tunduk dan patuh terhadap ajaran tersebut serta berserah diri sepenuhnya kepada
Allah SWT (QS. Al Baqarah [2]:132, 208; Ali Imran [3]: 19, 85, 102). Sebagai sistem ajaran
Tuhan, Islam disampaikan kepada manusia melalui para Rasul-Nya dari sejak Nabi Adam
„alaihi salam hingga Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam (QS. Al Baqarah [2]:
132, Ali Imran [3]: 52, Yusuf [12]: 101, An Naml [27]: 29-31). Ajaran Islam menjadi
sempurna melalui Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam sebagai Rasul Allah yang
terakhir. Islam akhirnya menjadi agama untuk seluruh alam (QS. Al Maidah [5]: 3, Al
Anbiya‟ [21]: 107).
Hakekat Islam ialah berserah diri kepada Allah SWT dengan dengan mengesakan dan tunduk
kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri
dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

 Sumber Ajaran Islam


Dalam kerangka epistemologi ajaran Islam, sumber ajaran Islam mempunyai hirarki
struktur kebenaran yaitu sebagai berikut :
- Alquran, adalah kalamullah (firman Allah SWT) yang diturunkan kepada Rasul-Nya,
penutup para Nabi yaitu Muhammad shallallahu „alaihi wasallam, yang dimulai dengan
surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Naas.
Alquran merupakan sumber ajaran Islam yang tertinggi yang menjadi rujukan dalam
menafsirkan dan menyikapi realitas. Alquran merupakan struktur transendental yaitu
gambaran mengenai sebuah bangunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide
murni yang bersifat meta-historis.
- As sunnah, sebagai model penafsiran dan aktualisasi ide-ide transendental ajaran Alquran
secara historis oleh Rasulullah shallallahu „alaihi wassalam. Model penafsiran dan
aktualisasi tersebut melalui kata-kata, sikap, dan perbuatan Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam.
Tiada seorang pun merasa ragu bahwa orang yang berpegang teguh pada Alquran dan
Assunnah ia benar-benar berada di atas petunjuk yang membawanya kepada jalan yang
lurus. Namun, manakala pemahaman manusia terhadap Alquran dan Sunnah tidak
memiliki kesamaan, ada yang benar dan ada pula yang salah, maka untuk memahami
keduanya, diperlukan pemahaman yang baik dan benar (otentik), yaitu pemahaman
salafush shalih (para sahabat Nabi, tabi‟in, dan pengikut tabi‟in).
- Ijtihad, adalah berusaha dengan sunguh-sungguh untuk memecahkan masalah yang tidak
ada ketetapannya baik dalam Alquran maupun hadis dengan menggunakan akal pikiran
yang sehat dan jernih serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum
yang telah ditentukan, hasil ijtihad dapat dijadikan sumbre hukum yang ketiga.
Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan cara ijma dan qiyas.
Ijma ialah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu
masa dari beberapa masa setelah wafat Rosululloh. Berpegang teguh kepada hasil ijma‟
diperbolehkan bahkan menjadi keharusan.
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadia lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat
atau sebab-sebabnya.

 Pokok-pokok Ajaran Islam


Pokok-pokok ajaran Islam melingkupi keseluruhan aspek kehidupan (syumuliyah) dan
teruntuk bagi keseluruhan ummat manusia (alamiyah). Pokok-pokok ajaran Islam dapat
diklasifikasi ke dalam tiga ajaran pokok sebagai berikut :
- Ajaran tentang Aqidah yaitu ajaran tentang keyakinan seorang atau masyarakat
muslim terhadap Allah subhanahuwata‟ala, malaikat-malikat-Nya, kitab-kitabNya,
Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir-Nya.
- Ajaran tentang Syari`ah yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur tata hubungan
manusia dengan Allah subhanahuwata‟ala (ibadah mahdhah) dan tata hubungan
dengan sesama manusia atau dengan lingkungannya (ibadah ghairu
mahdhah/mu‟amalah).
- Ajaran tentang Akhlak yaitu ajaran tentang nilai, norma dan prikelakuan manusia
dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, dengan Allah subhanahuwata‟ala dan
yang ghaib, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan. Tatanan nilai, norma
dan perikelakuan tersebut mencakup baik level individual, sosial, maupun kultural.
b. Tauhid
Allah subhanahu wata‟ala adalah Dzat yang telah memelihara diri manusia dan memelihara
alam semesta ini dengan segala nikmat yang dikaruniakan-Nya. Dia adalah sembahan
manusia dan setiap makhluk, tiada sesembahan yang haq selain Dia.

Manusia mengenal Allah subhanahu wata‟ala melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan


melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah: malam, siang, matahari,
dan bulan (QS. Fushshilat [47]: 37); penciptaan langit dan bumi (QS. Al A‟raf [7]: 54); air
hujan dari langit dan limpahan rizki (QS. Al Baqarah [2]: 21-22); malaikat (QS. Az Zukhruf
[43]: 9); jin (QS. Ar Rahman [55]: 15); hingga gunung-gunung (QS. Ar Ra‟d [13]: 3),
pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan (QS. Ar Rahman [55]: 11-12), dan
semua jenis binatang (QS. An Nur [24]: 45). Pendek kata, Allah subhanahu wata‟ala adalah
pencipta segala sesuatu.
Kerangka relasi ini mengandung implikasi kekuasaan mutlak Allah subhanahu wata‟ala
terhadap ciptaan-Nya dan karena itu Allah subhanahu wata‟ala berhak dan layak
dipertuhankan. Allah subhanahu wata‟ala -lah asal bermula dan tempat kembali segala
sesuatu. (QS. Al Baqarah [2]: 107 dan 116; Al Maidah [5]: 17-18; Al An‟am [6]: 1).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “hanya pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang
berhak disembah dengan segala macam ibadah”. Dan macam-macam ibadah yang
diperintahkan Allah subhanahu wata‟ala itu, antara lain: Islam (syahadat, shalat, shiam,
zakat, dan haji); iman; ihsan; doa (QS. Ghafar [40]: 60); takut/khauf (QS. Ali Imran [3]:
175); pengharapan/raja‟ (QS. Al Kahfi [18]: 110); cinta/hubbun (QS. Al Baqarah [2]: 165);
berserah diri/tawakkal (QS. Al Maidah [5]: 23); penuh minat/raghbah, cemas/rahbah,
tunduk/khusyu‟ (QS. Al Anbiya‟ [21]: 90); takut/khasy-yah (QS. Al Baqarah [2]: 150);
kembali kepada Allah subhanahu wata‟ala /inabah (QS. Az Zumar [39]: 54); memohon
pertolongan/isti‟anah (QS. Al Fatihah [1]: 5); meminta perlindungan/isti‟adzah (QS. An Nas
[114]: 1-2); istighasah (QS. Al Anfal [8]: 9); penyembelihan/dzabhun (QS. Al An‟am [6]:
162-163); janji/nazar (QS. Al Insan [76]: 7).

Kerangka bangun tauhid ada tiga, yaitu:


 Tauhid Rububiyah, yaitu mengakui Allah subhanahu wata‟ala adalah Rabb segala
sesuatu; Pemilik, Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Yang
memberi manfaat dan mendatangkan bahaya, Yang bagi-Nya segala urusan, Yang di
Tangan-Nya segala kebaikan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu serta Dia tidak
memiliki sekutu apa pun. Beriman kepada rububiyah Allah subhanahu wata‟ala yaitu
kepercayaan yang pasti bahwa Allah subhanahu wata‟ala adalah Rabb yang tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan-Nya, yakni dengan
meyakini bahwa Allah subhanahu wata‟ala -lah Dzat satu-satunya yang menciptakan
segala apa yang ada di alam semesta ini (QS. Az Zumar [39]: 62) dan memiliki kerajaan
langit dan bumi (QS. Al Maidah [5]: 120).
Allah subhanahu wata‟ala telah memberikan fitrah kepada semua makhluknya untuk
beriman kepada rububiyah-Nya, bahkan hingga orang-orang musyrik Arab dahulu (QS.
Al Mu‟minun [23]: 86-89). Beriman kepada rububiyah Allah subhanahu wata‟ala
tidaklah cukup bagi seorang hamba untuk menjadikannya sebagai seorang muslim, tetapi
ia harus beriman kepada uluhiyah Allah subhanahu wata‟ala. Sebab Nabi Muhammad
tetap memerangi orang-orang musyrik Arab, padahal mereka mengakui rububiyah Allah
subhanahu wata‟ala.

 Tauhid Uluhiyah, yaitu keyakinan secara pasti bahwa hanya Allah subhanahu wata‟ala
semata yang berhak atas segala bentuk ibadah, baik yang lahir maupun batin. Seperti
doa, takut (khauf), berserah diri (tawakkal), memohon pertolongan (isti‟anah), shalat,
zakat, shiam dan lain-lain. Jadi, hamba tersebut yakin bahwa Allah adalah Al Ma‟bud
(Dzat yang disembah), yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wata‟ala. Beriman kepada
uluhiyah Allah yaitu mengakui bahwa hanya Allah subhanahu wata‟ala -lah satu-satunya
Dzat (ilah) yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan ilah artinya adalah
ma‟luh, maksudnya yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan.

Tiga faktor yang mendukung uluhiyah kepada Allah subhanahu wata‟ala adalah:
i. Tujuan penciptaan manusia dan jin adalah beribadah kepada Allah subhanahu
wata‟ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya (QS. Adz Dzariyat [51]: 56).
ii. Maksud diutusnya para nabi dan rasul serta diturunkannya kitab-kitab samawi
adalah untuk menetapkan dan mengakui bahwa Allah subhanahu wata‟ala adalah
Dzat yang berhak disembah (QS. An Nahl [16]: 36).
iii. Kewajiban pertama atas setiap manusia adalah beriman kepada uluhiyah Allah
subhanahu wata‟ala, sebagaimana wasiat Nabi kepada Mu‟adz bin Jabal (ke
Yaman): “sesungghnya engkau akan datang kepada kaum dari kalangan ahli
kitab, karena itu pertama kali hendaklah engkau serukan kepada mereka adalah
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah”. (HR. Bukhari dan
Muslim).

 Tauhid Asma‟ dan Sifat Allah subhanahu wata‟ala, yaitu menetapkan asma‟ (nama-
nama) dan sifat Allah subhanahu wata‟ala berdasarkan apa yang ditetapkan oleh Allah
untuk Diri-Nya di dalam Alquran dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan apa yang pantas
bagi Allah subhanahu wata‟ala. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah
subhanahu wata‟ala dalam asma‟ dan sifat-Nya (QS. Asy Syura [42]: 11).

Posisi Tauhid dalam sistem ajaran Islam sangatlah sentral. Tauhid adalah dasar dari
pandangan dunia Islam, yaitu kerangka pandang Islam dalam melihat dan menyikapi
realitas. Hal tersebut meliputi bagaimana implikasi Tauhid dalam melihat realitas
ontologis (hakikat yang ada; tuhan, alam, dan manusia), kerangka epistemologi Islam,
dan cara pandang (weltanschaung: worldview) Islam tentang kehidupan. Begitu juga
implikasinya dalam memandang persoalan teologis (ketuhanan), kosmologis (alam),
maupun antropologis (manusia). Bahkan lebih jauh melakukan perubahan
kemasyarakatan berdasarkan cita-cita etik dan profetik dari konsepsi Tauhid tersebut.
(Implikasi-implikasi tersebut dibicarakan dalam bagian Pandangan Dunia Islam dalam
Falsafah Gerakan ini).

Konsepsi tauhid memandang realitas sebagai satu kesatuan (tauhidi). Tidak ada
kontradiksi atau disharmoni dalam jagad raya. Karena itu menurut pandangan tauhid,
tidak terdapat kontradiksi dalam semua eksistensi; tidak ada kontradiksi antara manusia
dan alam, antara roh dan badan, antara dunia dan akhirat, antara materi dan substansi.
Begitu pula tauhid bukanlah merupakan sebuah konsep yang terpisah dari tataran
legal, sosial, politik, rasial, nasional, teritorial, genetik, atau bahkan ekonomis. Tauhid
mengajarkan untuk memandang segala sesuatu sebagai satu kesatuan, yang mempunyai
kesadaran diri, kehendak, daya tanggap, cita-cita, dan tujuan; yaitu dari dan kembali
kepada Allah subhanahu wata‟ala.

