PENUTUP
A. KESIMPULAN
Melihat dari pemaparan sebelumya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara
agama dan korupsi sangat tidak dibenarkan dalam islam seperti suap, hadiah, ifsad dan gulul :
Suap (sogok)adalah perbuatan yang dicelah oleh Islam dan disepakati oleh para ulama sebegai
perbuatan haram.Ø
Ø Suap adalah sebuah perbuatan yang berpotensi merusak sistem yang ada dalam masyarakat
karena sogok dapat berpengaruh pada keputusan yang diambil para penegak hukum.
Ø Hadiah adalah sesuatu yang diapresiasi dalam Islam karena dapat menubuhkan rasah cintah
kasih diantara umat Islam namun hadiah kepada pejabat atau pegawai yang berwenang tidak
diperbolehkan karena dapat menimbulkan kemudaratan setelahnya.
Ø Ifsad adalah suatu tindakan yang sangat merusak dan menjatuhkan harga diri seseorang
Ø gulul adalah yang secara leksikal berarti penghianatan. Istilah ini digunakan untuk
menunjukkan perbuatan seseorang yang melakukan penghianatan dengan menggelapkan harta.
Oleh karna itu kita harus memiliki sifat jujur dan amanah agar kita menjadi seorang pemimpin
yang bijaksana.
B. SARAN
Adapun saran yang bisa kita ambil dari pembahasan kematangan dan pengalaman dalam
perkembangan Anak
1. Diharapkan kepada para Pejabat memahami dan mengerti tentang hubungan antara Agama dan
Korupsi dan Nilai-nilai Normatif Islam dan Anti Korupsi.
2. Penulis mengharapkan kritk dan saran dari teman-teman atau pun pembaca semoga makalah ini
kedepannya bisa lebih baik lagi dari sekarang. Amin....
Pemikiran moderat
Banyak rekan yang mempertanyakan kenapa Anda mengajak kepada Islam moderat,
Padahal istilah tersebut banyak dipakai oleh kelompok orang yang berpaham liberal atau
sekuler? Apakah Anda termasuk mereka yang mengusung pemikiran sesat ini ? Dan banyak
pertanyaan sejenis yang mengharuskan Ana (saya) memberikan sebuah klarifikasi.
Akhir-akhir ini seperti sudah menjadi keharusan opini di berbagai media massa, bahwa di
zaman globalisasi, corak keberislaman yang baik adalah menjadi Muslim yang moderat. Istilah
“moderat” ini dimunculkan dan dipopulerkan oleh berbagai kalangan, baik cendekiawan,
penceramah, mahasiswa muslim atau berbagai kalangan yang concern dengan gerakan
pembaharuan dalam dakwah islam. Memang pada awal kemunculannya istilah ini banyak
dipakai oleh pihak yang mengajak kepada pemahaman islam yang progessif, actual dan tidak
ketinggalan zaman sehingga lewat bibir-bibir merekalah kata ini menjadi tren baru dalam tradisi
keislaman. Maka perlu kiranya ada penjelasan ilmiah yang mengupas masalah ini.
Istilah moderat (moderate) berasal dari bahasa Latin moderare yang artinya
mengurangi atau mengontrol. Kamus The American Heritage Dictionary of the English
Language mendefinisikan moderate sebagai: not excessive or extreme (tidak berlebihan dalam
hal tertentu). Kesimpulan awal dari makna etimologi ini bahwa moderat mengandung makna
obyektif dan tidak ekstrim, sehingga definisi akurat Islam Moderat adalah Nilai-nilai islam yang
dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan (I’tidal dan wasath).
Sebagai satu sistem ajaran dan nilai, sepanjang sejarahnya, Islam tidak menafikan
kemungkinan mengambil istilah-istilah asing untuk diadopsi menjadi istilah baru dalam
khazanah
Islam. Tetapi, istilah baru itu harus benar-benar diberi makna baru, yang sesuai dengan
Islam. Istilah itu tidak dibiarkan liar, seperti maknanya yang asli dalam agama atau
peradaban lain. Kita sudah banyak mengambil istilah baru dalam Islam, seperti istilah
“agama”, “pahala”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, yang berasal dari tradisi Hindu, tetapi kita
berikan makna baru yang sesuai dengan konsep Islam. Dari peradaban Barat saat ini, kita
mengambil banyak istilah, seperti istilah “worldview”, “ideologi”, dan sebagainya.
Semua istilah bisa diadopsi, asalkan sudah mengalami proses adapsi (penyesuaian
makna) dengan makna di dalam Islam, sehingga tidak menimbulkan kekacauan makna.
Menurut Syaikh Yusuf Al Qardhawi, Wasatiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu
karakteristik islam yang tidak dimiliki oleh Ideologi-ideologi lain. Dalam alquran di jelaskan:
البخاري
Artinya : Hindarilah sifat berlebihan dalam agama. Karena Umat sebelum kalian hancur hanya
karena sifat tersebut. (HR. Bukhari)
Di dalam istilah ini, tercermin karakter dasar Islam yang terpenting yang membedakan
manhaj Islam dari metodologi-metodologi yang ada pada paham-paham, aliran-aliran,
serta falsafah lain. Sikap wasathiyah Islam adalah satu sikap penolakan terhadap
ekstremitas dalam bentuk kezaliman dan kebathilan. Ia tidak lain merupakan cerminan
dari fithrah asli manusia yang suci yang belum tercemar pengaruh-pengaruh negatif.
Menurut Dr Muhammad Imarah, Istilah wasathiyah termasuk yang sering disalahartikan.
Dalam bukunya, Ma’rakah al Mushthalahat bayna al-Gharb wa al-Islam (Perang
Terminologi Islam versus Barat), Beliau menjelaskan dengan cukup panjang lebar makna konsep
al-wasathiyah di dalam Islam. Istilah al-wasathiyah dalam pengertian Islam mencerminkan
karakter dan jati diri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan,
dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya.
Wallahu a’lam bisshowab.
Apapun arti orang sebutkan tentang pernikahan, ISLAM memandang sebagai “ Ikatan kuat”,
(mithaqun Ghaliiz). Sebuah pengertian tentang janji dalam arti sepenuhnya ini adalah sebuah janji untuk
mengarungi kehidupan dari masing-masing pasangan. Bermasyarakat dan untuk saling menghargai arti
sepenuhnya dari kelangsungan hidup umat manusia. Ini adalah sesuatu janji yang di buat antara pasangan
pengantin. Yang membuat satu dan lainya lebih baik di mata Tuhan. Macam-macam dari ikatan perjanjian.
Yang mana mereka menemukan penyelesaian bersama dan realisasi masing-masing yaitu, cinta dan damai,
menbgasihi dan ketentraman, kenyamanan dan harapan. Semua itu merupakan pengecualian. Didalam
islam hal pertama yang paling penting adalah hormat- menghormati dan tanggungjawab serta kesetiaan
dalam hidup rukun.
Pengawasan nafsu dapat berupa keberhasilan dalam moral. Reproduksi adalah kebutuhan social
dalam memaknai akan kesehatan yang seutuhnya. Namun, nilai-nilai yang terkandung dalam pernikahan
islam memiliki arti khusus dan dapat diperkuat jika mereka saling menjalin pemikiran terhadap Tuhan. Dan
semua itu merupakan poin umama di dalam pernikahan dalm islam,
Dibeberpa ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Disebutkan umat manusia untuk patuh terhadap tuhan yang
menciptakannya dari sebuah jiwa dan dari itu atau menciptakan pasangan diantaranya, tersebarlah antara
laki-laki dan perempuan untuk mereka cari dalam belahahan dunia. (4: 1) tuhan menciptakan seorang
suami dan diciptakannya kepadanya istri. Agar dapat hidup bahagia bersamanya, dan semua itu adlah
tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dan diciptakannya untuk laki-laki mereka itu sendiri untuk mencari
pasangan dari kelompok mereka masing-masing, dalam hidup yang damai dan sentosa dan berkumpul
bersamanya dalam cinta dan rahmat, tentu saja di dalamnya pertanda itu agar selalu direnungkan ( 30:21).
Sesungguhnya didalam pernikahan, akan ada ujian didalam kehidupanyya, terjadi pertengkaran dan
proses pengadilan. Al-Qur’an mengingatkan kita didlamnya beberapa bagian, memberitahukan kepada
mereka, agar menjadi baik satu sama lain, bermurah hati satu sama lain dan diatas semua itu adalah
kepatuhannya terhadap Tuhan yang maha esa.
BAB II
a. Hadis Rasul muttafaqun alaihi (sepakat para ahli hadis) atau jamaah ahli hadis. "Hai pemuda
barangsiapa yang mampu di antara kamu serta berkeinginan hendak nikah (kawin) hendaklah ia itu
kawin (nikah), karena sesungguhnya perkawinan itu akan menjauhkan mata terhadap orang yang tidak
halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan syahwat."
b. Dan barangsiapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya
terhadap perempuan akan berkurang. (Hadis Rasul jamaah ahli hadis). Hai Jabir, engkau kawin dengan
perawan atau janda? Alangkah baiknya kalau engkau kawin dengan perempuan perawan.
