Di susun oleh :
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari akhlak merupakan hal yang sangat penting dalam
bertingkah laku. Dengan akhlak yang baik seseorang tidak akan terpengaruh pada hal-
hal yang negatif. Dalam agama islam telah diajarkan kepada semua pemeluknya agar
dirinya menjadi manusia yang berguna bagi dirinya serta berguna bagi orang lain.
Manusia yang berakhlak akan dapat menghiasi dirinya dengan sifat kemanusiaan yang
sempurna, menjadi manusia shaleh dalam arti yang sebenarnya, selalu menjaga kualitas
kepribadiannya sesuai dengan tuntunan Allah swt dan Rasul-Nya. orientasi akhlaki
keagamaan merupakan sesuatu yang asasi di dalam pendidikan Islam. Seruan agar
berakhlak mulia, menjunjung tinggi hidayah dan berbudi pekerti luhur sebagaimana
dimuat dalam al-Qur’an, hadits Rasulullah saw dan sumber-sumber primer warisan
budaya Islam melegitimasi keutamaan orientasi tersebut.
Dalam psikologi dikenal dengan teori tabularasa yang menjelaskan bahwa pada
dasarnya manusia yang lahir ke dunia itu bagaikan kertas yang putih bersih yang belum
ada tulisannya, akan menjadi apakah manusia itu kemudian, tergantung dengan apa
yang akan dituliskan diatsanya. Danlingkungan atau pengalaman yang akan menulis,
terutama pendidikan yang merupakan usaha yang cukup mampu untuk membentuk
pribadi individu.1
Secara terminologi, ‘aqa’id ialah jamak dari „aqidah (credo), artinya
kepercayaan. Yaitu sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang membuat
jiwa tenang tentram kepadanya, dan yang menjadi kepercayaan/keyakinan yang bersih
dari bimbang dan ragu.2 Sedangkan ulama‟ fiqh mendefinisikan akidah sebagai berikut:
1
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hal. 44.
2
Suyatno Prodjodikoro, Aqidah Islamiyyah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Sumbangsih Offset,
1991), hlm. 29.
Akidah ialah sesuatu yang diyakini dan dipegang teguh, sukar sekali untuk diubah. Ia
beriman berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan kenyataan, seperti beriman kepada
Allah Swt. para Malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, dan Rasul-rasul Allah, adanya kadar
baik dan buruk, dan adanya hari akhir3
B. RUMUSAN MASALAH
1. Akidah masyarakat jahiliyah
2. Akidah Rosulullah SAW
3. Metode Rosulullah SAW dalam melakukan revolusioner akidah masyarkat jahiliyah.
4. Tantangan yang dihadapi Rosulullah SAW
5. Implementasi akidah dan metode perubahan akidah yang dilakukan Rosulullah SAW
dalam konteks kehiidupan kekinian.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terj. H.A. Mustofa, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), hlm. 116.
1. Akidah masyarakat jahiliyah
Jahiliyah dalam ahasa arab: جاهلية, jahiliyyah) adalah konsep dalam
agama islam yang berarti “ketidaktahuan akan petunjuk ilahi” atau “kondisi ketidaktahuan
akan petunjuk dari Tuhan”. Keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab sendiri,
yaitu pada masa masyarakat arab pra islam sebelum diturunkannya al-Qur’an.
Pada umumnya, pengertian jahiliyyah yang beredar di masyarakat luas adalah
keadaan orang-orang Arab sebelum Islam, karena mereka bodoh terhadap Allah, Rasul
dan syari’at-syari’at-Nya serta mereka berbangga-bangga dengan keturunan, kebesaran
dan lain sebagainya.
Dalam perspektif (pandangan) Al-Qur`an, ”Jahiliyyah” adalah suatu sikap atau
keadaan masyarakat pada umumnya yang bodoh terhadap nilai-nilai Islam, entah mereka
itu bergelar Doktor ataupun Professor sekalipun, bila mereka bodoh terhadap Islam maka
mereka diberi stempel “Jahiliyyah”. Al-Qur`an telah menerangkan tentang sikap
Jahiliyyah ini, diantaranya yaitu ketika Musa a.s menyuruh kaumnya untuk mentaati
perintah Allah agar mereka menyembelih kurban. Namun Apa tanggapan kaumnya
terhadap Musa, “mereka berkata, apakah engkau mengejek kami hai Musa. Musa
menjawab, aku berlindung dari orang-orang yang bodoh.” (al-Baqarah:67)
Agama bangsa arab sebelum datangnya Islam (pra Islam) berupa Agama Humanisme
(keunggulan sifat manusia) yang sangat beragam ada yang menyembah Allah, Matahari,
Bulan, Bintang, bahkan Api dan Patung, dan ada juga yang beragama Nasrani dan Yahudi.