Pandangan dunia Tauhid menjadikan manusia hanya menaruh ketaatan pada satu
kekuatan, dan hanya merasa bertanggungjawab kepada satu Hakim. Manusia hanya
menghadap ke arah satu qiblat. Tauhid memberkahi manusia dengan kebebasan dan
kemuliaan. Menyerah semata-mata kepada-Nya; norma teragung dari segalanya;
membuat manusia memberontak terhadap semua kekuasaan dusta, mematahkan segenap
belenggu dan kerakusan nista.

c. Alquran
Untuk memahami Islam, maka harus memahami kitab sucinya yaitu Alquran. Posisi Alquran
sentral dalam sistem ajaran Islam. Karena Alquran menjadi pusat spirit dan sumber ide
Islam, darinyalah Islam bisa dipahami. Memahami dan mengaktualisasikan Islam haruslah
dilakukan dengan mengkaji dan menghayati isi dan kandungan Alquran.
Alquran adalah kalam Ilahi yang diwahyukan Allah Subhanallahu Wa Ta‟ala kepada Nabi
Muhammad shallallahu „alaihi wasallam sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia dalam
hidup dan kehidupannya. Alquran pada dasarnya bukanlah tulisan (rasm/writing) tetapi
merupakan bacaan (qira‟ah/recitation), dalam arti ucapan dan sebutan. Proses
pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran, dan periwayatannya dilakukan
melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Adapun tulisan hanya sebagai media (penunjang)
saja. Sifat dari Alquran yaitu bersih dari keraguan (QS. Al Baqarah [2]: 2), terjamin
keseluruhan isinya (QS. Al Hijr [15]: 9), dan tiada mungkin dibuat tandingannya (QS. Al
Isra‟ [17]: 88). Alquran terbagi dalam surah-surah yang berjumlah 114 surat. Surah-surah
makkiyah yang meliputi 86 surat atau 4780 ayat. Sedangkan surah-surah madaniyah
berjumlah 28 surat atau 1456 ayat.
Sebagai kitab suci terakhir, Alquran mempunyai fungsi terhadap kitab-kitab suci
sebelumnya, yaitu pertama untuk membenarkan apa yang terdapat dalam kitab-kitab suci
terdahulu sekaligus menguji kemurniannya (QS. Al Maidah [5]: 48). Kedua, sebagai
penyempurna (QS. Al Maidah [5]: 3).

Alquran sebagai kitab suci adalah mukjizat dari Allah subhanahu wata‟ala. Alquran
mempunyai keindahan bahasa (balaghah dan fashahah) yang tiada duanya. Alquran
mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang telah banyak diulas oleh kalangan ahli
Alquran. Alquran mengandung berbagai persoalan mengenai kehidupan sekarang dan
kehidupan yang akan datang, kisah-kisah masa lampau dan peristiwa-peristiwa masa datang,
masalah-masalah yang konkrit maupun yang abstrak. Secara sederhana, Alquran berisi tiga
bagian besar yaitu konsep-konsep, kisah-kisah sejarah, dan amtsal-amtsal (contoh
kehidupan).

Dalam konstruksi berfikir Islam, Alquran bisa dipahami sebagai paradigma yang berarti
suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana
Alquran memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Alquran pertama dengan
tujuan agar manusia memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang
sejalan dengan nilai-nilai normatif Alquran, baik pada level moral-individual maupun level
sosial. Namun juga, konstruksi pengetahuan itu juga memungkinkan kita merumuskan
desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal sistem ilmu pengetahuannya. Jadi,
di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma Alquran juga dapat berfungsi
memberikan wawasan epistemologis.

d. Ar-rasul
Beliau adalah Muhammad bin „Abdullah bin „Abdul Muthalib bin Hasyim dari suku
Quraisy, bangsa Arab. Beliau berumur 63 tahun; di antaranya 40 tahun sebelum menjadi nabi
dan 23 tahun sebagai nabi serta rasul. Beliau dikenal sebagai Al Amin (yang terpercaya) dan
ummi (tidak dapat membaca dan menulis). Ummi adalah ciri yang melekat dalam diri
Muhammad SAW, itu bukan kelemahan melainkan tanda kenabian yang nantinya Allah
subhanahu wata‟ala memberikan karunia kecerdasan berfikir, kemampuan memimpin, dan
karomah serta mukjizat yang tidak ada seorangpun yang mendapat sama sepertinya. Tempat
asal beliau adalah Mekkah.

Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang bertugas menyampaikan risalah Allah
SAW yang telah sempurna kepada seluruh umat manusia. Sebagai seorang yang ditakdirkan
menjadi pembimbing umat manusia, beliau dianugerahi bakat-bakat, kemampuan, dan jiwa
besar. Dalam perjalanan hidupnya, dari kanak-kanak hingga wafat, beliau menunjukkan
contoh yang baik bagi manusia (QS. Al Ahzab [33]: 21). Beliau terkenal sebagai orang yang
jujur, berbudi luhur, dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Di samping itu, beliau
memiliki otak yang cerdas, pikiran yang jernih dan tajam, perasaan yang halus, kemauan
yang keras, dan kepedulian sosial yang tinggi.
Muhammad SAW diangkat sebagai nabi dengan “iqra” (QS. Al „Alaq [96]: 1-5), dan
diangkat sebagai rasul dengan wahyu berikutnya (QS. Al Mudats-tsir [74]: 1-7).
“Berilah peringatan”, ialah menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada
tauhid. “Agungkanlah Rabbmu”: agungkanlah Allah subhanahu wata‟ala dengan berserah
diri dan beribadah kepada-Nya semata. “Sucikanlah pakaianmu”, maksudnya: sucikan segala
amalmu dari perbuatan syirik. “Tinggalkanlah berhala-berhala itu”, artinya: jauhkan dan
bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.
Beliau pun melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun,
mengajak kepada tauhid (pengesaan Allah subhanahu wata‟ala). Setelah nabi Muhammad
SAW menetap di Madinah, disyariatkan pula zakat, shiam, haji, adzan, jihad, amar ma‟ruf
dan nahi munkar serta syariat-syariat Islam lainnya. Beliau pun melaksanakan untuk
menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun. Sesudah itu wafatlah
beliau, sedang risalah Islam terus tersyiar ke seluruh penjuru dunia dalam keadaan lestari.
Nabi Muhamamad shallallahu „alaihi wasallam diutus oleh Allah subhanahu wata‟ala kepada
seluruh umat manusia (QS. Al Anbiya [21]: 107), dan diwajibkan kepada seluruh jin dan
manusia untuk mentatatinya (QS. Al A‟raf [7]: 158).

e. Hakekat Manusia
 Unsur Kedirian
Proses penciptaaan manusia melalui tahapan tertentu yang membentuk unsur kedirian
manusia. Pertama bermula dari penciptaan jasad yang berasal dari sari pati tanah (QS. Al
A‟raf [7]:148, Hud [11]:61, Al Anbiya‟ [21]: 8, Al Mu‟minun [23]: 12, Ar Rahman [55]:
14). Unsur jasad mengandung makna bahwa manusia berasal dari alam dan sepenuhnya
terikat dengan hukum-hukum alam atau sunatullah. Di dalam jasad terdapat kehidupan
(al-hayat) yang menggerakan tubuh manusia berinteraksi dengan realitas alam. Alquran
menyebutkan bahwa kehidupan manusia bermula dari air (QS. Al Anbiya‟ [21]: 30, An
Nur [24]: 25). Hidup bagi manusia berarti mengalir dan bergerak seperti air. Mempunyai
kecenderungan (instink) dan pertumbuhan yang bermula dari air mani yang dibuahi
dalam kandungan (rahim). Setelah melalui tahapan tertentu di dalam kandungan akhirnya
lahir sebagai manusia sempurna (QS. Al Mu‟minun [23]: 13-14) dari bayi tumbuh
menjadi kanak-kanak, dewasa, tua dan mati (QS. Al Hajj [22]: 5).

Manusia dibedakan dengan makhluk lain adalah karena ditiupkannya ruh Allah
Subhanahuwata’ala yang menjadi salah satu unsur kedirian manusia. Dengan unsur ini
manusia mampu mendayagunakan instrumen jasad dan hayatnya untuk menangkap dan
memahami kebenaran (QS. As Sajdah [32]: 9, Al Hijr [15]:29, At Tahrim [66]: 12, Al
Mujadilah [58]: 22) yang kemudian akan memunculkan kesadaran akan hakikat diri dan
kehidupannya. Ruh adalah kekuatan berfikir yang memungkinkan manusia menyusun
pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran seperti yang dikatakan Al-Ghazali
dalam Al-Ihya sebagai sesuatu yang halus dalam diri manusia yang akan
memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat mengungkapkan pengertian
serta bersifat ketuhanan.
Unsur-unsur inilah yang membentuk kedirian atau kepribadian manusia (al-nafs). Pribadi
yang mempunyai pandangan, pemikiran, dan sikap yang kemungkinan berbeda satu-
dengan yang lain. Masing-masing manusia bertanggunjawab atas apa yang dilakukannya
(QS. Al An‟am [6]: 164) Heterogenitas manusia kemudian diaktualisasikan di dalam
kehidupannya yang ditentukan oleh kemampuannya untuk mengubah dan
mendayagunakan potensi diri (QS. Al Anfal [8]: 53, Ar Ra‟d [13]: 11). Barangsiapa yang
bersungguh-sungguh dalam aktualisasi diri dan berada pada jalan kebenaran akan
senantiasa mendapat bimbingan-Nya (QS. Al Ankabut [29]: 6).

 Penciptaan Manusia
Pada ayat ke-dua surat Al „Alaq Allah subhanahu wata‟ala menampakkan perbuatan-
Nya “khalaqal insana min „alaq” (Dia menciptakan manusia dari segumpal darah). Dari
ayat ini menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‟ala itu al-Khaliq (Pencipta) dan
manusia adalah makhluk yang diciptakan dari segumpal darah. Pengenalan disini tidak
hanya tertuju kepada rasio manusia, tetapi juga kepada kesadaran batin dan intuisinya,
bahkan seluruh totalitas manusia. Pengenalan dengan mata hati diharapkan membimbing
akal dan fikiran sehingga anggota tubuh dapat menghasilkan perbuatan yang baik dan
memeliharanya.

Kata “al-insan” yang berarti manusia terambil dari akar kata “uns” (jinak, senang dan
harmonis), atau ia terambil dari akar kata “nis-yun” yang berarti lupa. Atau terambil dari
akar katanya “naus” yaitu pergerakan atau dinamika. Makna-makna diatas memberikan
gambaran tentang potensi yang dimilikinya, lupa, kemampuan bergerak yang melahirkan
dinamika, makhluk yang sewajarnya melahirkan rasa senang, jinak dan harmonis pada
pihak-pihak lain. Berbeda dengan “basyar” yang juga diterjemahkan manusia, tetapi dari
aspek fisik (QS. Al Kahfi [18]: 110). Tetapi pada QS. At Tin [95]: 4 mencakup fisik dan
psikis.
Alquran mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah subhanahuwata‟ala,
memperkenalkan jatidirinya, antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya. Ayat
kedua surat Al „Alaq menguraikan secara singkat hal tersebut, kemudian diperkuat oleh
ayat yang lain (QS. Al Mu‟minun [23]: 12-14).

Kesan ayat “khalaqal insana min „alaq” tidak hanya berbicara tentang reproduksi
manusia tetapi menekankan tentang sifat bawaan manusia sebagai makhluk social,
seperti dikemukakan sebelum ini bahwa diantara arti „alaq adalah “ketergantungan”.
Sehingga dapat dipahami bahwa manusia itu makhluk yang telah diciptakan Allah
Subhanahuwata‟ala dengan memiliki sifat ketergantungan kepada pihak-pihak lain
sampai akhir perjalanan hidupnya. Al insanu makhlukun madaniyyun (keberadaan
manusia karena keterikatan dengan orang lain), kata sosilolog muslim Ibnu Khaldun.
Bahkan agama adalah hubungan interaksi yang baik (ad-diinu al-mua‟amalah).
Disamping itu, makhluk sosial tidak dapat hidup dalam bentuk apapun kecuali
menggantungkan diri kepada Allah Subhanahuwata‟ala.
Kata „alaq diartikan sebagai salah satu periode kejadian manusia, mengantarkannya
kepada kesadaran tentang asal-usulnya. Sedangkan kesan dari kata itu menimbulkan
kesadaran tentang ketergantungan kepada banyak pihak yang pada akhirnya memandu
manusia menyadari keterikatan dengan lingkungannya, dunianya, bahkan menyadari
kebesaran dan kekuasaan Allah subhanahuwata‟ala Yang Maha Pencipta (al-Khaliq). Ini
pula yang membuka pintu pikiran (wijhah) dan mata batinnya (bashirah), orientasi
(ittijah), pola pikir (tashawwur) manusia menuju pengenalan diri, lingkungan dan Sang
Khaliq. Pengenalan (ma‟rifat) tersebut merupakan jenis pengetahuan yang paling
mendasar. Alquran memberikan pesan penting ini dalam QS. Al Hasyr [59]: 19.
Manusia yang lalai adalah manusia yang tidak mengingat asal kejadiannya, dan tidak
menyadari siapa yang menghadirkannya di dunia ini. Ketika seseorang berjalan
menelusuri padang sahara, kemudian tersesat, tiba-tiba datang seorang pemandu; maka
yang pertama kali dia beri ucapan terima kasih adalah pemandu itu. Itulah Allah
subhanahuwata‟ala dan utusan-utusan-Nya.