Dari hadis Rasul ini jelas dapat dilihat bahwa Perkawinan itu dianjurkan karena berfaedah bukan saja
untuk diri sendiri tetapi juga untuk rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan melakukan
perkawinan itu akan terhindarlah seseorang dari godaan setan, baik godaan melalui penglihatan mata
maupun melalui alat kelamin atau syahwat, nafsu dan sebagainya. Apabila engkau tidak sanggup menikah
wajib bagimu puasa untuk dapat terhindar dari godaan iblis yang terkutuk itu.
Dan janganlah kamu takut atau khawatir bahwa dengan Perkawinan itu kamu akan bangkrut atau
miskin atau terlantar, bahwa dengan melakukan perkawinan akan dapat lebih meningkatkan prestasi dan
menambah semangat berusaha, bekerja dan dengan sendirinya akan bertambah harta kekayaan di
samping mendapat kenikmatan hidup yang aman dan tenteram.
Syart (jamak: shuraat) dapat diterjemahkan seperti "prasyarat" atau "kondisi" adalah satu kebutuhan
untuk hakikat sah / kebenaran dari sesuatu.
2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);
3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan);
Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk Muslim dan orang merdeka
Berfikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena
dikhawatirkan tidak Akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta
tetap memelihara muruah atau sopan santun.
Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. Hal ini berdasarkan kepada hadits Nabi dari
'Usman menurut riwayat Muslim yang mengatakan:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang”.
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan setelah resmi menjadi suami
istri kepada istrinya;
6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-laki Islam merdeka;
7. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan
qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.
Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan
seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga).
8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka diadakan walimah (pesta pernikahan)
walaupun hanya sekedar minum teh manis.
9. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analog! Q. II: 282 harus diadakan ilanun
nikah (pendaftaran nikah), kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan Undang-undang No. 22
Tahun 1946 no. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (lihat
juga pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991).
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orangyang sendirian di antara kamu dan orang-orangyang layak (untuk
kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika
mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kami-Nya.
maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang
tertentu, sebagai berikut:
a. Sunnat bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah
mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan
perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk
perkawinan, namun fisik-nya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan
kekurangan fisik lainnya.
c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki
perlengkapan untuk kawin; ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin.
d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara' untuk melakukan perkawinan atau
ia yakin Perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara', sedang-ia meyakini perkawinan itu akan merusak
kehidupanpasangannya.
e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak
akan men-datangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.
a. Untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari
surat al-Nisa' ayat 1:
Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan-muyang menjadikan kamu dari diri yang satu daripadanya
Allah menjadikan istri-istri; dan dari keduanya A.llah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan
perempuan.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
Artinya : “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencipta-kan untukmu istri-istri darijenismu
sendiri, supaya kamu menemukan ketenanganpadanya dan menjadikan di antara-mu rasa cinta dan kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda bagi yang berfikir.”
Adapun di antara hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan itu adalah menghalangi mata dari
melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara' dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan
seksual. Hal ini adalah se-bagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam hadits-nya yang muttafaq
alaih yang berasal dari Abdullah ibn Mas'ud, ucapan Nabi:
Artinya : “Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka
kamnlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga
kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karenapuasa itu
baginya akan mengekang syahwat.”
Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, seperti berikut:
1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-
suku bangsa manusia.
4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas
dasar kecintaan dan kasih sayang.
5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa
tanggung jawab.
6 BEBERAPA BENTUK PERKAWINAN YANG TERLARANG DAN
DIHARAMKAN.
Perkawinan yang dilarang :
1.Nikah mut'ah adalah perkawinan untuk masa tertentu dalam arti pada waktu akad dinyatakan masa
tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan sei dirinya. Nikah mut’ah pernah
terjadi pada umat islam dan diridhai Rasulullah namun kemudian nabi melarangnya. Karena ada
persyaratan yang tidak terpenuhi yaitu tidak adanya masa tertentu. Terdapat dalam hadist Nabi dari
Salamah bin al-Akwa’ riwayat Muslim:
Artinya : Rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas (waktu perang Khaibar, umrah
qadha, tahun memasuki mekah, perang Tabuk dan waktu Haji wada’) untuk melakukan mut’ah selama
tiga hari, kemudian Nabi melarangnya.
Nikah muhallil atau nikah tahlil adalah perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah
melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya.
Bila seseorang telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si
suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki
lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 230:
Artinya : Kemudian jika suami mentalaknya (setelah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halallagi
baginya kecuali bila, dia telah kawin dengan suami lain. . .
Suami yang telah mentalak istrinya tiga kali itu sering ingin kembali lagi kepada bekas istrinya itu.
Kalau ditunggu cara yang biasa menurut ketentuan perkawinan, mungkin menunggu waktu yang lama.
Untuk mempercepat maksudnya itu ia mencari seseorang laki-laki yang akan mengawini bekas istrinya itu
secara pura-pura, biasanya dengan suatu syaf bahwa setelah berlangsung akad nikah segera
diceraikannya sebelum sempat digaulinya. Ini berarti kawin akal-akal untuk cepat menghentikan suatu
yang diharamkan.
kawinan tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan namun karena niat orang yang
mengawini itu tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, perkawinan itu dilarang oleh Nabi Hal ini
terdapat dalam hadits Nabi dari Mas'ud yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasai dan A1-Tirmizi dan
keluarkan oleh empat perawi hadits selain al-Nasai yang bunyinya:
Artinya : Rasul Allah SAW. mengutuk orang yang menjadi muh'allil (orang yang menyuruh kawin) dan
muhallal lah (orang yang melaktikan perkawinan tahlil).
3. Nikah syigar ialah perbuatan dua orang laki-laki yang saling menikahi anak perempuan dari laki-laki lain
dan masing-masing menjadikan pernikahan itu sebagai maharnya. Dalam bentuk nyatanya ialah sebagai berikut:
seseorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki lain: "Saya kawinkan anak perempuan saya
bernama si A kepadamu dengan mahar saya mengawini anak perempuanmu yang bernama si B". Laki-laki lain
itu menjawab dalam bentuk qabul: saya terima mengawini anak perempuanmu yang bernama dengan
maharnya kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B".
Yang tidak terdapat dalam perkawinan itu adalah mahar yang nyata dan adanya syarat untuk
saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu, perkawinan syigar di larang.
a. mahram muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya disebabkan:
b. Mahram ghairu muabbad yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara berarti tidak boleh kawin
dalam bentuk tertentu karena sesuatu hal, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan tersebut
tidak berlaku lagi. Yaitu
4. mantan istri yang telah ditalak tiga kali bagi mantan suaminya.
7. perempuan musyrik.
7 HUKUM MENIKAH LEBIH DARI EMPAT (PERKAWINAN YANG KE
LIMA).
Seseorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang dan tidak
boleh lebih dan itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis
pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam flias tertentu, yaitu
selama salah seorang di antara istrinya yang empat itu belum diceraikannya. Pembatasan pada orang ini
berdasarkan kepada firman Allah dalam surat Nisa ayat 3 :
Artinya : bila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak perempuan, kawinnilah perempuan lain
yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Bila kamu takut tidak akan berlaku adil cukup seorang. . .
Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam membolehkan adanya kawin poligami, yaitu seseorang
mempunyai istri lebih dari satu orang, namun kebolehan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu
syarat yaitu kemampuan berlaku adil di antara istri-istri itu. Adil itu bukan suatu yang mudah untuk
dilaksanakan. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat al-Nisa' ayat 129:
Artinya : Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu ingin sekali
berbuat begitu. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada seorang yang kamu cintai hingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. . .
Para fuqaha terdahulu hanya membatasi adil itu kepada hal yang bersifat zahir seperti adil dalam
memberi nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran diajak bepergian dan hal-hal yang bersifat
lahir; dan tidak mensyaratkan adil dalam yang bersifat batin seperti dalam cinta kasih.[2][2]
Artinya : melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.
[2]
Hukum talak adalah makruh karena bila hubungan pernihakahan itu tidak dapat lagi
dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka islam
membuka pintu untuk terjadinya perceraian.
Macam-macam talak :
Dilihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami :
1. talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haif
dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.
2. talak bid’iy yaitu talak yang mana waktu itu si istri sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam
waktu out telah dicamouri oleh suaminya.
1. talak raj’iy yaitu talak si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama
istrinya masih dalam masa iddah.
2. talak bain yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada
istrinya kecuali dengan nikah baru. Juga terbagi menjadi 2 macam yaitu : bain sugra dan bain kubra.
8.2 Khulu’
Khulu’ yaitu perceraian dengan kehendak istrinya. Hukumnya boleh atau mubah. Sesuai dengan
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 :
Artinya : Jika kamu khawatir bahwa keduanya(suami istri) tidak menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menembus dirinya.
8.3 Fasakh
pada dasarnya dilakuakan oleh hakim atas permintaan dari suami atau istri. Namun ada pula
yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim seperti suami istri ketahuan senasab
atau sepersusuan.
8.4 Zhihar.
Secara bahasa yaitu berarti punggung. Secara bahasa yaitu
Artinya : “Ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya :”engakau bagi saya seperti punggung ibu saya”.
8.5 Ila’.
Secara bahasa berarti “tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” Secara istilah
yaitu “sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya”. Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 226-227 :
Artinya : kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tenggang waktu selama empat
bulan(lamanya), kemudian jika mereka kembali(kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha
pengampun lagi Penyayang. Bila mereka berazam(berketetapan hati) untuk talak maka sesungguhnya
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
8.6 Li’an.
Secara bahasa yaitu saling melaknat. Secara istilah adalah sumpah suami yang menuduh istrinya
berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, setelah terlebih dahulu
memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya”.
