Anda di halaman 1dari 8

Islamic Worldview dan Peranan Konseling Islam1

Oleh: Emas Rahayu2

Pendahuluan

Hari ini berapa banyak orang yang memilih untuk tidak beragama ketimbang harus
ribet mengikuti aturan agama. Padahal setiap manusia, sadar ataupun tidak akan hidup
mengikuti pola pikir yang dimilikinya yang berasal dari manapun itu. Islam adalah agama yang
tidak berhenti definisinya dari sekedar kepercayaan belaka, melainkan Islam juga merupakan
peradaban sekaligus Islam juga sebagai cara pandang. Maka kemudian dalam upaya
menegakan Islam dalam pribadi dan kehidupan masyarakat hari ini, perlu beragam pendekatan
dengan membenahi cara pandang, sebab seluruh perbuatan berpangkal pada bagaimana cara
pandang seseorang.

Konselor merupakan satu disiplin ilmu yang lahir dari studi psikologi dan pendidikan
yang ditujukan untuk membantu manusia dalam meyelesaikan persoalan dirinya sebagai
pribadi, sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Pendekatan Islami yang mulai populis
dalam dunia konseling hari ini menjadi peluang besar untuk penanaman Worldview Islam baik
sebagai langkah kuratif ataupun langkah preventif (pencegahan), sebagaimana fungsi utama
dari konseling.

A. Islam sebagai Agama dan Cara Pandang

Pemahaman manusia mengenai agama terbagai menjadi beberapa makna dalam


kehidupan mereka. Ada yang memaknai agama sebatas aliran kepercayaan, ada juga yang
memaknainya sebagai satu identitas bersama, ada yang memaknainya sebagai sebuah sistem
hidup dan peradaban, kemudian ada yang melengkapi pemaknaan terhadap agama sebuah cara
pandang atau framework. Namun dapat dipastikan tidak ada ahli teologi dan filsafat mana pun
di dunia yang mampu mendefinisikan agama.3 Sementara Islam sebagai agama wahyu,
1
Sebagai judul resume perkuliahan oleh Dr. Hamid Famhy Zarkasyi dalam sebuah perkuliahan mengenai Iman,
Islam dan Ikhsan dan Worldview Islam
2
Peserta PKU XIV Putri, tahun 2020
3
Pernyataan ini disampaikan dalam pengantar perkuliahan tersebut.

1
memiliki konsep nya dalam istilah ad-Diin yang dirumuskan salah satunya melalui Q.S Al
Maidah ayat 3.

‫یت لَ ُك ُم ٱإۡل ِ ۡسلَ ٰـ َم ِدینا‬


ُ ‫ض‬ ُ ‫ۡٱلیَ ۡو َم أَ ۡك َم ۡل‬
ُ ۡ‫ت لَ ُكمۡ ِدینَ ُكمۡ َوأَ ۡت َمم‬
ِ ‫ت َعلَ ۡی ُكمۡ نِ ۡع َمتِی َو َر‬

Ayat tersebut secara eksplisit memberikan pernyataan tentang sebuah kesempurnaan


ajaran yang telah diturunkan kepada Rosulullah Muhammad, yaitu Islam. Ayat ini turun dalam
detik-detik genting menjelang wafatnya Nabi SAW dan menjadi latar peristiwa penting sebagai
satu fase berakhirnya risalah wahyu untuk seluruh manusia, serta jalan hidup yang telah selesai
digariskan Sang Pencipta. Islam adalah agama yang secara konsisten diajarkan oleh seluruh
utusan Allah (Rosulullah) dan Nabi-nabi. Islam adalah agama para Nabi, sebab tidak ada
perbedaan dari apa yang dibawa oleh para Nabi dalam memperkenalkan jalan hidup kepada
manusia. Makna ad-Diin dalam ayat tersebut itulah yang dimaksud dengan agama sebagai
jalan hidup.