Bagi mereka yang menyembah Allah SWT menjadikan berhala sebagai perantara.
Selain kesyirikan, kebiasaan jelek yang mereka lakukan adalah perjudian dan mengundi
nasib dengan 3 anak panah. Caranya dengan menuliskan “ya”, “tidak” dan dikosongkan pada
ketiga anak panah itu. Ketika ingin bepergian misalnya, mereka mengundinya. Jika yang
keluar “ya”, mereka pergi dan jika “tidak”, tidak jadi pergi. Jika yang kosong maka diundi
lagi.
Mereka juga mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun, serta
menggantungkan nasib melalui burung-burung. Ketika ingin melekukan sesuatu, mereka
mengusir burung. Jika terbang ke arah kanan berarti terus, jika ke arah kiri berarti harus
diurungkan. Selain itu, mereka juga pesimis dengan bulan-bulan tertentu. Misalnya karena
pesimis dengan bulan safar, mereka kemudian merubah aturan haji sehingga tidak
mengijinkan orang luar Makkah untuk haji kecuali dengan memakai pakaian dari mereka.
Jika tidak mendapatkan, maka melakukan thawaf dengan telanjang.
Pada masa Nabi Muhammad dan Khulafahurrasydin, umat islam bersatu mereka satu
akidah, satu syariah dan satu akhlakul qarimah. Kalau mereka ada perselisihan pendapat
dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Perkembangan
akidah pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena
masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham.
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat
dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari
pertengkaran. Sehingga tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan,
karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
Pada prinsipnya, ada dua karakteristik akidah di masa pembentukan atau pertumbuhan
Islam, yaitu sederhana dan integral. Maksudnya, ajaran-ajaran tentang tauhid disampaikan
secara sederhana tanpa ada pembahasan yang rumit dan bertele-tele.
Dikatakan akidah di masa Rasul Saw.. bersifat integral, karena ajaran itu berhubungan
langsung dengan aspek ibadah dan akhlak. Masalah akidah dibicarakan selalu dalam konteks
ibadah dan akhlak. Begitu pula sebaliknya. Hal ini telah dipraktikkan oleh Nabi Saw.. dan
para sahabat sejak periode Mekkah sampai periode Madinah. Pada masa ini, Tauhid murni
Islam adalah suatu tauhid praktikal (amaliy), yaitu apa yang tersimpan dalam keimanan
mereka, itulah yang tampak pada akhlak tingkah laku mereka yang mulia. Tauhid ini hanya
dapat diambil secara qudwah, yaitu dengan melihat contoh dari seorang insan yang sudah
merealisasikannya, bukan dari sekadar teoriteori ilmiah.
a. Prasangka buruk kaum jahiliyah, sebagaimana firman Allah ketika kaum musyrikin
menang pada perang Uhud. Sebagian kaum Muslimin menyangka bahwa mereka tidak
ditolong oleh Allah Swt dan timbullah anggapan bahwa Islam telah berakhir bersamaan
dengan kalahnya kaum muslimin dari kaum kafir, mereka menyangka yang tidak benar
terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: Apakah ada bagi kita barang
sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" (QS. Ali Imran :154)
b. Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu)
kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan
kepada orang-orang mukmin
\
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam perspektif (pandangan) Al-Qur`an, ”Jahiliyyah” adalah suatu sikap atau keadaan
masyarakat pada umumnya yang bodoh terhadap nilai-nilai Islam, entah mereka itu bergelar
Doktor ataupun Professor sekalipun, bila mereka bodoh terhadap Islam maka mereka diberi
stempel “Jahiliyyah”.
Dikatakan akidah di masa Rasul Saw.. bersifat integral, karena ajaran itu berhubungan
langsung dengan aspek ibadah dan akhlak. Masalah akidah dibicarakan selalu dalam konteks
ibadah dan akhlak. Begitu pula sebaliknya. Hal ini telah dipraktikkan oleh Nabi Saw.. dan para
sahabat sejak periode Mekkah sampai periode Madinah. Pada masa ini, Tauhid murni Islam
adalah suatu tauhid praktikal (amaliy), yaitu apa yang tersimpan dalam keimanan mereka, itulah
yang tampak pada akhlak tingkah laku mereka yang mulia. Tauhid ini hanya dapat diambil
secara qudwah, yaitu dengan melihat contoh dari seorang insan yang sudah merealisasikannya,
bukan dari sekadar teoriteori ilmiah.
Adapun karakteristik dakwah Nabi Muhammad di Makkah dapat dibagi dalam beberapa hal
yaitu:
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, 2008, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terj. H.A.
Mustofa, Jakarta: Rineka Cipta,