8.7 Iddah
Secara etimologi, 'iddah yang jamaknya adalah 'idat berarti bilangan. Secara terminologi diartikan:
Artinya : Masa yang mesti dilalui oleh seorang perempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya
rahimnya dari kehamilan.
Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah; dalam
masa mana ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain .
Iddah itu diwajibkan karena padanya terdapat hikmah di antaranya sebagaimana yang tersebut dalam
definisi tersebut , di atas adalah untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya meninggalkan
benih dalam rahim istrinya atau tidak. Dengan begitu dapat terpelihara dari bercampur-nya dengan bibit yang
akan disemai oleh suaminya yang baru. Di samping itu iddah memberi kesempatan kepada suami |untuk
berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan istrinya.
Lama masa iddah itu tergantung pada keadaan si istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa
iddah itu adalah sebagai berikut:
a. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10
hari. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234:
Artinya :Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri
itu) menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari . . .
b. Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam
surat al-Ahzab ayat 49:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan beriman, kemudian kamu
mencerai-kannya sebelum kamu gauli, maka se kali- kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. . .
Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli oleh suaminya yang berlaku
baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari. Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah di sini bukan untuk
mengetahui kebersihan rahimnya dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap
suaminya yang meninggal itu.
c. Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suami nya sedangkan ia masih dalam masa haid, maka iddahnya
adalah selama tiga quru' , sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
Artinya: Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah menjalani iddah selam tiga furu’.
Yang dimaksud dengan tiga quru' dalam ayat ini menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan
bagi ulama Hanafiyah tiga quru' itu berarti tiga kali masa haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali
haid lebih panjang daripada tiga kali suci.
d. Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya; dan dia tidak lagi dalam masa haid atau
tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Thalaq ayat 4:
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu
ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang
tidak haid.
e. Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya.
Ketentuan ini ditetapkan Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4:
Artinya : Perempuan-perempuan hamil (yang bercerai dari suaminya) iddahnya adalah melahirkan anak. . .
Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut Jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan
anaknya, n masanya belum empat bulan sepuluh hari; dalam yang berlaku baginya adalah iddah hamil.
Sedangkan ulama lain, di antaranya Ali bin Abi Thalib, iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah
masa yang terpanjang antara empat bulan sepuluh hari dengan melahir-kan anak. Bila anak lahir sebelum
empat bulan sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari; namun bila setelah empat
bulan sepuluh hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal
selama dalam iddah, karena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat kawin
selama masa itu. Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyarna-kannya dengan cerai dalam bentuk
talak bain.
8.8 Ruju’
Secara bahasa ruju' atau raj'ah berarti kembali. Sedangkan definisinya menurut al-Mahalli ialah:
Artinya: Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah.
Sebagaimana perkawinan itu adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh agama, maka ruju' setelah
terjadinya perceraian pun merupakan suruhan agama. Hal ini dapat dilihat dalam firman allah pada surat
al-Baqarah ay at 23 1 :
Artinya : Dan bila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka men-dekati akhirmasa iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara baik atau ceraikanlah mereka dengan car a baik. . .
Adapun unsur yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap rukun itu adalah sebagai berikut:
a. Laki-laki yang meruju' istrinya mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya,
yaitu telah dewasa dan sehat akalnya. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak
sah ruju' yang dilakukannya. Bila waktu mentalak istrinya ia berakal sehat kemudian dia gila dan ingin ruju'
yang melakukan ruju' itu adalah walinya, sebagaimana yang menikahkannya adalah walinya.
b. Perempuan yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian diceraikannya tidak
dalam bentuk cerai tebus (khulu') dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam
perkawinan itu dan masih berada dalam masa iddah.
c. Ada ucapan ruju' yang diucapkan oleh laki-laki yang akan merujuk. Di sini tidak diperlukan qabul dari pihak
istri; karena ruju' itu bukan memulai.nikah, tetapi hanya sekedar melanjutkan pernikahan. Ucapan ruju' itu
menggunakan lafaz yang jelas untuk ruju' .
Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam
akad nikah. Keharusan adanya saksi ini bukan dilihat dari segi ruju' itu memulai nikah atau melanjutkan
nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu sebagaimana terdapat dalam Surat al-Thalaq ayat 2:
Artinya : Bila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau ceraikanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antaramu; dan tegakkan kesaksian
karena A.llah.
Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya saksi dalam ruju' itu, maka ucapan ruju' tidak boleh
menggunakan lafaz kinayah, karena penggunaan lafaz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang
nadir tidak akan tahu niat dalam hati itu.
Pendapat lain yang berlaku di kalangan jumhur ulama, ruju' itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju'
itu hanyalah melanjutkan perkawinan yang telah terputus dan bukan memulai nikah baru. Perintah Allah
dalam ayat tersebut di atas bukanlah untuk wajib. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju' dengan
menggunakan lafaz kinayah karena saksi yang perlu mendengarnya tidak ada[3][3].
[3]
9 MENIKAH DENGAN SELAIN AGAMA MUSLIM
Dasar hukumnya Al Quran surah II ayat 221, yang berbunyi.
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. (Al
Baqarah ayat 221)
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum
mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-
Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya mereka mengambil
pelajaran.
Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.
a. Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad saw., agar dia dapat diizinkan
menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan amat terpandang.
Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya. Sesudah Rasulullah berdoa kepada Allah,
maka turunlah Q. II: 221. Yang melarang laki-laki" muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya
melarang wanita muslim menikahi laki-laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al
Wahidi)[4][4]
b. Abdullah bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam. Pada waktu itu ia
marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu menceritakan kepada
[4]
Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu dengan menikahi budak yang hitam itu.
Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejek tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap
mau melaksanakan-nya. Maka turunlah Q. II: 221 sebagai pembenaran tindakannya itu
"Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada wanita musyrik"
Rawahul Al Wahidi dari Assu'udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari Ibnu Abbas.
Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul (asbabun nuzul) dari Q. II:
221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba sahaya atau pembantu) yang mukmin lebih baik daripada
menikahi wanita nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga Fatwa MUI DKI Jaya tanggal
30 September 1986, tentang larangan perkawinan antaragama).
BAB III
A. KESIMPULAN
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, di mana antara
suami istri itu harus saling menyantuni, kasih-mengasihi, terdapat keadaan aman dan tenteram penuh
kebahagiaan baik moral, spiritual dan materil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang pada
prinsip dalam pokok-pokoknya perkawinan itu hendaklah:
1) Terdapat pergaulan yang makruf antara suami istri itu dan saling menjaga rahasia masing-masing, serta
saling membantu.
2) Terdapat pergaulan yang aman dan tenteram gemah ripah loh jinawi antara suami istri itu (sakinah).
4) Pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni terutama setelah tua mendatang (rahmah).
Hal itu dimungkinkan karena manusia itu diciptakan Tuhan dari satu zat, dan dari zat itu pula
diciptakan pasangannya serta dari pasangan itu diciptakan manusia yang banyak ini agar dapat saling
berhubungan. Kemudian menjaga pula arhaam (hubungan darah). (Q. IV: 1).
' Untuk menjaga hubungan darah (arhaam) itu pula maka diadakan larangan-larangan
perkawinan antara lain:
1) Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang telah dewasa dan berakal;
5) Keharusan adanya 2 (dua) orang saksi laki-laki yang Islam dewasa dan adil;
6) Proses ijab dan qabul, penawaran dan penerimaan oleh calon pengantin perempuan atau walinya
serta penerimaan oleh calon pengantin laki-laki;
8) Tilanun nikah (atau pendaftaran Nikah) untuk pembuktian adanya nikah bagi generasi selanjutnya.
Setelah menjadi suami istri timbul hak-hak dan kewajiban suami istri antara lain: Hak suami menjadi
kepala keluarga, di samping kewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal kepada istri dan anak-
anaknya.
Hak istri menerima nafkah dari suaminya dan berkewajiban mengurus rumah tangga, suami dan
pendidikan anak-anaknya.
Selama berlangsungnya perkawinan Akan terdapat usaha-usaha untuk melanjutkan bahtera rumah
tangga suami istri tersebut, antara lain tentang kekayaan bersama selama berlangsungnya kehidupan
perkawinan tersebut.
Di sinilah timbul persoalan apakah ada harta bersama antara suami istri selama berlangsungnya
perkawinan?
tentang harta bersama dalam perkawinan. Pendapat ini didukung oleh beberapa putusan Pengadilan
Agama di Jakarta.
Pendapat kedua:
Ada harta bersama walaupun tidak ada perjanjian perkawinan dengan harta bersama, pendapat terakhir
ini didukung oleh Sajuti Thalib, S.H., Hazairin dan beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Persoalan lain timbul bagaimana kalau masih dalam proses perceraian atau talak belum
mempunyai kekuatan hukum pasti (niet-in kracht van gewijsde), apakah harta bersama dapat dibagi,
dijawab oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 29 September 1983 Nomor 207/Ja/82-
G, tidak dapat dibagi harta bersama tersebut.
B. SARAN-SARAN
Dengan adanya perkawinan di harapkan dapat mebentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah,
dunia dan akhirat.