Istilah ad-Diin ini dirumuskan oleh pemikir Islam, dalam hal ini Prof. SMN. Alattas
sebagai suatu istilah yang satu akar kata dengan Daana – Dayana yang berarti hutang atau
kondisi keberhutangan, dengan Madiina yang berarti kota dan Tamaddun yang berarti
peradaban. Hal ini dapat dirumuskan secara teori ketika menyebutkan Islam sebagai agama dan
peradaban. Sementara makna dari kebrhutangan dari kalimat Daana – Dayana adalah
kehidupan manusia yang seluruhnya merupakan kondisi berhutang kepada Allah sehingga Diin
diturunkan sebagai pembayaran yang pada gilirannya dikalkulasi pada “Yaumuddiin..”.
Kondisi keberhutangan manusia ini bersandar pada keterangan dalam Q.S Al ‘Araaf ayat 172
tentang kesaksian seluruh “Ruh” terhadap Allah sebagai Tuhan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Diin sebagai fitrah, yang bermakna sebuah potensi dasar dan kecenderungan diri untuk
mengenal Tuhan. Para Ulama’ seperti Abul A’la al-Mawdudi, Sayyid Quthb, Samih ‘Atif al-
Zayn memiliki definisi yang berbeda namun memilki tendensi yang sama dalam hal konsep
ketuhanan (aqidah) sebagai pangkal dari Worldview Islam.

Pemaknaan ad-Diin al-Islam sebagai sebuah fitrah bagi manusia akan mengantarkan
pada cara pandang yang berorientasi ketuhanan. Cara pandang dalam peradaban Barat
dinamakan dengan basic beliefs atau metaphysical belief (Alparslan), yang berupa konsep-
konsep mendasar sehingga berkumpul menjadi apa yang dinamakan Worldview. Maka

2
memaknai dan mengamalkan Diin al-Islam berarti menggunakan cara pandang atau Worldview
Islam.

Memaknai cara pandang, sederhananya ditunjukan dengan kisah ini: Ada dua orang
yang masing-masing merasa haus, namun keduanya memenuhi kebutuhan mereka dalam
menghilangkan haus saat itu, dengan cara yang berbeda. Orang yang pertama seketika mencari
air apapun yang dapat diminum tanpa memiliki pertimbangan, air itu milik siapa, apakah baik
dan halal bagi dirinya, kemudian ia meminum air tersebut sekali teguk karena merasa sangat
dahaga. Orang tersebut juga melakukannya sambil berdiri dengan tanpa mengingat dan
mengucap apapun sebelum ia meneguk airnya. Sedangkan orang yang kedua, ia mencari air
untuk dapat diminum dengan mempertimbangkan bagaimana cara ia mendapatkan air, apakah
dengan membeli atau meminta bantuan, ia juga mempertimbangkan agar jenis air yang
diminum merupakan air yang baik bagi tubuhnya dan halal, kemudian setelah ia mendapat air
tersebut ia akan meminumnya sambal duduk, membaca Bismillah sebelum minum, kemudian
meneguknya sedikit demi sedikit dan sedapat mungkin dilakukan dalam 3 tegukan. Pada kasus
ini orang yang memiliki Worldview Islam itu ditunjukan oleh orang kedua, bagaimana ia
memilki cara pandang kemudian membentuk pola pikir sehingga mempengaruhi setiap gerak
perilaku nya. Hal itu juga menggambarkan bagaimana cara pandang itu seharusnya melekat
dalam diri seoarng Muslim.

Istilah Worldview Islam atau Islamic Worldview, menghadirkan sebuah konsep yang
integral terhadap kehidupan manusia. dalam Worldview Islam, keimanan pada Tuhan adalah
sentral dan memengaruhi konsep-konsep lain. Dari konsep Tuhan timbul konsep-konsep lain
seperti konsep wahyu (al-Qur’an), penciptaan, hakikat kejiwaan manusia, ilmu, agama,
kebebasan nilai dan kebajikan, kebahagiaan.4 Prof. SMN Alattas menetapkan beberapa aspek
asasi bagi Worldview Islam yang diidentifikasi menjadi lima kelompok, yaitu konsep Tuhan,
konsep realitas, konsep ilmu, dan konsep etika atau nilai juga konsep tentang diri manusia.