 Manusia sebagai Khalifah di Bumi


Fitrah manusia adalah tunduk dan patuh kepada Allah subhanahu wata‟ala (QS. Ar Rum
[30]: 30) sebagaimana diikrarkan ketika masih dalam rahim Ibu (QS. Al A‟raf [8]: 172).
Fitrah manusia juga dilengkapi dengan kecendrungan fujur dan taqwa (QS. Asy Syams
[91]: 8). Dengan fitrah ini manusia memiliki nilai-nilai Ilahiyaha' yang berasal dari ruh-
Nya (QS. Al Hijr [115]: 29, Shad [38]: 72, Al Mujadilah [58]: 22). Dengan nilai dasar
dan potensi dasar manusia akan membentuk jati dirinya (QS. Asy Syams [91]: 9-10)
untuk mengarungi samudra kehidupan dalam rangka mengemban amanah (QS. Al Ahzab
33]: 173) sebagai khalifah Allah subhanahuwata’ala. Fungsi Khalifah adalah bahwa
manusia harus mampu mewujudkan kemakmuran dan menegakkan nilai-nilai Ilahiyah di
muka bumi (QS. Al Baqarah [2]: 30, Al An‟am [6]: 165, An Naml [27]: 62, Fathir [35]:
39).

Tugas kekhalifahan diberikan kepada manusia karena Allah subhanahuwata‟ala telah


memberikan kemampuan untuk memahami serta menguasai hukum-hukum kebenaran
yang terkandung dalam seluruh ciptaanNya. Kemudian memunculkan kesadaran akan
hakekat diri dan kehidupan dalam menjalankan tugas khalifah yaitu melalui akal yang
terdiri dari pikir dan qalbu. Akal adalah daya ruh untuk memahami dan merasakan
kebenaran yang bersifat mutlak (kebenaran Tuhan) dan kebenaran relatif (kebenaran
pemahaman manusia akan realitas sekitarnya). Manusia menggunakan akal untuk
memahami proses dinamika kehidupan (QS. Al Hajj [22]: 46), memahami dan meyakini
Kitab Suci (QS. Yusuf [12]: 2) mengerti hukum moral dan ibadah (QS. Al An‟am [6]:
151, Al Maidah [5]: 58) dan meyakini hari akhir (QS. Al Mulk [67]: 10) yang akan dapat
menguatkan keimanan seseorang (QS. Al Baqarah [2]: 76, Al Anbiya‟ [21]: 67). Dengan
akal, manusia mampu memaknai, menyusun, dan merumuskan konsepsi kehidupan serta
melakukan rekayasa peradaban dan kebudayaan.

Tugas kekhalifahan adalah amanat Allah subhanahuwata‟a‟la yang sesungguhnya


merupakan realisasi penghambaan manusia sebagai abdullah. Hal ini menjadi jelas kita
pahami karena sesungguhnya hakekat dan tujuan hidup manusia adalah semata-mata
mengabdi kepada Allah Subhanahuwata‟ala (QS. Ath Thur [52]: 56, QS. Al Bayyinah
[98]: 5). Dengan landasan kerangka moralitas ilahiyah ini semua aktifitas manusia adalah
ibadah. Sehinggga upaya memakmurkan kehidupan atau menciptakan kebudayaan adalah
aktifitas ibadah manusia dalam rangka merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil
„alamin.

Kesadaran akan realitas hidup manusia sebagai aktivitas ibadah menyebabkan


munculnya aktifitas kebudayaan (amal). Kualitas amal menjadi indikator kualitas diri
manusia baik di hadapan Allah subhanahuwata‟ala maupun terhadap sesama manusia
(QS. At Taubah:105). Kualitas amal inilah yang membedakan seorang manusia dengan
lainnya. Semakin tinggi kualitas amal manusia semakin baik kualitas dirinya. Kualitas
amal harus diiringi dengan kualitas iman, agar kualitas amal tersebut bermanfaat untuk
manusia dan juga dilihat Allah Subhanahuwata‟ala sebagai pemberi amanah.
Simultanitas kualitas iman dan amal akan menempatkan manusia sebagai insan kamil
yang paling mulia dihadapan Allah subhanahuwata‟ala (QS. Al Hujarat:15). Oleh
karenanya seluruh proses kehidupan adalah ujian terhadap amal perbuatan manusia (QS.
Hud:7). Untuk menghadapi ujian tersebut manusia diberi kebebasan untuk memilih dan
berbuat yang didasarkan pada kesadaran dirinya (QS. Fushilat:40, Asy Syam:8).
Alternatif ini masing-masing membawa konsekuensi tersendiri yang harus
dipertanggung-jawabkan. Kebebasan yang diberikan oleh Allah Subhanahuwata‟ala ini
menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan yang merupakan jaminan hak
azazi untuk menempuh perjalanan hidupnya di dunia. Meskipun demikian Allah
subhanahuwata‟ala telah menunjukkan jalan yang seharusnya ditempuh oleh manusia
agar perjalanannya selamat (QS. Al Insan:3).

Amal adalah wujud penjelasan kedirian manusia sebagai aktualisasi dari kedudukannya
sebagai hamba Allah subhanahuwata‟ala dan fungsinya sebagai pengemban amanah
kekhalifahan di muka bumi. Amanah membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas
perbuatan yang telah dilakukan baik kepada diri sendiri (QS. Al An‟am:164) maupun
kepada Allah Subhanahuwata‟ala (QS. An Nahl [16]:56, 17:36, 24:23-25, 36:65).
Dengan demikian seluruh amal perbuatan manusia harus bisa dipertanggungjawabkan
secara benar. Mekanisme semacam ini akan menuntun manusia untuk selalu berusaha
berbuat benar menurut landasan Al Qur‟an dan Sunnah Rasul.

Dan akhirnya semua manusia bukan hanya sama; mereka adalah bersaudara. Kesamaan
berarti sama dalam konteks legal (hukum). Sementara persaudaraan memancarkan
keseragaman sifat serta kecenderungan semua manusia; betapapun keanekaannya, namun
manusia berasal dari sumber yang satu. Lelaki dan perempuan adalah sederajat. Lelaki
dan perempuan diciptakan dari jiwa yang satu (QS. An Nisa [4]: 1), dan oleh Pencipta
yang sama. Mereka adalah bersaudara, berasal dari ibu dan bapak yang sama.

Keunggulan manusia atas para malaikat maupun seluruh makhluk lain berpangkal pada
pengetahuan. Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah subhanahuwata‟ala, manusia
bukanlah makhluk rendah, karena ia adalah wakil Allah subhanahuwata‟ala dan pemikul
amanahNya di muka bumi. Akan tetapi, manusia bisa menjadi makhluk yang paling hina
apabila tidak menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya. Manusia menikmati
afinitasnya (daya tarik-menarik) dengan Allah subhanahuwata‟ala, menerima pelajaran
dariNya, dan telah menyaksikan betapa semua malaikat bersujud kepadanya. Manusia
yang memikul beban tanggung jawab demikian, memerlukan agama yang tidak hanya
beorientasi pada dunia atau akhirat semata, melainkan agama yang mengajarnya
bagaimana memelihara keseimbangan. Hanyalah dengan agama demikian manusia bisa
melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.

f. Hakekat Alam
Hakekat alam menurut pandangan Islam adalah sebagai ciptaan Allah subhanahuwata‟ala. Alam
tempat manusia hidup ini terbagi dua bagian: alam nyata (`alam al-shahadah) --yang biasa
disebut alam indrawi, alam yang bisa diamati-- dan alam ghaib (`alam al-ghaib) atau alam supra-
indrawi, alam yang tidak terjangkau oleh eksperimen dan observasi, tersembunyi dari persepsi
indra manusia. Ini bukan dualisme. Pembagian ini hanyalah berkaitan dengan kemampuan fikir
manusia, sementara dari sudut pandang Allah sama sekali tidak ada yang ghaib. Kesemuanya,
baik alam ghaib dan alam nyata ada dalam kesatuan ciptaan Tuhan (tauhid al-wujud).

Dalam konsepsi tauhid, alam terdiri dari serangkaian tanda (ayat) dan norma (sunan).
Penggunaan kata ayat untuk menunjuk suatu gejala alam, mengandung pemahaman yang
dalam. Darat dan laut, malam dan siang, langit dan bumi, gempa dan maut, pepohonan dan
biji-bijian, bahkan tubuh manusia, semuanya merupakan “tanda-tanda” kekuasaan dan
kebesaran Allah.

Ayat mengandung pengertian indikasi dan manifestasi, atau dalam dunia ilmiah disebut
sebagai fenomena. Dunia ilmiah (sains modern) hanya mampu mempelajari, menganalisa,
dan mengungkapkan manifestasi lahiriah serta indikasi-indikasi dari hakikat dunia dan jiwa
yang sebenarnya. Cara Alquran mengungkapkan alam dengan tanda-tanda, sesuai dengan
kerangka berfikir ilmiah modern. Sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dalam konteks ini, juga sesungguhnya dalam konstruksi berfikir konsepsi tauhid.
Dalam hubungannya dengan manusia, alam sesungguhnya diciptakan oleh Allah
Subhanahuwata‟ala untuk manusia. Untuk dikelola dan dimakmurkan sesuai dengan amanah
kekhalifahan manusia. Dengan cara pandang tauhid, pengelolaan terhadap alam
sesungguhnya sebagai upaya manusia untuk menangkap dan memahami kebenaran Tuhan,
sekaligus sebagai upaya mendekatkan diri kepada-Nya.

g. Hakekat Ilmu
Islam sangat menghargai ilmu (QS. Mujadilah [58]: 11; Az Zumar [39]: 9), bahkan
Rasulullah bersabda: “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah).
Orang yang berilmu berada pada derajat mulia dan mempelajari ilmu bernilai ibadah.

Dalam terminologi bahasa Arab ilmu artinya mengetahui atau perbuatan yang bertujuan
untuk mengetahui tentang sesuatu dengan sebenarnya. Secara etimologi Ilmu adalah segala
pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu yang datang dari Allah Subhanahuwata‟ala yang
diturunkan kepada Rasul-rasulnya dan alam ciptaannya termasuk manusia yang memiliki
aspek lahiriah dan batiniah.
Ilmu yang benar ialah ilmu yang dapat membawa manusia untuk mengenali penciptanya
(Sang Khalik) yang dengan ilmu itu pula manusia melaksanakan kesempurnaan tugas
menjadi hamba dan khalifah Allah Subhanahuwata‟ala. Dalam maksud ini ilmu berorientasi
pada kehidupan akhirat. Ilmu didapat bukan karena keuntungan duniawi.

Ulama‟ memadukan ilmu dengan amal, fikir dan zikir, akal dan hati. Dengan usaha yang
sungguh-sungguh menuntut ilmu juga salah satu bentuk ibadah. Seseorang yang berusaha
dalam menuntut ilmu akan memperoleh pahala seperti orang yang berperang dalam jihad di
jalan Allah Subhanahuwata‟ala. Ilmu di dapat dari wahyu, indera lahir dan batin, akal, serta
intuisi.

Sifat penting dari konsep ilmu adalah integratif (tauhidi) dan holistik. Ilmu merupakan
sesuatu yang mempunyai nilai, tidak netral seperti pandangan sekular-barat. Pembedaan ini
sebagai bukti paradigma tauhid. Dalam konteks ini berarti persoalan-persoalan epistemologis
harus selalu dikaitkan dengan etika dan spiritualitas. Ilmu menurut perspektif Islam dikenali
sebagai sifat, proses dan hasil. Ilmu dalam Islam meliputi berbagai perkara, yaitu Alquran,
syariah, sunnah, iman, spiritualitas, hikmah, ma‟rifat, pemikiran, sains dan pendidikan. Ilmu
adalah asas dari amal, dan amal adalah hasil atau natijah dari ilmu.

Namun, bila ilmu terdapat penyalahgunaan akan menimbulkan keburukan ilmu dan
kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang
bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan
dunia.

Dalam perspektif Islam terdapat beberapa kategori ilmu, secara umum adalah ilmu fardhu
„ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu „ain adalah ilmu yang harus dimiliki dan dipelajari oleh
setiap muslim, terdiri dari Alquran, Sunnah, Syari‟ah, Tauhid (teologi). Sedangkan ilmu
fardhu kifayah adalah ilmu yang harus dimiliki dan dipelajari oleh sebagian umat Islam,
terdiri dari Sains Humaniora, Sains Alam, Sains Terapan, dan Sains Teknologi.
Berkaitan dengan ilmu fardu kifayah, ilmu ini harus melalui proses islamisasi, yakni
pembebasan dari magis, mitos, animistik, tradisi kultur-nasional, dan kontrol sekuler yang
menguasai pikiran dan bahasanya. Ilmu ini harus berada pada koridor akal fitrah manusia,
yakni prinsip integrasi dengan nilai ilahiyah.