Perkawinan menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia baru, yang kedepannya
diharapkan mempunyai kehidupan dan masadepan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera keluarga, kehidupan diharapkan menjadi lebih
bermakna, dan suami-suami dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah.
Amin!
BAB I. PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan pada makalah kerukunan antar umat beragama adalah
1) Mengetahui definisi dari kerukunan
2) Mengetahui definisi kerukunan antar umat beragama
3) Mengetahui cara menjaga kerukunan hidup antar umat beragama
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari menciptakan suasana rukun antar umat beragama
dilingkungan masyarakat yaitu dengan rasa aman, nyaman dan sejahtera.
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup
bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan
perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan,
maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Kerukunan
[dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi
kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan
dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan
golongan.
Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada
ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan
damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses
waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih. Kerukunan
antarumat beragama bermakna rukun dan damainya dinamika kehidupan umat beragama dalam segala
aspek kehidupan, seperti aspek ibadah, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama.
Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi
sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang
lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan
sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat
berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah
satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya
rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Salah satu sebab rendahnya
rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam adalah karena randahnya penghayatan terhadap
nilai-nilai Islam. Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata.
Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat. Perpecahan itu
biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap suatu fenomena.
Dalam hal agama, di kalangan umat islam misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat atau
penafsiran mengenal sesuatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau madzhab.
Perbedaan pendapat dan penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi,
karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran.
Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli
menetapkan tiga konsep,yaitu :
1) Konsep tanawwul al ’ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang
dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran
semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan
hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits).
2) Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran).
Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan
berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah , walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di
sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan
Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan
orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang
memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad.
3) Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya
ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang
belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum
menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk
menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi
masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.
Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya perbedaan
dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan firman-fiman-
Nya,sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif. Karena itu sangat dimungkinkan
untuk terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan pertentangan dan permusuhan. Di sini
konsep Islam tentang Islah diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga tidak
menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan untuk menghilangkannya
dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling bertentangan.
Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya
dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat
manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami
bahwa Isalam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep al-quran dan As-sunnah, tetapi dampak
sosial yanag lahirdari pelaksanaan ajaran isalam secara konsekwen ddapat dirasakan oleh manusia
secara keseluruhan. Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa,nilai-nilai
ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu
kesatuan kkebenaran dan keadilan. Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran
terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal.
Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologo. Dari segi agama, ajaran Islam
menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap
manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan
dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya denga tindakan yang sangat
mudah ,yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang
sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada
semua manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada
umat Islam secara khususu untuk menunjukan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu
maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Qur’an
tanpa mengurangi universalisme Islam. Melihat Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran
Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian, menghindari pertentangan dan
perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai
ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal
suku,bangsa dan agama. Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh
syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut
merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial
kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja samayang baik.
Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia yang
tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama ydalam bidang-bidang ekonomi, politik,
maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
2.3. Kerukunan antar umat beragama
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika semua golongan agama bisa hidup
bersama tanpa menguarangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun dan damai. Karena itu kerukunan antar
umat beragama tidak mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak
keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar
umat beragama member ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari agama yang berbeda ,
sebab hal tersebut akan merusak nilai agama itu sendiri.
Menurut Muhammad Maftuh Basyuni dalam seminar kerukunan antar umat beragama tanggal
31 Desember 2008 di Departemen Agama, mengatakan bahwa kerukunan umat beragama merupakan
pilar kerukunan nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus dari waktu ke
waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti keadaan hubungan sesame umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bias diartikan dengan toleransi antar umat
beragama. Dalam toleransi itu sendiri pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan
menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling menghormati satu
sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak saling
mengganggu. Departemen agama juga menjadikan kerukunan antar umat beragama sebagai tujuan
pembangunan nasional bangsa Indonesia yang diarahkan dalam tiga bentuk yaitu:
a) Kerukunan intern umat beragama.
b) Keukunan antar umat beragama.
c) Kerukunan antar umat beragama dengan pemerinata.
Untuk itulah kerukunan hidup antar umat beragama harus kita jaga agar tidak terjadi konflik-
konflik antar umat beragama. Terutama di masyarakat Indonesia yang multikultural dalam hal agama,
kita harus bisa hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong, dan tidak saling bermusuhan agar
agama bisa menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang secara tidak langsung memberikan stabilitas dan
kemajuan negara.
2.4. Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama salah satunya dengan dialog antar umat
beragama. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat yang modern yang demokratis adalah
terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta
mewujudkannya dalam suatu keniscayaan. Untuk itulah kita harus saling menjaga kerukunan hidup
antar umat beragama. Secara historis banyak terjadi konflik antar umat beragama, misalnya konflik di
Poso antara umat islam dan umat kristen. Agama disini terlihat sebagai pemicu atau sumber dari konflik
tersebut. Sangatlah ironis konflik yang terjadi tersebut padahal suatu agama pada dasarnya
mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong dan juga
saling menghormati. Untuk itu marilah kita jaga tali persaudaraan antar sesama umat beragama.
Konflik yang terjadi antar umat beragama tersebut dalam masyarakat yang multkultural adalah
menjadi sebuah tantangan yang besar bagi masyarakat maupun pemerintah. Karena konflik tersebut
bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar. Supaya
agama bisa menjadi alat pemersatu bangsa, maka kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar,
maka diperlukan cara yang efektif yaitu dialog antar umat beragama untuk permasalahan yang
mengganjal antara masing-masing kelompok umat beragama. Karena mungkin selama ini konflik yang
timbul antara umat beragama terjadi karena terputusnya jalinan informasi yang benar diantara pemeluk
agama dari satu pihak ke pihak lain sehingga timbul prasangka-prasangka negatif.
Menurut Prof. Dr. H Muchoyar H.S, MA dalam menyikapi perbedaan agama terkait dengan
toleransi antar umat beragama agar dialog antar umat beragama terwujud memerlukan 3 konsep yaitu :
1. Setuju untuk tidak setuju, maksudnya setiap agama memiliki akidah masing- masing sehingga agama
saling bertoleransi dengan perbedaan tersebut.
2. Setuju untuk setuju, konsep ini berarti meyakini semua agama memiliki kesamaan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan dan martabat umatnya.
3. Setuju untuk berbeda, maksudnya dalam hal perbedaan ini disikapi dengan damai bukan untuk saling
menghancurkan.
Tema dialog antar umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah peribadatan tetapi
lebih ke masalah kemanusiaan seprti moralitas, etika, dan nilai spiritual, supaya efktif dalam dialog
aantar umat beragama juga menghindari dari latar belakang agama dan kehendak untuk memdominasi
pihak lain. Model dialog antar umat beragama yang dikemukakan oleh Kimball adalah sebagai brikut :
1. Dialog Parlementer ( parliamentary dialogue ). Dialog ini dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh
umat beragama di dunia. Tujuannya adalah mengembangkan kerjasama dan perdamaian antar umat
beragama di dunia.
2. Dialog Kelembagaan ( institutional dialogue ). Dialog ini melibatkan organisasi-organisasi keagamaan.
Tujuannya adalah untuk mendiskusikan dan memecahkan persoalan keumatan dan mengembangkan
komunikasi di antara organisasi keagamaan.
3. Dialog Teologi ( theological dialogue ). Tujuannya adalah membahas persoalan teologis filosofis agar
pemahaman tentang agamanya tidak subjektif tetapi objektif.
4. Dialog dalam Masyarakat ( dialogue in society ). Dilakukan dalam bentuk kerjasama dari komunitas
agama yang plural dalam menylesaikan masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari.
1. Menghilangkan perasaan curiga atau permusuhan terhadap pemeluk agama lain yaitu dengan cara
mengubah rasa curiga dan benci menjadi rasa penasaran yang positf dan mau menghargai keyakinan
orang lain.
2. Jangan menyalahkan agama seseorang apabila dia melakukan kesalahan tetapi salahkan orangnya.
Misalnya dalam hal terorisme.
3. Biarkan umat lain melaksanakan ibadahnya jangan olok-olok mereka karena ini bagian dari sikap saling
menghormati.
4. Hindari diskriminasi terhadap agama lain karena semua orang berhak mendapat fasilitas yang sama
seperti pendidikan, lapangan pekerjaan dan sebagainya.
Dengan memperhatikan cara menjaga kerukunan hidup antar umat beragama tersebut
hendaknya kita sesama manusia haruslah saling tolong menolong dan kita harus bisa menerima bahwa
perbedaan agama dengan orang lain adalah sebuah realitas dalam masyarakat yang multikultural agar
kehidupan antar umat beragma bisa terwujud.
3.1. Kesimpulan
Pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama adalah terciptanya kehidupan masyarakat
yang harmonis dalam kedamaian, saling tolong menolong, dan tidak saling bermusuhan agar agama bisa
menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang secara tidak langsung memberikan stabilitas dan kemajuan
Negara. Cara menjaga sekaligus mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama adalah dengan
mengadakan dialog antar umat beragama yang di dalamnya membahas tentang hubungan antar sesama
umat beragama. Selain itu ada beberapa cara menjaga sekaligus mewujudkan kerukunan hidup antar
umat beragama antara lain:
a) Menghilangkan perasaan curiga atau permusuhan terhadap pemeluk agama lain
b) Jangan menyalahkan agama seseorang apabila dia melakukan kesalahan tetapi salahkan orangnya.
c) Biarkan umat lain melaksanakan ibadahnya jangan mengganggu umat lain yang sedang beribadah.
d) Hindari diskriminasi terhadap agama lain.