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Minhaj, juga menyebut bahwa mengamalkan Islam
sebagai cara pandang tentu berbeda dengan mengamalkan islam sebagai sebuah syari’at. Sebab
dengan mengamalkan syari’at tidak menjamin akan mengubah cara berpikir. Akan tetapi,
4
Kholid Muslih, Worldview Islam. (Ponorogo: PII UNIDA Gontor Press, 2018). Hlm. Ix, Pengantar Buku dari Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Pd., M.Phil.

3
untuk dapat berpikir dengan cara yang benar, seorang Muslim pertama-tama harus dapat
memahami syari’at Islam dengan baik yang juga bertujuan sebagai sistem penyucian jiwa yang
memiliki maksud-maksud tertentu.5 Maka disinilah kita menemukan perbedaan mendasar
antara Worldview secara umum dan Worldview Islam.

Secara umum Worldview ialah gabungan atas siklus pikiran, kepercayaan dan emudian
perbuatan. Sementara Worldview Islam dipahami sebagai gabungan dari trilogi pikiran (Islam),
keyakinan (Iman) dan perbuatan (Ihsan) atau ilmu, iman dan amal yang berakumulasi
sepanjang hayat. Jadi, ilmu (syari’ah), keimanan (aqidah) dan perbuatan (akhlaq) dalam Islam
berpuncak pad acara pandang yang benar atau dalam kata lain membentuk Worldview Islam.
Seperti namapak pada bagan berikut :

Worldview Umum Pikiran Kepercayaan Perbuatan


Islam Iman Ihsan
Worldview Islam Ilmu Iman Amal
Syari’ah Aqidah Akhlaq

B. Bagaimana Kaitannya dengan Konseling ?

Secara historis aktivitas konseling mulai berkembang pada awal abad ke-19, ketika
terjadi reformasi sosial dan  pendidikan di Amerika karena kondisi masyarakat yang saat itu
sedang ‘sakit’, sehingga melahirkan pergerakan reformasi sosial. Dalam pergerakan ini, para
aktifis sosial menentang dan mendesak pemerintah agar lebih humanis dalam memperlakukan
masyarakat, baik itu para imigran, kaum miskin adan marginal, para pengangguran, juga orang
yang mengalami ganggua mental akibat perang dan lainnya. Para penggeraknya ini
kebanyakan para guru dan para pembaharu. Mereka memfokuskan pengajaran kepada anak-
anak dan para pemuda dengan tujuan untuk membantu anggota masyarakat agar lebih peka dan
menghargai diri mereka sendiri, orang lain, dunia kerja, dan kehidupan berwarga negara.
Mereka adalah Frank Parson, Jesse Davis, dan Clifford Beers yang masing-masing memiliki
kontribusi dalam perkembangan masyarakat Amerika baik di bidang pembuatan keputusan
karir, pendidikan dan kesehatan mental.

5
Lihat MINHAJ, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Pd. M.Phil, INSISTS, Jakarta: 2020

4
Konseling secara bahasa dalam Oxford Dictionary adalah “to counsel” atau
“counseling” yang diartikan sebagai berikut: a) Nasihat, b) Anjuran, c) Berembuk, dan d)
Pemberi nasehat (John M. Echols dan Hassan Sahily: 2005). Begitupun menurut The American
Psychological Assosiation, Division of Counseling Psychology, Committee on Definition
(1956) yang dikutip dalam buku Konseling Untuk Konselor BP4, memberikan pengertian
bahwa konseling adalah sebuah proses membantu individu untuk mengatasi masalah-
masalahnya dan membantu individu mencapai perkembangan diri yang optimal dengan
meggunakan sumber-sumber yang ada dari dalam diri sendiri (Radhiya Bustan: 2012).