B. Sistem Perjuangan Islam


a. Cita Perjuangan Islam
Perjuangan penegakan nilai-nilai Islam adalah suatu perjuangan transformatif, yaitu membawa
manusia dari kegelapan dan kejahiliyahan menuju cahaya dan hidayah Islam. Artinya, Islam
sebagai sebuah pandangan dunia (ideologi) berkepentingan melakukan perubahan masyarakat
sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Hakekat diturunkannya Islam
adalah melakukan transformasi kesadaran melalui pembersihan tauhid, dan kemudian melakukan
transformasi kemasyarakatan dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiyah ke dalam simbol-
simbol budaya dan struktur kemasyarakatan. Ingat, para nabi yang diutus oleh Allah membawa
missi menyampaikan tauhid kepada manusia dan kemudian menyeru mereka untuk menyembah
hanya kepada Allah Subhanahuwata‟ala (QS. Al Anbiya‟ [21]: 25). Dan kemudian dalam sejarah
para nabi tersebut terjadilah perubahan-perubahan kemasyarakatan yang luar biasa. Sehingga
apabila ada realitas masyarakat yang tidak sesuai dengan visi dan cita-cita profetik Islam, maka
siapapun yang mengklaim dirinya seorang muslim yang baik mestinya tergerak untuk melakukan
perubahan.

b. Cita-cita Masyarakat Islam


Sesungguhnya asas pertama kali yang tegak diatasnya masyarakat Islam adalah aqidah,
itulah aqidah Islam. Aqidah bagi masyarakat Islam adalah aqidah yang bersumber pada dua
kalimat syahadat; “Laa ilaaha illa Allah”, artinya tiada sesembahan yang haq selain Allah.
Syahadat ini mengandung dua unsur: menolak atau menghilangkan (menafikan) dan
menetapkan. “Laa ilaaha”, adalah menafikan segala sesembahan selain Allah; “illa Allah”,
adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allah semata, tiada sesuatu apa pun
yang boleh dijadikan sekutu di dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu
apa pun yang boleh dijadikan sekutu di dalam kekuasaan-Nya.

Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah (utusan Allah), berarti: mentaati apa yang
diperintahkannya, membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarang serta
dicegahnya, dan menyembah Allah hanya dengan cara yang disyariatkannya. Dalam ajaran
Islam, tema aqidah bukan semata-mata konsumsi otak, tetapi harus melahirkan hasil,
berbekas, diwujudkan dengan melaksanakan kewajiban. Maka masyarakat Islam sangat
wajib menegakkan hukum Allah di muka bumi atas implikasi dari aqidah (ikatan) tersebut.

Setelah manusia memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Subhanahuwata‟ala dengan aqidah
Islamnya dan melepaskan segala bentuk penghambaan dari selain Allah Subhanahuwata‟ala
maka manusia telah memiliki sistem kehidupan yang baik. Dari sistem kehidupan ini
terwujud tatanan masyarakat modern dengan limpahan rahmat dan maghfirah Allah
Subhanahuwata‟ala (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur), dan manusia telah menjadi
wakil Allah di muka bumi ini. Dengan pendelegasian sebagian tugas kekhalifahan ini,
manusia sebagai hasil tarbiyah dan da‟wah diarahkan oleh sebuah kepemimpinan untuk
membumikan pesan-pesan langit pada realitas kehidupan. Aspek sosial, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang melaksanakan Islam, secara aqidah dan ibadah,
secara syariat dan sistem, secara budi pekerti dan tingkah laku. Masyarakat Islami tidak
sekedar komunitas yang menamakan dirinya Islam sedangkan syariat Islam tidak merupakan
hukum di dalamnya, sekalipun ia shalat, berpuasa, zakat dan melakukan ibadah haji. Bukan
pula yang menciptakan suatu jenis Islam khusus untuk dirinya sendiri selain dari ketetapan
Allah Yang Maha Suci dan diterjemahkan oleh sunnah Nabi.
Ada beberapa komponen penting yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami.
Pertama, kawasan, wilayah, teritorial yang kondusif (al-bi‟ah, al-qura). Lingkungan
yang kondusif sangat mendukung terlaksananya ajaran Islam.
Kedua, ummat (al-ummah, ahl).
Ketiga, syariat (asy-syari‟ah, aturan).
Keempat, kepemimpinan (al-imamah).

Ummat yang telah terbina dengan dakwah dan tarbiyah perlu dikelola, dipandu, dan
diarahkan oleh sebuah kepemimpinan. Diawali dari kepemimpinan yang bersifat mikro (al-
imamah ash-shughra), menuju kepemimpinan yang bersifat makro (al-imamah al-kubra).
Keduanya harus sama-sama diprioritaskan. Tidak boleh dipisahkan. Kepemimpinan mikro
seharusnya melahirkan kepemimpian makro. Jika keduanya dipisahkan, akan masuk pada
perangkap sekulerisme.
c. Marhalah (tingkatan-tingkatan) Perjuangan Islam

Pada umumnya ada lima faktor atau proses pendidikan yang membangun kepribadian
seseorang. Pertama adalah ibu yang memberikan kepadanya struktur dan dimensi bentuk
ruhiyah. Dengan penuh kasih dan kelembutan sambil membelai dan menyusuinya, sang Ibu
memelihara ruhani serta menanamkan pendidikan awal pada sang anak. Kedua adalah sang
Ayah yang memberikan dimensi lain pada ruhani sang anak sesuai dengan fitrahnya. Ibu dan
ayah dengan ciri khas fitrah masing-masing diharapkan dapat mentransformasikan nilai-nilai
kehidupan keluarganya ke dalam komunitas yang lebih luas (masyarakat). Ketiga adalah
sekolah. Keempat, masyarakat dan lingkungan. Semakin kuat lingkungannya maka semakin
besarlah pengaruh edukatifnya atas seseorang. Dan kelima adalah kebudayaan umum
masyarakat ataupun kebudayaan umum dunia secara keseluruhan.
Penegakan nilai-nilai ajaran Islam dilakukan pula dengan membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Keluarga dalam struktur kemasyarakatan Islam menduduki posisi
yang sangat penting dan strategis. Karena dari keluargalah sentuhan pendidikan pertama
sekali terhadap anak. Dari keluargalah nilai-nilai Tauhid pertama kali ditanamkan.
Sebagaimana dalam konsepsi pendidikan Islam, penanaman Tauhid pada anak menjadi
prioritas utama (QS.31:13-14). Dan seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits bahwa
“seseorang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orang tuanyalah yang menjadikan
nasrani, yahudi ataupun majusi” (Al Hadist). Dan di sini peran orang tua terutama ibu
menjadi sangat menentukan. Bahwa ibu adalah sekolah (Al-Ummu Madrasah). Dari
keluargalah pembentukan generasi-generasi rabbi radhiyya disiapkan. Dan untuk membentuk
keluarga yang sakinah, meniscayakan adanya harmonisasi hubungan fungsi-fungsi dalam
keluarga.

d. Manhaj (metode) Perjuangan Islam


 Secara kultural perjuangan transformasi atau penegakan nilai-nilai Islam dilakukan
melalui perubahan secara personal (individu) dan keluarga sebagai pendidikan pertama
bagi manusia harus memiliki kultur yang mendukung terbentuknya masyarakat yang
ideal. Dan ini tentunya meniscayakan adanya suatu sistem atau kultur pendidikan yang
Islami atau suatu suasana yang kondusif bagi kesempurnaan proses pendidikan, baik di
keluarga, sekolah, lingkungan maupun kebudayaan masyarakat umumnya.
 Secara struktural adalah melalui keterlibatan ummat Islam dalam membangun suatu
struktur kemasyarakatan yang bisa mengaktualisasikan nilai-nilai Islam ke dalam
struktur-struktur politik, sosial, ekonomi, dan budayanya.
 Secara normatif, metode perjuangan Islam meliputi:
i) Hijrah; sebagai salah satu metode perjuangan Islam yang mengajarkan tentang
manajemen dan langkah-langkah perencanaan strategis yang berpandangan visioner.
Dalam hal ini, hijrah psikis lebih utama dari pada hijrah fisik karena setelah hijrah,
jiwa kemanusiaan benar-benar terbebas dari belenggu nafsu (QS. 4 : 100, 9 : 20).
ii) Jihad; sebagai etos atau elan perjuangan Islam dan sebagai puncak keIslaman (QS. 9
: 20, 9 : 41, 49 : 15, 61 : 11).
iii) Dakwah; sebagai proses penyampaian dan pengaktualisasian nilai-nilai Islam
melalui proses penggalian dan pencarian hikmah, pengajaran yang baik, melakukan
diskursus (mujadalah) (QS.16:125), amar bil ma`ruf dan nahy anil munkar
(QS.3:104).
iv) Ukhuwah Islamiyah; kenyataan bahwa adanya pluralitas ummat Islam baik dalam
mazhab pemikiran maupun kelompok-kelompok yang berbeda, meniscayakan
perlunya dibangun jaringan kerja (networking) di antara seluruh komponen ummat,
dan tentunya adanya saling menghormati dan saling menghargai.

b. Problematika Perjuangan Islam


Dalam melakukan perjuangan penegakkan nilai-nilai Islam, umat Islam menghadapi
problematika dan tantangan yang meliputi:
- Problem aqidah, moralitas dan karakter diri
- Problem cara pandang dan sistem berfikir
- Problem manajemen gerakan dan kepemimpinan umat
- Problem sistem pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, dan lingkungan
Problematika-problematika turunan tersebut bertolak sejak runtuhnya kekhilafan Islam,
sehingga umat Islam tidak dapat menentukan arah hidup dan mengorganisasikan cita-
citanya.

I. MISI DAN EKSISTENSI PII

Setelah mendudukkan dan merumuskan pandangan dunia Islam, maka bagian ini menjelaskan
implikasi pandangan dunia tersebut ke dalam aktualisasi missi dan eksistensi Pelajar Islam
Indonesia (PII). Pandangan dunia Islam adalah pandangan dunia (ideologi) bagi Pelajar Islam
Indonesia (PII), yang karena itu dalam aktualisasi perjuangannya, Pelajar Islam Indonesia (PII) akan
selalu dikerangkai oleh pandangan dunia Islam tersebut. Implikasi pandangan dunia Islam terhadap
missi dan eksistensi Pelajar Islam Indonesia (PII) meliputi penafsiran tujuan Pelajar Islam Indonesia
(PII), kaderisasi, tri komitmen Pelajar Islam Indonesia (PII), catur bakti Pelajar Islam Indonesia
(PII), dan karakteristik bangun organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).

A. Tujuan Pelajar Islam Indonesia (PII)


Pelajar Islam Indonesia (PII) mencanangkan tujuannya, yaitu: “Kesempurnaan pendidikan dan
kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia”. Pada
tujuan ini terdapat dua hal yang ingin dicapai oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), yakni
kesempurnaan pendidikan dan kesempurnaan kebudayaan. Kedua komponen tersebut merujuk
kepada Islam sebagai sumber nilai dan pandangan dunia (islamic worldview), sedangkan segenap
rakyat Indonesia dan umat manusia adalah setting sosio-historis atau wilayah dakwahnya.

Pilihan Pelajar Islam Indonesia (PII) pada pendidikan dan kebudayaan ini merupakan pilihan
yang tepat dan strategis, karena tidak mungkin terwujud masyarakat Islam tanpa melalui proses
pendidikan dan kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai Islam itu sendiri. Lebih jauhnya, tidak
akan mungkin terwujud suatu cita-cita profetik kemasyarakatan Islam yaitu khairu ummah (umat
terbaik) atau baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur tanpa didahului upaya untuk melakukan
transformasi masyarakat dengan nilai-nilai Islam. Dan upaya ini meniscayakan suatu proses
pendidikan dan kebudayaan.
1) Konsepsi Pendidikan Yang Sesuai Dengan Islam
Bidang pendidikan mempunyai posisi yang amat strategis untuk mengubah dan membangun
masyarakat. Rekayasa peradaban sebagai salah satu jalan dalam perubahan dan
pembangunan masyarakat memerlukan kesiapan anggota masyarakat yang bersangkutan.
Anggota masyarakat dituntut memiliki kesiapan dan kemampuan antara lain: daya adaptasi
terhadap nilai-nilai baru, kreatifitas untuk melakukan upaya inovasi dan daya saing untuk
tetap eksis ditengah arus perubahan global yang terjadi. Kemampuan dasar di atas
dipersiapkan dan dibentuk melalui proses pendidikan.
Pendidikan berfungsi sebagai agen perubahan sosial dalam arti akan berlangsung penyiapan
sumber daya manusia sebagai pelaku dan pelopor perubahan sosial tersebut. Perubahan ini
dimaksudkan untuk membangun masyarakat baru yang lebih baik dan sempurna. Pendidikan
akan memberikan bekal secukupnya pada setiap individu untuk mempersiapkan diri dan
berkembang sesuai dengan potensi diri dan lingkungannya. Untuk mengantisipasi perubahan
yang akan terjadi maka dalam setiap proses pendidikan berlangsung proses transformasi dan
sosialisasi.