3.2. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk masyarakat di Indonesia supaya menanamkan sejak dini
pentingnya menjaga kerukunan antar umat beragama agar terciptanya hidup rukun antar sesama
sehingga masyarakat merasa aman, nyaman dan sejahtera.
Politik atau demokrasi islam
Umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat
Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa
reserve, sementara yang lain, justeru bersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit
sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun.Kondisi
ini dipicu dengan banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang
demokrasi. Di bawah ini, ada tulisan menarik tentang demokrasi dalam perspektif Islam. Tulisan ini sendiri berasal
dari http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/7/cn/19725.
Pertanyaan:
Prinsip Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar
baku. Di antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau
harus diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang
Demokrasi
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham
demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi
adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung
sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang
berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja
bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak
terbatas pada para pendeta.Mohammad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual
Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama,
demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang
merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama.
Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan
nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima
model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan
sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh
Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal
menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Kepatuhan pada hukum.
- Toleransi sesama warga.
- Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
- Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak.
Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di
tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah.
Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan
merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang
tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang
memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia
memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang
otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-
A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya
seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan
umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal.
Misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh
akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan
amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari
ajaran Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan
suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip
Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar
sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan
patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan
dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur
ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan
merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan
dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam
mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah
kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak
sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu
ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam.
Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam
musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki
untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-
bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu
dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang
sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus
dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam
sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam
yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Wassalamu alaikum wr.wb
Ekonomi islam
Berbicara mengenai ekonomi konvensional dan ekonomi syariah pasti tidak akan ada
habisnya dan kita tak akan menemukan kata sepakat didalamnya, karena ekonomi konvensional
dan ekonomi syariah memiliki paradigma berpikir tersendiri yang ingin dibawa dari keduanya.
Berangkat dari hal itu maka perlulah kita sebagai seorang mahasiswa untuk mengkaji aspek-
aspek yang terdapat didalam ekonomi konvensional maupun ekonomi syariah agar dapat menilai
kedua sistem ekonomi ekonomi tersebut. Artikel yang saya tulis ini dibuat berdasarkan kepada
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan baik berupa buku, modul, dan lain sebagainya.
Adapun dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah mengenai perbedaan mendasar dari sistem
ekonomi islam dan sistem ekonomi konvensional serta pendapat saya mengapa ekonomi islam
perlu ditegakkan.
Sebelum kita membahas mengenai perbedaan antara ekonomi islam dan konvensional,
perlulah kita mengetahui hakikat ekonomi itu sendiri. Menurut para ahli ekonomi umum,
ekonomi didefinisikan sebagai pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan
dengan upaya manusia baik individu maupun kelompok dalam memenuhi kebutuhan yang tidak
terbatas dengan sumber daya yang terbatas. Menurut pakar ekonomi yang pernah meraih Nobel
dibidang ekonomi Prof. Paul A. Samuelson, ekonomi didefinisikan sebagai studi mengenai
individu dan/atau masyarakat dalam mengambil keputusan dengan atau tanpa penggunaan uang
yang digunakan untuk memproduksi barang dan/atau jasa dengan sumber daya yang terbatas
untuk dikonsumsi baik masa sekarang maupun yang akan datang1[1].
Berdasarkan beberapa definisi diatas, kita dapat mengambil esensi bahwasanya ekonomi
sangat erat kaitannya dengan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ada
satu hal yang menarik yaitu mengenai sumber daya yang terbatas. Perlu kita ketahui bahwasanya
yang menjadi tidak terbatas bukanlah kebutuhan manusia melainkan keinginan manusia. Oleh
karena itu untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas itu diperlukan alat pemuas
kebutuhan. Alat pemuas kebutuhan dalam hal ini adalah sumber daya, dalam Islam tidaklah
mengenal sumber daya yang terbatas karena didalam Al-qur’an terdapat ayat yang mengatakan
bahwasanya Allah swt. telah menciptakan sesuatu dengan kadar yang sempurna. Berkaitan
dengan keinginan yang tidak terbatas, Islam mengajarkan kepada kita bahwasanya prinsip
1
konsumsi dalam Islam salah satunya yaitu dilarang berbuat Israf (berlebih-lebihan). Dalam teori
ekonomi itu sendiri pun menyatakan bahwasanya kepuasan sesorang dalam mengonsumsi
sesuatu semakin lama semakin menurun sampai nantinya berada dititik 0. Oleh sebab itu,
hendaknya yang perlu digarisbawahi yang perlu diatur adalah perilaku manusia itu sendiri.
Setelah mengetahui pengertian ekonomi secara umum, yang menjadi pertanyaan kita
berikutnya adalah apa itu ekonomi Islam??. Ekonomi Islam didefinisikan sebagai studi yang
mempelajari ikhtiar manusia dalam mengalokasian dan mengelola sumber-sunber daya untuk
mencapai ‘falah’ berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Al-
qur’an dan As-sunnah. Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa hal yang menjadi
kesamaan dengan definisi ekonomi umum yakni ekonomi berkaitan dengan studi atau ilmu tang
membahas tentang upaya manusia dalam mengelola sumber daya yang ada. Yang menjadi
perbedaan adalah apabila dalam ekonomi umum itu tidak ada yang dijadikan pedoman dalam
menjalankan kegiatan ekonomi sedangkan dalam ekonomi itu memiliki aturan tersendiri yang
dapat dijadikan pedoman. Mungkin inilah yang menjadi dasar awal yang membedakan antara
ekonomi konvensional yang menganut ekonomi umum tetapi memiliki paradigma sendiri dengan
ekonomi Islam.
Selanjutnya kita akan membahas mengenai perbedaan umum antara ekonomi Islam dan
Konvensional yang dapat diterangkan dalam tabel berikut:
Berdasarkan tabel diatas dijelaskan bahwasanya dalam ekonomi Islam tidak hanya
mempelajari individu sosial tetapi juga bakat religius mereka. Perbedaan timbul berkenaan
pilihan dimana ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam sedangkan ekonomi
konvensional dikendalikan oleh kepentingan individu.
Saat ini kita membagi sistem ekonomi konvensional menjadi 2 jenis yaitu kapitalisme
dan sosialisme. Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang secara jelas ditandai oleh
berkuasanya uang atau modal yang dimiliki seseorang sedangkan sosialisme adalah suatu sistem
ekonomi yang secara jelas ditandai dengan berkuasanya pemerintah dalam kegiatan ekonomi
yang menghapus penguasaan faktor-faktor produksi milik pribadi. Adapun perbedaan antara
sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme dengan sistem ekonomi islam dapat diterangkan
dengan tabel dibawah ini :
Berdasarkan tabel diatas, kita dapat melihat perbedaan yang jelas antara ekonomi
konvensional adalah sbb :
1. Ekonomi islam mempunyai pedoman/acuan dalam kegiatan ekonomi yang bersumber dari
wahyu ilahi maupun pemikiran para mujtahid sedangkan ekonomi konvensional didasarkan
kepada pemikir yang didasarkan kepada paradigma pribadi mereka masing-masing sesuai dengan
keinginannya, dalam ekonomi konvensional menilai bahwa agama termasuk hukum syariah tidak
ada hubungannya dengan kegiatan ekonomi.
2. Dalam ekonomi islam negara berperan sebagai wasit yang adil, maksudnya pada saat tertentu
negara dapat melakukan intervensi dalam perekonomian dan adakalanya pun tidak diperbolehkan
untuk ikut campur, contohnya pada saat harga-harga naik, apabila harga naik disebabkan karena
ada oknum yang melakukan rekayasa pasar maka pemerintah wajib melakukan intervensi
sedangkan apabila harga naik karena alamiah maka pemerintah tidak boleh ikut campur dalam
menetapkan harga, seperti yang diriwayatkan dalam hadits Nabi terkait kenaikan harga. Dalam
ekonomi konvensional, kapitalis tidak mengakui peran pemerintah dalam perekonomian, dalam
sosialis negara berperan absolut dalam ekonomi sehingga tidak terdapat keseimbangan antara
kedua sistem tersebut.
3. Dalam ekonomi islam mengakui motif mencari keuntungan tetapi dengan cara-cara yang halal,
dalam ekonomi kapitalis mengakui motif mencari keuntungan tetapi tidak ada batasan tertentu
sehingga sangat bebas sesuai yang dilandasi dengan syahwat spekulasi dan spirit rakus para
pelaku ekonomi, dalam ekonomi kapitalis tidak mengakui motif mencari keuntungan sama
sekali sehingga keduanya tidak dapat berlaku adil dalam ekonomi.