Adapun konseling Islam merupakan aktivitas konseling dengan pendekatan dan cara
pandang yang Islami, dengan merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber dalam
menemukan solusi persoalan. Hamdan Bakran Adz-Dzaky (2001: 137) mendefinisikan bahwa
konseling dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran, dan pedoman
kepada individu yang meminta bantuan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien
dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta
dapat menanggulangi problem hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri
yang berparadigma kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sementara itu
Erhamwilda mengatakan bahwa konseling dalam perspektif Islam pada prinsipnya bukanlah
teori baru, karena ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an yang disampaikan oleh
Rasulullah SAW merupakan ajaran agar manusia memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan
kembalinya jiwa itu pada Yang Maha Kuasa dalam keadaan suci dan juga tenang.
(Erhamwilda: 2009)

Anwar Sutoyo, juga memberikan definisi tentang konseling Islam, sebagai aktifitas
yang bersifat “membantu”, dikatakan demikian karena pada hakikatnya individu sendirilah
yang perlu hidup sesuai dengan tuntunan Allah SWT (jalan yang lurus) agar mereka selamat.
Pada 1987 dalam Lokakarya Nasional Bimbingan dan Konseling Islam, Anwar menuliskan
sebuah definisi konseling Islam sebagai proses bantuan yang berbentuk kontak pribadi antara
individu atau sekelompok individu yang mendapat kesulitan dalam suatu masalah dengan
seorang petugas profesional dalam hal pemecahan masalah, pengenalan diri, penyesuaian diri,
dan pengarahan diri untuk mencapai realisasi diri secara optimal sesuai ajaran Islam. Secara
umum konseling memiliki tujuan agar klien dapat mengubah perilakunya ke arah yang lebih

5
maju (progressive behaviour change), melalui terlaksananya tugas-tugas secara optimal,
kemandirian dan kebahagiaan hidup. Secara khusus tujuan konseling tergantung dari masalah
yang dihadapi oleh masing-masing klien.
Ketika penulis menjalani sebuah pengalaman sebagai asisten konselor di beberapa
instansi di Jakarta, juga melalui praktik-praktik mikro konseling, mendapat kesimpulan bahwa
penguasaan seorang konselor akan Worldview Islam sangat menentukan proses keberhasilan
konseling Islam. Hal itu penulis buktikan kembali pada penanganan kasus beberapa
Narapidana atau warga binaan di salah satu Lapas Perempuan di Tangerang, dimana hasil
evaluasi yang didapatkan secara umum adalah mengenai pentingnya penguasaan Worldview
Islam agar tercapai solusi permasalahan yang tepat sesuai dengan fitrah manusia serta
mengantarkannya pada kesempurnaan beragama, mengamalkan Islam, Iman dan Ikhsan.
Pada praktik konseling Islam, konselor pada prinsipnya selalu berupaya menanamkan
pengaruh kepada setiap klien atau konseli yang dihadapinya kendatipun tindakan intervensi
merupakan suatu hal yang dihindari. Pengaruh yang diberikan konselor haruslah ditanamkan
secara sadar dengan teknik-teknik pendekatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan,
persaudaraan dan kebijaksanaan bersikap dalam memandang segala persoalan. Konselor harus
berbesar hati menjadi pendengar yang baik untuk kemudian memberikan tanggapan yang
sesuai dengan kondisi permasalahan yang diadukan konseli. Pada fase inilah seorang konselor
akan ‘berbunyi’ memberikan feed back dan arahan-arahan sesuai dengan Worldview yang
dimilikinya. Bekal Worldview Islam lah yang kemudian menjadi prinsip dan koridor atas setiap
keputusan yang direkomendasikan pada setiap orang (konseli) yang sedang ditanganinya.
Dalam proses konseling juga harus dihindari agar tidak terjadi konfrontasi antara
konselor dengan konseli, bagaimanapun Worldview yang mereka miliki berbeda jauh. Hal itu
dapat diatasi secara bertahap dengan perencanaan yang terstruktur oleh konselor
melaluipertemuan-pertemuan berikutnya, sebab proses konseling pada umumnya tidak dapat
dituntaskan dalam satu pertemuan saja.
Sejauh ini praktik konseling Islam memang telah banyak dirumuskan dengan langkah-
langkah yang cukup akomodatif dan Islami, sebagai contoh langkah konseling yang disusun
oleh Erhamwilda. Ia menetapkan 13 langkah teknis untuk dilakukan konselor agar mampu
mencapai tujuan konseling Islam, yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia,
menyucikan jiwa dan mendekatkan manusia kepada penciptanya, Allah SWT. Penulis dalam