Dalam khasanah Al Qur‟an, penciptaan manusia mempunyai missi yang amat luhur sebagai
hambaNya untuk mengemban amanah menjadi khalifah Allah mewujudkan suatu tatanan
masyarakat dan kehidupan yang mardhatillah. Manusia yang akan mengemban amanah
tersebut adalah generasi rabbi radhiyya yang mempunyai kapasitas zikir, pikir dan amal utuh
serta berkualitas (Qs.5:54,3:190-191). Untuk mempersiapkan dan membentuk generasi
tersebut maka dibutuhkanlah suatu proses pendidikan.
Pendidikan (Islam) adalah upaya sadar untuk mempersiapkan manusia melalui proses yang
sistematis, dengan membangkitkan kesadaran diri manusia terhadap kedudukannya sebagai
abdullah dan khalifah Allah dalam rangka mewujudkan peradaban manusia yang sesuai
dengan tuntunan Islam. Dengan demikian tujuan akhir dari pendidikan adalah semata-mata
mencari ridlo dari Allah Swt. Proses pencapaian tersebut dilakukan dengan pembekalan dan
pembentukan sikap, penambahan wawasan dan pengetahuan serta pemberian bekal
keterampilan. Ketiga ranah tersebut dikelola secara utuh dan proporsional.
Proses sistematis yang terjadi dalam pendidikan dimulai dengan tahapan pengenalan-
pengenalan melalui seluruh indera manusia, lalu penyimpulan secara logis sebagai suatu
konsep. Dalam Alquran kondisi ini disebut sebagai pembacaan terhadap ayat-ayat Allah
yang memiliki peluang sangat besar untuk meningkatkan imannya (8:2). Proses peningkatan
iman ini hanya mungkin jika ada proses tazkiyah atau pensucian hati (62:2, 91:9-10) yang
diikuti pengakuan yang juga merupakan penundukan hati secara total kepada Allah (3:190-
191). Iman dan ketundukan kepada Allah tidaklah ada artinya jika tidak diwujudkan dalam
amal shalih (95:6) yang dengan itu janji Allah untuk memberikan pengakuan akan
keberhasilan kekhalifahan manusia akan dipenuhi-Nya (24:55).

Selanjutnya yang perlu kita kemukakan di sini adalah proses yang dapat memberikan
gambaran lebih lanjut semacam tahapan-tahapan dalam upaya memahami proses khas
pendidikan Islam, yaitu:
a) tahap pengakuan tauhid,
b) tahap pensucian hati (tazkiyatun nafs),
c) tahap ketundukan kepada Allah sebagai konsekuensi Tauhid,
d) tahap aktualisasi dengan karya dan kreatifitas (amal shalih).
Proses pendidikan Islam ini (a-d) akan berlangsung secara bertahap dan simultan (berulang-
ulang) dengan intensitas dan bobot yang semakin lama semakin tinggi. Tahapan yang
dimaksud bukanlah dibatasi oleh jeda, namun merupakan satu kesatuan proses yang dalam
kasus tertentu tidak dapat dibedakan antar tahapan. Dari waktu ke waktu harus ada
perkembangan pemahaman, keimanan, ketundukan dan amal shalih. Sebagaimana telah
disinyalir oleh Nabi shallallahu „alaihi wasallam bahwa setiap saat harus ada perkembangan
kualitas diri dan jamaah dan setiap diri harus waspada terhadap naik turunnya kualitas iman.

Untuk mewujudkan kesempurnaan pendidikan sebagaimana cita-cita Pelajar Islam Indonesia


(PII), konsepsi pendidikan Islami ini harus teraktualisasi dalam setiap suasana atau faktor-
faktor yang mempengaruhi proses pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, lingkungan, dan
lingkungan kebudayaan masyarakat dan global. Karena itu pula perlu ada upaya transformasi
terhadap suasana atau faktor-faktor tersebut.

2) Konsepsi Kebudayaan Yang Sesuai Dengan Islam


Kebudayaan sebagai salah satu fondasi dasar kemasyarakatan menjadi salah satu ukuran
kualitas anggota masyarakat. Kebudayaan merupakan cermin dinamika individu dan
kelompok dalam masyarakat yang secara dialogis berproses dalam aktualisasi kehidupan.
Untuk itu jika akan merubah dan membangun masyarakat, kebudayaan merupakan pintu
pertama yang harus dilewati. Melakukan perubahan secara gradual terhadap kebudayaan
masyarakat berarti telah melakukan perubahan terhadap masyarakat.
Ada dua pengertian tentang kebudayaan, yaitu kebudayaan sebagai produk dan kebudayaan
sebagai proses. Kebudayaan sebagai produk adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia
berupa keseluruhan yang kompleks yang termasuk di dalamnya pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat, dan segala kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam pengertian ini kebudayaan meskipun diciptakan
manusia adalah bersifat eksternal, deterministik dan obyektif terhadap manusia dan
masyarakat. Sementara dalam pengertian proses, kebudayaan menunjuk pada keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang dibiasakannya melalui proses belajar (becoming process)
yang teraktualisasi dalam tatanan struktur kemasyarakatan. Dalam pengertian ini kebudayaan
adalah suatu proses yang terus-menerus, peran subyek (manusia) sangat signifikan, dan
voluntaristik. Untuk memahami kebudayaan secara utuh, kedua pemahaman ini tidak bisa
dipisahkan.

Menurut teori budaya, untuk memahami kebudayaan setidaknya harus menjawab empat
pertanyaan. Pertama, apa struktur dasar dari budaya. Hal ini berkaitan dengan bentuk-bentuk
pokok dari budaya, yang berupa sistem simbol. Simbol-simbol itu berupa struktur-atas yang
muncul dipermukaan, sedang dibawahnya terdapat struktur-bawah yang mendorong
terwujudnya struktur-atas. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Hal ini berkaitan
dengan hubungan antara simbol dengan motivasi. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Ini adalah masalah sejarah yang mempersoalkan perubahan,
mobilitas, dan kontinuitas simbol-simbol budaya itu. Keempat, bagaimana menerangkan
variasi-variasi budaya. Ialah masalah budaya komparatif yang mencoba menjelaskan
bagaimana simbol-simbol itu dapat berbeda dari satu lokus budaya ke lokus yang lain.
Pendekatan empati akan lebih tepat untuk memahami persoalan nilai-nilai dalam
kebudayaan.

Konsep normatif Islam tentang budaya tidak saja mencoba memahami, melukiskan, dan
mengakui keunikan-keunikannya, tetapi Islam mempunyai konsep tentang amar dan
tanggungjawab. Islam menjadikan budaya sebagai sasaran pembinaan. Masalah kebudayaan
adalah masalah bagaimana kita mengubahnya. Islam mengarahkan perkembangan
kebudayaan menuju falah melalui proses tazkiyah. Dengan demikian, Islam mempunyai
ukuran-ukuran sendiri untuk melihat perkembangan budaya manusia.

Pengertian kesempurnaan kebudayaan yang sesuai dengan Islam adalah suatu sistem simbol
dan sistem nilai dalam suatu tatanan kemasyarakatan yang disibghah oleh nilai-nilai Ilahiyah
melalui proses transendentalisasi (tazkiyah). Artinya dalam struktur kemasyarakatan, sistem
nilai yang transenden menjadi struktur-bawah yang mendorong terwujudnya struktur-atas
dalam tatanan kemasyarakatan. Dan dengan demikian proses transformasi kesempurnaan
kebudayaan yang Islami berarti suatu proses tranformasi atau transendentalisasi kesadaran,
sistem nilai dan sistem simbol dengan nilai-nilai Islam sesuai dengan pandangan dunia Islam.

3) Segenap Rakyat Indonesia dan Umat Manusia


Islam merupakan agama yang memiliki nilai-nilai universal (QS. Al Anbiya‟ [21]: 107)
sehingga dakwah agama Islam juga harus universal meliputi seluruh umat manusia, tidak
dibatasi oleh sekat-sekat suku bangsa dan teritorial tertentu. Dengan demikian, seluruh
pergerakan Islam harus menjadikan ummat manusia sebagai wilayah dakwahnya.

Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai salah satu pergerakan Islam, menjadikan ummat Islam
sebagai wilayah garap dakwahnya. Tentang Pelajar Islam Indonesia (PII) menjadikan
Indonesia sebagai wilayah dakwahnya (Trikomitmen; Komitmen Ke-Indonesiaan) bukan
berarti Pelajar Islam Indonesia (PII) membatasi wilayah dakwahnya terlokalisir pada
teritorial tertentu saja tetapi dengan pemahaman bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian
dari umat manusia itu sendiri. Dalam usahanya, Pelajar Islam Indonesia (PII) menjadikan
bangsa Indonesia sebagai wilayah dakwah antara untuk berdakwah pada ummat manusia.
Pelajar adalah obyek utama Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam setiap langkah geraknya,
dalam upaya dakwah pada bangsa Indonesia.
Dari penafsiran terhadap tujuan Pelajar Islam Indonesia (PII) di atas (serta tentunya cara
pandang PII terhadap Islam sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu), maka
dapat dipahami bahwa cita-cita perjuangan Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah perjuangan
mencetak kader-kader subyek kebudayaan yang akan melakukan transformasi pendidikan
dan kebudayaan sesuai dengan visi dan cita-cita profetik Islam, di samping tentunya
keterlibatan Pelajar Islam Indonesia (PII) secara organisatoris dalam proses-proses
kemasyarakatan yang sedang berlangsung. Kader-kader yang dibentuk tentunya adalah
kader-kader yang mempunyai kapasitas dan kualitas tertentu sehingga bisa mengemban
amanah profetik tersebut. Amanah profetik yang diemban oleh kader-kader Pelajar Islam
Indonesia (PII) tidak hanya ketika mereka aktif secara organisatoris di Pelajar Islam
Indonesia (PII), tapi adalah amanah yang harus diemban sepanjang hayat. Berarti cita-cita
perjuangan Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah suatu perjuangan sepanjang masa, sepanjang
kader-kadernya terus hadir di pentas sejarah perjuangan Islam.

B. Karakteristik Kader PII


1) Pengertian Kader dan Kaderisasi
Tujuan “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi seluruh
rakyat Indonesia dan ummat manusia” adalah ekspresi optimisme Pelajar Islam Indonesia
(PII) akan kemungkinan terwujudnya sistem pendidikan yang Islami di muka bumi. Hal ini
juga merupakan keyakinan Pelajar Islam Indonesia (PII) akan terbentuknya masyarakat
berperadaban (madani) yang dibentuk melalui proses pendidikan tersebut. Namun Pelajar
Islam Indonesia (PII) harus bersikap realistis dengan berperan sesuai dengan karakternya
sebagai organisasi kader yaitu melakukan aktifitas kaderisasi.

Kaderisasi adalah proses sosialisasi, transformasi dan ideologisasi tata nilai melalui sistem
organisasi. Sosialisasi adalah penanaman tata nilai yang dianut oleh suatu komunitas tertentu
(baca: PII) kepada satu generasi ke generasi berikutnya. Dan transformasi adalah dinamisasi
tata nilai dimaksud untuk menghadapi tantangan perubahan yang dihadapi oleh komunitas
tersebut. Sedangkan ideologisasi adalah penanaman nilai-nilai Ilahiyah dan kejuangan dalam
rangka mewujudkan tata nilai yang dijadikan missi perjuangan komunitas tersebut.

Proses kaderisasi sebenarnya adalah suatu proses pendidikan karena di dalam proses
sosialisasi, transformasi dan ideologisasi berlangsung upaya penanaman dan pembentukan
sikap dan kepribadian berdasarkan ajaran Islam, transfer ilmu, pembekalan kemampuan dan
ketrampilan pada seseorang dalam komunitas untuk kelangsungan misi dari satu genegrasi ke
generasi berikutnya. Dengan demikian tujuan pendidikan dalam seluruh aktivitas kaderisasi
PII dimaksudkan untuk mempersiapkan sumber daya insani sebagai kekuatan inti organisasi
dalam menggerakkan aktivitas untuk pencapaian tujuan dan missi organisasi.
Kader pada hakekatnya adalah seseorang yang dipersiapkan untuk mengemban tugas masa
depan dengan kemampuan, kualitas dan kualifikasi tertentu. Kader merupakan kekuatan inti
organisasi dan ummat Islam untuk menjadi pelopor, penggerak dan penjaga misi perjuangan
guna mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil „alamin. Idealitas kader merupakan
konseptualisasi dan kristalisasi dari pemahaman tentang konsepsi manusia dan tujuan
hidupnya.

2) Profil Ideal Kader


Sosok ideal kader Pelajar Islam Indonesia (PII) merupakan profil kader yang merupakan
konstruksi ideal sifat dan kinerja yang harus dimiliki oleh seseorang kader sehingga
dianggap mampu menunaikan tugas dan amanah transformasi misi Pelajar Islam Indonesia
(PII) sesuai dengan cita-cita profetik pandangan dunia Islam.
Sifat kader Pelajar Islam Indonesia (PII) meliputi :
 Muslim, memiliki sikap ketundukan hanya kepada Allah saja dalam arti konsepsi dan
cara pandang, sikap dan aktualisasi berada dalam garis bimbingan dan rido Allah.
Adapun Kinerja Kader Muslim adalah sebagai berikut :

a) Beraqidah Islam yang kuat; menjadikan Allah sebagai muara semua gerakan dan
tindakan dalam perwujudan tauhid uluhiyah dan sikap loyalitas (wala‟) serta berlepasm
diri dari berbagai kemusyrikan (bara‟).
b) Beribadah sesuai perintah Allah dan sunnah Rasulullah; menjadikan proses
berkehidupan mulai dari niat, cara dan hasil berlandaskan ikhlas karena Allah dan
mengikuti nabi Muhammad.
c) Berakhlakul karimah; pribadi yang mencerminkan kesejukan dan memberikan rahmat
bagi lingkungan disekitarnya, adanya dia akan memberikan manfaat dan ketidak
adaannya membuat lingkungannya merindukannya.
Tiga hal itu terwujud dalam sikap kader dengan ciri:

 Menjaga shalat wajib lima waktu.


 Mempunyai paradigma berfikir yang terintegrasi dengan nilai-nilai ilahiyah.
 Mendahulukan kepentingan Islam di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
 Meninggalkan hal-hal yaang diharamkan oleh Allah SWT seperti, narkoba, rokok,
pacaran dan lain-lain.
 Berfikir positif.
 Bertutur kata lembut dan tegas.
 Assertif dalam bersikap dan bertindak.
 Menjauhkan diri dari kesyirikan
 Cendekia, dalam arti upaya meneladani sifat fathanah nabi, sehingga memiliki wawasan
dan antisipasi yang luas serta kerangka metodologi yang kuat sehingga dapat menangkap
dan memahami keberanian, mengkonseptualisasi dan mengaktualisasikannya secara
komprehensif. Cendekia juga berarti kader Pelajar Islam Indonesia (PII) akan mampu
memahami Islam dan berbagai hal dengan kreatif dan dinamis.
Adapun kinerja kader Cendekia adalah sebagai berikut :

a) Gemar membaca, menulis dan berdiskusi; membaca ayat-ayat Allah yang tertulis
maupun terlihat (realitas) dan menulis sebagai aplikasi pengetahuan serta berdiskusi
sebagai proses dialektika hasil baca dan tulis.
b) Mampu merumuskan serta menyampaikan gagasan baik secara lisan dan tulisan; proses
penemuan dengan menggunakan cara ilmiah menjadi jiwa seorang kader serta dengan
hasil tersebut dapat pula menyampaikannya dengan sistematis dan ilmiah.
c) Memiliki karya dan berprestasi; sebagai wujud kemampuan dan kerja keras maka
dibuktikan dengan karya yang sebanding serta prestasi yang memadai dibidangnya.
 Pemimpin, berarti memiliki sikap dan kemampuan sebagai seorang pemimpin yang
berani dan bertanggung jawab, yang mampu mengambil keputusan secara tepat dan
mengelola potensi lingkungannya menjadi sesuatu yang bernilai dalam aktualisasi
kekhalifahannya.
Adapun kinerja kader pemimpin adalah sebagai berikut :

a) Pelopor dan mandiri; menjadi yang pertama dalam segala proses perubahan dalam
lingkungannya serta berjiwa mandiri dalam mengambil keputusan tanpa
ketergantungan dengan manusia.
b) Pemecah masalah dan amanah; selalu memberikan ide-ide dan tindakan cerdas yang
mampu menyelesaikan masalah. Bertanggungjawab dengan segala kepercayaan yang
diberikan kepada dirinya.
c) Pandangan jauh ke depan; seorang kader pemimpin tidak hanya berpikir sekarang
namun berpikir sekarang untuk masa yang akan datang dan optimis dalam aktualisasi
kekhalifahannya.
Tiga hal itu terwujud dalam sikap kader dengan ciri:

 Bertindak mandiri dalam menyelesaikan realitas problem sosial masyarakat dan


lingkungannya berdasarkan cara pandang integratif (tauhidi).
 Mengemban amanah kepemimpinan dengan sikap loyalitas dan jiwa berkurban
(istiqamah).
 Berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan dalam dinamika kehidupan serta
berorganisasi.
 Memiliki pribadi teladan yang agung.
 Melaksanakan hak dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.

3) Komitmen Kader
Tugas dan tanggungjawab kader adalah mengemban dan melanjutkan missi dan eksistensi
Pelajar Islam Indonesia (PII) secara organisatoris maupun secara substansial. Secara
organisatoris seorang kader bertanggungajawab mengemban amanah keorganisasian, dan
secara substansial seorang bertanggungjawab terhadap teraktualisasinya missi transformasi
sosial berupa kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan visi dan cita-
cita profetik Islam.

Komitmen kader dalam perjuangan adalah sebagaimana yang sering diikrarkan kader dalam
setiap prosesi pengkaderan yaitu Ikrar Jakarta, sbb:
1. Tetap setiap kepada Pelajar Islam Indonesia (PII) dan cita-cita Pelajar Islam
Indonesia (PII)
2. Menyediakan diri menjadi abdi Allah untuk berjuang di jalanNya dengan bentuk dan
sifat, dalam suasana dan tempat bagaimanapun juga, dengan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip Islam
3. Tetap memperjuangkan tercapainya persatuan ummat Islam dan kesatuan imamah
yang konsekuen kepada prinsip-prinsip Islam
4. Menanam, memupuk, memelihara, dan mengembangkan, serta mengekalkan:
- Cinta kami kepada Allah dan RasulNya serta para pemimpin kami
- Keberanian bersikap dan bertindak
- Ukhuwah Islamiyah
- Kepribadian kami sesuai prinsip-prinsip Islam

C. Trikomitmen PII
Secara terminologis, ada tiga kata penting yang membangun Pelajar Islam Indonesia (PII)
sebagai satu kesatuan nama, yaitu: Pelajar, Islam, dan Indonesia. Sebagai sebuah institusi,
Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah gerakan pelajar, gerakan Islam, dan gerakan pelajar Islam di
Indonesia. Oleh karena itu, komitmen Pelajar Islam Indonesia (PII) harus terbangun dari
ketiganya, yaitu: komitmen kepelajaran, komitmen keislaman, dan komitmen keindonesiaan.

a. Komitmen Kepelajaran
i. Pelajar sebagai sebuah Entitas Sosial
Bagi Pelajar Islam Indonesia (PII), pilihan terhadap dunia pelajar sebagai segmen sosial
yang diprioritaskan dalam melakukan pembinaan tak lepas dari makna strategis pelajar.
Petama, pelajar merupakan representasi dari lapisan sosial yang berjumlah massa sangat
besar. Oleh karena jumlahnya yang begitu besar, keberadaan pelajar harus menjadi realitas
yang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan sosial (public policy making) dibidang-
bidang terkait. Kedua, pelajar merupakan gambaran dari generasi pemimpin umat dan
bangsa pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, keyakinan terhadap adanya
keniscayaan alih generasi pada masa yang akan datang akan selalu melibatkan pelajar
sebagai salah satu komponen terpenting di dalamnya.
Dengan demikian, pelajar pada hakekatnya adalah sebuah konsep yang tidak saja bermakna
secara sosial, tetapi juga berkonotasi politis. Pelajar menunjuk sebuah entitas yang
eksistensinya terkait dengan proses belajar dan masuk dalam daur dunia pendidikan. Secara
politis, keberadaanya mewakili komunitas yang terdidik dan relatif berperadaban. Sehingga,
keberperanannya dalam proses perubahan menjadi sebuah keniscayaan; sebagaimana peran
kaum intelektual, cerdik pandai dan cendekia.
Sungguhpun berusia relatif sangat muda, pelajar bukanlah anak-anak; yang dalam bahasa
kebanyakan sering dikesankan sebagai komunitas yang belum cukup dewasa. Oleh karena
itu, konsep-konsep sosial yang secara mudah menyamaratakan “pelajar” dengan “anak-
anak” perlu didekonstruksi. Perlu dipikirkan dan perjuangkan berbagai rumusan sosial dan
politik, misalnya hak-hak pelajar, peraturan tentang pekerja pelajar, panduan advokasi
pelajar, dan sebagainya. Bukannya memakai rumusan misalnya konvensi hak-hak anak,
peraturan pekerja anak, advokasi anak (dan sebagainya) sebagai ukuran untuk diterapkan
terhadap pelajar.
ii. Pelajar sebagai Subjek Pendidikan, Kebudayaan, dan Subjek Transformasi Pendidikan dan
Kebudayaan.
Menjadikan pelajar sebagai subjek pendidikan, menunjuk pada konsep pendidikan yang
mendewasakan, dimana pelajar diposisikan sebagai pihak yang harus memberikan andil
terbesar dalam proses pendidikan itu sendiri. Artinya, ada kesadaran yang mandiri pada diri
setiap pelajar untuk memberikan partisipasi dalam proses belajarnya di semua lingkar
pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Partisipasi aktif pelajar dalam melakukan
daur belajarnya dikeluarga, sekolah dan masyarakat akan memunculkan aktivitas yang
dinamis yang tumbuh dari kesadaran diri sendiri akan tanggung jawabnya sebagai subjek
pendidikan.
Menjadikan pelajar sebagai subjek kebudayaan merupakan penegasan tentang perlunya
menumbuhkan kesadaran kritis (critical consciousness) pada diri pelajar terhadap adanya
kooptasi budaya massa (mass culture). Artinya, pelajar sebagai tulang punggung generasi
muda, harus memiliki kesadaran dan daya apresiasi secara kritis terhadap berbagai bentuk
kebudayaan yang ada. Dan akhirnya, mereka mampu menentukan corak dan warna
kebudayaan yang sesuai dengan nafas spiritualitas Islam dan nilai-nilai kebenaran yang
diyakininya. Pada tingkatan yang lebih tinggi, mereka mampu mengantisipasi budaya global
dan mampu pula melakukan counter culture, dengan menciptakan budaya tandingan
(alternatif) yang sesuai spirit nilai-nilai Islam dan dengan konteks jaman.

Selain kemampuan sebagai subjek pendidikan dan kebudayaan, pelajar harus pula dapat
bertindak sebagai subjek transformasi pendidikan dan kebudayaan itu sendiri. Dimana
sistem, model dan bentuk pendidikan dan kebudayaan yang benar diyakini sesuai dengan
nilai-nilai spirit dan moralitas Islam itu harus mereka transformasikan kepada masyarakat
khususnya dalam lingkup dunia mereka sendiri. Hal ini akan membuahkan metode
transformasi yang efektif, karena dilakukan oleh mereka yang memiliki karakter dan bangun
dunia yang sama; serta memiliki kaitan psikologis dan intelektual yang relatif lebih erat.
Menjadikan pelajar sebagai subjek transformasi pendidikan dan kebudayaan ini, sekaligus
juga akan menjadi alat ukur yang tepat sejauhmana mereka memiliki komitmen sosial dan
moral sebagai transformator atas nilai-nilai pendidikan dan budaya yang mereka peroleh
sebelumnya dari daur belajar yang dilakukan; serta berkesempatan untuk melakukan
implementasi nilai-niali tersebut lebih luas di luar dirinya, karena mereka harus
mentransformasikannya pula kepada orang lain.
iii. Kepelajaran sebagai Intelektualisme (Kultur Belajar)
Pendidikan seumur hidup (long live education) telah dikenal umat Islam dari risalah
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam sejak 14 abad yang lalu. Konsekuensinya, daur
belajar adalah proses yang tidak pernah berhenti sejak manusia dilahirkan dari rahim ibu
hingga tiba saatnya dikirim ke liang lahat. Dengan demikian, semangat kepelajaran
merupakan semangat yang asasi ada dalam ajaran Islam.

Menjadikan intelektualisme (kultur belajar) sebagai komitmen sepanjang usia, penting


dilakukan. Komitmen ini harus terus dijaga, tak hanya saat masih aktif di kelembagaan
formal Pelajar Islam Indonesia (PII), melainkan juga ketika telah menjadi kader umat di lain
tempat. Di lingkungan aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII) sendiri, intelektualitas harus
menjadi karakter kader yang dibangun melalui berbagai macam program; terutama dengan
mentradisikan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada penguatan intelektual, misalnya:
melalui forum-forum diskusi, kegemaran membaca dan berlatih menulis gagasan secara
ilmiah, serta berbagai aktivitas lain yang berbuah terhadap pencerahan akal-budi dan
intelektualitas baik dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan aktivitas-aktivitas ini pula
diharapkan konsistensi intelektualitas itu tetap terjaga.

Pada akhirnya, komitmen kepelajaran mensyaratkan penciptaan kultur belajar yang


memadai di Pelajar Islam Indonesia (PII). Secara kelembagaan, Pelajar Islam Indonesia
(PII) harus mampu mengantarkan kader-kadernya sebagai intelektual yang memiliki
semangat belajar yang tinggi, mempunyai visi sosial (keumatan) yang kuat, dan responsif
terhadap problematika aktual masyarakat di sekitarnya.

b. Komitmen Keislaman
Islam, bagi Pelajar Islam Indonesia (PII), merupakan nilai-nilai fundamental (fundamental
values) yang membangun organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Dengan demikian, segala
bentuk gerak, langkah yang diambil dan semua unsur-unsur organisasi Pelajar Islam
Indonesia (PII) harus disusun serta dilaksanakan dalam perspektif Islam. Partisipasi Pelajar
Islam Indonesia (PII) untuk turut terlibat membentuk peradaban manusia melalui gerakan
dakwah, pendidikan dan kebudayaan, pun tak lepas dari kerangka ini.
Pengakuan atas kemutlakan Islam (universalitas), berbuah pada komitmen yang tinggi setiap
kader Pelajar Islam Indonesia (PII) terhadap Islam, yang dimanifestasikan dalam komitmen
berislam sebagai berikut :

i. Meng-Imani Islam
Setiap muslim dan muslimah wajib meng-imani (meyakini) kesempurnaan dan kemutlakan
kebenaran Islam sebagai satu kebulatan ajaran yang universal. Kemudian mereka istiqamah
dalam iman keyakinannya itu, serta senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan
kualitasnya.
Firman Allah Subhanahuwata‟ala:
“Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
kepada kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya itu serta kepada kitab-kitab-Nya yang
diturunkan sebelumnya, barang siapa kufur kepada Allah Subhanahuwata‟ala, malaikat-
malaikat-Nya dan Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang tersebut telah sesat sejauh-
jauhnya” (QS. 4:136)
Hadis nabi: “Iman itu bertambah dan berkurang. Maka perbaharuilah iman kamu itu”
(Lihat pula QS. 2:147, 24:25, 18:35, 4:136, 3:8).
Allah Subhanahuwata‟ala menyeru kepada setiap manusia agar senantiasa menegaskan
keimanannya:
“Ya Rabb kami, kami beriman atas apa yang telah Engkau turunkan, dan kami adalah
pengikut Rasul yang setia, dan masukkanlah kami pada keluarga besar para syuhada, yang
menyaksikan kebenaran”
ii. Meng-Ilmui / Mengkaji Islam
Setiap muslim dan muslimah wajib memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan
(pengertian, penghayatan, dan penguasaan) tentang Islam dalam segala aspek sesuai dengan
kemampuannya, pada setiap kesempatan terus-menerus sampai akhir hayat.
Hadis nabi: “Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka dia fahamkan tentang
Agama..” (Lihat QS. 6:125, 39:22).
“Menuntut ilmu tentang Islam itu wajib „ain, yakni kewajiban yang mengikat setiap individu
muslim yang mukalaf (orang yang telah baligh), yaitu kewajiban yang tidak bisa
didelegasikan atau diwakilkan ataupun dikontrakkan kepada orang lain”
iii. Meng-Amalkan Islam
Setiap muslim dan muslimah wajib mengamalkan iman, keyakinan dan ilmu
pengetahuannya tentang Islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuannya
masing-masing. Mereka juga dituntut untuk mewujudkan Islam dalam diri, keluarga,
tetangga, lingkungan, masyarakat luas dan negaranya serta dunia pada umumnya dalam
batas kemampuannya.

Hadis nabi: “Jika kuperintahkan sesuatu, maka laksanakanlah sekuasa hatimu” (Lihat juga
QS. 9:105, 2:286)

iv. Men-Dakwahkan Islam


Setiap muslim dan muslimah wajib mendakwahkan Islam sesuai dengan kemampuan dan
kesanggupannya masing-masing kepada diri sendiri, orang lain (baik yang beragama Islam
maupun orang yang tidak / belum beragama Islam).

Hadis nabi: “Sampaikan dariku, walau satu ayat!”,

“Hendaknya yang hadir menyaksikan, menyampaikan yang telah kusampaikan kepada


mereka yang tidak hadir”(Lihat juga QS. 3:104, 9:122).

v. Sabar dalam BerIslam


Setiap muslim dan muslimat yang mengimani, mengilmui, mengamalkan, dan
mendakwahkan Islam akan dihadapkan pada halangan, rintangan, dan tantangan berupa
godaan, cobaan dan ujian. Oleh karena itu ia harus sabar, yaitu tabah hati menanggung
segala resiko sebagai konskuensi orang yang berpegang teguh pada pendirian dan bersikap
serta bertindak sesuai dengan pendiriannya itu (istiqamah). Lihat QS. 29:2-3, 2:155-157,
3:200).

c. Komitmen Keindonesiaan
“Indonesia sebagai Bangsa, daerah teritori dan negara sebagai satu kesatuan wilayah
dakwah”.
Realitas sejarah, dimana Indonesia telah menjadi salah satu tumpuan para penyebar agama
Islam pada masa itu, tak terbantahkan. Wilayah-wilayah di Indonesia telah menjadi
aktualisasi Islam. Komitmen terhadap kenyataan sejarah ini, penting dilakukan dengan
pemaknaan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah yang integral dengan aktualisasi Islam,
sehingga Islam mendapatkan pengaruh terbesar dibandingkan dengan agama-agama lainnya
di Indonesia, sampai sekarang ini.

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang diikat dalam satu paham
kebangsaan. Pluralitas suku itu membawa pengaruh terhadap pluralitas budaya, adat, serta
agama dan kepercayaan yang dianut. Islam –sebagai agama dengan pemeluk mayoritas,
paling banyak memberikan kontribusi dalam perikatan berbagai suku bangsa yang ada di
Indonesia itu dalam satu ikatan keagamaan. Jumlah penduduk muslim saat itu yang berjumlah
80%, sudah pasti umat Islam adalah umat mayoritas yang membentuk Bangsa Indonesia ini.

Indonesia sebagai sebuah negara terbentuk pada 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno dan
Mohamad Hatta –atas nama Bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sejak saat itu Indonesia telah merdeka dan bebas dari penjajahan negara manapun.
Kemerdekaan yang telah dicapai dan tegaknya kedaulatan negara merupakan tujuan semua
pergerakan umat Islam saat itu. Pembukaan UUD 1945 dengan sangat indah menuturkan
kemerdekaan Indonesia itu dengan “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan
didorong oleh keinginan luhur supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Sesuai dengan konstitusi yeng berlaku, negara Indonesia memiliki kedaulatan rakyat di
tangan MPR. Oleh rakyat, tugas dan kewenangan mengelola pemerintahan diserahkan kepada
Presiden. Untuk menjaga tegaknya kedaulatan rakyat, negara memiliki undang-undang dan
peraturan. Segala bentuk peraturan dan perundangan harus menjamin kepentingan penyaluran
aspirasi rakyat. Apabila rakyat belum merasa terwadahi aspirasi dan kepentingannya, maka
segala perubahan perundang-undangan itu dapat dilakukan melalui wakil-wakilnya di DPD
dan DPR/MPR.

Komitmen Pelajar Islam Indonesia (PII) terhadap negara bukan diberikan kepada pemerintah
(peguasa), melainkan kepada eksistensi negara itu sendiri. Eksistensi negara, di dalamnya
mencakup fungsi-fungsi keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh
karena itu, komitmen Pelajar Islam Indonesia (PII) terhadap negara adalah komitmen
penegakan atau transformasi nilai-nilai ilahiyah berupa penciptaan keadilan, pemerataan
kesejahteraan dan kemakmuran.

Salah satu esensi ajaran Islam adalah mendakwahkan Islam kepada orang lain. Konsekuensi
ini mensyaratkan penentuan komunitas mana yang akan dijadikan sasaran seruan dakwah
tersebut. Sejak awal didirikan, Pelajar Islam Indonesia (PII) menjadikan wilayah Indonesia
sebagai komunitas dakwahnya. Hal ini tidak berarti ada keterputusan hubungan komunitas
satu dengan lainnya, dan menceraikan potensi dakwah umat Islam di dunia. Bagi Pelajar
Islam Indonesia (PII), komunitas dakwah harus merupakan ikatan yang saling berhubungan
ibarat mata rantai yang saling menguatkan satu sama lain. Penentuan komunitas ini lebih
didasarkan pada realitas empirik, sosiologis, dan kemampuan daya jangkau jaringan yang
dimiliki semata-mata.
Pelajar Islam Indonesia (PII) akan menjaga kondisi wilayah ini agar senantiasa kondusif bagi
kelangsungan dakwah Islam. Berbagai hal baik dalam dimensi politik, sosial, budaya,
ekonomi, maupun keamanan; yang ditengarai akan menjadi kendala, hambatan, atau bahkan
ancaman terhadap kelangsungan dakwah di Indonesia akan menjadi bagian tanggungjawab
Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk menghadapi dan mengantisipasinya.

D. Catur Bakti PII


Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai organisasi mempunyai fungsi dan kemanfaatan bagi kader-
kadernya dalam beraktifitas dan beraktualisasi di dalamnya. Fungsi dan kemanfaatan tersebut
dikenal dengan Catur Bakti Pelajar Islam Indonesia (PII) yang meliputi: Pelajar Islam Indonesia
(PII) sebagai tempat berlatih, wahana penghantar sukses studi, wadah pembentukan pribadi
muslim, dan alat perjuangan.
1. Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Tempat Berlatih
Pelajar Islam Indonesia (PII) merupakan tempat dimana para kadernya mengembangkan
potensi diri sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Potensi kepemimpinan,
kesenian dan kebudayaan kader-kader Pelajar Islam Indonesia (PII) diwadahi dan
dikembangkan melalui berbagai program. Di Pelajar Islam Indonesia (PII), kader dan
anggota dilatih untuk mengembangkan daya nalar, tanggungjawab dan kepedulian terhadap
permasalahan-permasalahan sosial. Sehingga mereka –para kader dan anggota Pelajar Islam
Indonesia (PII), merupakan komunitas yang tidak berjarak dinamika masyarakat itu sendiri.
Setiap kader dan anggota dilatih untuk tampil sebagai pemimpin, tandang ke gelanggang
walau seorang menjadi pelopor bukan saja didalam lingkungan organisasi tetapi juga di
masyarakat luas.

2. Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Wahana Penghantar Sukses Studi


Sebagai organisasi pelajar, kader dan anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) berstatus pelajar
formal yang masih studi pada sekolah-sekolah lanjutan, menengah maupun perguruan tinggi
serta pelajar-pelajar yang belajar secara informal. Persinggungan Pelajar Islam Indonesia
(PII) dengan lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) mengharuskan Pelajar Islam
Indonesia (PII) tidak boleh abai terhadap kesuksesan studi seseorang. Oleh karena itu,
Pelajar Islam Indonesia (PII) harus dapat dijadikan sebagai wahana penghantar sukses studi
para kader dan anggotanya melalui kegiatan bimbingan belajar (konseling). Selain itu,
Pelajar Islam Indonesia (PII) juga harus dapat memberikan ruang apresiasi yang cukup bagi
kader atau anggotanya yang berhasil mencapai kesuksesan dalam studinya, misalnya kader
Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berhasil menjadi bintang pelajar, juara kelas, peraih nilai
ujian tertinggi, dan sebagainya. Bagi pelajar yang informal seharunya dapat difasilitasi secra
adil sehingga mampu menghasilkan prestasi yang mumpuni sehingga tidak tertinggal oleh
pelajar pelajar formal. Hal ini sekaligus untuk menegaskan asumsi bahwa aktif organisasi
tidak lantas melupakan kewajiban belajar. Bahkan, dengan mencitrakan bahwa aktif di
Pelajar Islam Indonesia (PII) bisa juga sukses studi, dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi
pelajar umum untuk termotivasi masuk menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).

3. Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Wadah Pembentukan Pribadi Muslim


Sebagai organisasi yang berasaskan Islam yang meyakini bahwa nilai-nilai Islam adalah
satu-satunya nilai yang benar dan wajib untuk diimplementasikan dalam segenap aspek
hidup, Pelajar Islam Indonesia (PII) harus mampu menjadi wadah pembinaan dan
pembentukan kepribadian muslim pada setiap kader dan anggotanya. Terlebih pada era
globalisasi sekarang ini yang kuat berpengaruh terhadap lunturnya nilai-nilai agama pada
kehidupan generasi muda. Maka, menjadikan Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai
komunitas alternatif bagi tumbuh-suburnya praktek nilai-nilai agama di kalangan generasi
muda menjadi sangat relevan; sehingga kader-kader Pelajar Islam Indonesia (PII)
merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki karakter atau kepribadian muslim
yang kuat dan militan. Namun demikian, kepribadian muslim yang hendak dibentuk oleh
Pelajar Islam Indonesia (PII) bukanlah merujuk pada pemahaman Islam tertentu. Pelajar
Islam Indonesia (PII) menghargai perbedaan dalam kehidupan beragama, termasuk
didalamnya pemahaman keberagamaan yang beraneka macam. Karena sesungguhnya
perbedaan dalam kehidupan beragama merupakan realitas dari masyarakat Islam itu sendiri.

4. Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Alat Perjuangan.


Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah Islam
memiliki visi dan misi untuk diperjuangkan. Rumusan tujuan Pelajar Islam Indonesia (PII)
berupa “kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap
rakyat Indonesia dan umat manusia” mensyaratkan adanya upaya yang sungguh-sungguh
tiada henti agar tujuan tersebut sedikit demi sedikit dapat dicapai. Demikian pula dengan
rumusan komitmen dasar Pelajar Islam Indonesia (PII), dimana Pelajar Islam Indonesia (PII)
lahir dari semangat yang tinggi terhadap tiga komitmen dasar: kepelajaran, keislaman, dan
keindonesiaan; menjadikan dimensi nilai-nilai yang diperjuangkan Pelajar Islam Indonesia
(PII) semakin tegas. Pelajar Islam Indonesia (PII) hadir sebagai alat untuk memperjuangkan
tercapainya kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan sebagai misi, dengan menjadikan
pelajar sebagai subyek gerakan, yang didasarkan pada keyakinan atas kebenaran nilai-nilai
Islam sebagai pegangan, dan Indonesia sebagai pilihan wilayah dakwah.