Terakhir yang akan saya bahas adalah mengapa kita perlu menegakkan ekonomi islam,
menurut saya ada beberapa yang mendasari perlu ditegakkannya ekonomi islam saat ini, yakni :
1. Sejalan dengan bergulirnya sejarah, kita menemukan fakta yang menunjukkan bahwa ekonomi
konvensional telah gagal dalam mengatasi krisis seperti salah satunya yang terjadi pada tahun
1998 dan tahun 2008. Adapun yang menyebabkan krisis tersebut karena dalam ekonomi
konvensional terdapat prinsip-prinsip yang sebenarnya dalam ekonomi islam dilarang, yaitu :
Seperti kita ketahui bahwa bunga telah menjadi mainstream dalam ekonomi saat ini. Akibatnya
kita ambil contoh Indonesia yang mempunyai hutang kepada IMF sekitar 1000 triliun lebih dan
masih dikenakan bunga beberapa persen. Faktanya yang terjadi adalah APBN Indonesia hanya
dapat membayar bunga hutang kepada IMF belum pokoknya sehingga pada akhirnya sulit
dilunasi. Inilah yang menjadi sumber krisis di negara-negara Eropa saat ini, maka kita tidak
dapat menafikan mudharat/keburukan akibat diberlakukannya sistem bunga.
c. Maisir (spekulasi – transaksi yang bersifat untung-untungan yang dimaksudkan untuk mencari
keuntungan secara bathil, dan
d. Risywah (suap-menyuap) serta hal-hal lain yang dilarang dalam ekonomi islam.
Fakta pun membuktikan bahwasanya pada saat ekonomi konvensional tengah mengalami krisis,
ekonomi islam dengan baiknya mencatat pertumbuhan yang cukup signifikan contohnya pada
saat bank-bank di Indonesia mengalami kolaps saat krisis, bank syariah di Indonesia mencatat
pertumbuhan.
2. Dalam ekonomi konvensional tidak mengenal sistem zakatnya didalamnya sehingga cenderung
terjadi ketimpangan sosial dalam masyarakat antara orang miskin dan orang kaya. Sedangkan
telah kita ketahui bahwa sudah sejak lama islam menetapkan kepada umatnya untuk membayar
zakat sehingga distribusi pendapatan merata sedikit demi sedikit dapat diwujudkan. Kita pun
dapat membuktikan keseimbangan pasar apabila sistem zakat diberlakukan, yaitu apabila sistem
zakat diberlakukan, orang kaya pasti akan menyisihkan pendapatannya untun membayar zakat
sehingga permintaan barang orang kaya semakin berkurang sehingga kurva permintaan (demand)
bergeser ke sisi kiri, yang menjadi pertanyaan apakah hal tersebut berimplikasi negative??.
Jawabannya tidak, karena uang yang disisihkan orang kaya tersebut menambah pendapatan
orang miskin sehingga permintaan barang semakin meningkat yang menyebabkan kurva
bergerak ke sisi kanan sehingga apabila kedua kurva tersebut disatukan maka akan menciptakan
keseimbangan didalamnya.
3. Kita sebagai umat islam hendaknya menerapkan ajaran islam secara menyeluruh dalam
kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa dalam dalam sehari terdapat 24 jam, apabila waktu
tersebut disisihkan untuk ibadah dan istirahat (sholat 5 waktu, 5 x 10 menit = 50 menit, istirahat
10 jam), maka waktu sisanya sekitar 13 jam kita berkutat dengan muamalah sosial. Tidak
mungkin kalau islam tidak mengatur ekonomi karena hal-hal kecil saja islam mengatur seperti
tidur, makan, dsb. Tak mungkin rasanya apabila ekonomi yang sangat luas cakupannya tidak
diatur dalam islam. Oleh sebab itu kita dituntut untuk menerapkan islam secara (kaffah)
sebagaimana firman Allah ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman masuklah, kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan
janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 208)
Untuk itu sudah sepatutnyalah kita sebagai umat muslim untuk menegakkan ekonomi syariah
dalam rangka menerapkan islam secara keseluruhan dan men-syiarkan agama islam.
Mungkin itulah beberapa hal yang mendasari kita untuk menegakkan ekonomi islam.
Terlepas dari hal tersebut marilah kita dalam rangka menegakkan ekonomi islam, sebelumnya
kita memperbaiki diri kita terlebih dahulu, memperbaiki sikap dan perilaku kita. Artikel yang
ditulis ini tidak berniat negatif sedikitpun, ini hanya ditujukan untuk menilai antara sistem
ekonomi yang berlaku saat ini. Benar tidaknya pendapat yang saya kemukakan ini, paling tidak
tulisan ini bisa menjadi khasanah ilmu yang membuka wawasan pengetahuan kita. Wallaahu
A’lam bish Shawaab. Jazakumullah Khairan Katsiiraa.
Pendidikan islam
Pendidikan Islam adalah salah satu cara untuk merubah pola hidup
mereka. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah pendidikan Islam itu seperti apa.
Akankah pendidikan merupakan jalan keluar dari permasalahan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu Pendidikan Islam Ilmu Pengetahuan Perbedaan dengan Ilmu pengetahuan yang lain
penggongan-penggolongan suatu masalah dan pembahasan masalah demi masalah di dalam
pendidikan. pendidikan Islam memerlukan beberapa metodologi pengembangan, antara lain:
test, pendidik memberikan test kepada anak didiknya untuk mengetahui perkembangan anak
didik
Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah
suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode
dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan
kandungan pendidikan tersebut.
Selama ini buku-buku ilmu pendidikan islam telah memperkenalkan paling kurang tiga kata yang
berhubungan dengan pendidikan islam yaitu, al-tarbiyah, al-ta’lim dan al ta’dib. Jika ditelusuri
ayat-ayat al-Quran dan matan as-Sunah secara mendalam dan komperhensif sesungguhnya
selain tiga kata tersebut masih terdapat kata-kata lain tersebut, yaitu al-tazkiyah, al-muwa’idzah,
al-tafaqqu, al-tilawah, al-tahzib, al-irsyad, al-tafakkur, al-ta’aqqul dan al-tadabbur. Deskripsi
selengkapnya terhadap kata-kata tersebut dapat dikemukakan sebagi berikut.
1. 1. AL-Tarbiyah
Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabba atau rabaa didalam al-Quran disebutkan lebih dari
dalapan ratus kali, dan sebagian besar atau bahkan seluruhnya dengan Tuhan, yaitu terkadang
dihubungkan dengan alam jagat raya (bumi, langit, bulan, bintang, matahari, tumbu-tumbuhan,
binatang, gunung, laut dan sebagainya), dengan manusia seperti pada kata rabbuna (Tuhan
kami), rabbuhu (Tuhannya), rabbuhum (Tuhan mereka semua), rabbiy (Tuhan-ku). Karena
demikian lausnya pengertian al-tarbiyah ini, maka ada sebagian pakar pendidikan, seperti
Naquid al-Attas yang tidak sependapat dengan pakar pendidikan lainnya yang menggunakan kata
al-tarbiyah dengan arti pendidikan. Menurutnya, kata al-tarbiyah terlalu luas arti dan
jangkauannya. Kata tersebut tidak hanya menjangkau manusia melainkan juga menjaga alam
jagat raya sebagaimana tersebut. Benda-benda alam selain manusia, menurutnya tidak dapat
dididik, karna benda-benda alam selain manusia itu tidak memiliki persyaratan potensial, seperti
akal, pancaindra, hati nurani, insting, dan fitrah yang memungkinkan untuk dididik. Yang
memiliki potensi-potensial diatas itu hanya manusia. Untuk itu Naquid al-Attas lebih memilih
kata al-ta’dib (sebagaimana nanti akan dijelaskan) untuk adti pendidikan, dan bukan kata al-
tarbiyah.
1. 2. Al-Ta’lim
Kata al-ta’lim atau asal katanya, yaitu ‘allam, yu’allimu, ta’liman dijumpai dalam hadis sebagai
berikut.
“Pengetahuan adalah kehidupan islam dan pilar islam, dan barang siappa yang mengajarkan ilmu
Allah akan menyempurnakan pahala baginya, dan barang siapa yang mengajarkan ilmu dan ia
mengamalkan ilmu yang diajarkan itu, maka Allah akan mengajarkan kepadanya sesuatu yang
belum ia ketahui.” (HR. Abu Syaikh)[2]
Didalam hadis tersebut kata ta’lim dihubngkan dengan mengajarkan ilmu kepada seseorang, dan
orang yang mengajarkan ilmu tersebut akan mendapatkan pahala dari Tuhan. Kata al-ta’lim
dalam arti pengajaran yang merupakan bagian dari pendidikan banyak digunakan untuk kegiatan
pendidikan yang bersifat nonformal, sepeti majelis taklim. Kata al-ta’lim dalam pendidikan
sesungguhnya merupakan kata yang paling dahulu digunakan daripada kata al-tarbiyah.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
dirumah Al-Aqram di mekkah, dapat juga disebut majelis al-ta’lim.
1. 3. Al-Ta’dib
Kata al-ta’dib berasal dari kata addaba, yuaddibu, ta’diban yang dapat berarti education
(pendidikan), discipline (disiplin), punishment (peringatan atau hukuman) dan chastisement
(hukuman-penyucian). kata al-ta’dib berasal dari kata adab yang berarti beradab, bersopan
santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral dan etika.[3]
Kata al-ta’dib dalam arti pendidikan sebagaimana disinggung di atas, ialah kata yang dipilih oleh
Naquid al-Attas. Dalam hubungan ini ia mengartikan al-ta’dib sebagai pengenalan dan
pengakuan yang secara berangssur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tenpat
yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah
pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan.
1. 4. Al-Tahdzib
Kata al-tahdzib secara harfiah berarti pendidikan akhlak atau menyucikan diri dari perbuatan
akhlak yang buruk, dan berarti pula terdidik atau terpelihara dengan baik, dan berarti pula
beradab sopan.[4]
Dari berbagai pengertian tersebut, tampak bahwa secara keseluruhan kata al-tahzib terkait
dengan perbaikan mental sepiritual, moral dan akhlak, yaitu memperbaiki mental seseorang yang
tidak sejalan dengan ajaran atau norma kehidupan menjadi sejalan dengan ajaran atau norma,
memperbaiki perilakunya agar menjadi baik dan terhormat, serta memperbaiki akhlak dan budi
pekertinya agar manjadi akhlak mulia. Berbagai kegiatan tersebut termasuk dalam bidang
kegiatan pendidikan. Itulah sebabnya, kata al-tahzib juga berati pendidikan.
1. 5. Al-Wa’dz atau Al-Mau’idzah
Al-wa’dz berasal dari kata wa’aza yang berarti to preach (mengajar), conscience (kata hati, suara
hati, hati nurani), to admonish (memperingatkan atau mengingatkan), exhort (mendesak), dan to
warn (memperingatkan). 6 inti al-wa’dz atau al-mau’idzah adalah pendidikan dengan car
memberikan penyandaran dan pencerahan batin, agar timbul kesadaran untuk berubah menjadi
orang yang baik.
1. 6. Al-Riyadhah
Al-Riyadhah berasal dari kata raudha, yang mengandung arti to tame (menjinakan), domesticate
(menjinakan), to break in (mendobrak atau membongkar), train (latihan), to train (melatih),
coach (melatih), to pacify (menenangkan atau menenteamkan), placate (mendamaikan,
menentramkan), to practice (memperagakan), exercise (melatih), regulate (mengatur), to seek to
make tractable ( menemukan untuk membuat mudah dikerjakan), dan try to bring round
(mencoba membawa keliling).[5] dalam pendidikan, kata al-riyadhah diartikan mendidik jiwa
anak dengan akhlak mulia. Didalam Al-Quran maupun as-Sunah kata al-riyadhah secara
eksplisit tidak dijumpai, namun inti dan hakikat al-riyadhah dalam arti mendidik atau melatih
mental spiritual agar senantiasa mematuhi ajaran Allah SWT amat banyak dijumpai.
1. 7. Al-Tazkiyah
Al-tazkiyah berasal dari kata zakka-yuzakki-tazkiyatan yang berarti purification (pemurnian atau
pembersihan), chastening (kesucian dan kemurnian), pronouncement of (pengumuman atau
pernyataan), integrity of a witness (pengesahan atau kesaksian), honorable record (catatan yang
dapat dipercaya dan dihormati).[6] dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa kata al-tazkiyah
ternyata juga digunakan untuk arti pendidikan yang bersifat pembinaan mental spiritual dan
akhlak mulia.
1. 8. Al-Talqin
Kata al-talqin berasal dari laqqana yulaqqinu talqina yang dapat berarti pengajaran atau
mengajarkan, dan dapat berarti pula insruction (perintah atau anjuran), direction (pengarahan),
dictation (pengimlaan atau perintah), dictate (mendikte atau memerintah), inspiration (ilham,
inspirasi), insinuation (sindiran atua tuduhan tidak langsung), suggestion (dorongan), suborning
of witness (pengimlaan atau perintah).[7] dari sekian kata tersebut terlihat bahwa kata talqin juga
digunakan untuk arti pengajaran. Dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa kata al-talqin ternyata
digunakan pula untuk arti pendidikan dan pengajaran yang diberlakukan tidak hanya kepada
orang yang masih hidup melainkan kepada orang sudah meninggal.
1. 9. Al-Tadris
Kata al-tadris berasal dari kata darrasa yudarrisu tadrisan, yang dapat berarti teaching
(pengajaran atau mengajarkan), instruction (perintah), tution (kuliah, uang kuliah). Selain kata
al-tadris juga berarti baqa’ atsaruha wa baqa al-atsar yaqtadli inmihauhu fi nafsihi, yang
artinya sesuatu yang pengaruhnya membekas dan sesuatu yang pengaruhnya membekas
menghendaki adanya perubahan pada diri seseorang. intinya kata al-tadris berarti pengajaran,
yakni, menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik yang selanjutnya memberi
pengaruh dan menimbulkan perubahan pada dirinya.
1. 10. Al-Tafaqquh
Kata al-tafaqquh berasal dari kata tafaqqaha yatafaqqohu tafaqquhan yang berarti mengerti dan
memahami. Selanjutnya Ar-Raghib al-Asfaniy mengartikan kata tafaqquh sebagain berikut :
menghubungkan pengetahuan yang abstrak dengan ilmu yang konkret, sehingga menjadi ilmu
yang khusus. Dari kata al-tafaqquh muncul kata al-fiqh yang selanjutnya menjadi sebuah nama
bagi ilmu yang mempelajari hukum-hukum syariah yang disandarkan pada dalil-dalil terperinci.
Kata al-tafaqquh selanjutnya lebih digunakan untuk menunjukan pada kegiatan pendidikan dan
pengajaran ilmu agama islam.
1. 11. Al-Irsyad
Kata al-irsyad dapat mengandung arti yang berhubungan dengan pengajaran dan pendidikan
yaitu bimbingan, pengarahan, pemberitahuan, nasihat, dan bimbingan sepiritual. Dengan
demikian kata al-irsyad layak dipertimbangkan untuk dimasukan dalam arti kata pendidikan dan
pengajaran.
Pengertian pendidikan islam menurut istilah, istilah atau terminologis pada dasarnya merupakan
kesepakatan yang dibuat para ahli dalam bidangnya masing-masing terhadap pengertian tentang
sesuatu. Adapun yangdi maksud dengan pendidikan islam saangat beragam, hal ini terlihat dari
definisi pendidikan islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan berikut:
Pendidikan dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu system pendidikan yang
memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita islam,
sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan agama islam.
Pengertian itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa
menghilangkan prinsip-prinsip islam yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia, sehinnga
manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntunan hidupnya seiring dengan perkembangan
iptek.
Dr. Muhammad Fadhli Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan islam sebagai uapya
menggembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan
nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.
Sebenaranya pendidikan dan pendidikan islam tidak jauh berbeda, dilihat dari pengertiannya.
Beda dengan pendidikan yang ada di barat, dimana Pengertian Pendidikan Barat. Seperti yang
ditulis sebelumnya bahwa tujuan pendidikan itu tidak bisa lepas dari tujuan hidup manusia.
Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara
kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Dengan
begitu tujuan pendidikan harus berpangkal pada tujuan hidup.
Di Barat, pendidikan menjadi ajang pertarungan ideologis dimana apa yang menjadi tujuan
pendidikan secara tidak langsung merupakan tujuan hidup berbenturan dengan kepentingan-
kepentingan lain . Di sinilah perbedaan pendapat para filosof Barat dalam menetapkan tujuan
hidup. Orang-orang Sparta salah satu kerajaan Yunani lama dahulu berpendapat bahwa tujuan
hidup adalah untuk berbakti kepada negara, untuk memperkuat Negara. madzhab-madzhab
pendidikan eropa Barat dan Amerika sesuah Decartes (1596-1650) mengambil dari kedua
madzhab Yunani lama tersebut, dan semua madzhab beranggapan bahwa dunia inilah tujuan
hidup sehingga ada yang mengingkari sama sekali wujud Tuhan dan hari akhir. Hal ini tercermin
dalam firman Allah SWT yang menggambarkan orang-orang Dahriyyun (Naturalist), “Mereka
berkata tidak ada hidup kecuali hidup kita di dunia ini. Kita mati kita hidup, tidak ada yang
membinasakan kita kecuali masa. Sedangkan mereka dalam hal ini tidak tahu apa-apa. Mereka
hanyalah menyangka-nyangka” (QS.45:23).
Sangat berbeda dengan pendidikan islam, Dimana Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari
tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang
selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala
kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai
tujuan akhir pendidikan Islam.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai
hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang
menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada
Allah.
Berikut ini akan ditujukan perbedaan antara versi pendidikan religius tradisional, yang murni dan
karenanya teoritis, dan versi pendidikan modern yang dijadikan pembanding.
reseptif
dispesialisasikan
BAB III
KESIMPULAN
Pengertian pendidikan islam berarti system pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang
untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai islam yang telah menjiwai
dan mewarnai corak kepribadiannya. pendidikan islam masih dipengaruhi oleh kepentingan
masyarakat daripada kepentingan individu.
Perbedaan pendidikan dan pendidikan islam tidak jauh berbeda karena tujuan pendidikan itu
tidak bisa lepas dari tujuan hidup manusia jika pada Pendidikan islam adalah pendidikan yang
seluruh aspek atau komponenya didasarkan pada ajaran islam. Sedangkan pendidikan tidak
semua didasarkan pada ajaran islam.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya,
tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek,
ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris,
sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para
ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat
Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan
dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik
bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan
tugas makalah ini adalah “tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan masalah
Berdasarkan rumusan di atas, maka kami angkat kedalam makalah studi fiqih yang hal ini kami
Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan
dapat memberikan arahan dan penjelasan yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan
penelitian diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah untuk mengetahui
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-
miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta,
tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal
ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara
syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya
(seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi
yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada
istrinya). Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan.