6
penelitian tugas akhir S16 pernah mengujikannya dengan mengkombinasikan langkah-langkah
konseling Islam tersebut dengan langkah-langkah pendidikan Jiwa yang dirumuskan oleh Buya
Hamka dan diujikan kepada 4 orang Narapidan perempuan. Hasilnya, dari empat orang
tersebut, dua orang dinyatakan berhasil, satu orang tidak berhasil karena faktor pemutusan
proses konseling oleh konseli (konseling tidak dilanjutkan sebelum tuntas), dan satu orang lagi
tetap dinyatakan berhasil namun ia merupakan seorang Nasrani sehingga kasus
keberhasilannya dipisahkan dari dua orang sebelumnya. Penulis mendapatkan masukan dari
beberapa rekan di Sekolah Pemikiran Islam (SPI) bahwa kekurangan dari penelitian tersebut
adalah penguasaan konsep “berislam dari Ritual hingga Intelektual,” meminjam istilahnya Dr.
Hamid, yang seharusnya diinjeksikan oleh konselor pada tahap intervensi religius dalam
konseling. Sebab kenyataannya begitu banyak orang-orang Islam yang berpandangan sekuler,
tetap sholat dan puasa tetapi tidak mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kehidupan,
terjebak dalam pluralitas sehingga membenarkan paham pluralism agama, serta menganggap
isu liberalisasi tidak bermasalah karena tercampur dengan pemahaman yang bersandar pada
paham humanis dan HAM.
Kekurangan lainnya dalam konseling Islam yang berkembang hari ini ialah dari sisi
konselor, ketika ia menganggap tidak ada hubungan antara Ritual dan intelektual. Mereka yang
notabene merupakan seorang sarjana, terpelajar akhirnya terjebak pada pemikiran diabolis dan
memandang bahwa pendekatan Islam dalam konseling ini hanya terbatas pada ritus yang
dianggapanya akan bekerja secara ghaib saja. Hal tersebut memang tidak sepenuhnya salah,
namun juga tidak benar jika sebagai orang Islam, tidak memakai cara pandang Islam dalam
setiap jengkal kehidupannya.

Penutup
Penulis menyimpulkan dari pengalaman tersebut bahwa konseling Islam masih perlu
dilakukan perbaikan mendasar, terutama pada para konselornya sebagai aktor pelaksana
konseling. Hal ini bisa dilakukan dengan reformasi kurikulum pendidikan tinggi di program
studi konseling atau bahkan psikologi pada umumnya yang secara khusus mengkaji jiwa
manusia. Begitu pula pada satuan pendidikan menengah lainnya dimana memiliki unit
6
Skripsi berjudul “Konsep Pendidikan Jiwa Buya Hamka dalam Konseling Islam pada Warga Binaan di Lapas
Perempuan Kelas IIA Tangerang”. Jakarta: Program Studi Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Psikologi dan
Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia, April 2020

7
konseling, dapat dilakukan reformasi tata laksana Bimbingan Konseling (BK) terhadap siswa
Muslim agar mendapatkan rumusan konsep Worldview Islam. Selain itu, Worldview Islam
sebagai puncak dari pengamalan Islam (syari’ah), Iman (aqidah) dan Ikhsan (akhlaq) perlu
digalakan dalam pelaksanaan konseling Islam, sebab dalam proses tersebut telah terbangun
kesepakatn bersama untuk saling mendengar dan bersama-sama menemukan solusi persoalan.
Setiapmorang yang bertindak sebagai konseli akan dengan sukarela mendengarkan feed back
yang diberikan oleh konselor demi tercapainya tujuan konseling. Maka dalam hal ini
Worldview Islam dalam keseluruhan proses konseling Islam, sebagaimana fungsi uatama
konseling sebagai langkah kuratif dan langkah preventif (pencegahan) dengan lebih
berdampak, karena setiap Muslim dapat menegakan Islam dalam kehidupan pribadi, sosial
masyarakat bangsa di berbagai bidang kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai