Anda di halaman 1dari 3

Strategi Ulama dan Koreksi Bapak Bangsa Terhadap G 30 S/PKI

Oleh : Emas Rahayu

Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) XIV UNIDA – Gontor

Peristiwa Madiun pada 1948 merupakan bagian dari kronik sejarah yang memilukan bagi
Umat Islam. Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Muso saat itu
memproklamirkan negara Soviet Indonesia. Hal itu berakibat pada penyerangan besar-besaran
terhadap setiap elemen yang menentang dan tidak sepaham dengan PKI. Beberapa daerah sekitar
Madiun seperti Magetan, Ponorogo, menjadi sasaran aksi kebiadaban mereka. “Pondok Bobrok,
Langgar Bubar, Santri Mati,” adalah yel-yel profokatif yang menyemangati anggota
pemberontak itu dalam memberangus Umat Islam.

Dalam pidato peringatan G 30 S/PKI tahun ini, K.H Amal Fathullah berpesan agar setiap
santri dan generasi bangsa memahami secara detail bagaimana aksi PKI terhadap Umat Islam,
walaupun sudah puluhan tahun silam. Rektor Universitas Darussalam ini memberi kesimpulan
bahwa diantara musuh besar PKI ialah TNI angkatan darat dan Umat Islam, sehingga tak heran
jika Kyai dan Santri menjadi target utama untuk dihabisi. Tidak terkecuali pondok Darussalam
Gontor pernah menjadi target pemberangusan. Ini terjadi setelah Kyai Takeran beserta 168
santrinya dihabisi dan dikubur hidup-hidup.

Upaya PKI berlanjut ke Ponorogo dengan sasaran Pondok Darussalam Gontor. KH Sahal
dan KH Imam Zarkasyi saat itu, berembug menyusun strategi dibantu Lurah Rahmat Soekarto.
Dalam strategi penyelamatan pondok, para pimpinan harus berpikir taktis agar tidak salah
mengambil langkah. Ketika keadaan pondok sangat kacau, tentu semua berkeinginan
diselamatkan tanpa kecuali. Namun dipilih dua Kiyai Utama, beberapa Ustadz dan para santri
sebagai asset untuk diungsikan. Ada dua orang yang ditinggal di pondok untuk tetap berjaga-
jaga. Mereka adalah Kyai Syoiman Lukman Nur bersama Kyai Rahmat yang merupakan Lurah
disana. Semua buku-buku berbau Arab dan beberapa bangunan pondok dibumi hanguskan,
tersisa masjid dan padepokan pondok.

1
Selain menentukan strategi pembagian peran di atas, KH Sahal dan KH Imam Zarkasyi
juga berstrategi dengan konsep itsar (mendahulukan saudara). Hal ini dilakukan ketika di
perjalanan ke pengungsian mereka bertemu dengan PKI. Keduanya sempat berebut mati,
mendahulukan saudaranya untuk menyelamatkan diri dengan pertimbangan yang visioner.
Terjadi dialog diantara keduanya. Dikenang KH Amal yang juga merupakan putra KH Imam
Zarkasyi itu:

“Ben aku wae sing mati..Uduk kowe Zar, kowe isih enom, ilmu-mu luwih akeh, bakale
pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI
kuwi..Ayo Zar, njajal awak mendahno lek mati…”

Dalam dialog tersebut bukan sebatas makna relasi KH Sahal Sang kakak, terhadap
adiknya KH Zarkasyi. Melainkan hal itu dilakukan sebagai strategi Ulama yang berorientasi
masa depan. Bagaimana agar pemilik ilmu dengan kekuatan fisik yang potensial, lebih
diprioritaskan untuk diselamatkan. Hal itu dipertimbangankan dengan mengacu pada
kemaslahatan masa depan Pondok Pesantren dan Umat Islam di Indonesia. Demikian peristiwa
itu dikenang KH Amal Fathullah sebagai saksi hidup.

Jalan Lurus Revolusi Menurut Bung Hatta

“Revolusi Indonesia yang dicetuskan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang


disemangati oleh Pancasila, tidak mengenal jalan kanan dan jalan kiri, hanya mengenal
jalan lurus yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa.” (Mohammad Hatta)

Setahun setelah peristiwa G 30 S/ PKI 1965, Bung Hatta menerbitkan tulisannya yang
berjudul “Pancasila Jalan Lurus”. Tulisan ini menanggapi persoalan mendasar yang dihadapi
bangsa Indonesia berkaitan dengan tafsir Pancasila sebagai ideologi negara. Dimana, salah
satu bapak bangsa ini memandang adanya pemanfaatan yang tidak tepat, dilakukan oleh PKI
terhadap pemaknaan Pancasila.

Mohammad Hatta mengawali tulisannya dengan pernyataan “Sejak percobaan merebut


kekuasaan negara oleh Gestapu/PKI gagal dan ABRI bersama-sama dengan ormas-ormas
golongan agama dan nasional bertindak bahu-membahu untuk mengikis gerakan PKI sampai

2
ke akar-akarnya, banyak terdengar suara yang menyatakan kekuatirannya bahwa “Revolusi
akan menyeleweng ke kanan.”

Atas berbagai suara sumbang tersebut Bung Hatta kemudian mengklarifikasi bahwa
sejatinya Pancasila tidak mengenal jalan kiri dan kanan. Ia menegaskan dalam kalimatnya,
“Revolusi Indonesia yang dicetuskan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang disemangati
oleh Pancasila, tidak mengenal jalan kanan dan jalan kiri, hanya mengenal jalan lurus yang
diridhai Tuhan Yang Maha Esa.”

Menurut Sang Proklamator kemerdekaan RI ini, tujuan Revolusi Indonesia ialah


memerdekakan Indonesia dari segala macam bentuk genggaman imperialisme dan
kolonialisme, baik politik dan ekonomi maupun ideologi, dan membangun Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.  Tujuan itu diakui diakui Bung Hatta sebagai
tugas yang teramat berat. Untuk itulah, ia tegaskan “… bangsa kita memerlukan bimbingan
dari Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya maka negara kita berdasarkan Pancasila.”

Karena itulah, Bung Hatta mengajak bangsa Indonesia agar jangan mempermainkan
Pancasila, atau menggunakannya sebagai “lip service” saja.  Lebi jauh Sang bapak bangsa
mengungkapkan,

“Pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam artinya, tidak dapat dipermain-
mainkan. Tidak saja berdosa, sebagai manusia kita menjadi makhluk yang hina, apabila
kita mengakui dengan mulut dasar yang begitu tinggi dan suci, tetapi di hati tidak dan
diingkari dengan perbuatan. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya persoalan saling
menghormati antar agama, melainkan menjadi dasar yang memandu ke jalan kebenaran,
keadilan, kejujuran, persaudaraan dan kebaikan lainnya secara umum.”

Bapak bangsa yang terkenal kutu buku ini memberikan wasiat, “dengan dasar ini
sebagai pimpinan dan pegangan dalam kesatuan Pancasila, pemerintahan negara pada
hekekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan
rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia yang abadi serta persaudaraan bangsa-
bangsa,” demikian tegasnya dalam buku setebal kurang dari 20 lembar itu.

Anda mungkin juga menyukai