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya,
dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut
segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya,
biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit
sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan
berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari
jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya,
seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.
Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau
belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada
sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya
tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi
ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh
harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan
ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun
penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai
keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka
wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini
berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. pada
waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal.
Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau
meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan
mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai
ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah
bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah
(kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh
menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris yaitu “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat (dan) sesudah dibayar
hutangnya.” (QS an-Nisaa’: 11).
Wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i,
persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan
wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu
mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya.
Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya.
Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan
penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi
harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -
ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian
dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi
keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara
pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara
syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk
mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal
dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih
dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki
ketika masih hidup.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus
diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya
kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya
mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah
ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing
mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada
yang tidak terhalang.
Menurut bahasa, kata ’ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ’aashib, seperti kata thalabah
adalah bentuk jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah) yang berarti anak-anak laki-laki seorang
dan kerabatnya dari ayahnya.
Sedang yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini ialah orang-orang yang mendapat alokasi sisa
dari harta warisan setelah ashabul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian)
mengambil bagiannya masing-masing. Jika ternyata harta warisan itu tidak tersisa sedikitpun,
maka orang-orang yang terkategori ’ashabah itu tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali yang
menjadi ’ashabah itu adalah anak laki-laki, maka sama sekali ia tidak pernah terhalang.
(Pengertian ini dikutip dari Fiqh Sunnah III: 437).
Segenap orang yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya, bila
tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda, ”Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang
berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (lebih dekat kepada si mayyit).”
"Dan saudara laki-laki itu menjadi ahli waris pusaka saudara perempuannya, jika saudara
perempuan tersebut tidak mempunyai anak (laki-laki)." (QS An Nisaa’: 176).
Jadi, seluruh harta warisan harus diserahkan kepada saudara laki-laki, ketika ia sendirian, dan
kiaskanlah seluruh ’ashabah yang lain kepadanya.
A. ’Ashabah sababiyah ialah ’ashabah yang terjadi karena telah memerdekakan budak.
Orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli waris,
kecuali apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang termasuk ’ashabah
nasabiyah:
Dari Abdullah bin Syaddad dari puteri Hamzah, ia berkata, ”Bekas budakku telah meninggal
dunia dan ia meninggalkan seorang puteri, maka Rasulullah saw membagi harta peninggalannya
kepada kami dan kepada puterinya, yaitu Beliau menetapkan separuh untukku dan separuhnya
(lagi) untuk dia.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2210, Ibnu Majah II: 913 no: 2734 dan
Mustadrak Hakim IV: 66).
2. ‘Ashabah bighairih, ya’ni orang-orang yang jadi ‘ashabah disebabkan ada orang lain: Mereka
adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seibu sebapak, dan saudara
perempuan sebapak. Jadi, masing-masing dari mereka itu kalau ada saudara laki-lakinya menjadi
’ashabah mendapat separuh dari harta warisan.
Firman-Nya:
"Dan jika mereka (yang jadi ahli waris) itu saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka
bagi saudara laki-laki itu bagian dua saudara perempuan." (QS An Nisaa’: 176).
3. 'Ashabah ma’aghairih, yaitu orang-orang yang jadi ‘ashabah bersama orang lain: Mereka
adalah saudara-saudara perempuan bersama anak-anak perempuan; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata, “Dan sisanya untuk saudara perempuan.”
1. Pembunuhan
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw bahwa Beliau bersabda, “Orang yang membunuh tidak
boleh menjadi ahli waris.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4436, Irwa-ul Ghalil no: 1672,
Tirmidzi II: 288 no: 2192 dan Ibnu Majah II: 883 no: 2645).
2. Berlainan agama:
Dari Usamah bin Zaid ra bahwa Nabi saw bersabda, “Orang muslim tidak boleh menjadi ahli
waris orang kafir dan tidak (pula) orang kafir menjadi ahli waris seorang muslim.” (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari XII: 50 no: 6764, Muslim III: 1233 no: 1614, Tirmidzi III: 286 no: 2189, Ibnu
Majah II: 911 no: 2729, ‘Aunul Ma’bud VIII: 120 no: 2892).
3. Perhambaan/Perbudakan
Sebab seorang hamba dan harta bendanya adalah menjadi hak milik tuannya, sehingga kalau ada
kerabatnya memberi warisan, maka ia menjadi milik tuannya juga, bukan menjadi miliknya.
Akan tetapi soal perbudakan pada masa kini telah dihapuskan di seluruh dunia. Jadi sebab-sebab
tidak dapat mendapat warisan hanya tinggal dua saja, yaitu karena pembunuhan dan berlainan
agama
Pembagian Hajb
Hajb ada dua: hajb nuqshan dan kedua hajb hirman.
Adapun yang dimaksud hajb nuqshan ialah berkurangnya bagian seorang ahli waris karena ada
orang lain, dan ini terjadi pada lima orang:
Adapun hajb hirman yaitu seseorang tidak boleh mendapatkan warisan sedikitpun karena ada
orang lain, misalnya terhalangnya saudara laki-laki untuk mendapatkan warisan bila si mayyit
meninggalkan anak laki-laki, dan masalah ini (hajb hirman) tidak masuk padanya warisan dari
enam ahli waris, meskipun mungkin saja terjadi pada keenam orang ini hajb nuqshan. Mereka
adalah:
1. Bahwa setiap orang yang menisbatkan dirinya kepada mayyit dengan perantara orang
lain, maka ia tidak berhak jadi ahli waris manakala orang lain tersebut masih hidup.
Misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki, ia tidak bisa menjadi ahli waris bila bapaknya
masih hidup, kecuali putera-puteri ibu, mereka tetap sah menjadi ahli waris bersama
ibunya, padahal mereka menisbatkan dirinya kepada mayyit dengan perantara ibunya.
2. Yang lebih dekat harus lebih diutamakan daripada yang jauh. Misalnya anak laki-laki
menjadi hajib (penghalang) bagi keponakan laki-lakinya dari saudara laki-lakinya. Jika
mereka sederajat, maka yang harus diutamakan adalah yang lebih kuat kekerabatannya,
misalnya saudara laki-laki sebapak seibu menjadi hajib (penghalang) bagi saudara laki-
laki sebapak.
Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha,
yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh
Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-
gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam
kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya
dikurangi bagian suami atau istri.
K. Al-‘aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya)
dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air
yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa
al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan
berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis,
padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus
menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi
sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula
enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat
bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul
furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau
bertambah.
L. Ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna
'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka
semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..."
(al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah,
palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari
al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah
menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu
tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau
dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
Soal 2 :
Si A mati meninggalkan suami, dua orang saudara perempuan dan berapakah bagian masing-
masing?(misalnya 6 bagian)
Jawab : Suami mendapat 1/2 dari harta pusaka.
2 orang saudara perempuan mendapat 2/3 dari harta pusaka.
Asal masalah : 6
Suami mendapat 1/2 dari 6............................= 3 bagian
2 orang saudara perempuan dapat 2/3 dari 6..= 4 bagian
Jumlah = 7 bagian
Disini ditambah kelipatan persekutuan yang kecil dari asal masalah 6 menjadi 7, supaya masing-
masing cukup (namanya ‘aul)
Kalau kita umpamakan simati meninggalkan uang sejumlah Rp. 2.800,- maka cara membaginya
sebagai berikut :
Suami mendapat Rp. 2.800,- X 3..........= Rp. 1.200,-
7
2 orang saudara perempuan mendapat Rp. 2.800,- X 4.........= Rp. 1.600,-
7 Jumlah= Rp. 2.800,-
يل َع ْن َعبْ]] ِد اَأْل ْعلَى َأنَّهُ َس]] ِم َع ُم َح َّم َد ب َْن َعلِ ٍّي وس]]ى َع ْن ِإ ْس]] َراِئ َ َأ ْخبَ َرنَ]]ا ُعبَيْ]] ُد هَّللا ِ ب ُْن ُم َ
َّث فَقَ]]ا َل ِم ْن يُور ُ ون لَهُ َما لِل َّرج ُِل َو َم]]ا لِ ْل َم]]رْ َأ ِة ِم ْن َأيِّ ِه َم]]ا َ
ِّث َع ْن َعلِ ٍّي فِي ال َّر ُج ِل يَ ُك ُ ي َُحد ُ
َأيِّ ِه َما بَا َل
Dilihat dari alat kelaminnya yang mengeluarkan kencing (dari situlah ditetapkan statusnya).
ك َع ْن ال َّش ْعبِ ِّي َع ْن َعلِ ٍّي فِي َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر ب ُْن َأبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا هُ َش ْي ٌم َع ْن ُم ِغ َ
يرةَ َع ْن ِشبَا ٍ
ْال ُخ ْنثَى قَ َ
ال يُ َور ُ
َّث ِم ْن قِبَ ِل َمبَالِ ِه
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika
pewaris wafat.
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan
sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi
dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam
kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada
dalam falkah mighzal."
Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw..
Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam
Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal
empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang
disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata
hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut
menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab
Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya
dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya
kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak
dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah
dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar
separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak
stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan)
merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi
lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan
sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-
sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan
kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya
sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari
perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut
sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati
dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.