E. Misi Dunia Islam


Umat Islam kehilangan identitas kepempimpinan sejak 3 Maret 1924 yang ditandai dengan
runtuhnya kekhilafan Islam Turki Usmani. Umat Islam terpecah menjadi bangsa-bangsa kecil
dengan komitmen golongan („ashabbiyah) nasionalismenya. Sejak saat itu kekuatan Islam dan
umat Islam melemah dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan hukum. Negara yang
berdasarkan pemerintahan bangsa (nation state) itu terjajah secara pasti seperti beberapa negara
di benua Afrika atau beberapa negara dengan gelar “negara persemakmuran”. Sistem kehidupan
bangsa dalam bidang politik, hukum, pendidikan, dan ekonomi menginduk pada sistem
kehidupan sekular-barat. Akhirnya persatuan umat Islam dan kesatuan imamah sulit terwujud
dalam menjalankan tugas khalifah dari Allah Subhanahuwata‟ala serta problematika perdamaian
dunia yang belum terwujud. Negara-negara kecil muslim tadi selalu mengalami gejolak internal
hingga terjadi perang saudara. Pernah terjadi perebutan kekuasaan di Arab Saudi, Perang Teluk
di Timur Tengah, aksi-aksi radikalisme antar pejuang di Asia, dan penjajahan Zionis-Yahudi
mengindikasikan kelemahan persatuan umat Islam.

Misi mewujudkan Izzul Islam wal Muslimin bagi gerakan dakwah Islam di Indonesia menjadi
cita-cita PII yang mana terumus dalam peran kader PII sebagai pemersatu umat dan kesatuan
imamah Islam. Peran keummatan yang global ini menjadi penting dalam mendakwahkan Islam
sebagai pedoman hidup yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil „alamin).

PII sebagai organisasi dakwah pelajar mempunyai peran aktif bersama organisasi-organisasi
sejenis baik di nusantara Indonesia maupun dunia internasional. PII menjadi bagian dari
berdirinya lembaga-lembaga pelajar Islam internasional seperti: Persekutuan Pelajar Islam Asia
Tenggara (PEPIAT), Regional Islamic Student Asia Pasific (RISEAP), World Assembly Muslim
Youth (WAMY), dan International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO).

Kader PII dengan profil muslim, cendekia, dan pemimpin mesti mengemban misi keummatan ini
dengan serius, aktif, dan bijak. Dalam mewujudkan persatuan umat dimulai dari pembinaan
aqidah yang benar dan kuat. Dan untuk menuju kesatuan imamah PII perlu menegaskan nilai-
nilai universal Islam dalam model khilafah islamiyah dengan tetap berpedoman pada asas
rahmatan lil „alamin.
Oleh karena itu, misi global PII dapat diterjemahkan sebagai berikut:
1. Penguatan aqidah umat yang bebas dari syirik dan transformasi pendidikan yang
bermuara pada nilai teladan universal Islam.
2. Pelaksanaan misi kemanusiaan dalam bentuk perdamaian dunia, penolakan bentuk
human trafficking, dan tanggap darurat bencana alam.
3. Penggerak persatuan umat dan kesatuan imamah yang sesuai dengan koridor dan nilai
profetik Islam.

F. Karakteristik Bangun Organisasi


Cara pandang PII terhadap misi dan eksistensi PII yang termuat dalam semangat tafsir tujuan,
karakteristik kader, Tri Komitmen, Catur Bakti PII, dan Misi Global PII; secara praksis
termanivestasikan dalam karakteristik bangun organisasi PII. Karakteristik bangun organisasi
merupakan muatan-muatan asas yang mendasari bagaimana PII mendisain struktur
kelembagaan/organisasinya sehingga memenuhi fungsinya sesuai orientasi misi dan eksistensi.

Beberapa asas tersebut adalah:

a. Asas Independensi
Independensi atau kemandirian, adalah ketakbergantungan terhadap orang atau pihak lain dalam
hal pengambilan keputusan yang bersifat pribadi ataupun organisasi. Kemandirian tersebut dapat
berupa ketakbergantungan atas substansial maupun material terkait dengan soal pengambilan
keputusan tersebut. Independensi menunjuk pada kemampuan percaya diri terhadap diri individu
kader dan kelembagaan, yang kuat sehingga tidak mudah terbawa dalam bingkai kepentingan
orang atau pihak lain.

Dengan demikian, kemandirian disini bermakna dua hal: pertama, kemandirian organisasi.
Artinya, PII tidak berada di bawah organisasi lain atau menjadi underbouw organisasi lain
manapun. PII lahir dan berkembang dari kekuatan mandiri. Kedua, kemandirian kader-kader PII.
Artinya, kader PII mampu menyelesaikan masalah-masalah organisasi di tingkat lokal, regional,
maupun nasional berdasarkan kemampuan sendiri. Kalaupun terdapat bantuan dari pihak luar,
harus bersifat komplementer (pendukung) semata.

b. Asas Interdependensi
Esensi pelaksanaan asas independensi (kemandirian) sebagaimana diuraikan di atas tidak
menafikan perlunya saling ketergantungan satu sama lain. Wilayah kemandirian tersebut dibatasi
oleh hubungan antar manusia yang menjadi kebutuhan asasi manusia Dengan demikian,
kemandirian PII tidak berarti menutup diri dari kerjasama dengan pihak lain. Justru, PII terbuka
terhadap kerjasama dengan pihak luar sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah organisasi yang
telah ditetapkan. Inilah yang dimaksud dengan interdependensi (saling ketergantungan). Kaitan
interdependensi dengan asas sebelumnya –independensi, dapat dijelaskan bahwa dalam
menjalankan fungsi independensinya, PII harus terbuka dengan pihak luar; apakah itu terhadap
pemerintah, organisasi lain yang sejenis ataupun masyarakat. Dalam konteks kader, kader PII
harus terbuka terhadap perubahan tanpa mengorbankan independensi diri dan kelembagaannya.
Dengan asas interdependensi, PII memahami benar bahwa pemenuhan fungsi-fungsi organisasi
mencapai tujuan tidak mungkin dilakukan sendiri. Apalagi dalam konteks budaya global seperti
sekarang ini, saling ketergantungan dan keterpengaruhan menjadi ciri yang tak bisa dielakkan.
Himpitan kepentingan dan kebutuhan untuk saling bertukar informasi, berbagi pengalaman, dan
bahu-membahu melakukan dakwah sosial; benar-benar telah menjadi bagian integral kehidupan.
Oleh karena itu, PII dan kader-kader PII tidak bisa menghindari realitas kehidupan semacam ini.
Asas interdependensi juga mensyaratkan agar PII dan kader-kadernya mampu memposisikan diri
dalam fungsi-fungsi jaringan sosial. Oleh karena spektrum dakwah yang sedemikian luas, maka
secara kelembagaan PII harus menegaskan dirinya sebagai bagian dari mata rantai sosial dan
memberikan peran yang signifikan di tengah-tengah gerakan dakwah yang ada. Secara
individual, kader-kader PII harus memiliki kemampuan membangun interaksi dengan semua
pihak atas dasar pluralitas sosial, budaya, ideologi, dan sebagainya; tanpa meninggalkan jati
dirinya sebagai kader.
c. Asas Fleksibilitas
Fleksibel adalah karakter lain dari bangun organisasi PII. Setidaknya, terdapat tiga alasan
mengapa fleksibilitas perlu menjadi salah satu asas penting, terkait dengan kondisi riil organisasi
PII itu sendiri. Pertama, PII merupakan organisasi yang mewadahi sekian banyak keragaman
(pluralitas). Sumberdaya manusia PII berasal dari berbagai backround kebudayaan, ideologi
politik, minat dan kompetensi yang berbeda; jangkauan wilayah jaringan yang yang mencakup
seluruh wilayah Indonesia yang berbeda ragam budaya lokal. Kedua, luasnya bidang dan subjek
garap. PII sebagai organisasi yang berkiblat di gerakan dakwah, pendidikan dan budaya,
memiliki cakupan bidang garap yang sangat luas. Demikian pula dengan subjek garapan, pelajar,
dimana pelajar merupakan entitas yang juga memiliki karakter yang beragam dan dinamis.
Ketiga, filosofi organisasi yang menggunakan manajemen nirlaba. Manajemen nirlaba –sebagai
pilihan bentuk manajemen dalam pengelolaan organisasi, merupakan manajemen yang lebih
berorientasi pada proses daripada hasil. Oleh karena itu, penekanan yang berlebih terhadap
proses manajemen yang tengah berlangsung memungkinkan terjadinya kompromi-kompromi
manajerial. Demikian juga dengan pendekatan yang dilakukan, lebih mengutamakan pendekatan
humanis ketimbang pendekatan mekanis. Oleh karenanya, fleksibilitas manajemen itu terjadi
disana-sini pada semua level struktural.

Asas fleksibilitas merupakan upaya untuk mengakomodasikan berbagai kemungkinan yang


terjadi dalam memilih prioritas program, strategi program, serta pembangunan kinerja
kelembagaan sesuai kondisi aktual. Fleksibilitas tidak dimaksudkan sebagai upaya inkonsistensi
terhadap apa yang telah diputuskan pada awalnya, tetapi lebih kepada bagaimana melakukan
rasionalisasi terhadap perencanaan yang ada. Fleksibilitas –selain lebih berorientasi pada proses,
harus tetap mempertimbangkan hasil; artinya, kompromi-kompromi yang dilakukan harus
ditempatkan pada upaya melakukan optimalisasi hasil. Ruang „lentur‟ yang ada dari bangun
organisasi harus menjadi ruang kompromi-revistik; sungguhpun dilakukan kompromi dan
prioritas pada berbagai sisi, kompromi itu harus merupakan sesuatu yang bernilai pembaharuan
(revisi) dari ketidakaktualan rencana yang telah ditetapkan. Sehingga, orientasi proses dan hasil
dari seluruh aktivitas PII dapat diseimbangkan dengan tepat.

d. Asas Efektivitas dan Efisiensi


Dalam kehidupan organisasi PII, terdapat sebuah kontradiksi. Di satu sisi, terdapat cakupan
bidang dan subjek garap PII yang sangat luas. Di sisi lain, kemampuan untuk melakukan garapan
mengalami keterbatasan. Beberapa ketebatasan itu antara lain mencakup: keterbatasan
sumberdaya manusia, sumberdaya ekonomi, periodisasi kepengurusan, waku pencapaian proyek,
dan rasionalitas jangkauan manajemen.
Oleh karena itu, rumusan tentang skala prioritas garapan dengan memperhatikan aspek
ketepatgunaan (efektivi-tas) sangat penting. Segala aktivitas yang dilakukan PII harus didasarkan
pada asas efektivitas ini, dengan mem-perhatikan semua variabel yang memungkinkan
dicapainya seluruh program secara efektif. Asas efektivitas juga mensyaratkan perlunya
perumusan model-model pencapaian tujuan (modus, strategi, teknik, dan sebagainya) secara
standard. Asas efektivitas perlu juga disertai dengan prinsip efisiensi, dimana untuk
menghasilkan pencapaian program yang maksimal dilakukan dengan biaya yang hemat.

e. Asas Pembinaan/Pembelajaran
Sebagai sebuah organisasi kaderisasi pelajar, memberikan ruang pembinaan dan pembelajaran
kepada subjek kader (pelajar) baik pengurus maupun anggota, penting dilakukan. Asas
pembinaan/pembelajaran diarahkan pembentukan watak subjek kader agar dapat
bertanggungjawab atas masa depan agama, diri, organisasi, dan bangsanya.
Asas ini dilakukan sesuai dengan asumsi pembelajaran PII yang mengadopsi cara belajar orang
dewasa, yakni bahwa pada prinsipnya, setiap subjek kader memiliki potensi dan kompetensi
masing-masing. Pembinaan dilakukan dengan menciptkakan lingkungan yang kondusif bagi
terbentuknya mental dan karakter orang dewasa. Oleh karena itu, pemberian tanggungjawab
secara bertingkat –baik di tingkat program maupun struktural, membangun pola interaksi yang
kritis, serta memberikan kesadaran pada setiap diri kader bahwa mereka adalah subjek
perubahan; menjadi siklus belajar yang terus-menerus akan berlangsung di PII.

Selain itu, asas pembinaan dan pembelajaran juga perlu memperhatikan aspek reward
(penghargaan) bagi setiap kader yang berprestasi dan sukses dalam mengemban
tanggungjawabnya, dan punishment (sanksi) bagi kader yang lalai terhadap tugas dan
kewajibannya. Reward and punishment harus diberikan dengan proporsional dan adil; serta tetap
dalam kerangka pembinaan. Dengan mekanisme ini, diharapkan kader-kader PII akan lebih
memperhatikan dan bersungguh-sungguh tugas/tanggungjawab dan kewajiban yang mestinya
harus dilakukan.

II. KHATIMAH
“Kebenaran itu datang dari Rabbmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
(QS. Ali Imran [3]: 60).

Falsafah Gerakan ini sekali lagi adalah upaya Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk
mengkonstruksi pandangan dunia dan mengarahkan aktualisasi geraknya sehingga upaya
pencapaian misinya dapat berlangsung secara terarah. Memahami, menghayati dan
mengaktualisasi falsafah gerakan ini adalah kewajiban dan tanggung kader sebagai pribadi
maupun ketika menjalankan roda kepengurusan. Semoga Allah Subhanahuwata‟ala memberkati
upaya dan keseriusan kita dalam menjalankan amanah-Nya dan dalam merumuskan falsafah
gerakan ini, dan menunjuki kita jika kita tersalah, amin ya Rabbal ‟alamin.

Anda mungkin juga menyukai